Perjanjian tentang Pertanian

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perjanjian tentang Pertanian (Inggris: Agreement on Agriculture) adalah perjanjian internasional yang berada di bawah naungan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Isi perjanjian ini dirundingkan selama Putaran Uruguay dan mulai berlaku pada saat yang sama dengan pendirian WTO pada tanggal 1 Januari 1995.

Tiga Pilar[sunting | sunting sumber]

Perjanjian ini terdiri dari tiga pilar, yaitu bantuan domestik, akses pasar, dan subsidi ekspor.

Bantuan domestik[sunting | sunting sumber]

Perjanjian ini membagi bantuan domestik menjadi dua kategori, yaitu bantuan domestik yang mengganggu perdagangan dan yang tidak mengganggu perdagangan (atau gangguannya minimal). Berdasarkan terminologi WTO, bantuan domestik dapat digolongkan ke dalam "kotak-kotak" yang didasarkan pada dampak terhadap produksi dan perdagangan, yaitu kotak kuning (terkait langsung dengan jumlah produksi), biru (program pembatasan produksi yang masih mengganggu perdagangan), dan hijau (gangguan minimal).[1] Pembayaran yang masuk ke dalam kotak kuning harus dikurangi, tetapi pembayaran yang tergolong ke dalam kotak hijau tidak termasuk dalam komitmen untuk mengurangi bantuan domestik. Rincian aturan mengenai pembayaran untuk bantuan domestik kotak hijau dijabarkan dalam Aneks 2 Perjanjian tentang Pertanian. Namun, bantuan ini harus mengikuti "persyaratan mendasar" dalam paragraf pertama, yaitu gangguan yang diakibatkan terhadap perdagangan tidak boleh melebihi gangguan minimal, dan bantuan harus diberikan lewat program yang didanai oleh pemerintah yang tidak melibatkan transfer dari konsumen atau bantuan harga kepada produsen.[2]

Sistem bantuan domestik Perjanjian tentang Pertanian saat ini mengizinkan subsidi pertanian di Uni Eropa dan Amerika Serikat. Bank Dunia menolak klaim Uni Eropa dan Amerika Serikat bahwa petani kecil butuh perlindungan dan mencatat bahwa lebih dari setengah subsidi Uni Eropa diterima oleh 1% produsen, sementara di Amerika Serikat 70% subsidi diterima oleh 10% produsen (khususnya agribisnis).[3] Akibat dari subsidi ini, produk pertanian mereka membanjiri pasar global dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksi yang merugikan produsen di negara berkembang.

Akses pasar[sunting | sunting sumber]

Akses pasar mengacu kepada upaya pengurangan hambatan tarif (atau non-tarif). Perjanjian tentang Pertanian mengatur pengurangan tarif sebesar:

  • 36% - negara maju - dengan minimal 15% dalam enam tahun berikutnya
  • 24% - negara berkembang - dengan minimal 10% dalam sepuluh tahun berikutnya

Negara terbelakang tidak harus mengurangi tarif, tetapi mereka harus mengubah hambatan non-tarif menjadi tarif (proses yang disebut tarifikasi) atau "mengikat" tarif mereka, sehingga terdapat batasan tarif maksimal untuk ke depannya.[4]

Subsidi ekspor[sunting | sunting sumber]

Subsidi ekspor merupakan pilar ketiga. Perjanjian tentang Pertanian tahun 1995 mewajibkan negara maju untuk mengurangi subsidi ekspor paling tidak sebesar 36% (berdasarkan nilai) atau 21% (berdasarkan volume) dalam waktu enam tahun. Untuk negara berkembang, subsidi ekspor harus dikurangi 14% (berdasarkan volume) atau 24% (berdasarkan nilai) dalam waktu sepuluh tahun.

Kritik[sunting | sunting sumber]

Perjanjian ini telah menuai kritik karena mengurangi perlindungan tarif untuk petani kecil yang merupakan sumber pendapatan utama negara berkembang, sementara subsidi pertanian untuk negara-negara kaya masih diperbolehkan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Agriculture Negotiations: Background Fact Sheet", World Trade Organization.
  2. ^ Agricultural Subsidies in the WTO Green Box Diarsipkan 2018-06-02 di Wayback Machine., ICTSD, September 2009.
  3. ^ "Fine words - now we need action". The Guardian. 15 November 2005. 
  4. ^ Agriculture: fairer markets for farmers, World Trade Organization

Pranala luar[sunting | sunting sumber]