Belanja



Berbelanja adalah suatu aktivitas di mana seorang pelanggan menelusuri berbagai barang atau layanan yang ditawarkan oleh satu atau lebih peritel, dengan maksud potensial untuk membeli pilihan yang dianggap sesuai. Para ahli telah mengembangkan suatu tipologi jenis pembeli yang mengidentifikasi salah satu kelompok sebagai pembeli rekreasional,[1] yakni mereka yang menikmati kegiatan berbelanja dan memandangnya sebagai suatu bentuk rekreasi.[2]
Belanja daring telah menjadi pengganggu besar dalam industri ritel,[3] karena konsumen kini dapat mencari informasi produk serta memesan barang dari berbagai wilayah. Peritel daring mengirimkan produk mereka langsung ke rumah, kantor, atau lokasi lain yang diinginkan konsumen. Proses B2C (business to consumer) memudahkan konsumen untuk memilih produk apa pun secara daring dari situs web peritel dan menerimanya dalam waktu relatif singkat. Melalui metode belanja daring, konsumen tidak perlu menghabiskan energi untuk mengunjungi toko fisik secara langsung, sehingga menghemat waktu dan biaya perjalanan. Peritel atau toko merupakan sebuah bisnis yang menampilkan berbagai pilihan barang dan menawarkan untuk menukar atau menjualnya kepada pelanggan dengan imbalan uang atau barang lain.
Pengalaman pengguna dalam berbelanja dapat sangat beragam. Variasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti cara pelanggan dilayani, tingkat kenyamanan, jenis barang yang dibeli, serta suasana hati saat berbelanja.[4]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Zaman Kuno
[sunting | sunting sumber]
Pada zaman kuno, pasar dan pekan didirikan untuk memfasilitasi pertukaran barang dan jasa. Masyarakat berbelanja kebutuhan mereka di pasar yang diadakan secara berkala di kota-kota terdekat. Namun, sifat sementara dari kios dan pedagang keliling membuat para pembeli harus memeriksa barang dengan cermat sebelum membeli. Di Yunani Kuno, agora berfungsi sebagai pasar di mana para pedagang memiliki kios atau toko untuk menjajakan barang dagangan mereka.[5]
Romawi Kuno menggunakan konsep serupa dengan pasar yang disebut forum. Roma memiliki dua forum utama, yaitu Forum Romanum dan Forum Trajanus. Pasar Trajanus di Forum Trajanus, yang dibangun sekitar tahun 100–110 Masehi, merupakan kompleks yang sangat luas, terdiri dari beberapa bangunan dengan deretan tabernae atau toko ritel yang terletak di empat tingkat bangunan.[6] Forum Romawi sering dianggap sebagai contoh paling awal dari deretan toko permanen.[6] Dalam dunia Romawi, pasar utama terutama melayani masyarakat tani setempat. Sementara itu, mereka yang tinggal di tanah-tanah perkebunan besar sering kali cukup menarik bagi para pedagang untuk datang langsung ke gerbang pertanian mereka, sehingga mereka tidak perlu pergi ke pasar lokal.[7]
Daftar belanja diketahui telah digunakan oleh orang Romawi. Salah satu daftar semacam itu ditemukan di dekat Tembok Hadrianus dan berasal dari tahun 75–125 Masehi, ditulis untuk seorang prajurit.[8]
Abad Pertengahan
[sunting | sunting sumber]
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa masyarakat Inggris hanya melakukan sedikit aktivitas berbelanja pada awal Abad Pertengahan. Sebaliknya, mereka memenuhi kebutuhan dasar melalui praktik pertanian subsisten dan sistem pertukaran pribadi yang bersifat lokal.[9] Namun, menjelang akhir Abad Pertengahan, para konsumen mulai mengandalkan pasar untuk membeli hasil pertanian segar, daging, dan ikan, serta menghadiri pekan-pekan berkala untuk memperoleh barang tahan lama dan barang mewah.[10] Perempuan umumnya bertanggung jawab atas pembelian kebutuhan rumah tangga sehari-hari, meskipun sebagian besar pembelian mereka bersifat rutin. Secara umum, kegiatan berbelanja lebih dipandang sebagai pekerjaan rumah tangga ketimbang sumber kesenangan.[11]
Hanya sedikit toko permanen yang ditemukan di luar kota-kota besar. Sebaliknya, pelanggan biasanya datang langsung ke bengkel milik para perajin untuk mendiskusikan pilihan pembelian secara langsung.[12] Pedagang keliling seperti penjual buah di jalanan, pedagang kecil, dan penjaja berkeliling juga beroperasi di sekitar pasar, menawarkan kemudahan layanan antar ke rumah, terutama bagi komunitas yang terpencil secara geografis.[13]
Di kota-kota besar Eropa, sejumlah kecil toko mulai muncul sekitar abad ke-13. Pedagang khusus seperti penjual kain halus (mercer) dan perlengkapan kecil (haberdasher) telah dikenal di London, sementara pedagang bahan makanan menjual "barang-barang kecil beragam, rempah-rempah, serta obat-obatan." Namun, toko-toko tersebut masih sangat sederhana. Bahkan hingga abad ke-16, toko-toko di London masih digambarkan sebagai "kios kasar yang belum berkembang."[14]
Pengalaman berbelanja pada masa abad pertengahan sangat berbeda dari pengalaman berbelanja masa kini. Interior toko cenderung gelap dan pembeli memiliki sedikit kesempatan untuk memeriksa barang sebelum membelinya. Jendela kaca hampir tidak dikenal dalam lingkungan ritel pada masa itu. Barang dagangan jarang dipajang; para penjual biasanya menyimpan barang di bagian belakang toko dan hanya menampilkannya ketika diminta oleh pelanggan. Meja layanan juga belum umum digunakan; sebaliknya, banyak toko memiliki bukaan ke arah jalan tempat mereka melayani pembeli.[15]
Di Inggris, sikap masyarakat terhadap perdagangan ritel dan kegiatan berbelanja pada masa itu cenderung negatif. Para peritel sering disamakan dengan penjaja kecil karena mereka hanya membeli barang murah untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi, tanpa memberikan nilai tambah terhadap perekonomian nasional. Selain itu, muncul pula kekhawatiran mengenai kepentingan pribadi para pedagang dan praktik bisnis mereka yang dianggap tidak etis. Pengeluaran untuk barang mewah juga sering dikritik karena melibatkan impor barang yang dianggap tidak memberikan manfaat bagi ekonomi nasional serta menghambat pertumbuhan industri lokal yang dianggap lebih pantas untuk didukung.[16]
Berbelanja untuk kesenangan
[sunting | sunting sumber]Fenomena modern berbelanja sebagai bentuk kesenangan erat kaitannya dengan kemunculan kelas menengah di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18. Seiring dengan meningkatnya standar hidup pada abad ke-17, konsumen dari berbagai latar belakang sosial mulai membeli barang-barang yang melampaui kebutuhan pokok. Kelas menengah baru atau borjuis mendorong permintaan akan barang-barang mewah dan mulai membeli berbagai barang impor seperti katun dan kain kaliko dari India; sutra, teh, dan porselen dari Tiongkok; rempah-rempah dari India dan Asia Tenggara; serta tembakau, gula, rum, dan kopi dari Dunia Baru.[17] Kegiatan berbelanja pun mulai dipandang sebagai hiburan atau rekreasi yang menyenangkan.[2]
Pada abad ke-17, pasar hasil bumi secara bertahap digantikan oleh toko-toko dan pusat perbelanjaan, yang mengubah pengalaman berbelanja konsumen.[18] Salah satu contoh awal pusat perbelanjaan terencana adalah The New Exchange, yang dibuka pada tahun 1609 oleh Robert Cecil di kawasan Strand. Toko-toko mulai berfungsi sebagai tempat pertemuan dan sosialisasi bagi warga London, menjadi destinasi populer setara dengan teater. Pada masa Restorasi Inggris, London juga menyaksikan pembangunan gedung-gedung mewah yang berfungsi sebagai simbol status sosial, karya arsitek spekulatif seperti Nicholas Barbon dan Lionel Cranfield.

Banyak pamflet pada masa itu ditulis untuk membenarkan konsumsi mencolok dan "dosa pribadi" demi barang mewah, dengan dalih manfaat ekonomi bagi masyarakat luas. Pemikiran yang kontroversial ini menimbulkan kehebohan setelah terbitnya karya berpengaruh Bernard Mandeville berjudul Fable of the Bees pada tahun 1714, di mana ia berargumen bahwa kemakmuran suatu bangsa justru bertumpu pada kepentingan pribadi para konsumennya.[19]
Tren ini semakin menguat pada abad ke-18, ketika meningkatnya kemakmuran dan mobilitas sosial memperbanyak orang dengan pendapatan bebas untuk konsumsi. Perubahan penting terjadi pada pemasaran barang—yang kini ditujukan kepada individu, bukan sekadar rumah tangga—dan pada status barang sebagai simbol status, yang kini dihargai karena daya tarik estetika dan mode, bukan semata kegunaan. Penemu tembikar sekaligus wirausahawan Josiah Wedgwood menjadi pelopor dalam penggunaan teknik pemasaran untuk memengaruhi selera publik.[20] Salah satu strategi penjualannya adalah menggelar pameran besar di rumah pribadi atau aula sewaan, dengan mengundang kalangan kelas atas.[21]
Sepanjang abad ke-18, berbagai barang dan hasil manufaktur semakin tersedia bagi kalangan menengah dan atas perkotaan. Pertumbuhan konsumsi ini melahirkan budaya "berbelanja" — berkembangnya toko-toko ritel khusus dan diterimanya aktivitas berbelanja sebagai kegiatan budaya tersendiri. Jalan-jalan dan distrik tertentu didedikasikan untuk ritel, seperti Strand dan Piccadilly di London.[22]

Kebiasaan melihat-lihat etalase (window shopping) sebagai bentuk rekreasi muncul bersamaan dengan penggunaan kaca besar di fasad toko. Menjelang akhir abad ke-18, deretan arcade megah mulai muncul di Inggris, Eropa, dan wilayah kolonial, menandai era baru yang dikenal sebagai "zaman arcade."[23] Bangunan ini biasanya beratap kaca, memungkinkan cahaya alami masuk dan mengurangi kebutuhan penerangan buatan. Di dalam arcade, setiap toko memiliki jendela pajang besar yang memungkinkan kelas menengah menikmati kegiatan melihat-lihat barang mewah, bahkan jika mereka belum mampu membelinya.[24]
Dirancang untuk menarik kelas menengah terpelajar, para peritel menjual barang mewah dengan harga relatif tinggi. Namun harga bukanlah penghalang, karena arcade menjadi tempat bergengsi untuk berbelanja sekaligus "dilihat." Arcade menawarkan ruang tertutup yang tenang dari hiruk-pikuk jalanan, tempat orang dapat bersosialisasi dan menikmati waktu luang. Seiring ribuan arcade beratap kaca bermunculan di seluruh Eropa, bangunannya semakin megah dan berhias ornamen indah. Pada pertengahan abad ke-19, berjalan-jalan di dalam arcade menjadi kegiatan populer bagi kelas menengah yang sedang naik daun.[25]
Di Eropa, Palais-Royal yang dibuka pada tahun 1784 menjadi salah satu contoh awal arcade belanja bergaya baru, yang dikunjungi oleh kalangan bangsawan maupun kelas menengah. Tempat ini terkenal sebagai pusat percakapan dan budaya, dengan keberadaan salon, kafe, dan toko buku, tetapi juga menjadi tempat favorit bagi prajurit yang sedang libur serta pekerja seks yang menyewa kamar di kompleks tersebut.[26] Di London, salah satu pionir penggunaan jendela pajang dalam toko adalah peritel Francis Place, yang bereksperimen dengan metode baru ini di toko jahitnya di Charing Cross, dengan memasang kaca besar di bagian depan tokonya. Meski sempat menuai kritik, ia membela diri dalam memoarnya dengan menyatakan bahwa ia:
- "menjual lebih banyak barang dari jendela toko… daripada cukup untuk membayar upah pekerja dan biaya rumah tangga."[27]
Para peritel merancang tampilan toko yang menarik untuk menarik pelanggan, menggunakan pencahayaan terang, iklan, dan penataan barang yang memikat. Barang-barang yang dijual terus berubah mengikuti arus mode yang dinamis. Seorang pengunjung asing menggambarkan London sebagai "dunia emas dan perak, mutiara dan permata berkilau, hasil kerajinan rumahan dengan cita rasa halus, lautan cincin, jam tangan, rantai, gelang, parfum, busana siap pakai, pita, renda, topi, serta buah-buahan dari segala penjuru dunia yang dapat dihuni."[22]

Evolusi Toko: dari Arkade hingga Toserba
[sunting | sunting sumber]Pada paruh kedua abad ke-19, dunia perdagangan mengalami transformasi besar: toko-toko yang sebelumnya bersifat "tunggal" (hanya menjual satu jenis barang) perlahan berubah menjadi toserba yang menawarkan beragam komoditas di bawah satu atap. Pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh Revolusi Industri pada pergantian abad ke-19 melahirkan kelas menengah borjuis yang semakin makmur dan berpengaruh. Kelompok masyarakat urban ini menjadi katalis bagi lahirnya revolusi ritel pada masa tersebut.
Istilah "department store" atau toserba sendiri berakar dari Amerika Serikat. Di Inggris abad ke-19, konsep serupa dikenal dengan sebutan emporia atau warehouse shops.[28] Sejumlah toserba besar mulai berdiri di Amerika, Inggris, dan Eropa sejak pertengahan abad ke-19, di antaranya Harrod’s di London (1834); Kendall’s di Manchester (1836); Selfridges di London (1909); Macy’s di New York (1858); Bloomingdale’s (1861); Sak’s (1867); J.C. Penney (1902); Le Bon Marché di Prancis (1852); dan Galeries Lafayette di Prancis (1905).
Toserba pertama yang tercatat secara pasti berdiri adalah Harding, Howell & Co, yang dibuka pada tahun 1796 di Pall Mall, London.[29] Usaha ini digambarkan sebagai tempat ritel publik yang menyediakan aneka barang konsumsi di berbagai departemen. Toko perintis ini akhirnya tutup pada tahun 1820 setelah kemitraan bisnis mereka dibubarkan. Toserba dalam skala besar mulai bermunculan pada dekade 1840–1850-an di Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat. Salah satu contoh toserba yang bertahan hingga kini adalah Le Bon Marché di Prancis. Awalnya didirikan pada tahun 1838 sebagai toko renda dan alat jahit, kemudian direvitalisasi pada pertengahan abad dan dibuka kembali sebagai toserba pada tahun 1852.[30]
Banyak toserba awal yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat berbelanja, tetapi juga sebagai ruang rekreasi dan hiburan bagi para pengunjungnya. Beberapa menyediakan ruang baca, galeri seni, hingga konser musik. Hampir semua toserba memiliki ruang minum teh atau ruang makan, dan bahkan menawarkan layanan perawatan seperti manikur bagi kaum perempuan. Pertunjukan busana — yang muncul di Amerika Serikat sekitar tahun 1907, menjadi acara khas yang digelar secara rutin, sementara kehadiran selebritas sering dimanfaatkan untuk menarik perhatian publik. Tak jarang, mereka juga mengadakan acara bertema yang menampilkan produk dari negeri-negeri jauh, memperkenalkan pelanggan pada pesona eksotika Timur dan Timur Tengah.[31]
Tempat-tempat berbelanja
[sunting | sunting sumber]Pusat-Pusat Perbelanjaan
[sunting | sunting sumber]Di banyak kota besar terdapat kawasan komersial yang luas, secara formal disebut sebagai central business district (CBD), atau lebih umum dikenal sebagai "downtown" di Amerika Serikat, "high street" di Inggris, dan souk di wilayah berbahasa Arab.
Pusat perbelanjaan, atau shopping center, merupakan kumpulan toko-toko yang berlokasi dalam satu area geografis yang padat. Tempat ini biasanya terdiri atas deretan toko ritel, hiburan, dan jasa yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Contoh yang umum meliputi mal, alun-alun kota, pasar loak, dan bazar.
Secara tradisional, pusat perbelanjaan dikenal sebagai bazaar atau marketplace — deretan kios atau lapak di sepanjang jalan yang menjual beragam barang dagangan.[32]
Pusat perbelanjaan modern kini berbeda jauh dari pendahulunya. Toko-toko tidak lagi berupa kios terpisah, melainkan terhimpun dalam bangunan-bangunan besar, di Amerika Serikat dan berbagai wilayah dunia lazim disebut sebagai Mall.[33]
Mal modern pertama di Amerika Serikat adalah Country Club Plaza di Kansas City yang dibuka pada tahun 1922. Selanjutnya, mal tertutup pertama dirancang oleh Victor Gruen dan dibuka pada tahun 1956 sebagai Southdale Centre di Edina, Minnesota, sebuah daerah pinggiran kota Minneapolis.
Puncak kejayaan mal di Amerika terjadi pada dekade 1980–1990-an, ketika banyak mal besar (berukuran lebih dari 37.000 m²) dibangun dan menarik pengunjung dari radius hingga 32 km, terutama karena kehadiran toserba-toserba mewah di dalamnya.[34]
Berbagai jenis mal dapat ditemukan di seluruh dunia. Superregional mall adalah mal berukuran sangat besar yang memiliki sedikitnya lima toserba utama dan sekitar 300 toko. Jenis ini mampu menarik pengunjung dari wilayah yang sangat luas — hingga radius 160 km. Sementara itu, regional mall umumnya memiliki sedikitnya dua toserba atau "toko jangkar".[35] Salah satu mal terbesar di dunia adalah "Sawgrass Mills Mall" di dekat Miami, dengan luas area ritel 2.370.610 kaki persegi (220.237 m²), berisi lebih dari 329 toko dan outlet merek ternama.
Mal-mal berukuran lebih kecil sering disebut sebagai open-air strip centres atau mini-mart, dan biasanya terhubung langsung dengan toko grosir atau supermarket.
Mal yang lebih kecil ini umumnya tidak memiliki fasilitas seperti koridor dalam ruangan layaknya mal besar. Namun, banyak di antaranya yang kini mulai berevolusi menjadi tertutup untuk menyesuaikan diri dengan kondisi cuaca dan preferensi pengunjung.[34]
Toko
[sunting | sunting sumber]
Toko dapat dibedakan menjadi berbagai kategori, masing-masing menjual jenis barang atau jasa tertentu. Biasanya, pengelompokan ini didasarkan pada segmen demografis dan tingkat pendapatan yang dapat dibelanjakan dari para pembelinya. Dengan demikian, toko-toko dapat diklasifikasikan mulai dari yang berharga murah hingga yang berkelas mewah.
Sebagian toko menjual barang-barang bekas pakai. Dalam banyak kasus, masyarakat juga dapat menjual barang mereka ke toko-toko semacam ini. Pada toko yang dikelola oleh organisasi nirlaba, masyarakat biasanya menyumbangkan barang-barang yang kemudian dijual kembali, di Amerika Serikat dikenal sebagai thrift store, di Inggris disebut charity shop, dan di Australia serta Selandia Baru dikenal sebagai op shop. Di give-away shop, barang-barang dapat diambil secara cuma-cuma. Sementara itu, toko antik menawarkan benda-benda lama yang langka dan bernilai sejarah. Ada pula pegadaian, tempat seseorang yang kekurangan dana dapat meminjam uang dengan menjaminkan barang berharga sebagai jaminan. Di lingkungan kampus, mahasiswa sering menjual kembali buku mereka melalui toko buku universitas. Barang-barang lama dan kelebihan stok kerap didistribusikan melalui surplus store.
Beragam jenis toko ritel yang menjual barang sesuai tema tertentu mencakup toko buku, butik, toko permen, toko minuman keras, toko suvenir, toko perkakas, toko hobi, toko hewan peliharaan, apotek, toko perlengkapan dewasa, dan supermarket.
Jenis toko lainnya seperti big-box store, hypermarket, convenience store, toserba, toko umum, serta dollar store menawarkan beragam produk yang tidak saling berhubungan secara horizontal.
Belanja dari rumah
[sunting | sunting sumber]Sistem pengantaran melalui pos dan teknologi modern, seperti televisi, telepon, serta Internet, telah memungkinkan konsumen untuk berbelanja dari rumah, terutama melalui sistem perdagangan elektronik. Terdapat tiga bentuk utama belanja dari rumah: pemesanan melalui surat atau telepon berdasarkan katalog; pemesanan melalui telepon setelah melihat iklan di media cetak atau elektronik (misalnya majalah, televisi, atau radio); serta belanja daring.
Belanja daring telah sepenuhnya mengubah cara masyarakat mengambil keputusan dalam berbelanja. Internet memberikan akses terhadap informasi yang luas mengenai suatu produk, yang dapat ditinjau, dibandingkan, dan dievaluasi kapan saja. Dengan berbelanja secara daring, pembeli menghemat waktu dan biaya yang sebelumnya diperlukan untuk pergi ke toko atau mal. Menurut perusahaan riset Forrester, pembelian melalui perangkat seluler (m-commerce) akan menyumbang 49% dari total penjualan e-commerce, setara dengan 252 miliar dolar AS, pada tahun 2020.[36]
Belanja di Lingkungan Sekitar
[sunting | sunting sumber]Toko kelontong atau convenience store banyak dijumpai di Amerika Utara; di komunitas berbahasa Spanyol dikenal sebagai "bodega", sedangkan di wilayah berbahasa Prancis disebut "dépanneur". Kadang kala, pedagang keliling atau mobil es krim berkeliling menjajakan barang dan layanan. Bentuk jual-beli barang bekas lainnya yang populer di kawasan perumahan adalah garage sale.
Area dan toko-toko lingkungan memiliki nilai sosial penting bagi komunitasnya: selain menyediakan kebutuhan sehari-hari, mereka juga berfungsi sebagai ruang sosial dan tempat interaksi masyarakat, mirip dengan fungsi sebuah perpustakaan. Ritel lingkungan berbeda dari ritel tujuan (destination retail) dalam hal jenis barang dan jasa yang ditawarkan, lokasi, serta tingkat popularitasnya.[37]
Contoh toko di lingkungan sekitar mencakup toko bahan makanan, toko susu, apotek, penatu, salon atau tukang cukur, toko minuman, kedai kopi, dan toko makanan siap saji. Sementara itu, ritel tujuan biasanya mencakup toko suvenir, toko antik, tempat perawatan hewan, toko ukir, studio tato, toko sepeda, klinik herbal, galeri seni, toko perlengkapan kantor, dan jasa bingkai seni.
Toko-toko lingkungan menjual kebutuhan pokok bagi masyarakat di sekitarnya. Dalam satu kota dapat terdapat banyak kelompok ritel lingkungan di berbagai wilayah, sementara ritel tujuan umumnya berada di pusat perbelanjaan besar yang menarik pengunjung dalam jumlah lebih banyak. Saat ini, jenis ritel tujuan semakin berkembang karena tidak hanya menawarkan kebutuhan dasar, tetapi juga pengalaman berbelanja yang lebih kaya dan beragam.
Belanja dalam Acara (Party Shopping)
[sunting | sunting sumber]party plan adalah metode pemasaran produk yang dilakukan melalui acara sosial. Dalam metode ini, tuan rumah menyelenggarakan pertemuan atau pesta kecil untuk memamerkan dan mendemonstrasikan produk kepada para tamu, kemudian menerima pesanan sebelum acara berakhir. Cara ini memadukan interaksi sosial dengan kegiatan berbelanja, menciptakan pengalaman yang bersifat personal dan meyakinkan.
Aktivitas Berbelanja
[sunting | sunting sumber]Musim-musim belanja
[sunting | sunting sumber]Periode shopping frenzy atau "demam belanja" adalah masa-masa ketika tingkat konsumsi meningkat tajam, terutama menjelang hari-hari raya di Amerika Serikat. Di antara semuanya, musim belanja Natal merupakan yang terbesar, dimulai sejak Oktober dan berlangsung hingga setelah perayaan Natal.
Sebagian kelompok agama menganggap musim belanja semacam ini bertentangan dengan ajaran mereka dan menolak praktiknya. Banyak pihak juga mengkritik komersialisasi berlebihan selama musim tersebut, sementara sebagian toko merespons dengan menurunkan intensitas promosi, situasi yang sering disebut sebagai bagian dari kontroversi Natal.
National Retail Federation (NRF) menyoroti bahwa selain musim liburan, periode belanja "back-to-school" juga sangat penting bagi peritel, yaitu saat orang tua membeli pakaian dan perlengkapan sekolah untuk anak-anak mereka.[38] Pada tahun 2017, masyarakat Amerika menghabiskan lebih dari 83 miliar dolar AS untuk belanja musim kembali ke sekolah dan perguruan tinggi, menurut survei tahunan NRF.[39]
Belanja musiman juga mencakup pembelian pakaian yang sesuai dengan musim tertentu. Pada musim dingin, orang mengenakan pakaian tebal untuk menghangatkan diri, sedangkan di musim panas, mereka memilih busana ringan agar tetap sejuk. Kini, belanja musiman lebih banyak dipengaruhi oleh periode liburan dan diskon besar-besaran, ketika toko-toko perlu menghabiskan stok pakaian musim sebelumnya untuk memberi ruang bagi tren baru.[40]
Diskon akhir musim biasanya berlangsung selama beberapa minggu, dengan potongan harga yang meningkat menjelang akhir periode penjualan. Selama masa ini, harga barang dapat turun antara 10% hingga 50%, dan penurunan terbesar terjadi di penghujung musim.
Musim belanja liburan kini semakin panjang, dengan acara seperti Black Friday yang telah berkembang menjadi rangkaian promosi sepanjang bulan November. Saat ini, aktivitas belanja tidak lagi berhenti ketika mal tutup; Internet dan aplikasi daring membuat toko-toko dan diskon dapat diakses kapan saja.[41]
Kini, banyak pembeli menelusuri berbagai sumber informasi daring untuk menemukan harga terbaik sebelum melakukan pembelian. Jika dahulu rata-rata konsumen hanya menggunakan sekitar lima sumber informasi sebelum membeli, pada tahun 2014 jumlah itu meningkat hingga dua belas sumber.[42]
Riset juga menunjukkan bahwa sepertiga dari seluruh pencarian belanja di Google dilakukan antara pukul 22.00 malam hingga 04.00 dini hari, menandakan bahwa "belanja tidak pernah tidur" di era digital ini.[43]
Belanja secara berlebihan (spree shopping)
[sunting | sunting sumber]Spree shopping atau "pergi berbelanja sepuasnya" adalah periode singkat di mana seseorang melakukan aktivitas belanja secara intens dan penuh kesenangan, biasanya dengan membeli banyak barang sekaligus. Bentuk belanja ini berbeda dari belanja biasa maupun belanja kompulsif, baik dari segi tujuan maupun ruang lingkupnya.[44]
Sebuah studi melaporkan bahwa pusat kesenangan di otak manusia teraktivasi selama sesi belanja berlebihan dengan cara yang mirip dengan rangsangan yang dialami saat aktivitas seksual.[45] Namun, perilaku ini dapat menjadi masalah bagi individu yang mengalami pelepasan ketegangan sesaat, tetapi kemudian diikuti oleh rasa bersalah, sedih, marah, atau putus asa setelah menyadari bahwa mereka telah membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.[46]
Penetapan Harga dan Negosiasi
[sunting | sunting sumber]
Secara historis, harga barang ditentukan melalui sistem barter atau negosiasi langsung. Peritel pertama yang menerapkan harga tetap diyakini adalah para pedagang di kompleks Palais-Royal pada abad ke-18. Mereka menggunakan sistem harga tinggi yang stabil untuk menanamkan citra kemewahan. Bagi kalangan bangsawan, harga tetap dianggap mempermudah transaksi tanpa harus melalui proses tawar-menawar yang melelahkan.[47]
Teknik penetapan harga yang paling umum digunakan peritel adalah cost-plus pricing, yaitu menambahkan markup berupa jumlah atau persentase tertentu di atas biaya perolehan barang. Teknik lain yang sering digunakan adalah harga eceran yang disarankan produsen, di mana toko menjual sesuai harga yang tertera pada produk oleh produsen.
Dalam praktik ritel, metode penetapan harga psikologis atau harga ganjil juga sangat populer. Strategi ini dirancang untuk memengaruhi persepsi psikologis pembeli. Misalnya, label harga yang diakhiri dengan angka "9" (seperti 9,99; 19,99; atau 199,99) memberi kesan harga yang lebih murah dan menempatkan produk di bawah ambang psikologis tertentu dari konsumen.[48] Namun, dalam budaya Tionghoa, harga biasanya dibulatkan atau disesuaikan dengan angka yang dianggap membawa keberuntungan, menciptakan titik harga tersendiri.
Dalam sistem harga tetap, konsumen terkadang masih melakukan tawar-menawar atau negosiasi mengenai harga. Secara ekonomi, hal ini dipandang sebagai proses pembagian keuntungan ekonomi antara penjual dan pembeli. Kedua pihak tidak memiliki keunggulan mutlak karena selalu ada kemungkinan transaksi batal, yang berarti surplus hilang bagi keduanya.
Ketika berbelanja daring, negosiasi harga menjadi lebih sulit karena tidak adanya interaksi langsung dengan penjual. Sebagai gantinya, banyak konsumen kini memanfaatkan layanan perbandingan harga untuk menemukan penawaran terbaik dan menentukan tempat membeli agar dapat menghemat pengeluaran.
Belanja etalase (window shopping)
[sunting | sunting sumber]
Window shopping atau belanja etalase adalah istilah yang mengacu pada kegiatan melihat-lihat barang di toko oleh konsumen, baik dengan maupun tanpa niat untuk membeli. Aktivitas ini sering dilakukan oleh kelompok konsumen tertentu yang dikenal sebagai recreation-conscious atau hedonistic shopper, yaitu mereka yang menganggap belanja sebagai bentuk hiburan atau kegiatan rekreasi.[49]
Sebagian konsumen lainnya melakukan window shopping sebagai bagian dari perencanaan pembelian di masa mendatang, untuk membandingkan produk, harga, atau mencari inspirasi sebelum melakukan transaksi sesungguhnya.
Fenomena terkait yang semakin umum adalah showrooming, yaitu kebiasaan konsumen melihat dan menilai barang di toko fisik tanpa membelinya di sana, kemudian membeli barang yang sama secara daring dengan harga lebih murah. Praktik ini menjadi tantangan besar bagi peritel tradisional, sehingga beberapa toko mulai menerapkan kebijakan khusus untuk mengatasinya.[50]
Bersepeda untuk belanja (utility cycling)
[sunting | sunting sumber]Di beberapa negara seperti Denmark, Belanda, dan Jerman, tingkat penggunaan sepeda untuk keperluan sehari-hari sangat tinggi, termasuk untuk perjalanan berbelanja. Di Jerman, sekitar 9% dari seluruh perjalanan belanja dilakukan dengan menggunakan sepeda.[51]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ↑ A. Mishra, Anubhav. "Consumer innovativeness and consumer decision styles: a confirmatory and segmentation analysis". The International Review of Retail, Distribution and Consumer Research (dalam bahasa Inggris). 25 (1): 35–54. doi:10.1080/09593969.2014.911199. ISSN 0959-3969.
- 1 2 Jones, C. dan Spang, R., "Sans Culottes, Sans Café, Sans Tabac: Shifting Realms of Luxury and Necessity in Eighteenth-Century France," Bab 2 dalam Consumers and Luxury: Consumer Culture in Europe, 1650–1850 Berg, M. dan Clifford, H., Manchester University Press, 1999; Berg, M., "New Commodities, Luxuries and Their Consumers in Nineteenth-Century England," Bab 3 dalam Consumers and Luxury: Consumer Culture in Europe, 1650–1850 Berg, M. dan Clifford, H., Manchester University Press, 1999
- ↑ Dennis, D., "Retail's Single Biggest Disruptor," Forbes, 12 Juni 2017; Daring: https://www.forbes.com/sites/stevendennis/2017/06/12/retails-single-biggest-disruptor-spoiler-alert-its-not-e-commerce/#af35a92227b6; IbisWorld, "E-commerce Disruptors," 23 Februari 2015; Daring: https://www.ibisworld.com/media/2015/02/23/ecommercedistruptors; "Disruptor of the Year 2016: Amazon," Campaign Live, 15 Desember 2015, https://www.campaignlive.com/article/disruptor-year-2016-amazon/1418737; Nielsen, "What's in-Store for Online Grocery Shopping," [Laporan], Januari 2017, Daring: http://www.nielsen.com/content/dam/nielsenglobal/de/docs/Nielsen%20Global%20Connected%20Commerce%20Report%20January%202017.pdf
- ↑ Arnold, Mark J.; Kristy E. Reynolds; Nicole Ponderc; Jason E. Lueg (Agustus 2005). "Customer delight in a retail context: investigating delightful and terrible shopping experiences". Journal of Business Research. 58 (8): 1132–1145. doi:10.1016/j.jbusres.2004.01.006.
- ↑ Engen, Darel. "The Economy of Ancient Greece". EH.Net Encyclopedia, diedit oleh Robert Whaples, 31 Juli 2004. URL http://eh.net/encyclopedia/the-economy-of-ancient-greece/
- 1 2 Coleman, P., Shopping Environments, Elsevier, Oxford, 2006, hlm. 28
- ↑ Bintliff, J., "Going to Market in Antiquity," dalam Stuttgarter Kolloquium zur Historischen Geographie des Altertums, disunting oleh Eckart Olshausen dan Holger Sonnabend, Stuttgart, Franz Steiner, 2002, hlm. 229
- ↑ "Roman shopping list deciphered". Australian Broadcasting Corporation. 2001-03-05. Diarsipkan dari asli tanggal 2008-03-03. Diakses tanggal 2007-09-23.
- ↑ Schofield, J. dan Vince, A.G., Medieval Towns: The Archaeology of British Towns in Their European Setting, A&C Black, 2003, hlm. 151
- ↑ Dye, C., Everyday Life in Medieval England, A & C Black, 2001, hlm. 257
- ↑ Jane Whittle, Elizabeth Griffiths, Consumption and Gender in the Early Seventeenth-Century Household: The World of Alice Le Strange, Oxford University Press, 2012, hlm. 9–11
- ↑ Thrupp, S.L., The Merchant Class of Medieval London, 1300–1500, hlm. 7–8
- ↑ Jones, P.T.A., "Redressing Reform Narratives: Victorian London's Street Markets and the Informal Supply Lines of Urban Modernity," The London Journal, Vol. 41, No. 1, 2006, hlm. 64–65
- ↑ Knight, C., London, Vol. 5, 1841, Knight & Co, London, hlm. 132
- ↑ Cox, N.C. dan Dannehl, K., Perceptions of Retailing in Early Modern England, Aldershot, Hampshire, Ashgate, 2007, hlm. 155
- ↑ Cox, N., "'Beggary of the Nation': Moral, Economic and Political Attitudes to the Retail Sector in the Early Modern Period", dalam: John Benson dan Laura Ugolini, A Nation of Shopkeepers: Five Centuries of British Retailing, London, I.B. Taurus, 2003, hlm. 25–51
- ↑ Braudel, F. dan Reynold, S., The Wheels of Commerce: Civilization and Capitalism, 15th to 18th Century, Berkeley, CA, University of California Press, 1992
- ↑ Cox, N.C. dan Dannehl, K., Perceptions of Retailing in Early Modern England, Aldershot, Hampshire, Ashgate, 2007, hlm. 129
- ↑ Peck, Linda, "Consuming Splendor: Society and Culture in Seventeenth-Century England", Cambridge Press, 2005; Gunor, B., "A Research Regarding the Importance of Bernard Mandeville's Article: The Fable of Bees," Journal of Art and Language, Vol. 5, hlm. 521–536, 10.7816/idil-05-22-01
- ↑ "Coming to live in a consumer society" (PDF). Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2013-08-10.
- ↑ McKendrick, N., Brewer, J. dan Plumb, J.H., The Birth of a Consumer Society: The Commercialization of Eighteenth Century England, London, 1982.
- 1 2 "Material Culture: Getting and Spending". British Library.
- ↑ Lemoine, B., Les Passages Couverts, Paris: Délégation à l'action artistique de la ville de Paris [AAVP], 1990. ISBN 9782905118219.
- ↑ Byrne-Paquet, L., The Urge to Splurge: A Social History of Shopping, ECW Press, Toronto, Kanada, hlm. 90–93
- ↑ Woodward, R.B., "Making a Pilgrimage to Cathedrals of Commerce", New York Times, 11 Maret 2007
- ↑ Mitchell, I., Tradition and Innovation in English Retailing, 1700 to 1850, Routledge, Oxon, hlm. 140
- ↑ Patrick Robertson (2011). Robertson's Book of Firsts: Who Did What for the First Time. Bloomsbury Publishing. ISBN 9781608197385. Diakses tanggal 2013-02-07.
- ↑ Koot, G.M., "Shops and Shopping in Britain: from market stalls to chain stores", University of Dartmouth, 2011.
- ↑ "Regency Shopping".
- ↑ Jacques Marseille, "Naissance des grands magasins: Le Bon Marché", Ministry of Culture of France (dalam bahasa Prancis).
- ↑ Howard Moss, M., Shopping as an Entertainment Experience, Plymouth, Lexington Books, hlm. 35–39.
- ↑ "the definition of bazaar". Dictionary.com. Diakses tanggal 2016-03-30.
- ↑ "shopping center Facts, information, pictures | Encyclopedia.com articles about shopping center". www.encyclopedia.com. Diakses tanggal 2016-03-30.
- 1 2 "shopping center Facts, information, pictures | Encyclopedia.com articles about shopping center". www.encyclopedia.com. Diakses tanggal 2016-03-30.
- ↑ "anchor store". TheFreeDictionary.com. Diakses tanggal 2016-03-30.
- ↑ "Forrester Research Web-Influenced Retail Sales Forecast, 2015 To 2020 (US)". www.forrester.com. Diakses tanggal 2016-11-29.
- ↑ Allan, Dr Abigail (2009). "Successful neighbourhood shopping centres" (PDF). Opus Central Laboratories.
- ↑ Kavilanz, Parija B. (2007-08-09). "Back-to-school sales' mixed grades". CNNMoney.com. CNN. Diakses tanggal 2008-01-27.
- ↑ "Back-to-School Headquarters". National Retail Federation (dalam bahasa Inggris). 2014-07-15. Diakses tanggal 2018-01-18.
- ↑ "Shopping for Clothes in the Off-Season - Financial Web". www.finweb.com. Diakses tanggal 2016-03-31.
- ↑ "2014 Holiday Shopper Research: Shopping Never Sleeps". Think with Google. Diarsipkan dari asli tanggal 2016-04-01. Diakses tanggal 2016-03-31.
- ↑ "Holiday Is (Almost) Here: 5 Shopping Trends Marketers Should Watch in 2014". Think with Google. Diarsipkan dari asli tanggal 2016-04-02. Diakses tanggal 2016-03-31.
- ↑ "2014 Holiday Shopper Research: Shopping Never Sleeps". Think with Google. Diarsipkan dari asli tanggal 2016-04-01. Diakses tanggal 2016-03-31.
- ↑ Nina Savelle-Rocklin and Salman Akhtar, Beyond the Primal Addiction: Food, Sex, Gambling, Internet, Shopping, and Work (2019), hlm. 129.
- ↑ Schiavocampo, Mara; Pou, Jackie; Valiente, Alexa (April 13, 2015). "This Is What Your Brain Looks Like on a Shopping Spree". ABC News.
- ↑ Arthur Neal dan Helen Youngelson Neal, Core Values in American Life: Living with Contradictions (Routledge, 2017), hlm. 93.
- ↑ Byrne-Paquet, L., The Urge to Splurge: A Social History of Shopping, ECW Press, Toronto, Kanada, hlm. 90–93.
- ↑ Poundstone, W., Priceless: The Myth of Fair Value (and How to Take Advantage of It), New York, Hill and Wang, 2011, hlm. 184–200.
- ↑ Sproles, G. B., & Kendall, E. L., "A methodology for profiling consumers' decision-marking styles," Journal of Consumer Affairs, Vol. 20, No. 2, 1986, hlm. 267–79.
- ↑ Bhasin, Kim (2013-03-25). "Store Charges Customers $5 'Just Looking' Fee To Combat Showrooming". Business Insider. Diakses tanggal 2014-08-10.
- ↑ Shopping by bike, BUND Freunde der Erde, Landesverband Berlin e.V. (diakses 28 Oktober 2007)
Bacaan lanjutan
[sunting | sunting sumber]- Jan Hein Furnee and Clé Lesger, The Landscape of Consumption: Shopping Streets and Cultures in Western Europe, 1600–1900, Springer, 2014.
- Pamela Klaffke (2003). Spree: A Cultural History of Shopping. arsenal pulp press. ISBN 978-1-55152-143-5. OCLC 1036881488.