Perjanjian tidak setara
| Perjanjian tidak setara | |||||||||||||
|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
| Nama Tionghoa | |||||||||||||
| Hanzi tradisional: | 不平等條約 | ||||||||||||
| Hanzi sederhana: | 不平等条约 | ||||||||||||
| |||||||||||||
| Nama Jepang | |||||||||||||
| Kanji: | 不平等条約 | ||||||||||||
| |||||||||||||
| Nama Korea | |||||||||||||
| Hangul: | 불평등 조약 | ||||||||||||
| Hanja: | 不平等條約 | ||||||||||||
| |||||||||||||
Perjanjian-perjanjian tidak setara adalah serangkaian kesepakatan yang dibuat antara negara-negara Asia—terutama Tiongkok Qing, Jepang Tokugawa, dan Korea Joseon—dan negara-negara Barat—terutama Britania Raya, Prancis, Jerman, Austria-Hungaria, Italia, Amerika Serikat dan Rusia—selama abad ke-19 dan awal abad ke-20.[1] Perjanjian-perjanjian ini seringkali ditandatangani setelah pihak Asia mengalami kekalahan militer, atau di tengah ancaman militer yang dibuat oleh pihak Barat. Persyaratan-persyaratannya merinci kewajiban-kewajiban yang harus ditanggung hampir sepenuhnya oleh pihak Asia dan termasuk ketentuan seperti penyerahan wilayah, pembayaran reparasi, pembukaan pelabuhan perjanjian, penyerahan hak untuk mengendalikan bea dan impor, dan pemberian ekstrateritorialitas kepada warganegara asing.[2]
Dengan meningkatnya nasionalisme Tiongkok dan anti-imperialisme pada tahun 1920-an, baik Kuomintang maupun Partai Komunis Tiongkok menggunakan konsep tersebut untuk mencirikan pengalaman Tiongkok kehilangan kedaulatannya antara sekitar tahun 1840 hingga 1950. Istilah "perjanjian tidak setara" kemudian dikaitkan dengan konsep "abad penghinaan" Tiongkok, terutama konsesi kepada negara asing dan hilangnya otonomi bea melalui pelabuhan perjanjian, dan terus menjadi pendorong utama bagi kebijakan luar negeri Tiongkok hingga hari ini.
Jepang dan Korea juga menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada beberapa perjanjian yang berakibat pada berkurangnya kedaulatan nasional mereka. Jepang dan Tiongkok menandatangani perjanjian dengan Korea seperti Perjanjian Jepang–Korea 1876 dan Perjanjian Tiongkok–Korea 1882, dengan masing-masing perjanjian memberikan hak istimewa kepada Jepang dan Tiongkok terkait dengan Korea. Jepang setelah Restorasi Meiji juga mulai memberlakukan perjanjian tidak setara terhadap Tiongkok setelah kemenangannya dalam Perang Tiongkok–Jepang Pertama untuk pengaruh atas Korea dan juga pelabuhan dan wilayah pesisir Tiongkok.
Tiongkok
[sunting | sunting sumber]

Di Tiongkok, istilah "perjanjian-perjanjian tidak setara" pertama kali digunakan pada awal tahun 1920-an untuk menggambarkan perjanjian-perjanjian bersejarah, yang masih diberlakukan pada Republik Tiongkok, yang ditandatangani selama periode waktu yang dicirikan oleh sinologis Amerika John K. Fairbank sebagai "abad perjanjian" yang dimulai pada tahun 1840-an.[3] Istilah tersebut dipopulerkan oleh Sun Yat-sen.[4]: 53
Dalam menilai penggunaan istilah tersebut dalam diskursus retoris sejak awal abad ke-20, sejarawan Amerika Dong Wang memperhatikan bahwa "meskipun istilah itu telah lama digunakan secara luas, istilah tersebut tidak memiliki arti yang jelas dan tanpa ambiguitas" dan bahwa "tidak ada kesepakatan mengenai jumlah sebenarnya dari perjanjian-perjanjian yang ditandatangani antara Tiongkok dan negara asing yang seharusnya dianggap sebagai tidak setara."[3] Meskipun begitu, dalam lingkup kesarjanaan historiografis Tiongkok, istilah ini umumnya didefinisikan merujuk pada banyak kasus di mana Tiongkok secara efektif dipaksa untuk membayar sejumlah besar reparasi keuangan, membuka pelabuhan untuk perdagangan, melepaskan atau menyewakan wilayah-wilayah (seperti Manchuria Luar dan Tiongkok Barat Laut Luar (termasuk Zhetysu) kepada Kekaisaran Rusia, Hong Kong dan Weihaiwei kepada Britania Raya, Guangzhouwan kepada Prancis, Wilayah Sewaan Kwantung dan Taiwan kepada Kekaisaran Jepang, dan konsesi Teluk Kiautschou kepada Kekaisaran Jerman dan wilayah konsesi di Tientsin, Shamian, Hankou, Shanghai, dll.), dan membuat berbagai konsesi kedaulatan lainnya kepada lingkup-lingkup pengaruh asing, menyusul ancaman militer.[5]
Sinologis Tionghoa-Amerika Immanuel Hsu menyatakan bahwa Tiongkok memandang perjanjian-perjanjian yang mereka tandatangani dengan negara-negara Barat dan Rusia sebagai tidak setara "karena mereka tidak dinegosiasikan oleh negara-negara dengan memperlakukan satu sama lain sebagai setara, tetapi diberlakukan secara paksa kepada Tiongkok setelah sebuah perang, dan karena perjanjian-perjanjian itu melanggar hak-hak kedaulatan Tiongkok ... yang merendahkannya menjadi negara setengah jajahan".[6]
Perjanjian paling awal yang kemudian disebut sebagai "tidak setara" adalah negosiasi Konvensi Chuenpi tahun 1841 selama Perang Candu Pertama. Perjanjian pertama antara dinasti Qing dan Britania Raya yang disebut sebagai "tidak setara" adalah Perjanjian Nanjing pada tahun 1842.[5]
Menyusul kekalahan Tiongkok Qing, perjanjian-perjanjian dengan Britania Raya membuka lima pelabuhan untuk perdagangan dengan negara lain, selagi juga mengizinkan misionaris asing untuk tinggal di Tiongkok. Penduduk asing di kota-kota pelabuhan mendapat hak diadili oleh pihak konsuler dari negara mereka daripada diadili menurut sistem hukum Tiongkok, sebuah konsep yang disebut sebagai ekstrateritorialitas.[5] Di bawah perjanjian-perjanjian tersebut, Britania Raya dan Amerika Serikat membentuk Mahkamah Agung Britania Raya untuk Tiongkok dan Jepang dan Pengadilan Amerika Serikat untuk Tiongkok di Shanghai.
Perjanjian-perjanjian tidak setara ini memberikan negara-negara Eropa yurisdiksi atas misi-misi di Tiongkok dan otoritas tertentu atas orang Kristen Tionghoa.[7]: 182
Kemarahan Tiongkok pasca Perang Dunia I
[sunting | sunting sumber]Setelah Perang Dunia I, kesadaran patriotik di Tiongkok berfokus pada perjanjian-perjanjian tesebut, yang sekarang sudah dikenal secara luas sebagai "perjanjian-perjanjian tidak setara". Partai Nasionalis dan Partai Komunis bersaing untuk meyakinkan masyarakat bahwa pendekatan mereka akan lebih efektif.[5] Jerman dipaksa untuk melepas hak-haknya, Uni Soviet menyerahkannya, dan Amerika Serikat menyelenggarakan Konferensi Washington untuk menegosiasikannya.[8]
Setelah Chiang Kai-shek mendeklarasikan sebuah pemerintahan nasional yang baru pada tahun 1927, negara-negara Barat dengan cepat memberikan pengakuan diplomatik, membangkitkan kekhawatiran di Jepang.[8] Pemerintahan yang baru mendeklarasikan kepada kekuatan-kekuatan besar bahwa Tiongkok telah dieksploitasi selama puluhan tahun di bawah perjanjian-perjanjian tidak setara, dan bahwa masa bagi perjanjian semacam itu telah berakhir, menuntut agar semua perjanjian tersebut dinegosiasikan ulang dengan ketentuan yang setara.[9]
Menjelang akhir dari perjanjian-perjanjian tidak setara
[sunting | sunting sumber]Setelah Pemberontakan Petinju dan penandatanganan Aliansi Britania Raya-Jepang tahun 1902, Jerman mulai mengkaji kembali pendekatan kebijakannya terhadap Tiongkok. Pada tahun 1907 Jerman mengusulkan sebuah persetujuan trilateral Jerman-Tiongkok-Amerika yang tidak pernah terwujud. Dengan demikian Tiongkok memasuki masa yang baru dalam mengakhiri perjanjian-perjanjian tidak setara pada tanggal 14 Maret 1917, ketika Tiongkok memutuskan hubungan diplomatik dengan Jerman, sehingga mengakhiri konsesi yang telah diberikannya kepada negara tersebut. Tiongkok mendeklarasikan perang terhadap Jerman pada tanggal 17 Agustus 1917.[10]
Saat Perang Dunia I dimulai, tindakan-tindakan ini menganulir perjanjian tidak setara tahun, berakibat pada pengembalian hak kedaulatan Tiongkok atas konsesi di Tianjin dan Hankou. Pada tahun 1919, perundingan damai pasca-perang gagal mengembalikan wilayah di Shandong. yang sebelumnya berada di bawah kendali kolonial Jerman, kepada Republik Tiongkok. Setelah diputuskan bahwa pasukan Jepang yang telah menduduki wilayah-wilayah tersebut sejak tahun 1914 akan diizinkan untuk mempertahankannya berdasarkan Perjanjian Versailles, delegat Tiongkok Wellington Koo menolak untuk menandatangani perjanjian damai, dengan Tiongkok menjadi satu-satunya anggota konferensi yang memboikot upacara penandatanganan. Karena hal ini secara luas dipandang di Tiongkok sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kontribusi negara tersebut selama masa perang oleh anggota konferensi lainnya, kemarahan publik di dalam negeri akibat kegagalan mengembalikan Shandong pada akhirnya menyebabkan runtuhnya kabinet pemerintahan Duan Qirui dan memicu gerakan 4 Mei.[11][12]
Pada tanggal 20 Mei 1921, melalui perjanjian damai Jerman–Tiongkok (Deutsch-chinesischer Vertrag zur Wiederherstellung des Friedenszustandes), Tiongkok berhasil menjalin sebuah kesepakatan diplomatik yang dipandang sebagai perjanjian setara pertama antara Tiongkok dan bangsa Eropa.[10]
Selama periode Nanjing, Republik Tiongkok gagal dalam upaya negosiasi untuk mengakhiri perjanjian-perjanjian tidak setara.[13]: 69-70
Banyak perjanjian yang Tiongkok anggap sebagai tidak setara dicabut selama Perang Tiongkok–Jepang Kedua (1937-1945). Setelah Jepang menyerang Pearl Harbor pada tahun 1941, Tiongkok menjadi sekutu dengan Britania Raya dan Amerika Serikat, yang kemudian menandatangani perjanjian dengan Tiongkok untuk mengakhiri ekstrateritorialitas Britania dan Amerika pada bulan Januari 1943.[14] Beberapa contoh penting tetap berlaku setelah Perang Dunia II: perjanjian-perjanjian mengenai Hong Kong bertahan hingga penyerahan Hong Kong pada tahun 1997. Namun, pada tahun 1969, guna memperbaiki hubungan Tiongkok-Soviet setelah bentrokan militer di perbatasan, Republik Rakyat Tiongkok terpaksa mengukuhkan kembali Perjanjian Aigun tahun 1858 dan Perjanjian Peking tahun 1860.[butuh rujukan]
Jepang
[sunting | sunting sumber]Sebelum Restorasi Meiji, banyak perjanjian tidak setara juga diberlakukan pada Jepang. Ketika armada ekspedisi AS yang dipimpin oleh Matthew Perry tiba di Jepang pada tahun 1854 untuk memaksa negara kepulauan tersebut membuka diri bagi perdagangan Amerika, negara tersebut dipaksa menandatangani Konvensi Kanagawa di bawah ancaman kekerasan oleh kapal perang Amerika.[15] Peristiwa ini secara mendadak mengakhiri 220 tahun Jepang dalam keadaan terisolasi di bawah kebijakan Sakoku tahun 1633 akibat tekanan asing sepihak. Oleh sebab itu, konvensi tersebut dipandang serupa dengan perjanjian tidak setara.[16]
Peristiwa penting lainnya adalah ketika Keshogunan Tokugawa menyerah kepada Perjanjian Harris tahun 1858, yang dinegosiasikan oleh utusan AS Townsend Harris, yang, di antara konsesi-konsesi lainnya, menciptakan sistem ekstrateritorialitas bagi warga asing. Persetujuan ini kemudian menjadi model bagi perjanjian-perjanjian serupa yang kemudian ditandatangani oleh Jepang dengan negara Barat lainnya beberapa minggu kemudia, seperti Perjanjian-Perjanjian Ansei.[17]
Perjanjian tidak setara dengan Amerika Serikat dan Eropa menghalangi Jepang dari menetapkan bea impor secara sepihak[18]: 8 Akibatnya, Jepang mengalami kesulitan dalam mengembangkan industri domestik yang bisa bersaing dengan barang-barang impor.[18]: 8
Pemberlakuan perjanjian-perjanjian tidak setara ini merupakan guncangan besar bagi kepemimpinan Jepang karena untuk pertama kalinya dalam sejarah kedaulatan Jepang terganggu sekaligus menunjukkan kelemahan Jepang yang semakin nyata jika dibandingkan dengan Barat, yang berhasil memaksakan perjanjian tersebut kepada Jepang. Pemulihan status dan kekuatan nasional menjadi tujuan utama Jepang, dengan dampak domestik dari perjanjian ini adalah berakhirnya era Bakufu, yang memerintah Jepang selama 700 tahun, serta pembentukan pemerintahan kekaisaran yang baru.[19]
Perjanjian tidak setara berakhir pada waktu yang berbeda bagi negara-negara yang terlibat, dan kemenangan Jepang dalam Perang Tiongkok-Jepang Pertama tahun 1894–95 meyakinkan banyak pihak di Barat bahwa perjanjian-perjanjian tidak setara sudah tidak bisa lagi diterapkan kepada Jepang, karena Jepang telah menjadi kekuatan besar. Pandangan ini semakin diperkuat setelah Perang Rusia-Jepang tahun 1905, di mana Jepang berhasil mengalahkan Rusia, yang menjadi sebuah penghinaan besar bagi negara tersebut.[20]
Korea
[sunting | sunting sumber]Perjanjian tidak setara Korea pertama bukan dengan Barat, tetapi dengan Jepang. Insiden Pulau Ganghwa tahun 1875 menyaksikan Jepang mengirim kapal perang Un'yō yang dipimpin oleh Kapten Inoue Yoshika dengan ancaman tersirat aksi militer untuk memaksa kerajaan Joseon di Korea melalui unjuk kekuatan. Terjadi bentrokan bersenjata di sekitar Pulau Ganghwa, tempat pasukan Jepang dikirim, yang berujung pada kemenangan mereka. Insiden tersebut kemudian memaksa Korea untuk untuk membuka diri kepada Jepang dengan menandatangani Perjanjian Pulau Ganghwa, yang juga dikenal sebagai Perjanjian Jepang–Korea tahun 1876.[21]
Selama masa ini Korea juga menandatangani perjanjian-perjanjian dengan Tiongkok Qing dan negara-negara Barat (seperti Britania Raya dan Amerika Serikat). Dalam kasus Tiongkok Qing, negara tersebut menandatangani Perjanjian Tiongkok–Korea tahun 1882 yang menetapkan bahwa Korea adalah negara bagian dari Tiongkok dan memberikan ekstrateritorialitas serta hak-hak istimewa lainnya kepada Tiongkok,[22] dan perjanjian-perjanjian setelahnya dengan Tiongkok juga memberikan konsesi kepada Tiongkok di Korea, seperti konsesi Tiongkok di Incheon.[23][24] Namun, Tiongkok Qing kehilangan pengaruhnya atas Korea setelah Perang Tiongkok-Jepang Pertama pada tahun 1895.[25]
Seiring dengan berkembangnya dominasi Jepang atas semenanjung Korea dalam beberapa dekade berikutnya, dalam kaitannya dengan perjanjian-perjanjian tidak setara yang diberlakukan kepada negara tersebut oleh negara-negara Barat, konsesi-konsesi diplomatik Korea dengan negara-negara tersebut sebagian besar dianulir pada tahun 1910, ketika Korea dianeksasi oleh Jepang.[26]
Daftar perjanjian-perjanjian tidak setara
[sunting | sunting sumber]Dikenakan pada Tiongkok
[sunting | sunting sumber]Dikenakan pada Jepang
[sunting | sunting sumber]Dikenakan pada Korea
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ↑ "Unequal Treaties with China". Encyclopédie d’histoire numérique de l’Europe. Diakses tanggal 2022-05-22.
- ↑ Fravel, M. Taylor (2005-10-01). "Regime Insecurity and International Cooperation: Explaining China's Compromises in Territorial Disputes". International Security. 30 (2): 46–83. doi:10.1162/016228805775124534. ISSN 0162-2889. S2CID 56347789.
- 1 2 Wang, Dong. (2005). China's Unequal Treaties: Narrating National History. Lanham, Maryland: Lexington Books. pp. 1–2. ISBN 9780739112083.
- ↑ Crean, Jeffrey (2024). The Fear of Chinese Power: an International History. New Approaches to International History series. London, UK: Bloomsbury Academic. ISBN 978-1-350-23394-2.
- 1 2 3 4 Dong Wang, China's Unequal Treaties: Narrating National History (Lanham, Md.: Lexington Books, 2005).
- ↑ Hsu, Immanuel C. Y. (1970). The Rise of Modern China. New York: Oxford University Press. p. 239. ISBN 0195012402.
- ↑ Moody, Peter (2024). "The Vatican and Taiwan: An Anomalous Diplomatic Relationship". Dalam Zhao, Suisheng (ed.). The Taiwan Question in Xi Jinping's Era: Beijing's Evolving Taiwan Policy and Taiwan's Internal and External Dynamics. London and New York: Routledge. ISBN 9781032861661.
- 1 2 Akira Iriye, After Imperialism: The Search for a New Order in the Far East, 1921–1931 (Cambridge: Harvard University Press, 1965; Reprinted: Chicago: Imprint Publications, 1990), passim.
- ↑ "CHINA: Nationalist Notes". TIME. June 25, 1928. Diarsipkan dari asli tanggal November 21, 2010. Diakses tanggal April 11, 2011.
- 1 2 Andreas Steen: Deutsch-chinesische Beziehungen 1911-1927: Vom Kolonialismus zur „Gleichberechtigung“. Eine Quellensammlung. Berlin, Akademie-Verlag 2006, S. 221.
- ↑ Dreyer, June Teufel (2015). China's Political System. Routledge. p. 60. ISBN 978-1-317-34964-8
- ↑ "May Fourth Movement". Encyclopædia Britannica.
- ↑ Laikwan, Pang (2024). One and All: The Logic of Chinese Sovereignty. Stanford, CA: Stanford University Press. ISBN 9781503638815.
- ↑ "FOREIGN RELATIONS OF THE UNITED STATES: DIPLOMATIC PAPERS, 1943, CHINA". Diakses tanggal July 7, 2024.
- ↑ Hall, John Whitney; Hall, John Whitney (1991). Japan: from prehistory to modern times. Michigan classics in Japanese studies. Ann Arbor, Mich: Center for Japanese Studies, the Univ. of Michigan. ISBN 978-0-939512-54-6.
- ↑ Miyauchi, D. Y. (May 1970). "Yokoi Shōnan's Response to the Foreign Intervention in Late Tokugawa Japan, 1853–1862". Modern Asian Studies. 4 (3): 269–290. doi:10.1017/s0026749x00011938. ISSN 0026-749X. S2CID 145055046.
- ↑ Michael R. Auslin (2006). Negotiating with Imperialism: The Unequal Treaties and the Culture of Japanese Diplomacy. Harvard University Press. hlm. 17, 44. ISBN 9780674020313.
- 1 2 Hirata, Koji (2024). Making Mao's Steelworks: Industrial Manchuria and the Transnational Origins of Chinese Socialism. Cambridge Studies in the History of the People's Republic of China series. New York, NY: Cambridge University Press. ISBN 978-1-009-38227-4.
- ↑ Totman, Conrad (1966). "Political Succession in The Tokugawa Bakufu: Abe Masahiro's Rise to Power, 1843–1845". Harvard Journal of Asiatic Studies. 26: 102–124. doi:10.2307/2718461. JSTOR 2718461.
- ↑ Oye, David Schimmelpenninck van der (1 January 2005). "The Immediate Origins of the War". The Russo-Japanese War in Global Perspective: 23–44. doi:10.1163/9789047407041_008. ISBN 978-90-474-0704-1.
- ↑ Preston, Peter Wallace. [1998] (1998). Blackwell Publishing. Pacific Asia in the Global System: An Introduction. ISBN 0-631-20238-2
- ↑ Duus, Peter (1998). The Abacus and the Sword: The Japanese Penetration of Korea. Berkeley: University of California Press. hlm. 54. ISBN 0-52092-090-2.
- ↑ "Guide to Incheon's Chinatown". March 3, 2022. Diakses tanggal September 30, 2023.
- ↑ Fuchs, Eckhardt (2017). A New Modern History of East Asia. V&R unipress GmbH. hlm. 97. ISBN 978-3-7370-0708-5.
- ↑ Paine, S. C. M. (18 November 2002). "The Sino-Japanese War of 1894–1895: Perceptions, Power, and Primacy". Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9780511550188. ISBN 978-0-521-81714-1.
- ↑ I. H. Nish, "Japan Reverses the Unequal Treaties: The Anglo-Japanese Commercial Treaty of 1894," Journal of Oriental Studies (1975) 13#2 pp 137-146.
- ↑ Ingemar Ottosson (2019). Möten i monsunen.
- ↑ Auslin, Michael R. (2004) Negotiating with Imperialism: The Unequal Treaties and the Culture of Japanese Diplomacy, p. 17., hlm. 17, pada Google Books
- ↑ Auslin, p. 30., hlm. 30, pada Google Books
- ↑ Auslin, pp. 1, 7., hlm. 1, pada Google Books
- ↑ Auslin, p. 71., hlm. 71, pada Google Books
- ↑ Auslin, Michael R. (2004) Negotiating with Imperialism: The Unequal Treaties and the Culture of Japanese Diplomacy, p. 154., hlm. 154, pada Google Books
- ↑ Howland, Douglas (2016). International Law and Japanese Sovereignty: The Emerging Global Order in the 19th Century. Springer. ISBN 9781137567772.
- ↑ Dreyer, June Teufel (2016). Middle Kingdom and Empire of the Rising Sun: Sino-Japanese Relations, Past and Present (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 49. ISBN 978-0-19-537566-4.
- ↑ Korean Mission to the Conference on the Limitation of Armament, Washington, D.C., 1921–1922. (1922). Korea's Appeal to the Conference on Limitation of Armament, p. 33., hlm. 33, pada Google Books; excerpt, "Treaty Between Japan and Korea, dated February 26, 1876."
- ↑ Korean Mission, p. 29., hlm. 29, pada Google Books; excerpt, "Treaty and Diplomatic Relations Between the United States and Korea. Treaty of Friendship, Commerce, and Navigation dated May 22, 1882."
- ↑ Moon, Myungki. "Korea-China Treaty System in the 1880s and the Opening of Seoul: Review of the Joseon-Qing Communication and Commerce Rules," Diarsipkan October 5, 2011, di Wayback Machine. Journal of Northeast Asian History, Vol. 5, No. 2 (Dec 2008), pp. 85–120.
- ↑ Korean Mission, p. 32., hlm. 32, pada Google Books; excerpt, "Treaty and Diplomatic Relations Between Germany and Korea. Treaty of Amity and Commerce dated November 23, 1883."
- ↑ Korean Mission, p. 32., hlm. 32, pada Google Books; excerpt, "Treaty and Diplomatic Relations Between Great Britain and Korea ... dated November 26, 1883."
- ↑ Korean Mission, p. 32., hlm. 32, pada Google Books; excerpt, "Treaty and Diplomatic Relations Between Korea and Russia. Treaty of Amity and Commerce dated June 25, 1884."
- ↑ Korean Mission, p. 32., hlm. 32, pada Google Books; excerpt, "Treaty and Diplomatic Relations Between Korea and Italy. Treaty of Friendship and Commerce dated June 26, 1884."
- ↑ Yi, Kwang-gyu and Joseph P. Linskey. (2003). Korean Traditional Culture, p. 63., hlm. 63, pada Google Books; excerpt, "The so-called Hanseong Treaty was concluded between Korea and Japan. Korea paid compensation for Japanese losses. Japan and China worked out the Tien-Tsin Treaty, which ensured that both Japanese and Chinese troops withdraw from Korea."
- ↑ Korean Mission, p. 32., hlm. 32, pada Google Books; excerpt, "Treaty and Diplomatic Relations Between Korea and France. Treaty of Friendship, Commerce, and Navigation dated June 4, 1886."
- ↑ Korean Mission, p. 32., hlm. 32, pada Google Books; excerpt, "Treaty and Diplomatic Relations Between Korea and Austria. Treaty of Amity and Commerce dated July 23, 1892."
- ↑ Korean Mission, p. 32., hlm. 32, pada Google Books; excerpt, "Treaty and Diplomatic Relations Between Korea and Belgium. Treaty of Amity and Commerce dated March 23, 1901."
- ↑ Korean Mission, p. 32., hlm. 32, pada Google Books; excerpt, "Treaty and Diplomatic Relations Between Korea and Denmark. Treaty of Friendship, Commerce, and Navigation dated July 15, 1902."
- ↑ Korean Mission, p. 34., hlm. 34, pada Google Books; excerpt, "Treaty of Alliance Between Japan and Korea, dated February 23, 1904."
- ↑ Note that the Korean Mission to the Conference on the Limitation of Armament in Washington, D.C., 1921–1922 identified this as "Treaty of Alliance Between Japan and Korea, dated February 23, 1904"
- ↑ Korean Mission, p. 35., hlm. 35, pada Google Books; excerpt, "Alleged Treaty, dated August 22, 1904."
- ↑ Note that the Korean diplomats in 1921–1922 identified this as "Alleged Treaty, dated August 22, 1904"
- ↑ Korean Mission, p. 35., hlm. 35, pada Google Books; excerpt, "Alleged Treaty, dated April 1, 1905."
- ↑ Note that the Korean diplomats in 1921–1922 identified this as "Alleged Treaty, dated April 1, 1905"
- ↑ Korean Mission, p. 35., hlm. 35, pada Google Books; excerpt, "Alleged Treaty, dated August 13, 1905."
- ↑ Note that the Korean diplomats in 1921–1922 identified this as "Alleged Treaty, dated August 13, 1905"
- ↑ Korean Mission, p. 35., hlm. 35, pada Google Books; excerpt, "Alleged Treaty, dated November 17, 1905."
- ↑ Note that the Korean diplomats in 1921–1922 identified this as "Alleged Treaty, dated November 17, 1905"
- ↑ Korean Mission, p. 35., hlm. 35, pada Google Books; excerpt, "Alleged Treaty, dated July 24, 1907."
- ↑ Korean Mission, p. 36., hlm. 36, pada Google Books; excerpt, "Alleged Treaty, dated August 20, 1910."
Bibliografi
[sunting | sunting sumber]- Auslin, Michael R. (2004). Negotiating with Imperialism: The Unequal Treaties and the Culture of Japanese Diplomacy. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-01521-0; OCLC 56493769
- Hsü, Immanuel Chung-yueh (1970). The Rise of Modern China. New York: Oxford University Press. OCLC 300287988
- Nish, I. H (1975). "Japan Reverses the Unequal Treaties: The Anglo-Japanese Commercial Treaty of 1894". Journal of Oriental Studies. 13 (2): 137–146.
- Perez, Louis G (1999). Japan Comes of Age: Mutsu Munemitsu & the Revision of the Unequal Treaties. p. 244.
- Ringmar, Erik (2013). Liberal Barbarism: The European Destruction of the Palace of the Emperor of China. New York: Palgrave Macmillan.
- Wang, Dong (2003). "The Discourse of Unequal Treaties in Modern China". Pacific Affairs. 76 (3): 399–425.
- Wang, Dong. (2005). China's Unequal Treaties: Narrating National History. Lanham, Maryland: Lexington Books. ISBN 9780739112083.
- Fravel, M. Taylor (2008). Strong Borders, Secure Nation: Cooperation and Conflict in China's Territorial Disputes. Princeton University Press. ISBN 978-1-4008-2887-6
- Halleck, Henry Wager. (1861). International law: or, Rules regulating the intercourse of states in peace and war. New York: D. Van Nostrand. OCLC 852699
- Korean Mission to the Conference on the Limitation of Armament, Washington, D.C., 1921–1922. (1922). Korea's Appeal to the Conference on Limitation of Armament. Washington: U.S. Government Printing Office. OCLC 12923609
- Fravel, M. Taylor (2005). Regime Insecurity and International Cooperation: Explaining China's Compromises in Territorial Disputes. International Security. 30 (2): 46–83. doi:10.1162/016228805775124534. ISSN 0162-2889.