Penemuan hukum

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum.

Hakekat penggunaan hukum[sunting | sunting sumber]

Penemuan hukum pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret.

Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.[1]

Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisisnya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum.

Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.[1]

Tugas ahli hukum[sunting | sunting sumber]

Seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, diantaranya yaitu:

a. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkret (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.

b. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat.[2]

Kontroversi[sunting | sunting sumber]

Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang pada umumnya dipusatkan sekitar “hakim”, oleh karena dalam kesehariannya ia senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif. Dan hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Di samping itu pula hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum. Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret. Atau lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu.[3]

Kegunaan penemuan hukum[sunting | sunting sumber]

Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa:

a. Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan;

b. Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat.[3]

Peranan Seorang Hakim[sunting | sunting sumber]

Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi.

Dan Persoalan pokok yang ada dalam sistem hukum juga menjadi dasar untuk penemuan hukum. Berikut struktur sistrm hukum antara lain adalah:

1. Unsur sistem hukum, meliputi:

  1. Hukum undang-undang, yakni hukum yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara tertulis, yang sifatnya mengikat umum.
  2. Hukum kebiasaan yaitu: keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang tujuannya kedamaian.
  3. Hukum Yurisprudensi, yakni: hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan.
  4. Hukum Traktat: hukum yang terbentuk dalam perjanjian internasional.
  5. Hukum Ilmiah (ajaran): hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.

2. Pembidangan sistem hukum

  1. Ius Constitutum (hukum yang kini berlaku).
  2. Ius Constituendum (hukum yang kelak berlaku)

Dasar pembedaannya adalah ruang dan waktu

3. Pengertian dasar dalam suatu sistem hukum

  1. Masyarakat hukum: suatu wadah bagi pergaulan hidup yang teratur yang tujuannya kedamaian.
  2. Subyek hukum
  3. Hukum dan kewajiban
  4. Peristiwa hukum
  5. Hubungan hukum ; sederajat dan timpang
  6. Objek hukum

Pengertian butir diatas tidak terlepas dari makna sebenarnya penemuan hukum yang merupakan bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang menyenangkan maupun yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum tidak diperlukan.

Penemuan hukum dalam sistem hukum Indonesia[sunting | sunting sumber]

Indonesia dalam perspektif keluarga-keluarga hukum di dunia termasuk kedalam kelurga hukum civil law yang sering diperlawankan dengan keluarga hukum common law. Kedua sistem hukum ini merupakan dua sistem hukum utama yang banyak diterapkan di dunia, namun selain dua sistem hukum tersebut terdapat beberapa hukum lainnya yang diterapkan di dunia yakni sistem hukum Islam (Islamic Law) dan sistem hukum komunis (Communist Law). Indonesia menganut sistem hukum sipil, akibat penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama kurun waktu 350 tahun melalui kebijakan bewuste rechtspolitiek, yang kemudian pasca kemerdekaan tata hukum tersebut diresepsi menjadi tata hukum nasional Indonesia melalui Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II (Pra Amendemen) yang menyatakan: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Oleh karenanya, keberadaan lembaga dan aturan-aturan yang ada merupakan lembaga dan aturan-aturan yang dibawa oleh Belanda yang merupakan negara yang menganut sistem civil law. Salah satu karakteristik utama dari civil law ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk menerjemahkan aturan-aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret, maka difungsikanlah seorang hakim. Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di dalam menerapkan aturan hukum tersebut, dia akan menerjemahkan suatu aturan hukum apabila telah terjadi sengketa diantara individu satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat yang kemudian hasil terjemahan aturan hukum tersebut ditetapkan di dalam suatu putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa.[3]

Pengunaan aturan hukum tertulis di dalam civil law, terkadang memiliki kendala-kendala tertentu. Salah satu kendala utama ialah, relevansi suatu aturan yang dibuat dengan perkembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan akitivitas masyarakat selalu dinamis, oleh karenanya segala aturan hukum yang dibentuk pada suatu masa tertentu belum tentu relevan dengan masa sekarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, aturan hukum selalu berada satu langkah dibelakang realitas masyarakat. Relevansi aturan hukum dengan persoalan masyarakat merupakan hal yang esensial demi terciptanya keadilan dan ketertiban di masyarakat. Aturan hukum yang tidak relevan, akan menciptakan kekacuan dan ketidakadilan, dan menjadi persoalan karena tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa hukum harus bisa memecahkan suatu persoalan dari suatu realitas baru masyarakat. Sehingga jika tidak, akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan bankruptcy of justice yakni suatu konsep yang mengacu kepada kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu perkara akibat ketiadaan aturan hukum yang mengaturnya.[3]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b [1] Penemuan Hukum, 13 Desember 2017
  2. ^ [2] 13 desember 2017
  3. ^ a b c d [3] 13 desember 2017