Perjanjian Hak Cipta Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perjanjian Hak Cipta Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (dalam bahasa Inggris: WIPO Copyright Treaty, disingkat Perjanjian Hak Cipta WIPO) adalah salah satu perjanjian internasional mengenai hak cipta yang ditetapkan pada tahun 1996 oleh Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO).[1] Perjanjian Hak Cipta WIPO merupakan salah satu bagian dari Perjanjian Internet WIPO.[2] Tujuan ditetapkannya Perjanjian Hak Cipta WIPO adalah untuk memperkuat perlindungan hak cipta dari segi ketentuan hak cipta dan teknologi.[3] Negara-negara peserta Perjanjian Hak Cipta WIPO menetapkan tiga ketentuan yang disebut sebagai Agenda Digital.[4] Perjanjian Hak Cipta WIPO hanya mencakup hak cipta pada karya yang diperbanyak secara digital.[5] Perjanjian Hak Cipta WIPO menjadi pelengkap bagi Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra.[6]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Perkembangan modernisasi membuat Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Pada era modernisasi terjadi perkembangan pesat dalam bidang teknologi dan informasi. Di sisi lain, Konvensi Bern tidak mencakup kedua bidang tersebut. Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) melakukan inisiatif untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang tidak dimuat di dalam Konvensi Bern. Pada tanggal 20 Desember 1996, WIPO mengadopsi sebuah perjanjian hak cipta yang diberi nama Perjanjian Hak Cipta WIPO.[7]

Hak ekslusif[sunting | sunting sumber]

Perjanjian Hak Cipta WIPO memberikan tiga hak ekslusif kepada para pemilik hak cipta dengan tujuan untuk perluasan hak bagi pencipta suatu karya. Hak ekslusif ini berkaitan dengan perizinan dan pelarangan. Ketiga hak ini ialah hak distribusi karya, hak untuk menyewakan karya dan hak untuk mengkomunikasikan karya kepada masyarakat. Hak distribusi karya dipenuhi melalui perizinan dan pelarangan disitribusi karya asli mapun salinannya kepada masyarakat umum melalui perdagangan atau sebaliknya. Hak untuk menyewakan dipenuhi dengan memberikan izin atau melarang penyewaan program komputer, karya sinematografi maupun karya rekaman dengan tujuan komersial. Sementara itu, hak untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat terpenuhi dengan pemberian izin atau larangan untuk mengadakan komunikasi dengan masyarakat umum terhadap karya asli maupun salinannya. Pada hak ini, pencipta dapat menentukan tempat dan waktu untuk mempublikasikan karyanya sesuai dengan keinginannya sendiri.[8] Pemberian dan perlindungann hak ekslusif ini merupakan bentuk penghargaan atas ide dan daya cipta yang dimiliki oleh para pencipta karya.[9]

Lingkup perlindungan[sunting | sunting sumber]

Perlindungan hak cipta yang diberikan di dalam Perjanjian Hak Cipta WIPO hanya mencakup dua bidang, yaitu karya seni dan karya sastra yang diciptakan secara digital. Karya seni meliputi musik, fotografi, musik dan film. Sementara itu, karya sastra yang dilindungi meliputi buku elektronik dan program komputer.[10] Cakupan perlindungan hak cipta yang diberikan oleh Perjanjian Hak Cipta WIPO lebih luas dibandingkan dengan Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra.[11]

Perlindungan hak cipta yang diberikan di dalam Perjanjian Hak Cipta WIPO juga hanya mencakup karya asli dari penciptanya. Perjanjian Hak Cipta WIPO tidak melindungi hak cipta dari karya-karya yang dibuat bersama atau hasil aransemen. Perlindungan yang diberikan oleh Perjanjian Hak Cipta WIPO juga hanya mencakup karya asli yang dibuat menggunakan media atau sarana dengan bentuk yang nyata.[12]

Ketentuan[sunting | sunting sumber]

Ketentuan-ketentuan di dalam Perjanjian Hak Cipta WIPO merupakan hasil adaptasi dari Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra. Bagian-bagian yang diadaptasi meliputi perlindungan hak cipta bagi pencipta, seniman dan produser rekaman yang berbentuk digital. Ketentuan-ketentuan di dalam Perjanjian Hak Cipta WIPO kemudian dijadikan sebagai persyaratan baru dari masyarakat informasi. Prinsip mutatis mutandis dari hasil adaptasi Konvensi Bern dapat diberlakukan pada lingkungan digital. Para negara peserta Perjanjian Hak Cipta WIPO wajib menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi Bern yang diadaptasi ke dalam Perjanjian Hak Cipta WIPO. Kewajiban ini berlaku kepada seluruh negara peserta termasuk negara-negara yang sebelumnya bukan merupakan peserta pada Konvensi Bern.[8]

Informasi manajemen hak cipta[sunting | sunting sumber]

Di dalam Perjanjian Hak Cipta WIPO, informasi manajemen hak cipta merupakan ketentuan yang membahas mengenai perlindungan dan penjagaan hanya terhadap ciptaan berbentuk digital. Perjanjian Hak Cipta WIPO tidak melindungi semua jenis ciptaan. Perlindungan yang diberikan di dalam informasi manajemen hak cipta hanya berkaitan dengan hak digital dan tidak berkaitan dengan hak moral secara keseluruhan.[13] Hak moral yang dimasukkan sebagai pengecualian ke dalam Perjanjian Hak Cipta WIPO hanya yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang disengaja dari segi komersial dengan menggunakan sistem komputer.[14] Selain itu, perlindungan terhadap informasi manajemen hak cipta di dalam Perjanjian Hak Cipta WIPO juga berkaitan dengan perlindungan teknologi.[15]

Implementasi[sunting | sunting sumber]

Digital Millennium Copyright Act[sunting | sunting sumber]

Salah satu implementasi penting dari Perjanjian Hak Cipta WIPO adalah terbentuknya hukum hak cipta Amerika Serikat yang bernama Digital Millennium Copyright Act. Hukum hak cipta ini disahkan oleh Bill Clinton pada tahun 1998. Digital Millennium Copyright Act disusun menjadi lima bagian. Pembahasan mengenai Perjanjian Hak Cipta WIPO diletakkan di bagian pertama di dalam Digital Millennium Copyright Act.[16]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hozumi, Tamotsu (2006). Buku Panduan Hak Cipta Asia (PDF). Tokyo dan Jakarta: Asia/Pacific Cultural Centre for UNESCO (ACCU) dan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). hlm. 30. ISBN 979-96189-1-6. 
  2. ^ Mashdurohatun 2013, hlm. 22.
  3. ^ Hawin dan Riswandi 2020, hlm. 131.
  4. ^ Mashdurohatun, Anis (2018). Hukum Hak Cipta: Model Fair Use/Fair Dealing Hak Cipta Atas Buku Dalam Pengembangan Ipteks pada Pendidikan Tinggi (PDF). Depok: Rajawali Pers. hlm. 23. ISBN 978-602-425-436-0. 
  5. ^ Mashdurohatun 2013, hlm. 22-23.
  6. ^ Harwanto, Edi Ribut (2021). Merwansyah dan Lakoni, M. A., ed. Masalah Yuridis Kebijakan Formulasi Aplikasi Ekseksusi Tindak Pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia dan Upaya Alternatif Penyelesaiannya (PDF). Metro: CV. Laduni Alifatama. hlm. 27. ISBN 978-623-6031-14-8. 
  7. ^ Susanti, Sari dan Novenda 2019, hlm. 53.
  8. ^ a b World Intellectual Property Organization (2008). Ekspresi Kreatif: Pengantar Hak Cipta dan Hak Terkait untuk Usaha Kecil dan Menengah (PDF). Kamar Dagang dan Industri Indonesia. hlm. 60. 
  9. ^ Susanti, Sari dan Novenda 2019, hlm. 55.
  10. ^ Hawin dan Riswandi 2020, hlm. 130.
  11. ^ Susanti, Sari dan Novenda 2019, hlm. 53-54.
  12. ^ Susanti, Sari dan Novenda 2019, hlm. 54.
  13. ^ Nainggolan 2016, hlm. 60.
  14. ^ Maskun (2013). Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana. hlm. 166. ISBN 978-602-9413-93-9. 
  15. ^ Nainggolan 2016, hlm. 61.
  16. ^ Julius, H., Juanim, J., dan Dwisanty, R. (2019). Tinjauan dan Analisis Ekonomi Terhadap Industri Kreatif di Indonesia. Sleman: Diandra Jreatif. hlm. 8. ISBN 978-623-240-052-8. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]