Pertempuran Laut Sibolga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kapal penjelajah torpedo milik Angkatan Laut Belanda, HRMS Banckert.

Pertempuran Laut Sibolga merupakan peristiwa peperangan yang terjadi antara Pasukan TRI Tapanuli melawan Angkatan Laut Belanda di Teluk Sibolga pada tanggal 10 dan 12 Mei 1947. Insiden ini diawali dengan adanya patroli laut oleh Angkatan Laut Belanda di wilayah pesisir barat Sumatra dengan tujuan untuk memblokade laut Indonesia. Kapal yang digunakan untuk operasi tersebut adalah kapal jenis penjelajah torpedo, HRMS Banckert JT-1.[1] [2]

Deskripsi[sunting | sunting sumber]

Setelah Jepang menyerah kepada pasukan sekutu dan Indonesia telah memproklamasi kemerdekaannya atas penjajahan, pemerintahan sipil Belanda tetap tidak mengakui kemerdekaan Indonesia secara menyeluruh, berikut kesepakatan pada Perundingan Linggarjati yang dilanggar oleh Angkatan Laut Belanda. Insiden pelanggaran demarkasi oleh Belanda terjadi di beberapa wilayah perairan Indonesia salah satunya adalah Pelabuhan Sibolga.[3]

Pada tanggal 9 Mei 1947 terjadi perselisihan yang diawali dengan kedatangan kapal Belanda jenis penjelajah torpedo HRMS Banckert JT-1 yang sedang patroli di pantai barat Sumatera. Mereka hendak menangkap dan memeriksa kapal dagang asal Singapura yang dituduh telah melakukan penyelundupan. Kapal tersebut tanpa diketahui oleh pihak Belanda terdapat dua anggota ALRI Sibolga, namun akhirnya berhasil dikembalikan ke pelabuhan Sibolga menggunakan sekoci. Setelah peristiwa tersebut, Residen Tapanuli Dr. Ferdinand Lumban Tobing mengambil tindakan dengan mengirim surat kepada komandan kapal perang Belanda yang berisi teguran untuk segera meninggalkan Teluk Sibolga karena daerah tersebut merupakan wilayah kedaulatan Republik Indonesia.[3]

Insiden berlanjut hingga esok hari, HRMS Banckert JT-1 kembali berlayar di Teluk Sibolga dan menurunkan sebuah sekoci dengan tujuan hendak menangkap awak kapal dagang tersebut. ALRI segera mengambil sikap dengan menyiapkan pertahanan, menempatkan beberapa penembak jitu di Bukit Ketapang, dan mengirimkan utusan dari pihak RI, Letnan Oswald Siahaan untuk melakukan perundingan dengan Belanda. Namun komandan kapal Belanda, Mayor G Kondys mengirimkan sebuah sekoci berisi pasukan yang menembaki perahu utusan RI. Terjadi Baku tembak antara kedua pihak. Penembak jitu dari ALRI Sibolga, Letnan Arie Poloan bersama pertahanan di garis pantai ikut menembaki sekoci Belanda hingga berhasil memukul mundur.[4]

Pada tanggal 11 Mei, HRMS Banckert JT-1 kembali muncul di Teluk Sibolga dengan posisi jauh dari garis pantai. Mereka menuduh pihak RI telah menyembunyikan awak kapal dagang dari Singapura tersebut. Selanjutnya pihak Belanda mengutus seorang nahkoda kapal pencalang asal Nias yang mereka tawan untuk mengirim surat ke Residen Tapanuli agar menyerahkan awak kapal dagang tersebut kepada Belanda. Pihak RI membantah hal tersebut dan meminta agar kapal perang Belanda segera meninggalkan perairan Sibolga. Namun permintaan diabaikan oleh Belanda sehingga terjadi baku tembak.[5] Penembakan pertama dimulai oleh Pasukan TRI Sibolga disusul oleh tembakan dari berbagai pos komando pihak RI yang mengarah kepada kapal perang Belanda. Kemudian kapal perang Belanda segera melakukan seraangan balasan membabi buta yang mengakibatkan terbakarnya pos Angkatan Laut Sibolga, rumah-rumah penduduk di Ketapang, gudang pelabuhan, serta beberapa kapal yang sedang berlabuh. Korban jiwa dari pihak RI yang diketahui adalah Letnan Lase, Letnan Muda Alimun Hutagalung, Kopral Buyung Sinaga, dan Kopral Toto Harahap. Sementara yang mengalami luka berat adalah Letnan Sulaiman, Kelasi Amir Pohan dan dua orang warga sipil. Selanjutnya kapal Belanda meninggalkan Teluk Sibolga menuju lautan bebas bersama pesawat Catalina yang mengevakuasi korban dari pihak mereka.[6]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Priyono 2019, hlm. 45.
  2. ^ Juraidi. "Pertempuran Laut Teluk Sibolga Difragmenkan". ANTARA News. Diakses tanggal 2020-10-26. 
  3. ^ a b Nurliana 1983, hlm. 61.
  4. ^ Priyono 2019, hlm. 52.
  5. ^ Nurliana 1983, hlm. 62.
  6. ^ Priyono 2019, hlm. 53.

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Nurliana, Nana (1983). DR. Ferdinand Lumban Tobing. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional.