Penyakit bawaan udara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Poster dalam fasilitas layanan kesehatan yang menjabarkan tindakan pencegahan untuk penyakit yang ditularkan melalui udara. Poster ini dimaksudkan untuk dipasang di luar ruangan pasien yang menderita penyakit menular yang dapat menyebar melalui udara.[1]

Penyakit bawaan udara (Inggris: airborne disease) adalah semua penyakit yang disebabkan oleh patogen yang dapat ditularkan melalui udara oleh partikel kecil dalam waktu dan jarak tertentu.[2] Penyakit-penyakit semacam ini bersifat penting baik dalam kedokteran manusia maupun kedokteran hewan. Patogen yang ditularkan melalui udara dapat berupa virus, bakteri, atau jamur, dan dapat menyebar melalui bernapas, bicara, batuk, bersin, terangkatnya debu, penyemprotan cairan, penyiraman toilet, atau kegiatan apa pun yang menghasilkan partikel aerosol atau percikan. Penyakit bawaan udara tidak termasuk kondisi yang disebabkan oleh polusi udara seperti senyawa organik mudah menguap, gas, dan partikel udara.

Gambaran umum[sunting | sunting sumber]

Penyakit bawaan udara termasuk semua penyakit yang disebabkan oleh transmisi melalui udara. Banyak penyakit jenis ini yang sifatnya sangat penting secara medis. Patogen yang ditransmisikan dapat berupa segala jenis mikrob, dan mereka dapat menyebar dalam aerosol, debu, atau cairan. Aerosol dapat dihasilkan dari sumber infeksi seperti sekresi tubuh hewan atau orang yang terinfeksi, atau limbah biologis seperti tinja yang menumpuk di loteng, gua, tempat sampah, dan sejenisnya. Aerosol yang terinfeksi seperti itu dapat tetap bertahan di arus udara cukup lama untuk melakukan perjalanan dengan jarak yang cukup jauh; bersin, misalnya, dapat dengan mudah memproyeksikan percikan infeksius sepanjang bus.[3]

Patogen atau alergen yang ditularkan melalui udara sering menyebabkan peradangan di hidung, tenggorokan, sinus, dan paru-paru. Hal ini disebabkan oleh inhalasi patogen tersebut yang memengaruhi sistem pernapasan seseorang atau bahkan seluruh tubuh. Kongesti (kemacetan) sinus, batuk, dan sakit tenggorokan adalah contoh dari peradangan pada saluran pernapasan bagian atas akibat agen-agen yang mengudara ini. Polusi udara memainkan peran penting dalam penyakit di udara yang dikatikan dengan asma. Polutan dikatakan memengaruhi fungsi paru-paru dengan meningkatkan peradangan jalan udara.[4]

Banyak infeksi umum yang dapat menyebar melalui udara, setidaknya dalam beberapa kasus, yang termasuk tetapi tidak terbatas pada virus campak, virus cacar air;[5] Mycobacterium tuberculosis, virus influenza, Enterovirus, Norovirus, dan pada kasus yang kurang umum koronavirus, adenovirus, dan kemungkinan ortopneumovirus manusia.[6] Penyakit bawaan udara juga dapat memengaruhi organisme selain manusia. Misalnya, penyakit Newcastle adalah penyakit unggas yang menyerang banyak jenis unggas domestik di seluruh dunia yang ditularkan melalui kontaminasi udara.[7]

Rute penularan[sunting | sunting sumber]

Infeksi yang ditularkan melalui udara biasanya terjadi melalui rute pernapasan, dengan agen infeksi terdapat dalam aerosol (partikel infeksi dengan diameter <5 μm).[8] Dalam hal ini termasuk partikel kering, sering kali merupakan sisa dari partikel basah yang menguap yang disebut nuklei, dan partikel basah. Jenis infeksi ini biasanya memerlukan ventilasi independen selama perawatan, misalnya tuberkulosis.

Penularan[sunting | sunting sumber]

Faktor lingkungan memengaruhi keberhasilan penularan penyakit melalui udara; kondisi lingkungan yang paling nyata adalah suhu dan kelembaban relatif. Jumlah semua faktor yang mempengaruhi suhu dan kelembaban, baik meteorologis (luar ruangan) maupun manusia (dalam ruangan), serta keadaan lain yang memengaruhi penyebaran tetesan yang mengandung partikel infeksius, seperti angin, atau perilaku manusia, berpengaruh terhadap penularan penyakit bawan udara.

Iklim menentukan suhu, angin, dan kelembaban relatif, faktor-faktor utama yang mempengaruhi penyebaran, durasi, dan infeksi dari tetesan-tetesan yang mengandung partikel infeksius. Virus influenza menyebar dengan mudah pada musim dingin di Belahan Bumi Utara karena kondisi iklim yang mendukung penularan virus.[butuh rujukan]

  • Setelah peristiwa cuaca terbatas, konsentrasi spora jamur di udara berkurang; beberapa hari kemudian, ditemukan peningkatan eksponensial jumlah spora dibandingkan dengan kondisi normal.[14]
  • Sosial ekonomi memiliki peran kecil dalam penularan penyakit melalui udara. Di kota-kota, penyebaran penyakit bawaan udara lebih cepat dibandingkan di daerah pedesaan dan pinggiran kota. Di daerah pedesaan umumnya lebih banyak terjadi penyebaran jamur di udara.[15]
  • Kedekatan jarak dengan genangan air besar seperti sungai dan danau dapat menjadi penyebab beberapa wabah penyakit yang ditularkan melalui udara.[13]
  • Buruknya pemeliharaan sistem pendingin udara telah menyebabkan berjangkitnya Legionella pneumophila.[16]
  • Penyakit bawaan udara yang didapatkan di rumah sakit diasosiasikan dengan sistem medis dengan sumber daya yang buruk, yang membuat isolasi sulit dilakukan.[butuh rujukan]

Pencegahan[sunting | sunting sumber]

Beberapa cara untuk mencegah penyakit bawaan udara termasuk imunisasi khusus penyakit, memakai respirator, dan membatasi waktu yang dihabiskan di hadapan setiap pasien yang mungkin menjadi sumber infeksi.[17] Paparan terhadap pasien atau hewan dengan penyakit bawaan udara tidak menjamin tertularnya penyakit, karena infeksi tergantung pada kemampuan sistem kekebalan tubuh inang ditambah jumlah partikel infeksi yang terhirup atau tertelan.[17]

Antibiotik dapat digunakan untuk menangani infeksi primer bakteri yang ditularkan melalui udara, seperti wabah pes pneumonik.[18]

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) memberi nasihat kepada masyarakat tentang vaksinasi dan mengikuti protokol kebersihan dan sanitasi yang cermat untuk mencegah penyakit bawaan udara.[19] Banyak ahli kesehatan masyarakat merekomendasikan pembatasan jarak fisik (juga dikenal sebagai pembatasan sosial) untuk mengurangi penularan infeksi melalui udara.[20]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Transmission-Based Precautions". U.S. Centers for Disease Control and Prevention (dalam bahasa Inggris). 2016-01-07. Diakses tanggal 2020-03-31. 
  2. ^ Siegel JD, Rhinehart E, Jackson M, Chiarello L, Healthcare Infection Control Practices Advisory Committee. "2007 Guideline for Isolation Precautions: Preventing Transmission of Infectious Agents in Healthcare Settings" (PDF). CDC. hlm. 19. Diakses tanggal 2019-02-07. Airborne transmission occurs by dissemination of either airborne droplet nuclei or small particles in the respirable size range containing infectious agents that remain infective over time and distance 
  3. ^ https://www.chicagotribune.com/opinion/ct-xpm-2014-04-19-ct-sneeze-germs-edit-20140419-story.html
  4. ^ "Airborne diseases". Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 June 2012. Diakses tanggal 21 May 2013. 
  5. ^ "FAQ: Methods of Disease Transmission". Mount Sinai Hospital (Toronto). Diakses tanggal 2020-03-31. 
  6. ^ La Rosa, Giuseppina; Fratini, Marta; Della Libera, Simonetta; Iaconelli, Marcello; Muscillo, Michele (2013-06-01). "Viral infections acquired indoors through airborne, droplet or contact transmission". Annali dell'Istituto Superiore di Sanità. 49 (02): 124–132. doi:10.4415/ANN_13_02_03. ISSN 0021-2571. 
  7. ^ Mitchell, Bailey W.; King, Daniel J. (October–December 1994). "Effect of Negative Air Ionization on Airborne Transmission of Newcastle Disease Virus". Avian Diseases. 38 (4): 725–732. doi:10.2307/1592107. JSTOR 1592107. 
  8. ^ "Prevention of hospital-acquired infections" (PDF). World Health Organization (WHO). 
  9. ^ Pica N, Bouvier NM (2012). "Environmental Factors Affecting the Transmission of Respiratory Viruses". Curr Opin Virol. 2 (1): 90–5. doi:10.1016/j.coviro.2011.12.003. PMC 3311988alt=Dapat diakses gratis. PMID 22440971. 
  10. ^ a b Rodríguez-Rajo FJ, Iglesias I, Jato V (2005). "Variation assessment of airborne Alternaria and Cladosporium spores at different bioclimatical conditions". Mycol Res. 109 (4): 497–507. CiteSeerX 10.1.1.487.177alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1017/s0953756204001777. PMID 15912938. 
  11. ^ Peternel R, Culig J, Hrga I (2004). "Atmospheric concentrations of Cladosporium spp. and Alternaria spp. spores in Zagreb (Croatia) and effects of some meteorological factors". Ann Agric Environ Med. 11 (2): 303–7. PMID 15627341. 
  12. ^ Sabariego S, Díaz de la Guardia C, Alba F (May 2000). "The effect of meteorological factors on the daily variation of airborne fungal spores in Granada (southern Spain)". Int J Biometeorol. 44 (1): 1–5. doi:10.1007/s004840050131. PMID 10879421. 
  13. ^ a b Hedlund C, Blomstedt Y, Schumann B (2014). "Association of climatic factors with infectious diseases in the Arctic and subarctic region – a systematic review". Glob Health Action. 7: 24161. doi:10.3402/gha.v7.24161. PMC 4079933alt=Dapat diakses gratis. PMID 24990685. 
  14. ^ Khan NN, Wilson BL (2003). "An environmental assessment of mold concentrations and potential mycotoxin exposures in the greater Southeast Texas area". J Environ Sci Health a Tox Hazard Subst Environ Eng. 38 (12): 2759–72. doi:10.1081/ESE-120025829. PMID 14672314. 
  15. ^ Tang JW (2009). "The effect of environmental parameters on the survival of airborne infectious agents". J R Soc Interface. 6 Suppl 6: S737–46. doi:10.1098/rsif.2009.0227.focus. PMC 2843949alt=Dapat diakses gratis. PMID 19773291. 
  16. ^ "Legionnaire disease". Diakses tanggal 12 April 2015. 
  17. ^ a b American Academy of Orthopaedic Surgeons (AAOS) (2011). Bloodborne and Airborne Pathogens. Jones & Barlett Publishers. hlm. 2. ISBN 9781449668273. Diakses tanggal 21 May 2013. 
  18. ^ Laura Ester Ziady; Nico Small (2006). Prevent and Control Infection: Application Made Easy. Juta and Company Ltd. hlm. 119–120. ISBN 9780702167904. Diakses tanggal 21 May 2013. 
  19. ^ "Redirect - Vaccines: VPD-VAC/VPD menu page". 2019-02-07. 
  20. ^ Glass RJ, Glass LM, Beyeler WE, Min HJ (November 2006). "Targeted social distancing design for pandemic influenza". Emerging Infect. Dis. 12 (11): 1671–81. doi:10.3201/eid1211.060255. PMC 3372334alt=Dapat diakses gratis. PMID 17283616.