Pembagian dunia menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dalam tafsir Islam, dunia dapat dibagi menjadi "Darul Islam" ("Wilayah Islam", tempat berlakunya hukum Islam),[1] "Darul Sulh" ("Wilayah Perjanjian", daerah bukan Islam yang sudah menandatangani gencatan senjata dengan pemerintah Muslim),[2] dan "Darul Harbi" ("Wilayah Perang", yaitu wilayah non-Muslim yang belum menerima Islam).[3]

Kata dar dalam bentuk tunggal (دار) secara harfiah berarti "rumah", "tempat tinggal", "struktur", "tempat", "tanah", atau "negara". Dalam ilmu fikih, istilah ini sering kali mengacu kepada salah satu bagian di dunia.

Gagasan "pembagian" dunia dalam Islam tidak ada di dalam Al-Quran maupun Hadits.[4] Menurut Abou El Fadl, satu-satunya "dar" yang disebutkan oleh Quran adalah "tempat tinggal selanjutnya dan tempat tinggal di bumi, dan yang pertama jelas lebih tinggi dari yang kedua".[5]

Istilah ini pertama kali digunakan oleh ahli-ahli hukum Islam dalam pembahasan aturan hukum mengenai penaklukan Islam hampir satu abad setelah Muhammad. Orang pertama yang menggunakan istilah ini adalah Abu Hanifa di Irak dan murid-muridnya, Abu Yusuf dan Al-Shaybani.

Darul Islam[sunting | sunting sumber]

Menurut Abu Hanifa, persyaratan agar suatu negara dapat dianggap sebagai bagian dari "Darul Islam" (Arab: دار الإسلام, "Wilayah Islam") adalah:[6][7]

  1. Muslim harus dapat menikmati kedamaian dan keamanan di negaranya
  2. Negara harus dikuasai oleh pemerintah Muslim[8]
  3. Memiliki perbatasan dengan beberapa negara Muslim

Darul Harbi[sunting | sunting sumber]

Darul Harbi (Arab: دار الحرب, "Wilayah Perang") atau "Darul Kufur" ( دار الكفر, "Wilayah Kafir") adalah negara yang tidak menerapkan hukum Islam.[9] Menurut Majid Khadduri, perbedaan mendasar antara "Darul Islam" dengan "Darul Harbi" baru muncul setelah kekalahan Kekhalifahan Umayyah dalam Pertempuran Tours pada tahun 732, yang menghentikan perluasan wilayah Islam ke utara, sementara pada saat yang sama perluasan wilayah Islam ke timur juga terhenti.[10]

Wahbah al-Zuhayli menyatakan bahwa konsep Darul Harbi bersifat historis: "keberadaan Darul Islam dan Darul Harbi pada masa ini langka atau sangat-sangat terbatas. Sebab negara-negara Islam telah bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan bahwa hubungan antara bangsa adalah perdamaian dan bukan perang. Maka dari itu negara-negara non-Muslim adalah Darul Ahd …"[11]

Darul Hudna[sunting | sunting sumber]

Darul Hudna (Arab: دار الهدنة "Wilayah Ketenangan") adalah wilayah non-Muslim yang sedang melakukan gencatan senjata dengan Darul Islam. Gencatan senjata dicapai lewat upeti atau perjanjian. Jika kafir harbi melanggar gencatan senjata, pertempuran akan berlanjut. Setelah sepuluh tahun berlalu, perang juga akan diteruskan. Selain itu, hanya perjanjian yang sesuai dengan asas-asas Islam yang dianggap sah.

Darul Ahd, Darul Sulh[sunting | sunting sumber]

Dar al-'Ahd (Arab: دار العهد "Wilayah Gencatan Senjata") atau Dar al-Sulh (Arab: دار الصلح "Wilayah Perdamaian") adalah istilah yang mengacu kepada wilayah yang memiliki perjanjian perdamaian dengan Muslim.[9]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

Bacaan lanjut[sunting | sunting sumber]