Pengurusan hutan di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Deforestasi[pranala nonaktif permanen] di hutan Amazon terjadi di sepanjang akses jalan yang dibangun di kawasan hutan

Pengurusan Hutan di Indonesia adalah keseluruhan tindakan manajemen terhadap sumber daya hutan yang ada di Indonesia yang dilakukan dalam rangka mendapatkan totalitas barang-barang, manfaat-manfaat, dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan kelestariannya untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Ruang Lingkup Pengurusan Hutan[sunting | sunting sumber]

Hutan di Indonesia

Jadi dilihat dari komponen-komponen kegiatannya, maka kegiatan pengurusan hutan merupakan tindakan manajemen yang di dalamnya terdapat komponen-komponen kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan, dan pengawasan. Sasarannya adalah keseluruhan hutan sebagai suatu ekosistem berikut keseluruhan hasil, manfaat dan nilai yang dapat diperoleh secara berkelanjutan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Dalam praktik pengurusan hutan di Indonesia, istilah pengurusan hutan digunakan untuk menyatakan keseluruhan kegiatan yang terdiri atas perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, serta Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kehutanan, dan pengawasan. Keseluruhan kegiatan ini dilakukan dalamrangka mendapatkan totalitas manfaat hutan secara lestari untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Indonesia serta dapat mendukung system kehidupan di muka bumi, pada saat ini dan generasi yang akan datang, dari seluruh hutan yang ada di Indonesia.

Pengurusan Manajemen Hutan di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Manajemen hutan merupakan cabang ilmu kehutanan yang menghubungkan aspek administratif, ekonomi, hukum, dan sosial dengan aspek ilmiah dan teknis seperti silvikultur, perlindungan hutan, dan dendrologi. Manajemen hutan di Indonesia saat ini mencakup estetika, penangkapan ikan air tawar, rekreasi ruang terbuka, manajemen resapan air, satwa liar, dan hasil hutan kayu maupun non-kayu.[1] Sistem manajemen tersebut berdasarkan pada konservasi, ekonomi, maupun kombinasi keduanya. Metode manajemen meliputi ekstraksi kayu, aforestasi, reforestasi, pembangunan akses jalan ke dalam hutan, dan pencegahan kebakaran hutan.Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keberadaan hutan telah menyebabkan peralihan fungsi hutan secara ekonomi dari sumber penghasil uang dari kayu menjadi usaha pelestarian sumber daya alam, termasuk pelestarian satwa liar, hutan primer, keanekaragaman hayati, manajemen kawasan resapan air, juga rekreasi. Keberadaan keanekaragaman hayati seperti burung, mamalia, amfibi, dan satwa liar lainnya terpengaruh oleh rencana dan tipe pengelolaan hutan.[2] Permodelan sistem informasi geografis telah dikembangkan untuk melakukan inventarisasi hutan dan perencanaan manajemen.[3] Hasil permodelan dapat dipublikasikan ke masyarakat.

Tipe pengelolaan hutan di Indonesia bervariasi, yaitu tidak menyentuh suatu kawasan hutan sama sekali dan membiarkannya tumbuh secara alami, hingga pengelolaan silvikultural secara intensif dengan pemantauan secara periodik. Pengelolaan hutan akan meningkat ketika digunakan untuk mencapai kriteria ekonomi (peningkatan hasil kayu dan non-kayu) dan kriteria ekologi tertentu (pelestarian spesies, sekuestrasi karbon).[4]

Hubungan Pengurusan Kehutanan di Indonesia dengan Uni Eropa[sunting | sunting sumber]

Hubungan Indonesia dengan Uni Eropa dengan persoalan kehutanan yaitu dituangkan dalam Peraturan Kayu Uni Eropa yang di mana lebih menitik beratkan produk hutan berlaku untuk semua kayu dan produk kayu dan kerja sama menjaga kelestarian hutan di Indonesia.

Peraturan Kayu Uni Eropa atau EU Timber Regulation (EUTR)[sunting | sunting sumber]

Sejak Maret 2013, semua kayu yang diimpor ke Uni Eropa harus berasal dari sumber resmi yang dapat diverifikasi. Pembeli Uni Eropa yang menempatkan kayu atau produk kayu di pasar untuk pertama kalinya harus menunjukkan uji tuntas. Selain itu, EUTR mengharuskan pelaku usaha untuk menelusuri produk mereka pada sumber awal. Artinya bahwa apabila pemasok memasok kayu yang sah tapi tidak dapat menyediakan jaminan keabsahan yang didokumentasikan dengan baik mereka tidak akan mampu memasok ke pasar Uni Eropa.[5]

EUTR adalah bagian dari Rencana Aksi dari Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT). Selain EUTR, rencana aksi lainnya dari FLEGT adalah Voluntary Partnership Agreements (VPAs) yaitu kesepakatan perdagangan sukarela antara Uni Eropa dengan negara pengekspor kayu. Dalam hal negara menerapkan skema perizinan nasional yang mengakomodasi skema perizinan ekspor kayu nasional, semua kayu yang diekspor dari negara tersebut dipertimbangkan sah/legal. Cara lain untuk membuktikan kepatuhan dengan melalui dan sertifikasi pengelolaan hutan lestari. Untuk spesies kayu langka Anda akan memerlukan izin dari CITES. Izin CITES akan juga membuktikan kepatuhan pada FLEGT. Bagi Anda memungkinkan untuk menyediakan dokumen keabsahan asal kayu untuk setiap pengiriman kayu atau produk kayu.[6]

Penerapan hutan lestari Uni Eropa di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia adopsi pengelolaan hutan lestari merupakan kewajiban bagi pelaku usaha sektor kehutanan yang diatur pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Kerjasama Sertifikasi Kehutanan Indonesia telah disetujui menjadi anggota Badan Pemerintah Nasional untuk menyediakan jasa sertifikasi. Implementasi efektif dari SFM akan menjamin bahwa sumber daya hutan Indonesia akan terus menyediakan pelayanan ekologis, ekonomi, sosial dan kebudayaan dengan cara yang terbaik, berimbang dan berkelanjutan. Di Indonesia, semua kayu dari hutan milik negara atau hutan milik swasta wajib untuk mengadopsi verifikasi legalitas. Prosedur ini adalah untuk menjamin kayu tersebut berasal dari sumber yang sah. Dalam industri primer dan sekunder, kayu untuk bahan baku dan produk akhirnya juga harus menjalani verifikasi seperti ini. Produk kayu untuk ekspor membutuhkan Dokumen V-Legal. Informasi lebih lanjut dari dilihat di Timber Legality Assurance System (SVLK).[6]

Dengan penerapan EUTR, Uni Eropa tidak lagi menjadi pasar untuk penjualan kayu sesaat. Apabila Anda memutuskan untuk mempertahankan pangsa pasar Uni Eropa, harap diingat bahwa jaminan keabsahan kayu adalah aspek penting dalam perdagangan selain harga dan kualitas. Informasi tentang EUTR dapat dilihat pada Dokumen Panduan untuk EUTR, Sejak diperkenalkannya EUTR, masih banyak hal-hal yang belum jelas mengenai dampak dan konsekuensinya. Untuk melihat berbagai skenario dari penerapan EUTR dapat merujuk pada dokumen Dampak dari EUTR untuk Eksportir Kayu SME dari Negara Berkembang.[6]

Informasi tentang VPA dan informasi perkembangan negara Anda pada proses VPA atau FLEGT dapat dilihat pada portal FLEGT tentang Voluntary Partnership Agreements. EUTR hanya menangani permasalahan penjualan kayu ilegal tetapi tidak menyelesaikan secara langsung permasalahan deforestasi. Rujuk Pesyaratan Umum untuk informasi pengelolaan hutan lestari.[7]

produk kayu untuk bahan konstruksi di Negara Uni Eropa[sunting | sunting sumber]

Kayu atau produk kayu yang termasuk pada pekerjaan konstruksi harus ditandai dengan CE. Hal ini untuk menunjukkan bahwa produk tersebut sesuai dengan persyaratan ketahanan, stabilitas, keselamatan (dalam kebakaran), kesehatan dan lingkungan. Sejak bulan Juli 2013, produsen produk akhir kayu bahan konstruksi harus menyediakan deklarasi kinerja - Declaration of Performance (DoP). Karena tidak biasa bagi eksportir dari Indonesia untuk memasok produk akhir kayu bahan konstruksi ke Uni Eropa, persyaratan tanda CE tidak perlu diterapkan bagi Anda sebagai pemasok komponen kayu. Sebagai pemasok komponen kayu Anda harus menyediakan informasi tentang karakteristik penting produk Anda kepada pembeli.

  • Keterangan tentang karakteristik produk yang penting dapat dilihat pada Panduan tentang Peraturan Produk Konstruksi dan Implementasinya untuk perusahaan manufaktur.
  • Informasi lebih lanjut tentang Tanda CE pada produk konstruksi
  • Apabila ada pihak yang ingin memasok jenis kayu yang hampir punah atau spesies langka maka hanya akan mampu menebang dan ekspor kayu apabila kayu tersebut ada pada daftar CITES (international convention on trade in endangered species). Dalam hal ini pihak terkait harus mendapatkan izin (permit) dari CITES. Dengan izin CITES Anda secara otomatis mematuhi persyaratan Regulasi Kayu Uni Eropa dan kayu Anda dipertimbangkan diperoleh secara legal.[5]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Glossary of Forestry Terms in British Columbia" (pdf). Ministry of Forests and Range (Canada). 2008-03. Diakses tanggal 2009-04-06. 
  2. ^ * Philip Joseph Burton. 2003. Towards sustainable management of the boreal forest 1039 pages
  3. ^ Mozgeris, G. (2008) “The continuous field view of representing forest geographically: from cartographic representation towards improved management planning”. S.A.P.I.EN.S. 1 (2)
  4. ^ Classification of Forest Management Approaches: A New Conceptual Framework and Its Applicability to European Forestry Philipp S. Duncker 1, Susana M. Barreiro 2, Geerten M. Hengeveld 3, Torgny Lind 4, William L. Mason 5, Slawomir Ambrozy 6 and Heinrich Spiecker 1|http://www.ecologyandsociety.org/vol17/iss4/art51/
  5. ^ a b Senjani, Yayu Putri (2015-09-01). "MANAJEMEN LABA AKRUAL DAN RIIL SEBELUM DAN SETELAH ADOPSI WAJIB IFRS DI UNI EROPA". ETIKONOMI. 12 (1). doi:10.15408/etk.v12i1.1905. ISSN 2461-0771. 
  6. ^ a b c Dwiprabowo, Hariyatno; Suwarno, Eno (2013-08-01). "KOMPONEN DAN BOBOT DARI KRITERIA DAN INDIKATOR TATA KELOLA PERUSAHAAN KEHUTANAN". Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 10 (2): 118–133. doi:10.20886/jakk.2013.10.2.118-133. ISSN 0216-0897. 
  7. ^ "Endangered Species Threatened Convention". 2000-01-01. doi:10.4324/9781315071503. 

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Bahan bacaan terkait[sunting | sunting sumber]