Pendanaan Iklim Umum Uni Eropa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Uni Eropa yang didirikan januari 1958 oleh 6 negara yaitu Belgia, Perancis, Belanda, Italia, Luxembourge, dan Jerman Barat. Kemudian diikuti Inggris , Denmark, dan Irlandia tahun 1973, Yunani tahun 1981, Spanyol dan Portugis tahun 1986, dan terakhir tanggal 1 januari 1995 Finlandia, Swedia, dan Austria. Sampai hari ini ada 15 negara yang tergabung dalam EU. Pada awal tahun 1987, 12 negara anggota Uni Eropa membuat pasar tunggal untuk barang, jasa, dan modal, yang baru dapat diselesaikan tahun 1992 dengan menghasilkan 282 peraturan sehubungan dengan pasar tunggal eropa. Sekarang, berdasarkan survei oleh Boddewyn and Grosse ditemukan adanya pertumbuhan standardisasi pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan USA di Uni Eropa menyangkut perbedaan antara negara Uni Eropa baik di bidang selera, kebiasaaan, peraturan pemerintahan untuk barang konsumsi dan barang Industri. Temuan ini mendorong Uni Eropa membuat harmonisasi dalam segala bidang. Terakhir yang dilakukan adalah pembentukan Economic and Monetary Union (EMU) termasuk pembentukan European Central Bank dan mata uang tunggal eropa (EURO).[1]

Uni Eropa menginginkan negara yang merdeka dalam suatu negara seperti negara Federasi dengan derajat yang berbeda. Penyatuan mata uang Eropa menjadi euro diikuti oleh 12 negara EU, kecuali Inggris (United Kingdom), Swedia dan Finlandia. Ke 12 negara yang menyatukan uangnya menjadi euro disebut euro zone. Dalam masa yang akan datang negara-negara yang tergabung dalam Uni eropa akan bertambah 10 negara yaitu Hungaria (referendum 12 April 2003), Slovakia (referendum 7 Juni 2003), Polandia (jajak pendapat 8 Juni 2003), Republik Ceko/ czech (referendum 15-16 Juni 2003), Slovenia (referendum Januari 2003), Lithuania (referendum Mei 2003), Malta (referendum awal 2003), Siprus (pemungutan suara 30 Maret 2003), Estonia (referendum 14 September 2003), dan Latvia (referendum 20 September 2003).[2]

Iklim merupakan hal penting yang diperhatikan oleh Uni Eropa. Hal tersebut tampak bahwa dalam pertemuan KTT Uni Eropa pembahasan khususnya adalah tentang pendanaan iklim. Uni Eropa tidak hanya memerhatikan pendanaan negara-negara anggota saja tetapi juga memerhatikan perubahan iklim pada negara-negara non anggota.

Pengelolaan Bantuan Pembangunan Uni Eropa[sunting | sunting sumber]

Negara-negara berkembang memiliki tanggung jawab utama atas pembangunan di negara mereka. Negara-negara maju juga mempunyai sebuah tanggung jawab. Uni Eropa, baik pada tingkat Negara Anggota maupun tingkat Eropa, berkomitmen untuk memenuhi tanggung jawab-tanggung jawabnya. Dengan bekerja bersama, Uni Eropa merupakan sebuah kekuatan penting untuk menimbulkan perubahan positif. Uni Eropa menyediakan lebih dari separuh jumlah bantuan di seluruh dunia dan telah berkomitmen untuk meningkatkan bantuan jumlah tersebut, serta mutu dan efektivitasnya. Uni Eropa juga merupakan mitra ekonomi dan perdagangan yang terpenting bagi negara-negara berkembang, yang menawarkan keuntungan-keuntungan perdagangan khusus bagi negara-negara berkembang, terutama bagi negara-negara yang paling terbelakang (LDC).[3] Kerjasama pembangunan adalah sebuah kompetensi yang dimiliki bersama antara Komisi Eropa dan Negara-Negara Anggota1. Kebijakan Komisi Eropa dalam bidang kerjasama pembangunan melengkapi kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Negara-Negara Anggota Uni Eropa.

Berdasarkan prinsip kompetensi bersama tersebut, Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) Uni Eropa disalurkan melalui atau dikelola oleh Komisi Eropa dan Delegasinya atau secara langsung oleh setiap Negara Anggota beserta kedutaan yang bersangkutan. Portofolio ODA Uni Eropa terdiri dari hibah, sedangkan portofolio Negara Anggota terdiri dari hibah dan pinjaman lunak. Tergantung pada tujuannya, bantuan dapat ditujukan kepada instansi-instansi pemerintah atau masyarakat madani.[3]

Pada umumnya, kebijakan Kerjasama Pembangunan Negara-Negara Anggota Uni Eropa merupakan bagian dari kebijakan luar negeri mereka dan dengan demikian kerjasama pembangunan ditangani oleh Departemen Luar Negeri dan Kedutaan mereka. Namun demikian, dalam beberapa kasus, seperti Jerman, Swedia dan Inggris, kerjasama pembangunan dikelola secara keseluruhan oleh instansi-instansi khusus: Departemen Pembangunan Internasional (DFID) Inggris, Badan Pembangunan Internasional Swedia (Sida), Kementrian Federal untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (BMZ) Jerman, dengan berbagai instansi pelaksana seperti Bank Pembangunan Jerman (KfW) dan Kerjasama Tehnis Jerman (GTZ). Delegasi-delegasi Komisi Eropa merupakan perpanjangan tangan Komisi Eropa di negara-negara setempat dan bertanggung jawab atas pengelolaan kegiatan-kegiatan kerjasama Uni Eropa di negara-negara non-Uni Eropa. Delegasi Komisi Eropa bersama dengan Kepresidenan Uni Eropa memegang peran utama dalam koordinasi secara keseluruhan atas kegiatan-kegiatan pembangunan dengan Negara-Negara Anggota.[3]

Kebijakan-Kebijakan dan Prioritas-Prioritas Global[sunting | sunting sumber]

Sebagaimana dinyatakan dalam Traktat pembentukan Masyarakat Eropa, kebijakan Uni Eropa tentang kerjasama pembangunan2 menekankan:[3]

  • Pembangunan ekonomi dan sosial yang berkesinambungan di negara-negara berkembang
  • Integrasi negara-negara berkembang ke dalam ekonomi dunia secara lancar dan bertahap
  • Kampanye melawan kemiskinan di negara-negara berkembang.

Kebijakan pembangunan Uni Eropa turut mendukung tujuan umum untuk mengembangkan dan mengukuhkan demokrasi dan supremasi hukum, serta mendorong kepekaan terhadap hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar. Kerjasama pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup pertumbuhan yang merata dan berbasis luas, pengembangan kapasitas dan kelembagaan, pengembangan sektor swasta, pelayanan- pelayanan sosial, lingkungan, tata pemerintahan yang baik dan hak-hak azasi manusia. Pada bulan Juli 2005, Komisi Eropa mengadopsi sebuah dokumen strategi kebijakan pembangunan yang baru berjudul ‘Konsensus Eropa’ (lihat boks).

Konsensus Eropa

Strategi tersebut, yang telah disetujui oleh Dewan Eropa pada bulan Desember 2005, memberikan kepada Uni Eropa, Negara-Negara Anggota dan Komisi Eropa kerangka kerja yang seragam untuk kerjasama pembangunan. Strategi tersebut merumuskan sebuah visi Eropa tentang nilai-nilai, sasaran-sasaran dan prinsip-prinsip pembangunan. Strategi tersebut merupakan tanggapan atas tantangan-tantangan baru bagi kerjasama pembangunan Eropa seperti perluasan Uni Eropa dan perlunya untuk berbuat lebih banyak untuk memerangi kemiskinan secara efektif dan mencapai Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Strategi tersebut juga memberikan tanggapan atas latar belakang pembangunan yang baru di mana masalah-masalah seperti migrasi dan terorisme internasional semakin menjadi lebih penting.[3]

Gagasan-gagasan kunci dari Konsensus Eropa atas kebijakan pembangunan mencakup: pertama, untuk mengurangi kemiskinan, dan untuk menentukan target bantuan secara lebih baik, sambil mengintegrasikan tata pemerintahan yang baik dan penghargaan atas hak-hak azasi manusia dalam sebuah kebijakan pembangunan jangka panjang, yang dimiliki oleh negara-negara berkembang sendiri. Kedua, untuk mengkoordinasikan kebijakan pembangunan dengan kebijakan-kebijakan eksternal Uni Eropa lainnya secara lebih baik dan untuk memberikan bantuan pembangunan Uni Eropa ke lebih banyak negara. Aspek yang ketiga dan terpenting adalah persetujuan untuk menetapkan suatu kerangka kerja strategis bersama untuk kerjasama pembangunan yang mengikat Negara- Negara Anggota dan Komisi Eropa.[3]

Konsensus Eropa tersebut menetapkan pembangunan sebagai sebuah unsur kunci dalam kegiatan eksternal Uni Eropa sejajar dengan kebijakan luar negeri dan keamanan bersama dan kebijakan perdagangan. Konsensus tersebut juga menciptakan keterkaitan antara kebijakan pembangunan dan bidang kebijakan yang relevan lainnya seperti migrasi, lingkungan dan penciptaan lapangan kerja. Konsensus tersebut juga mengakui bahwa hubungan Uni Eropa dengan negara-negara berkembang yang menjadi mitranya memerlukan ‘percampuran kebijakan’ yang bersifat ad hoc tentang bantuan, perdagangan dan kebijakan-kebijakan lain yang disesuaikan pada kebutuhan- kebutuhan dari setiap kemitraan.[3]

Iklim Uni Eropa[sunting | sunting sumber]

United Nations Framework Convention on Climate Change merupakan sebuah kerangka kerjasama negara-negara di dunia untuk mencegah dampak yang lebih parah dari perubahan iklim, yaitu dengan cara membatasi dan mengurangi emisi gas rumah kaca serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan dalam sebuah rezim yang disebut sebagai Protokol Kyoto Protokol ini disepakati pada tahun 1997 dan mulai berlaku sejak tahun 2005 (unfccc.int).[4] Negara-negara peserta Protokol Kyoto memiliki kewajiban untuk mencapai target tertentu pengurangan emisi gas di negaranya. Negara-negara tersebut tergabung dalam negara-negara Annex I. Meskipun begitu, dalam Artikel 3 dan Artikel 17 Protokol Kyoto dijelaskan suatu sistem fleksibel yang memungkinkan negara-negara untuk melakukan kerjasama dalam rangka memenuhi target pengurangan emisinya melalui sebuah mekanisme perdagangan pengurangan emisi yang disebut sebagai carbon trading. Dengan adanya carbon trading, maka emisi CO2 menjadi suatu komoditas dagang dalam suatu sistem yang disebut sebagai “carbon market” dengan setiap unit yang diperdagangkan bernilai 1000 kilogram emisi CO2 yang disebut sebagai “carbon credits” yang mewakili nilai harga tertentu (INTERPOL, 2013).[5] European Union Emission Trading Scheme (EU ETS) merupakan inisiasi Uni Eropa dalam upaya pencapaian komitmennya terhadap Protokol Kyoto sekaligus sebagai perwujudan identitas Uni Eropa sebagai global climate change leader. EU ETS sendiri merupakan skema perdagangan dalam carbon market pertama dan terbesar di dunia. EU ETS mencakup 45% dari total emisi karbon di Uni Eropa (European Commission on Climate Action, 2013).[6]

European Comission pada tahun 2010 mengatakan bahwa saat ini Uni Eropa telah menempatkan diri di garis depan sekaligus berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam setiap perundingan mengenai perubahan iklim (Kilian & Egström, 2010). Pandangan Uni Eropa terhadap posisinya tersebut didasari oleh kesadaran bahwa pelestarian lingkungan dapat dilakukan sejalan dengan perkembangan ekonomi dan sosial. Hal ini kemudian memberikan pengaruh terhadap perkembangan kebijakan luar negeri Uni Eropa (Boydell, 2009).[7] Identitas Uni Eropa sebagai global climate change leaderdan leadership by example dibuktikan dengan pembentukan EU Emission Trading Scheme (ETS). Hal ini menunjukkan bahwa komitmen Uni Eropa terhadap aksi mitigasi perubahan iklim yang diimplementasikan melalui mekanisme rendah biaya. Berkaitan dengan hal ini, Uni Eropa terus mendorong penerapan kebijakan market-based mechanism tersebut tidak hanya dalam skala regional Uni Eropa saja, tetapi juga melalui kooperasi dan kohesi secara global. Lebih luas lagi, Uni Eropa terus berupaya untuk menunjukkan identitasnya tersebut dalam wadah UNFCCC dan pelaksanaan komitmen Protokol Kyoto dalam forum multilateral, perdagangan dan dialog (Boydell, 2009).[7]

Kepemimpinan Uni Eropa dalam isu perubahan iklim yang diwujudkan melalui penerapan EU ETS mendapat tantangan dari munculnya kasus carbon credits hacking di beberapa negara anggotanya. Pada bulan November 2010, terjadi kasus pencurian 1,6 juta carbon credits dari sistem registrasi Romania dengan akun milik Holcim Ltd. Pencurian ini dilakukan dengan menggunakan virus “Nimkey” dan mencuri data milik Holcim tersebut. Hacker menggunakan data yang dicuri untuk masuk ke dalam sistem registrasi di Romania dan melakukan transfer carbon credits senilai €23,5 juta. Pasca terjadinya kasus tersebut, Holcim kemudian mengumumkan nomor seri dari carbon credits tersebut ke website. Pemerintah Romania bekerja sama dengan pemerintah Listenstania untuk mengusut kasus tersebut dan berhasil mengembalikan 600.000 credits yang dicuri (INTERPOL, 2013).[5] Identitas Uni Eropa dalam masalah perubahan iklim dapat dianalisis menggunakan konsep role identity.

Pendanaan Iklim Umum Uni Eropa[sunting | sunting sumber]

Uni Eropa mulai menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan setelah diadakannya Konferensi Lingkungan di stockholm oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tahun 1972. Konferensi tersebut berhasil membuat negara-negara di Eropa mulai tergerak untuk turut aktif menyuarakan isu-isu lingkungan dan melakukan berbagai kegiatan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan. Deklarasi ini dilakukan setelah mempertimbangkan kebutuhan untuk pandangan umum dan prinsip-prinsip umum untuk menginspirasi dan memandu bangsa di dunia dalam pelestarian dan peningkatan lingkungan manusia.[8] Deklarasi ini menjadi dasar dari legitimasi isu lingkungan untuk mencapai tingkat perlindungan dan perbaikan lingkungan manusia, sehingga masalah besar yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia dapat ditangani.[9]

Kebijakan lain yang dilakukan oleh Uni Eropa untuk menangani permasalahan lingkungan di negara-negara anggota dan juga non-anggota adalah melalui berbagai perjanjian dan program.[10] Adapun perjanjian dan program tersebut di antaranya adalah EAP (Environmental Action Programme), restriksi GMOs, dan Greening World Trade.[11] Selain itu, Uni Eropa juga menerapkan pembangunan berkelanjutan dengan tiga fokus utama, antara lain:

  • Green the European Union Economy, yaitu upaya Uni Eropa dalam mencapai pembangunan hijau. Pembangunan hijau dilakukan dengan mengelola berbagai sektor sebagai upaya melindungi lingkungan, tetapi tetap menjaga tingkat kompetitif kehadiran Uni Eropa dalam pasar global.
  • Protecting nature, yaitu upaya dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Upaya ini dilakukan karena alam merupakan sistem pendukung kehidupan manusia, sehingga diperlukan adanya perawatan.
  • Safe Guarding the Health and Wellbeing of People Living in the European Union, yaitu upaya pengelolaan Uni Eropa dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di kawasan Eropa terkait kelayakan kawasan Eropa sebagai tempat tinggal bagi kehidupan manusia.

Bukti keikutsertaan Uni Eropa dalam menyuarakan isu lingkungan adalah dengan dibentuknya EAP (Environmental Action Programme) untuk menanggulangi permasalahan lingkungan yang ada di Eropa. EAP berusaha menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan lingkungan melalui pembangunan berkelanjutan yang ada, sehingga lingkungan akan tetap terjaga dari pencemaran. Sampai saat ini, EAP telah dilaksanakan sebanyak tujuh kali terhitung sejak tahun 1973 hingga tahun 2020.[10]

Iklim menjadi catatan khusus di KTT Uni Eropa. Dorongan dari mayoritas negara Eropa semakin dalam untuk mendukung aksi netral karbon. Prancis dan Jerman sedang menekankan kepada 28 negara anggota Uni Eropa (UE) lainnya untuk memantapkan dan memberikan contoh tujuan iklim baru pada perundingan mengenai Iklim di UN Climate Talks September 2019 mendatang. Dorongan dari mayoritas negara Eropa pun semakin dalam untuk mendukung aksi netral karbon pada 2050 itu, yang merupakan tindak lanjutan dari penolakan Polandia, Ceko, Estonia dan Hungaria. Sekertaris Jenderal PBB, Antonio Guterres juga telah meminta negara-negara untuk mengurangi 55 persen efek rumah kacanya pada tahun 2030, jauh lebih banyak daripada tujuan lainnya yang ada dalam mengurangi gas rumah kaca sebesar 40% dari level 1990. Menanggapi hal tersebut, Penasihat kebijakan iklim Greenpeace UE, Sebastian Mang, mengatakan, untuk mencapai emisi yang bebas polusi, Uni Eropa perlu menginvestasikan dana tambahan sekitar 175 hingga 290 miliar euro (198-327 miliar dolar AS) per tahun dalam pengembangan teknologi energi bersih. Sebelumnya, menjelang KTT perubahan iklim itu, para pegiat Greenpeace telah merancang gambar bumi sebagai bom yang siap meledak, hal itu merupakan peringatan bagi negara-negara, bahwa waktu sudah habis bagi bumi untuk menahan efek dari perubahan iklim.[12]

Uni Eropa komitmen memberikan bantuan dana perubahan iklim di Aceh. UNI Eropa berkomitmen mengucurkan dana senilai 6,5 juta euro atau setara Rp96,5 miliar untuk mendukung program menangani perubahan iklim di Aceh periode 2016-2019. Komitmen itu disampaikan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend seusai bertemu Gubernur Aceh di Banda Aceh. Menurut Vincent, pilihan Aceh dalam program perubahan iklim karena provinsi ujung barat Indonesia itu memiliki kekayaan alam hayati yang tidak ternilai harganya. "Tidak banyak daerah yang memiliki kekayaan alam seperti Aceh. Karena itu, Uni Eropa berkomitmen kekayaan alam tersebut harus sejalan antara konservasi dan perkembangan ekonomi masyarakat. Vincent mengatakan, Uni Eropa dan Aceh sudah menjalin hubungan yang lama. Uni Eropa juga pernah mengucurkan dana rekonstruksi pascatsunami dan proses perdamaian Aceh. Bantuan perubahan iklim ini dikucurkan untuk memastikan program perlindungan dan pelestarian hutan di Aceh berjalan dengan baik. Dana bantuan hampir seratus miliar rupiah tersebut untuk masa waktu tiga tahun. ni Eropa tertarik mendukung Aceh karena provinsi ini memiliki sumber daya hutan yang unik dan masih berfungsi dengan baik.[13]

Lembaga kelima Uni Eropa, Mahkamah Audit Eropa memastikan bahwa anggaran Uni Eropa dipertanggungjawabkan dengan benar. Mahkamah menyediakan laporan audit untuk setiap tahun buku kepada Dewan dan Parlemen. Parlemen menggunakan laporan audit untuk memutuskan antara menyetujui atau menolak penanganan anggaran Komisi. Mahkamah juga memberikan pendapat dan usulan undang-undang keuangan dan tindakan anti-penipuan.

Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa meluluskan undang-undang secara bersama-sama di hampir semua wilayah di bawah prosedur legislatif biasa. Hal ini juga berlaku untuk masalah anggaran Uni Eropa. Pada akhirnya, Komisi bertanggung jawab kepada Parlemen, memerlukan persetujuan Parlemen untuk menjabat, dan harus melaporkan kembali kepada Parlemen serta tunduk pada kritik atau pertidakserujuan dari Parlemen. Presiden Parlemen Eropa melaksanakan peran pembicara (speaker) dalam parlemen dan mewakili Parlemen secara eksternal. Presiden PE dan Wakil Presiden dipilih oleh Parlemen Eropa setiap dua setengah tahun.

  1. ^ Keegan, Warren. J (1999). Global Marketing Management. New Jersey: Prentice Hall International Inc. 
  2. ^ Devie (2003). "Mengkaji Peluang Pasar Internasional Melalui Kinerja Ekonomi Negara-Negara Uni Eropa". Jurnal Manajemen & Kewirausahaan. 5 (1). 
  3. ^ a b c d e f g Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :0
  4. ^ UNFCCC. "UN Climate Change News Room". Diakses tanggal 11 November 2019. 
  5. ^ a b INTERPOL. 2013. Guide to Carbon Trading Crime. Environmental Crime Progamme.
  6. ^ European Commission on Climate Action. 2013. The EU Emissions Trading System (EU ETS). EU Publications Office.
  7. ^ a b Boydell, E (2009). "An Environment for Integration? Climate Change, Sustainable Development and Europe's External Identity". ANU Undergraduate Research Journal. 1: 49–54. 
  8. ^ Ariadno, Melda Kamil A (1999). "Prinsip-Prinsip dalam Hukum Lingkungan Internasional". Jurnal Hukum dan Pembangunan. Vol. 29 (No. 2). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-07. Diakses tanggal 2019-11-14. 
  9. ^ Zain, Alam Setia (1997). Hukum Lingkungan: Konservasi Hutan dan Segi-Segi Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. hlm. 88. ISBN 978-979-5186-87-8. 
  10. ^ a b European Commission. "Environment Action Programme to 2020". European Commission. Diakses tanggal 14 November 2019. 
  11. ^ European Commission. "Environment and Trade and External Relations". European Commission. Diakses tanggal 14 November 2019. 
  12. ^ Amanda, Gita (21 Juni 2019). "Iklim menjadi catatan khusus dalam KTT Uni Eropa". Iklim menjadi catatan khusus dalam KTT Uni Eropa. Diakses tanggal 14 November 2019. 
  13. ^ Antara (30 Maret 2016). "Uni Eropa Komitmen Bantu Dana Perubahan Iklim". Uni Eropa Komitmen Bantu Dana Perubahan Iklim. Diakses tanggal 14 November 2019.