Pengawasan Covid-19

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Surveilans COVID-19 merupakan pemantauan terhadap penyebaran penyakit koronavirus untuk menemukan pola perkembangan dari penyakit tersebut. Surveilans dapat berupa kegiatan pengamatan yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis berupa pengumpulan data, pengolahan, analisa data, interpretasi dan diseminasi informasi terhadap kejadian dan distribusi Covid-19 beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada masyarakat sehingga dapat dilakukan tindakan penanggulangan yang lebih efektif.[1] Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organitation (WHO) merekomendasikan supaya dilakukan pengawasan aktif dengan berfokus pada penemuan kasus-kasus baru, melakukan pengujian dan juga pelacakan kontak di semua skenario penularan.[2] Pengawasan COVID-19 ini diharapkan bisa memantau tren perkembangan epidemiologi, dan dapat mendeteksi kasus baru dengan cepat. Melalui pengawan ini, diharapkan juga bisa memberikan informasi epidemiologis untuk dapat mengukur segala risiko yang akan terjadi.[3][2]

Surveilans sindromik[sunting | sunting sumber]

surveilans sindromik dapat dilakukan berdasarkan gejala yang muncul pada setiap orang yang terpapar COVID-19. Sejak bulan Maret 2020, WHO memberikan pemahaman atau definisi terkait kasus yang perlu dicurigai, yakni:[2]

  • Kasus suspek yakni: "seorang pasien yang menderita penyakit pernafasan akut (disertai demam dan setidaknya ada satu gejala penyakit pernafasan yang muncul, seperti batuk atau sesak nafas), dan memiliki riwayat perjalanan ke atau tinggal di suatu tempat yang dilaporkan terjadi penularan penyakit COVID-19 oleh komunitas selama 14 hari sebelum timbulnya gejala " ATAU " seorang pasien yang menderita penyakit pernapasan akut dan telah melakukan kontak (close contact) dengan seorang pasien terifeksi COVID-19 atau kemungkinan dalam 14 hari terakhir sebelum timbulnya gejala " ATAU " seorang pasien menderita penyakit pernapasan akut yang parah (disertai demam dan setidaknya muncul satu gejala penyakit pernapasan, seperti batuk, sesak napas; dan harus dirawat inap) dan tidak ada diagnosis alternatif yang sepenuhnya menjelaskan presentasi klinis"
  • Kasus probabel: "menjadi kasus tersangka karena hasil pengujian virus COVID-19 tidak meyakinkan " ATAU " menjadi kasus tersangka karena pengujiannya tidak dapat dilakukan disebabkan suatu alasan tertentu"
  • Kasus terkonfirmasi: "seseorang yang dinyatakan terinfeksi berdasarkan hasil uji laboratorium COVID-19, terlepas dari adanya tanda dan gejala klinis"
  • Kontak erat: "seseorang yang mengalami salah satu dari eksposur berikut selama 2   hari sebelumnya dan 14   hari setelahnya dan timbul gejala dari kasus yang mungkin atau terkonfirmasi
  1. Melakukan kontak tatap muka (face-to-face) dengan kasus yang mungkin atau terkonfirmasi dalam 1   meter dan selama lebih dari 15   menit.
  2. Melakukan kontak fisik langsung dengan kasus yang mungkin atau terkonfirmasi.
  3. Melakukan perawatan langsung kepada pasien dengan kemungkinan atau dikonfirmasi penyakit COVID-19 tanpa menggunakan alat pelindung diri dengan baik dan tepat.
  4. situasi lain sesuai dengan penilaian risiko lokal"

Sebelum adanya istilah-istilah Surveilans COVID-19 di atas, Indonesia terlebih dahulu menggunakan istilah-istilah yaitu orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang tanpa gejala (OTG). Istilah-istilah tersebut mengalami perubahan sesuai dengan WHO yakni berganti menjadi Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi (bergejala dan tidak bergejala), dan Kontak Erat.[4]

WHO menghimbau supaya dilakukan pelaporan kasus infeksi COVID-19 yang mungkin dan terkonfirmasi dalam kurun waktu 48 jam setelah adanya informasi yang teridentifikasi.[2] Semua negara harus melaporkan kasus per kasus setiap saat, namun apabila terdapat keterbatasan sumber daya, pelaporan mingguan secara agregat juga sangat diperlukan.[5] Beberapa organisasi telah membuat aplikasi khusus untuk memantau COVID-19, dan tempat orang dapat melaporkan adanya gejala yang mereka alami untuk membantu peneliti memetakan area dengan konsentrasi gejala COVID-19.[6]

Surveilans virologi[sunting | sunting sumber]

Surveilans virologi merupakan tindakan surveilans yang fokus terhadap virus itu sendiri dengan mempelajari penularan, persebaran, pengembangan vaksin dan antivirus. WHO telah menerbitkan sumber daya untuk laboratorium tentang cara melakukan tes atau pengujian COVID-19.[7] Di Uni Eropa, kasus COVID-19 yang dikonfirmasi oleh laboratorium dapat dilaporkan dalam 24 jam setelah teridentifikasi.[8] Beberapa negara melakukan surveilans virologi melalui air limbah untuk menguji keberadaan atau prevalensi COVID-19 pada penduduk yang tinggal di kawasan dekat air limbah.[9]

Para ilmuwan dapat menggunakan prosedur uji molekuler untuk surveilans COVID-19.[7] Mereka menggunakan prosedur whole genome sequencing (WGS) yaitu suatu upaya untuk melihat urutan kode genetika. Pada umumnya terdapat 4 tahapan dalam proses WGS khususnya untuk mengidentifikasi virus Covid-19. Pada prinsipnya, Whole genome sequencing bertujuan untuk memahami distribusi dan pola penyebaran virus serta memberi informasi mengenai karakteristik dari masing-masing isolat di tiap daerah, yang tentunya bermanfaat untuk melakukan penanggulangan dan pencegahan.[10]

Surveilans virologi dilakukan untuk memutus mata rantai persebaran virus korona. Surveilans ini juga bermanfaat untuk mendeteksi potensi strain virus baru yang dapat berpengaruh dalam mekanisme penanganan Covid-19 yang sedang berjalan.[10]

Surveilans digital[sunting | sunting sumber]

Setidaknya ada 24 negara di dunia yang melakukan surveilans secara digital terhadap warganya terkait pandemi COVID-19.[11] Penggunaan teknologi surveilans secara digital yakni dengan menggunakan aplikasi COVID-19, melalui data lokasi, dan penanda (tag) elektronik.[11] Di Amerika Serikat, pelacakan dapat dilakukan oleh Center For Disease Control and Prevention atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, dengan cara melihat informasi jejak perjalanan warga dengan menggunakan data penumpang maskapai penerbangan.[12][13]

Penggunaan gelang pelacak, dapat menggantikan aplikasi smartphone bagi pengguna yang tidak memiliki smartphone, atau mereka yang memiliki smartphone namun tidak mendukung fungsionalitas Bluetooth Hemat Energi. Pada tahun 2020, Britania Raya melaporkan bahwa lebih dari sepuluh persen warganya memiliki smartphone namun tidak mendukung akses digital. Sementara di Korea Selatan, setiap warga yang diketahui melanggar protokol kesehatan dan melanggar masa karantina, diberikan gelang pelacak sebagai antisipasi penyeberan virus, dan akan dilaporkan kepada polisi apabila terbukti melepas gelang tersebut.[14] Setidaknya satu yurisdiksi di Amerika Serikat telah menggunakan teknologi ankle bracelet untuk memberlakukan karantina bagi pasien yang ditemukan melakukan pelanggaran protokol kesehatan.[15]

Pihak imigrasi dan kepolisian di Hong Kong memiliki wewenang untuk melihat penggunaan gelang pelacak maupun aplikasi bagi pendatang dari luar negeri. Kemudian di Korea Selatan, penggunaan aplikasi GPS diperlukan untuk melacak jejak perjalanan warga Korea Selatan untuk memastikan bahwa warga tidak melakukan pelanggaran selama karantina. Pihak berwenang akan mengirimkan peringatan kepada pengguna atau warga apabila mereka meninggalkan daerahnya yang sudah ditentukan (titik awal) selama awal masa karatina.[16][17]

Di Singapura, semua warga wajib melaporkan di mana lokasi mereka berada dengan mengirimkan bukti foto kepada pihak otoritas terkait. Sementara di Thailand, setiap warga negara asing yang masuk, wajib menggunakan aplikasi dan kartu SIM untuk melacak posisi mereka selama masa karantina pasca tiba ke Thailand.[11] India berencana untuk memproduksi pita khusus untuk memantau lokasi dan juga suhu badan.[14] Layanan keamanan internal Israel, Shin Bet, telah melacak semua metadata panggilan telepon Israel selama beberapa dekade sebelum wabah terjadi. Dan pada bulan Maret 2020, Shin Bet diperintahkan melalui keputusan darurat untuk melacak dan memberikan data setiap warga yang terinfeksi virus. Kemudian keputusan tersebut diganti menjadi undang-undang khusus menangangi COVID-19 pada Juni 2020. Sejak bulan Juni hingga Desember 2020, dilaporkan bahwa ada 950.000 orang ditandai untuk melakukan karantina dan 46.000 orang diantaranya positif terinfeksi COVID-19.[18]

Surveilans digital sangat membantu pemerintah di beberapa wilayah untuk mengatasi pandemi COVID-19. Namun, pada pelaksanaannya beberapa organisasi menyatakan keberatan karena surveilans digital tersebut menyangkut tentang data privasi seseorang. Meskipun pandemi COVID-19 telah menjadi krisis kesehatan internasional dan harus dihadapi bersama, Human Right Watch memperingatkan untuk tetap menghargai hak-hak asasi setiap individu.[19]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Surveilans Strategi Utama Perangi Covid 19". dinkes.sumutprov.go.id. Diakses tanggal 2021-03-23. 
  2. ^ a b c d "Global surveillance for COVID-19 caused by human infection with COVID-19 virus" (PDF). World Health Organization. WHO. Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  3. ^ "Public health surveillance for COVID-19: interim guidance". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-23. 
  4. ^ "Kemenkes Kenalkan Istilah Probable, Suspect, Kontak Erat dan Terkonfirmasi COVID-19". Sehat Negeriku. 2020-07-14. Diakses tanggal 2021-03-23. 
  5. ^ "Surveillance, rapid response teams, and case investigation". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  6. ^ "Limited testing poses challenges to mapping COVID-19 spread". Modern Healthcare (dalam bahasa Inggris). 30 Maret 2020. Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  7. ^ a b "Laboratory testing for 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) in suspected human cases". www.who.int (dalam bahasa Inggris). World Health Organization. Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  8. ^ "Case definition and European surveillance for COVID-19, as of 2 March 2020". European Centre for Disease Prevention and Control (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  9. ^ "Status of environmental surveillance for SARS-CoV-2 virus" (PDF). World Health Organisation. 5 Agustus 2020. Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  10. ^ a b COVID-19, Website Resmi Penanganan. "Penguatan Surveilans Virologi Mengantisipasi Strain Virus Baru - Berita Terkini". covid19.go.id. Diakses tanggal 2021-03-24. 
  11. ^ a b c "Tracking the Global Response to COVID-19 | Privacy International". privacyinternational.org (dalam bahasa Inggris). Privacy International. Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  12. ^ Sloane, Mona; Cahn, Albert Fox (1 April 2020). "Today's COVID-19 Data Will be Tomorrow's Tools of Oppression". The Daily Beast (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  13. ^ Mintz, Sam; Gurciullo, Brianna (3 Maret 2020). "CDC may lack contact information for some airline passengers possibly exposed to coronavirus". POLITICO. 
  14. ^ a b "People-tracking wristbands put to the test". BBC News. 24 April 2020. Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  15. ^ Kachmar, Kala; Costello, Darcy. "Louisville is forcing unwilling coronavirus patients to self-isolate. Is it right?". The Courier-Journal (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  16. ^ "Phones Could Track the Spread of Covid-19. Is It a Good Idea?". Wired. ISSN 1059-1028. Diakses tanggal 2020-04-06 – via www.wired.com. 
  17. ^ hermes (21 Maret 2020). "How China, South Korea and Taiwan are using tech to curb coronavirus outbreak". The Straits Times. Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  18. ^ "Israel's Virus Surveillance Tool Tests Its Democratic Norms". Voice of America (dalam bahasa Inggris). 1 JanuarI 2021. Diakses tanggal 22 Maret 2021. 
  19. ^ "Governments Should Respect Rights in COVID-19 Surveillance". Human Rights Watch (dalam bahasa Inggris). 2020-04-02. Diakses tanggal 2021-03-24.