Passi 1, Passi Barat, Bolaang Mongondow
Passi | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | ![]() | ||||
Provinsi | Sulawesi Utara | ||||
Kabupaten | Bolaang Mongondow | ||||
Kecamatan | Passi Barat | ||||
Kode pos | 95751 | ||||
Kode Kemendagri | 71.01.19.2004 ![]() | ||||
Luas | 2,32 km² | ||||
Jumlah penduduk | 1800 jiwa | ||||
Kepadatan | 776 jiwa/km² | ||||
|
Passi adalah salah satu desa dari 200 desa yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia, dan berstatus pula sebagai Ibukota Kecamatan Passi Barat.
Secara geografis Desa Passi berada di dataran tinggi. Total luas wilayah desa Passi adalah 230 Ha. Terdiri dari pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan penduduk berada pada ketinggian ± 337 meter dari permukaan laut. Akses menuju ke Ibu kota Kabupaten, Propinsi dan Kecamatan tidak menjadi masalah karena alat transportasi semakin meningkat.
Desa Passi juga berbatasan langsung dengan Kota Kotamobagu. Jika mengambil patokan dari Kantor Desa Passi menuju pusat kota Kota Kotamobagu tepatnya di Taman Kota - Kota Kotamobagu, maka hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 7 menit.
Untuk mengetahui letak / jarak Desa Passi ke Lolak, Manado atau ke Kota Kotamobagu dapat disimak sebagai berikut :
• Jarak ke Ibu kota Kecamatan : 0 km
• Jarak ke Ibu kota Kabupaten : 50 km (1 jam, 14 menit)
• Jarak ke Kota Kotamobagu : 3,2 Km (8 Menit)
• Jarak ke Ibu kota Propinsi : 117 km (3 jam, 51 Menit)
Batas - Batas Desa :
Sebelah Utara : Desa Bintau, Desa Bulud, dan Desa Otam
Sebelah Selatan : Desa Passi II
Sebelah Timur : Desa Bintau dan Desa Bilalang III
Sebelah Barat : Desa Wangga dan Desa Lobong
Adat Istiadat
Ritus Adat dan Tradisi yang Dominan dan masih dilaksanakan
No | Nama | Keterangan |
1 |
Itu-itum |
Doa/mantra penolak bala. Umum diucapkan oleh tetua adat dalam berbagai upacara adat seperti saat menyambut tamu kebesaran, upacara pelantikan, dsb |
2 |
Salamat |
Syair atau semacam pantun berisi doa, harapan, yang dilaksanakan dalam sebuah rangkaian prosesi adat pernikahan |
3 |
Mogatop |
hajat gotong royong ketika warga membangun rumah baru |
4 |
Momintahang |
doa syukuran beragam jenis hajatan, dilaksanakan oleh pegawai syar'i dan lembaga adat |
5 |
Mononsoma |
mengundang warga secara lisan dalam berbagai undangan hajat hidup (dikunjungi door to door) |
6 |
Mopoinum |
menjamu pelayat setelah 3 hari 3 malam berpulangnya warga/kedukaan, dilaksanakan dalam ta’aziah |
7 |
Monaba' |
Utusan guhanga atau tetua adat dari pihak keluarga mempelai perempuan ke pihak mempelai laki-laki untuk memberitahu calon pengantin laki-laki sudah bisa menuju rumah mempelai perempuan pada hari H pernikahan |
8 |
Mogatod |
mengantar calon mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan oleh guhanga/tetua adat diiringi keluarga pihak mempelai laki-laki |
9 |
Moyosingog |
bermusyawarah dalam membicarakan suatu urusan hajat |
10 |
Bobaluan |
prosesi adat terhadap pihak perempuan yang ditinggalkan suaminya |
11 |
Mogama' |
mengambil pihak perempuan (mempelai wanita) ke rumah mempelai laki-laki |
12 |
Mogu'at |
prosesi adat dilakukan guhanga kepada Org tua mempelai perempuan bahwa anaknya akan dipisahkan dari tanggung jawab Org tua |
13 |
Mopoyotutuy |
forum musyawarah atau sidang suatu perkara yang terjadi antar warga |
14 |
Mongarukus |
memberi tanda janur kuning di halaman rumah yang berhajat baik duka maupun hajat hidup |
15 |
Molongow |
kunjungan keluarga calon mempelai laki-laki untuk melihat calon mempelai perempuan disertai dengan membawa ragam seserahan |
16 |
Mogutat |
gotong royong kepada warga yang menggelar hajat, semacam solidaritas dalam bentuk materi yang diberikan ke pihak yg berhajat |
17 |
Ta'jiah |
ritus sosial masyarakat dalam memperingati 3 hari 3 malam meninggalnya warga |
18 |
Monantuang |
Informasi berita duka kepada masyarakat dengan cara membunyikan alat tiup terbuat dari kerang laut sebagai penanda bahwa ada yang meninggal dunia |
19 |
Mogimbalu' kon bulan |
tradisi menyambut bulan ramadan dimana warga memberishkan diri mulai dari potong kuku, berkeramas, dan mandi di pancuran atau sungai |
20 |
Monuntul |
tradisi memasang lampu di depan rumah 3 hari jelang idul Fitri |
Sejarah
Dalam metodologi penelitian sejarah, dikenal batasan-batasan sejarah yang meliputi aspek spasial (ruang) dan aspek temporal (waktu). Aspek spasial yang dimaksud dalam ilmu sejarah adalah tempat terjadinya peristiwa-peristiwa dalam proses perjalanan waktu. Sedangkan aspek temporal merupakan batasan waktu terjadinya suatu peristiwa masa lalu yang berkesinambungan dan sistematis. Kedua aspek ini penting untuk memudahkan kita mengetahui suatu proses perjalanan waktu sejarah dengan terukur.
Kita yang hidup saat ini, secara spasial (tempat), memahami bahwa Passi adalah satu kesatuan entitas budaya, adat, sejarah, sosial, ekonomi, di wilayah bekas pemerintahan Kerajaan Bolaang dahulu kala.
Sedikitnya ada 6 pemahaman paling umum yang kita pahami tentang Passi yang dapat diuraikan sebagai berikut;
(1) Sebuah desa atau kampung halamannya orang-orang Passi sejak dahulu kala dan turun-temurun hingga saat ini
(2) Sebuah wilayah di dataran tinggi Mongondow
(3) Penyebutan untuk sebuah lokasi, geografis, toponomis, dan satuan ruang;
(4) Sebuah wilayah bekas “ke-panggulu-an” (pemerintahan setingkat distrik yang dipimpin oleh kepala distrik disebut Panggulu) pada jaman kerajaan atau ketika kerajaan Bolaang Mongondow mulai bersentuhan dengan dunia luar atau pada jaman Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
(5) Nama salah satu desa di Bolaang Mongondow;
(6) Nama sebuah wilayah Kecamatan sebelum dimekarkan menjadi 3 wilayah kecamatan masing-masing Kecamatan Passi Barat, Kecamatan Bilalang,dan Kecamatan Passi Timur.
Sejarah Desa Passi yang disajikan disini adalah memori kolektifitasnya (ingatan bersama terhadap sejarah) dalam ruang dan waktu (aspek spasial dan temporal) mulai dari antah-berantah hingga yang bisa dijangkau dengan berbagai macam sumber baik tradisi lisan, sejarah lisan, catatan, dokumen, arsip sejarah, dan lain sebagainya.
Untuk memudahkan pemahaman terhadap sejarah desa Passi maka diperlukan suatu periodisasi yakni pengelompokan peristiwa-peristiwa sejarah ke dalam suatu babak, masa, zaman atau periode tertentu berdasarkan ciri-ciri atau kriteria tertentu.
Konsep Periodisasi ini merupakan konsep penting dalam mempelajari sejarah, dan sering disebut juga dengan berpikir kronologis. Dimana, hal tersebut akan mempermudah kita dalam memahami setiap peristiwa yang terjadi dalam sejarah.
Secara terperinci ada beberapa tujuan yang diharapkan dari mempelajari sejarah dengan menggunakan konsep periodisasi ini. Adapun tujuan tersebut antara lain untuk membantu mempermudah dalam memahami sejarah, membantu mengklasifikasikan peristiwa-peristiwa sejarah, memudahkan dalam menganalisis perkembangan perubahan yang terjadi di setiap periode, serta menyederhanakan rangkaian peristiwa sejarah.
Disamping itu, pembabakan dalam konsep periodisasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu berdasarkan dimensi ruang (spasial) dan dimensi waktu (temporal).
Untuk mengetahui sejarah desa Passi secara lebih terperinci maka diperlukan pendekatan periodisasi terkait sejarah desa Passi itu sendiri, sebagai berikut;
1. Masa Prasejarah
2. Masa Komunitas Tudu
3. Masa Tudu In Passi
4. Komunitas Pecahan Tudu In Passi
5. Lipu In Passi
6. Era Kerajaan tahun 1600-an
7. Afdeeling Bolaang Mongondow (1903 – 1948)
8. Swapradja Bolaang Mongondow (1948 – 1950)
9. Kabupaten Bolaang Mongondow (1954 – 2007)
10. Kabupaten Bolaang Mongondow (2007 – Sekarang)
11. Pemekaran Desa
Penjelasan masing-masing periode di atas adalah sebagai berikut;
1. Masa Prasejarah
Periode ini ditandai dengan adanya satu bencana yang dalam istilah lokal dikenal dengan masa inompuan yakni terjadianya suatu bencana besar yang menyebabkan daratan tenggelam. Masa ini terekam dalam memori kolektif (ingatan sejarah bersama) masyarakat yang berhasil dikumpulkan penulis bernama W.Dunnebier bersumber pada tradisi lisan setempat.
Pada masa ini nama Passi sudah ada kerena telah terceritakan atau disebutkan berupa puncak sebuah bukit yang tidak tenggelam pada masa terjadinya bencana besar berupa air bah.
Sumber dokumen yang dapat ditujuk untuk mengetahui periode ini adalah buku berjudul Bolaang Mongondowse Teksten yang ditulis memakai 2 bahasa (Mongondow dan Belanda) tentang bencana yang terjadi di masa silam. diterbitkan M.Nijhoff bekerjasama dengan Koninklijk Instituut voor Taal-,Land- en Volkenkunde (KITLV Netherlands) tahun 1953. Kutipannya adalah sebagai berikut;
Verhaal over den top van Passi;
In den tijd toen de wereld door onheil was getroffen, was de gehele vlakte van Bolaang Mongondow verzonken (in het water), allen de top van Pasi en de top van Lolaian de warent niet verzonken.
O’oeman in toedoe im Passi
Kon toengkoel in dunia i nokiamat, jo sinoemalom komintan i lopa ‘im Bolaang Mongondow; dongka toedoe im Pasi bo toedeo i Lolaian i dia’ sinoemalom.
Terjemahan ke Bahasa Indonesia;
Hikayat Tudu In Passi
Pada masa ketika dunia dilanda bencana, maka tenggelamlah tanah Bolaang Mongondow; hanya puncak Passi dan puncak Lolayan yang tidak tenggelam.
Kisah ini merupakan memori kolektif atau ingatan sejarah yang masih tertanam di benak dan pikiran bersama orang-orang Passi yang untungnya berhasil dikumpulkan dan dicatat oleh W.Dunnebier, pada masa kedatangannya. Dunnebier sendiri adalah seorang Belanda yang bekerja dalam misi zending (misionaris) ke Bolaang Mongondow di masa kerajaan dan ditempatkan di desa Passi.
2. Masa Komunitas Tudu
Dokumen yang bisa dijadikan rujukan dalam menjelaskan era ini adalah buku berjudul Over de Vorsten van Bolaang Mongondow atau Mengenal Raja-Raja Bolaang Mongondow karya W.Dunnebier.
Buku ini disusun menggunakan versi baik tradisi lisan masyarakat lokal maupun dokumen atau pustaka-pustaka tua yang hingga kini masih tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Negeri Belanda dan beberapa tempat lainnya termasuk di Perpustakaan Nasional RI dan ANRI.
Rangkuman singkat poin-poin dalam buku ini sebagaimana penceritaan nara sumber kepada penyusunnya (W.Dunnebier) termasuk keterangan Raja Datu Cornelis Manoppo ketika itu adalah sebagai berikut;
a) Nenek moyang orang Bolaang Mongondow berawal dari pasangan Goemalangit dan Tendedoeata serta Toemotoibokol dan Toemotoibokat.
b) Tempat tinggal awal nenek moyang berada di Pantai Utara kemudian menuju Gunung Huntuk dan Komasaan (Bintauna kini).
c) Goemolangit menikah dengan Tendedoeata dan memiliki anak perempuan yg diberi nama Dinondong, sedangkan Toemotoibokol dan Toemotoibokat memiliki seorang anak lelaki bernama Sugeha. Saat dewasa Sugeha dan Dinondong menjadi suami istri.
d) Saat banjir mulai surut, wilayah-wilayah dataran tinggi mulai dihuni oleh manusia-manusia yang datang dari berbagai penjuru. Lainnya tinggal di pesisir pantai, dan lain masuk ke pedalaman anara lain di Tudu in Passi, Lolayan, Sia’ Polian, Sinoentongan, Alot, Batoe Noloda’, Batu Bogani, dan Penjuru Dumoga (Mohog, Boemboengon, Tabagolinggat, Tabagomamang, Dumoga Mointok, Siniyow dan Dumoga Moloben) . Belakangan tiap tempat ini memiliki pemimpin komunitas yang diberi gelar Bogani.
Disini terdapat keterangan bahwa manusia-manusia awal Bolaang Mongondow yang bermula di wilayah Pantai Utara memasuki pegunungan yakni Huntuk dan Komasaan kemudian ke tempat-tempat dataran tinggi berupa puncak bukit atau gunung karena di masa itu air masih tinggi hingga tibalah anak keturunan Gumalangit – Tendeduawata dan Tumotoibokol – Tumotoibokat ini di wilayah-wilayah puncak atau disebut Tudu dalam bahasa Mongondow, termasuk di sebuah puncak bukit yang hingga saat ini disebut dengan Tudu In Passi atau Puncak Passi.
3. Masa Tudu In Passi
Di masa ini wilayah Tudu In Passi atau Puncak Passi dijadikan sebagai tempat tinggal masyarakat pemukim awal setelah pesebaran dari turunan Gumalangit – Tendeduwata dan Tumotoibokol – Tumotoibokat di Huntuk Buludawa dan Komasaan.
Beberapa nama yang disebut menetap di wilayah ini muncul dalam Bibliographical series - Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Seri blibiografi dari Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Antropologi) yang ditulis W.Dunnebier berjudul “Bolaang Mongondow Teksten” adalah sebagai berikut;
a. Ki Bagat
Ini adalah nama seorang Bogani (orang yang digambarkan kuat dan keramat pada masanya sebagai pelindung komunitas suku). Namanya kerap disebut dan begitu terkenal dalam penceritaan. Bogani Ki Bagat menetap di Tudu In Passi. Pasangannya bernama Damoluwo meski Goguma Paputungan (Laki Nayu) salah seorang penutur kisah yang merupakan pula tokoh masyarakat desa Passi, pada tahun 1986 silam mengisahkan bahwa sosok Inde I Dowu (seorang Bogani perempuan) juga pernah berada di Tudu In Passi.
Dalam tuturan lokal, disebutkan juga nama Talun Pongayow yang merupakan Bogani di Tudu In Passi. Apakah Ki Bagat dan Talun Pongayou adalah dua oknum yang sama atau berbeda, dalam buku Toedoe In Passi; Sejarah Desa Hingga Kiprah Loloda Mokoagow, penulis buku tersebut berpendapat bahwa dua nama tersebut adalah sosok yang sama.
b. Inongkoe
Nama Inongkoe (ejaan lama) atau dibaca Inongku (ejaan baru) muncul dalam sebuah tulisan dari N.P. Wilken dan J.A.T. Schwarz berjudul “Verhaal eenar reis naar Bolaang Mongondow” (Kisah Sebuah Perjalanan ke Bolaang Mongondow) yang dimuat dalam Mededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendelinggenootschap,11 (1867: 237-238) bijdragen tot de kennis der zending en der taal-, land en volkenkunde van Nederlandsch Indie, (Buletin dari Lembaga Misionaris Belanda berupa kontribusi pengetahuan tentang bahasa, tanah dan etnologi Hindia Belanda), terbit di Rotterdam negeri Belanda pada tahun 1867, oleh Martinus Nijhoff. Tulisan ini didasarkan pada hasil lapangan yang dilakukan oleh dua penulis.
Pada halaman 237 dokumen tersebut mengisahkan seorang Passi bernama Inangku pada suatu hari ini telah melalui perburuan babi hutan yang melelahkan setelah melalui hingga jatuh terengah-engah karena kehausan di kaki gunung atau kaki sebuah bukit bernama Passi (Bukit Passi atau yang dikenal juga dengan Tudu In Passi). Dia tidak melihat air dimana pun hingga kemudian ia berdoa dan menerima petunjuk bagaimana dia bisa mendapatkan air di sebuah batu yang batu itu hingga kini disebut Batu Noloda atau Batu Loloda. Inangku lantas menekan batu itu dengan tumitnya hingga terciptalah lubang bundar sampai akhirnya air keluar dari batu itu dan dapatlah ia menghilangkan dahaganya.
Dari kisah ini kita memperoleh informasi bagaimana seorang bernama Inangkoe menetap di sebuah bukit yang diberi nama Passi. Menandakan bahwa pada jaman dimana ia hidup, Passi sebagai sebuah wilayah yang ditempati sudah disebut-sebut.
c. Ubudia
Nama Oeboedia atau Ubudia juga muncul dalam tulisan W.Dunnebier yang dimuat dalam Bibliographical series - Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Seri blibiografi dari Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Antropologi) disingkat KITLV dalam sebuah buku berjudul “Bolaang Mongondow Teksten” oleh penerbit Martinus Nijhoff tahun 1953.
Dikisahkan dalam buku tersebut, suatu ketika saat dunia mendapat malapetaka, seluruh dataran Bolaang Mongondow tenggelam, hanya puncak Passi dan puncak Lolayan yang tidak tenggelam. Setelah kurang lebih dua tahun, ada seorang pemuda dari Bolango bernama Ubudia seorang yang disebutkan dari Pulau Lembeh mengetahui dengan baik pulau itu. Di saat itu orang-orang dibawah pimpinan Ubudia berangkat ke negeri Mongondow. Setelah sampai di sana, mereka melihat sebuah gunung timbul dan mereka segera membuat sebuah pedukuan disana.
d. Simiok
Dikisahkan dalam sumber dokumen di atas berdasarkan tradisi lisan kisah-kisah tua yang dituturkan para nara sumber ketika “Bolaang Mongondow Teksten” sedang disusun oleh Dunnebier, suatu hari Simiok akan bertunangan dengan anak perempuan raja di Bumbungan. Pada saat itu juga ada seorang laki-laki yang bemama Moundan yang ingin bertunangan dengan anak perempuan itu. Mereka bertemu dan berkelahi, tetapi tidak ada yang menang. Oleh karena itu, mereka kembali ke tempat tinggal masing-masing. Selanjutnya mereka saling menyampaikan pesan dimana Moundan menyampaikan pesan kepada Simiok bahwa pagi-pagi sekali segera menyiapkan orang-orangnya untuk mengadakan pertemuan dengan orang-orang Moudan. Simiok menyanggupi itu dan keesokan harinya, mereka bertemu di Batu-noloda'. Moundan mengambil tombak dan melemparkannya ke udara. Simiok lalu menusukan pedangnya ke Moundan yang lantas segera jatuh, tetapi dia berdiri kembali dan berkata, "Peristiwa ini akan diingat oleh anak dan cucuku. Kamu tidak bisa melawan orang-orang Passi karena mereka sangat kuat dan berani. Pada waktu itu, gunung itu disebutnya Tudu In Passi.
4. Komunitas Pecahan Tudu In Passi
Sumber tradisi lisan sebagaimana dituturkan Goguma Paputungan menyebutkan, Ki Bagat yang pernah terlibat peperangan di perairan Maluku dan saat kembali ke Tudu In Passi, ia membawa sekelompok orang yang ditaklukan dan menetap di Tudu In Passi dibawah pengaruhnya. Orang-orang ini disebutkan menunjukan kesetiaan penuh mereka kepada Ki Bagat. Di tahun-tahun kemudian, ketika usia Ki Bagat mulai menapaki senja dan meninggal, orang-orang inilah bersama para tetua adat yang mendiami komunitas suku di sekitar Tudu In Passi yang menguburkan jasadnya.
Setelah Ki Bagat meninggal dalam usia senja dan dikuburkan di Tudu In Passi juga, barulah orang-orang yang pernah diboyong Ki Bagat dari perairan Maluku ini menuruni Tudu In Passi (Puncak Passi) dan pecah menjadi beberapa kelompok.
Kelompok pertama menempati wilayah yang disebut Ibambang. Kelompok kedua menempati Ilobud, kelompok ketika menetap di Tapa Ayat, dan kelompok keempat menuju Patung Bulawan.
Di tempat-tempat ini, mereka diterima komunitas masyarakat setempat, berbaur dan hidup bersama. Mereka juga saling berinteraksi dengan komunitas-komunitas yang sudah duluan mendiami wilayah Pomomantouan, Iyatak, Ilungun, Tutung, Lantung, Ikayang, Ikintol, Mobondu (Mobondu selanjutnya menjadi wilayah desa Bintau) serta wilayah-wilayah lainnya, meski masih hidup secara terpisah-pisah dalam kelompok dan komunitas-komunitas terkecil. Di wilayah yang baru ditempati inilah, kehidupan dilanjutkan. Hingga saat ini, nama wilayah-wilayah tersebut sudah menjadi perkebunan masing-masing warga dan tidak pernah mengubah namanya.
Di sekitar Tudu In Passi tepatnya di kaki bukit sebelah barat, terdapat pula pemukiman komunitas-komunitas awal yang menempati wilayah yang disebut Ikumbe, Itubig, Ilobud, dan Ilanta’an (Batu Pongundaman).
5. Lipu In Passi (Desa Passi)
Di sebuah wilayah pemukiman yang disebut Patung Bulawan, komunitas masyarakat disitu melahirkan seorang Bogani generasi berikutnya bernama Tiaha. Ia disebut keturunan dari Mokodompit. Namun tidak diketahui pasti bagaimana susunan silsilahnya.
Tiaha (selanjutnya ditulis Tiaha Mokodompit) memprakarsai bersatunya 4 kelompok yang terpisah pasca turun dari Tudu In Passi dan menjadikannya satu bentuk pedukuan digabung dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang sudah ada, yakni komunitas-komunitas adat yang bermukim di Tutung, Lantung, Ikayang, Ikintol, Uluan Kaanon, Iyatak, Idangku, Itubig, Ikumbe, Pinongundaman, Pomomantouan, dan wilayah – wilayah lainnya.
Penggabungan kelompok dan komunitas-komunitas adat yang diprakarsai Tiaha Mokodompit inilah yang dibentuk menjadi sebuah negeri yang diberi nama Passi.
6. Era Punu (Raja) ;
a. Tadohe
Dalam buku berjudul Over de Vorsten van Bolaang Mongondow (Mengenal Raja-Raja Bolaang Mongondow), di bagian Raja Tadohe, disebutkan bahwa masyarakat Passi diberi tugas menyanyikan Dondong atau sebuah lagu yang dinyanyikan Ketika Raja melakukan perjalanan selama tujuh hari sebelum keberangkatan Raja dan setelah kepulangannya.
b. Jacobus Manoppo
Dalam dokumen di atas, disebutkan juga bahwa pada masa kepemimpinan Raja Jacobus Manoppo (Putra dari Datu Binangkang Loloda Mokoagow)), kepemimpinan di wilayah-wilayah yang sebelumnya dijalankan para Bogani, diganti dengan jabatan Jogugu atau Perdana Menteri Kerajaan, Presiden Raja, Kapita Laut (Ketiganya adalah pembantu terdekat dari Raja dan tinggal di Bolaang), Mayor Kadato (Panglima/Kepala Prajurit Raja) dan jabatan Jogugu dijabat oleh orang dari Passi.
Masa ini tentu memberi kita informasi akurat bahwa di tahun 1695, Passi sudah merupakan sebuah wilayah bagian dari pemerintahan kerajaan yang ditinggali oleh banyak orang atau sekumpulan komunitas masyarakat yang diperhitungkan.
7. Afdeeling Bolaang Mongondow (1903-1948)
Afdeeling adalah sebuah wilayah administratif pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Administratornya dipegang oleh Asisten Residen dan dibawahnya terdiri dari beberapa Onderafdeeling yang dikepalai oleh seorang Controleur.
Afdeeling Bolaang Mongondow adalah gabungan Kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaang Oeki, Bintauna, Bolaang Itam en Kaidipan dengan pusat pemerintahan di dataran tinggi Mongondow sebagaimana dalam Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie van 19 Juni 1903 No. 32 (huruf 4e) Lembar Negara No.249.
Besluit di atas meski mulai berlaku sejak tanggal 19 Juni 1903 sebenarnya telah dikeluarkan 1 Juli 1901. Namun karena beberapa pertimbangan maka Besluit ini baru berlaku tahun 1903.
Tanggal 10 Januari 1906 dikeluarkan Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië van 10 Januari 1906 No. 32 Lembar Negara No. 41 yang mempertegas kembali Afdeeling Bolaang Mongondow dengan Ibu Kota di Kota Baru yang kemudian berganti nama menjadi Kota Mobagu.
Di masa ini Passi adalah wilayah distrik atau wilayah setingkat Kabupaten yang dikepalai oleh seorang pejabat disebut Panggulu dan setiap desa atau lipu di wilayah distrik dipimpin oleh Sangadi. Tokoh yang menjadi Sangadi Passi pada era ini bernama Dodoyu Ani.
8. Swapraja Bolaang Mongondow (1948-1950)
Swapraja Bolaang Mongondow dimulai pada tahun 1948. Ini merupakan buntut dari diproklamirkannya kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hata pada tahun 1945 bertepatan dengan kalahnya Jepang terhadap pasukan sekutu. Kedatangan sekutu untuk melucuti kekuasaan Jepang pasca kemerdekaan diproklamirkan, ternyata diboncengi oleh NICA – Belanda yang bertujuan meneruskan pengaruh dan sistem kolonialismenya sebagaimana pernah mereka lakukan. Akibatnya, perang meletus antara pro-kemerdekaan RI dan pihak Belanda. Pada masa ini Passi masih tetap merupakan wilayah distrik atau ke-panggulu-an dalam wilayah pemerintahan kerajaan Bolaang Mongondow.
Pemerintah Belanda yang tidak mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia pasca didirikan, membuat perang masih meletus termasuk di Bolaang Mongondow dengan lahirnya Laskar Banteng Kemerdekaan RI bermarkas di Tanoyan.
Perdebatan panjang dalam pertemuan dan konfrensi-konfrensi antara pihak Indonesia dan Belanda, melahirkan keputusan sebagaimana hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag negeri Belanda, bahwa Belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia asalkan berbentuk federal sehingga dibentuklah RIS (Republik Indonesia Serikat) dimana sejumlah daerah terdiri dari negara-negara bagian. Alhasil bekas pemerintahan kerajaan masing-masing Bolaang Mongondow, Kadipang, Bintauna, dan Bolaang Uki disebut sebagai wilayah swapraja yang tergabung dan berada di wilayah NIT (Negara Indonesia Timur) dengan Presidennya, Sukowati dari Bali.
Lahirlah apa yang disebut Gabungan Bolaang Mongondow dengan wilayah yang terdiri atas zelfbesturende landschappen sesuai pacta tanggal 8 Maret 1948 atas kesepakatan raja Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, Bintauna, dan Kaidipang Besar. Susunan organisasi pemerintahan ialah Dewan Raja-raja di samping Dewan Raja-raja ada Dewan Rakyat yang menjalankan kekuasaan legislatif. Berdasarkan pertimbangan bahwa gabungan Bolaang Mongondow itu terlalu kecil untuk dijadikan daerah yang berada langsung di bawah pengawasan pemerintah NIT, maka, daerah itu harus mengadakan penggabungan dengan Neolandschap Gorontalo dan Landschap Bual pada 7 Feb 1949. (S. Nadjamudin-Tome, 1984, Sastra Lisan Bolaang Mongondow. Jakarta. Depdikbud, hlm. 13)
Hasil kesepakatan raja-raja di atas secara resmi berlaku tanggal 20 Agustus 1948 No. B 17/1/8. Resmilah wilayah Swapraja ini masuk dalam NIT termasuk Passi adalah bagian dari wilayah swapraja Bolaang Mongondow dengan status wilayah Passi masih terhitung sebagai wilayah distrik dengan Panggulu sebagai kepala distriknya.
Tanggal 1 Juli 1950 Kerajaan Bolaang Mongondow resmi berakhir atas desakan masa rakyat oleh Syarikat Islam, PSII, dan beberapa organisasi kerakyatan lain tepat tujuh bulan setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949.
9. Kabupaten Bolaang Mongondow (1954-2007)
Kabupaten Bolaang Mongondow terbentuk berdasarkan PP No. 24 Tahun 1954 yang mencabut gabungan Bolaang Mongondow tanggal 8 Maret 1948.
Wilayah kabupaten ini mewarisi luas Afdeeling Bolaang Mongondow sebagaimana Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie van 19 Juni 1903 No. 32 (huruf 4e) Lembar Negara No.249.
Pada masa ini Passi yang sebelumnya adalah wilayah distrik yang dikepalai Panggulu meliputi sejumlah desa-desa, berubah statusnya menjadi wilayah Kecamatan dimana desa Passi adalah Ibukota Kecamatan Passi. Pada masa ini Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki 15 Kecamatan antara lain: Kotamobagu, Passi, Modayag, Lolayan, Dumoga, Bolaang Uki, Pinolosian, Kotabunan, Bolaang, Poigar, Lolak, Sang Tombolang, Bintauna, Bolang Itang, dan Kaidipang.
Kabupaten ini dalam Perkembangannya, sejak tahun 2007 terbagi menjadi Kabupaten Bolaang Mongondow Utara dan Kota Kotamobagu, dan pada 2008 dimekarkan lagi menjadi Bolaang Mongondow Timur dan Bolaang Mongondow Selatan.
10. Kabupaten Bolaang Mongondow (2007-Sekarang)
Pada tahun 2007 Kabupaten Bolaang Mongondow dimekarkan menjadi 4 Kabupaten dan 1 Kota, yakni Kabupaten Bolaang Mongondow (sebagai Kabupaten Induk), Kota Kotamobagu, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Selatan, dan Bolaang Mongondow Utara. Sejak tahun 2008 Ibukotanya yang sebelumnya di Kota Kotamobagu pindah di Lolak dan memiliki 15 Kecamatan yaitu; Passi Barat, Passi Timur, Bilalang, Dumoga, Dumoga Barat, Dumoga Tengah, Dumoga Tenggara, Dumoga Timur, Dumoga Utara, Bolaang, Bolaang Timur, Poigar, Lolak, Lolayan, dan Sang Tombolang.
11. Pemekaran Desa
Pada tahun 2004, Desa Passi dimekarkan menjadi dua desa, yakni Desa Passi sebagai desa Induk, dan Desa Passi II sebagai Desa hasil pemekaran.
Arti Kata Passi
Kata Passi dalam bahasa Mongondow artinya; dengarkan. Namun kata ini sudah lama sekali tidak digunakan atau sudah tidak hidup dalam percakapan sehari-hari Org Passi hari ini.
Lantas bagaimana hingga kata Passi yang dianggap sebagai bahasa kuno Org Mongondow yang sudah lama tidak digunakan atau bahkan sudah punah ini, diterjemahkan sebagai; dengar atau dengarkan?
Untuk menemukan atau menjelaskannya diperlukan pendekatan morfologi linguistik yang merupakan suatu bidang ilmu linguistik yang mengkaji tentang pembentukan kata atau morfem-morfem dalam suatu bahasa.
Melalui morfem-morfem dalam tata bahasa Mongondow, dapat diungkap bahwa—sebagai bahasa kuno—kata Passi ditemukan dari kata atau perkataan yang masih dituturkan, digunakan, dan dimengerti hingga saat ini dalam bentuk kata atau kalimat (kata kerja) yakni apa yang disebut dengan ; Mongasi.
Dalam bahasa Mongondow, Mongasi (kata dasarnya Passi) berarti mendengarkan suara burung dan fenomena alam. Merupakan tradisi peninggalan kuno Org Mongondow masa lampau lewat sebuah ritual.
Mongasi beda dengan Mongindongog (mendengarkan). Arti secara harfiah memang sama-sama mendengarkan, namun berbeda dari segi nilai, pemaknaan, maksud dan tujuan. Jika Mongasi dilakukan lewat sebuah ritual, maka Mongindongog tidak sebab hanya dipakai secara umum, dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya Mongindongog kon o’uman (mendengarkan cerita).
Terdapat tiga kelompok proses morfologis yang mungkin terjadi di dalam bahasa Mongondow, yaitu pengimbuhan (afiksasi), perulangan (reduplikasi), dan pemajemukan (kompositum).
Proses morfologis dalam bahasa Mongondow dapat kita mulai dengan melihat Pengimbuhan (Afiksasi) yang merupakan proses pembubuhan imbuhan pada suatu bentuk untuk membangun bentuk yang lebih besar. Imbuhan yang terdapat dalam bahasa Mongondow ialah awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks), dan bentuk terbagi. Setelah melalui penganalisisan guna memperjelas daya tangkap kita terhadap pengimbuhan ini, lebih dahulu dicantumkan daftar imbuhan yang diperoleh, yaitu sebagai berikut;
Awalan i-, ai-, imo-, mo-, mog-, momo- dan variasinya, nogo-, dan variasinya, pomo-, dan variasinya, no-, nog-, pino-, po-, pog-, mopo-, nopo-, popo-, pinopo-, to-, tolo- dan variasinya, yo-, moyo-, poyo-, pinoyo-, mopoyo-, ko-, kogkino-, kopo-, dan variasinya, moko-, moli-, noko-, poko-,' pinoko-, mopoko-, ma-, na-, pa-, moki-, noki-, poki-, pinoki-, moro-, noro-, poro-, pinoro-, mogi-, nogi-, pogi-, pinogi-, mopogi-, mo'i-, no'i-, moro'i-, noro'i-, mongi-, nongi-, pongi-,pinongi-, mongo-, nongo-, kongo-, mongongi-, pokongo-, mokiko-, nokiko-, pokiko-,mopoki-, nopoki-, mokoki-, nokoki-, pokoki-, mokipo-, nokipo-, dan pokipo-. '
Sisipan
-um-um-, -in-, in-, i-, -im-, im-, -inum-, inum-! -inim-.
Akhiran
-an, --on, --don, -pa, -mai, -makow, -ku, -mu, --ea, -nya, -monia, -nami, dan -monimu.
Bentuk Terbagi i--ea, i-nya, inta-mai, ka-an, ko-an, ko-nya, ko-makow, mo-don, mo-mai, mo-makow, mo-pa, no-don, no-mai, no-makow, po--don, po-an, kino-an, kino--ea, kino-annya, mogo-an, moko-mai, mopo-an, nogo--don, noko-don, nopo-an, poyo-on, poro-on, noyo-nya, noyo-mai, pino-an, pino--ea, pino-nya, pino-annya, poko-nya, poko-an, pinoko-an, pomo-an, popo-an, pinopo-an, popo-don, poki-an, pinoki-an, pogi-an, pinogi-an, pinoki--don, pinopo-nya, pinoro--an, to-an, -in-an, -in--don,_dan -in-maio
Membahas Pengimbuhan (Afiksasi), Awalan, Sisipan, Akhiran, dan Bentuk Terbagi dalam tata bahasa Mongondow sebagaimana keterangan di atas, akan membutuhkan ratusan lembar halaman dengan penjelasan panjang. Maka dari itu, untuk meringkasnya, kaitan dengan penjelasan soal kata Passi dan morfem-mofem-nya, kita langsung saja pada penjelasan Awalan mo— berikut ini :
Awalan mo—dapat dirangkaikan pada kata benda, kata kerja, dan kata sifat. Jika dirangkaikan pada kata dasar yang diawali vokal a,o, u dan i serta kata dasar yang diawali konsonan k, p, maka awalan mo—berubah menjadi mog— mom—, dan mong—. Sesuai penjelasan tersebut (awalan mo— menjadi mog— mom— dan mong—), maka Mongasi berasal dari kata dasar yang diawali konsonan p. Sehingga Mongasi asal katanya adalah Passi.
Contoh kata dasar yang diawali konsonan k dan p dalam bahasa Mongondow :
Kata dasar | Arti | Menjadi | Arti |
kari | kais | mongari | mengais |
passi | dengar | mongasi | mendengarkan |
kukud | garuk | mongukud | menggaruk |
pais | tulis | momais | menulis |
kobit | colek’ | mongobit | mencolek |
pili’ | pilih | Momili’ | memilih |
kali | gali | mongali | menggali |
patoi | bunuh | momatoi | membunuh |
Perlu dijelaskan bahwa passi (dengar) yang menjadi mongasi (mendengarkan), dalam pengertian ini bukanlah dongog (dengar), indongogai (dengarkanlah), atau mongindongog (mendengarkan) sebagai bahasa yang umum dipakai ketika seseorang mendengar atau mendengarkan, melainkan dengar (passi) atau mendengarkan (mongasi)—bentuk kata kerja—yang disebutkan ketika seseorang melakukan ritual mendengarkan suara burung dan memperhatikan fenomena alam sekitar.
Bentuk-bentuk kata dari kata dasar Passi menggunakan bentuk awalan mong :
Kata dadar Passi (menggunakan bentuk awalan mong— ) | Keterangan |
mongasi | mendengar |
mongasisi | sedang melakukan/mendengar |
mongongasi | pelaku subjek Org yang kerap mengerjakan subjek (makna pasif) |
mongongasisi | pelaku subjek, yang kerjanya adalah subjek (makna aktif) |
mongongasisian | saling melakukan subjek |
mongongasi | tukang/pelaku subjek |
Kata Dasar Passi (menggunakan bentuk awalan mo— dan momo— ) |
Keterangan |
momasisi | melakukan subjek |
momomasisi | pelaku/Org yang kerjanya adalah ‘subjek’ |
Keterangan : Jika momasisi adalah mengerjakan Passi (dalam arti mongasi), maka awalan menggunakan mo— kembali pada kata yang sudah memakai awalan mo— pertama sehingga bentuknya menjadi mo-momasisi maka arti momo-masisi adalah ; si tukang ‘subjek’ atau Org yang kerjanya adalah melakukan ritual mongasi.
Sebagaimana dijelaskan, asal-usul kata Passi dilakukan melalui pendekatan etimologi dan morfologi berdasarkan dari apa yang masih dipahami, dimaknai, dan disebut oleh masyarakat Passi atau Mongondow sampai pada hari ini, yakni yang diperoleh dari perkataan Mongasi.
Mongasi adalah perkataan Org Passi atau Org Mongondow pada umumnya yang merujuk pada suatu upaya atau ikhtiar di dalam mendengarkan suara burung dan memperhatikan fenomena alam. Tanda-tanda yang didengar atau diperoleh ini lantas diterjemahkan; apakah sesuatu yang didengar atau dilihat itu mengandung kabar dan peristiwa yang telah terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi di kemudian hari. Itulah yang disebut dengan Mongasi, asal katanya adalah Passi.
Ritual Mongasi ini dilakukan dalam bentuk upacara sehingga dilakukan suatu rencana dan persiapan-persiapan. Ketika semua itu sudah disiapkan dan ritual Mongasi dilakukan, maka itu pulalah yang disebut dengan Momasisi.
Ketika ritual Mongasi atau Momasisi dilakukan di suatu wilayah atau di suatu tempat dan dilakukan secara berulang-ulang, maka tempat itu dinamakan Pomomasisian, yang artinya suatu tempat yang kerap dijadikan sebagai arena upacara/ritual Mongasi. Sedangkan Org yang melakukan ritual itu disebut Mongongasi atau Mongongasisi jika ia sedang melakukan atau kerap mengerjakannya, dan disebut Momomasisi jika subjek sudah atau telah melakukan.
Momomasisi, Mongongasi, dan Mongongasisi, ketiga kata ini meskipun memiliki arti yang pada prinsipnya sama, akan tetapi memiliki tingkatan pemaknaan yang berbeda. Artinya memang merujuk pada semua ‘pelaku’ atau ‘tukang’/Org yang melakukan subjek (ritual Mongasi). Yang membedakannya adalah penyebutan yang memengaruhi pemaknaan kata pada kalimat.
Oleh karena Pomomasisian atau tempat melakukan ritual Mongasi ini berada di sebuah puncak bukit, maka dinamakanlah tempat itu sebagai Tudu In Passi. Tudu artinya Puncak atau di atas. In digunakan sebagai kata untuk menunjukan tempat, dan Passi artinya dengarkan. Sedangkan Pomomasisian artinya seuatu tempat melakukan ritual Mongasi. Kata dasarnya adalah Passi.
Tindakan Mongasi atau Momasisi adalah ritual dalam mendengarkan suara burung maupun gejala alam lainnya adakah mungkin memberikan tanda atau gejala tertentu yang merupakan penanda sesuatu bakal terjadi di kemudian hari atau di masa yang akan datang. Sedangkan Pomomasisian, Pongongasian, atau Pongongasisian, merujuk pada suatu tempat atau wilayah tertentu yang digunakan sebagai areal dalam melaksanakan ritual Momasisi atau Mongasi. Tempat yang dipilih untuk melakukan ritual Mongasi atau Momasisi ini disebut Pomomasisian yang secara harfiah berarti suatu tempat mendengarkan suara burung dan fenomena alam melalui sebuah ritual untuk kemudian diterjemahkan; adakah mungkin memberikan tanda akan sesuatu bakal terjadi di kemudian hari atau di masa yang akan datang.
Karena Pomomasisian ini berada di puncak bukit, maka dinamakanlah tempat ini Tudu In Pomomasisian, Tudu In Pongongasisian, Tudu In Pasisi, atau Tudu In Passi, yang artinya; puncak bukit tempat mendengarkan suara burung dan membaca fenomena alam lewat sebuah ritual Mongasi. Di Tudu In Pomomasisian atau di Tudu In Passi inilah ritual Mongasi kerap dilakukan Bogani-Bogani yang pernah hidup di Tudu In Passi, utamanya adalah yang paling terkenal pada jamannya yakni Bogani Ki Bagat. Sejak Tudu In Passi dipilih sebagai tempat pelaksanaan ritual Mongasi, tempat ini dianggap suci, keramat, dan diyakini penuh dengan pantangan.
Pomomasisian sama artinya juga dengan Pokokidongogan. Perbedaannya adalah, jika Pokokidongogan (sumber atau tempat mendengarkan) tidak diperlukan suatu ritual dalam mendengar, maka Pomomasisian memerlukan sebuah ritual. Kata dasarnya adalah Passi.
Penggabungan kelompok dan komunitas-komunitas adat yang diprakarsai Tiaha Mokodompit inilah yang dibentuk menjadi sebuah negeri yang diberi nama Passi. Adalah nama yang diambil dari tempat para Bogani melakukan ritual Mongasi di Tudu In Passi yang terbawa-bawa dari generasi ke generasi.
Dimulailah kehidupan masyarakat negeri Passi dipimpin dan dijaga oleh seorang Bogani generasi terkini bernama Tiaha Mokodompit. Ritual Mongasi warisan para Bogani masih tetap dilaksanakan oleh kelompok masyarakat ini. Begitupun ritual Motayok, dan ritual keagamaan lainnya yang tak lepas dari kehidupan masyarakat Passi jaman agama Sigi atau Sibi[1]
Tiaha Mokodompit diregenerasi lagi oleh seorang yang sangat terkenal pula kekuatannya. Bogani ini bernama Ani kemudian dikenal juga dengan Dodoyu Ani. Ia memegang tampuk pimpinan sebagai kepala negeri Passi dan disebut Sangadi Dodoyu Ani.
[1] M.W.M. Hekker, Vooroudercultus en Sjamanisme in Bolaang Mongondow;1991:451 (Keterangan : Hekker menulisnya Sigi, yang sebetulnya adalah Sibi. Keterangan ini mengacu pada upacara keagamaan di Mongondow dikenal dengan Monibi (Mengobati) dilakukan setahun sekali.
Penduduk
[sunting | sunting sumber]Dusun | Jiwa | KK | L | P | Anak | Lansia | Rumah | Kantor |
I | 397 | 121 | 209 | 188 | 7 | 5 | 84 | |
II | 361 | 112 | 192 | 172 | 7 | 13 | 64 | |
III | 266 | 79 | 132 | 134 | 20 | 56 | ||
IV | 247 | 78 | 135 | 114 | 5 | 1 | 55 | 3 |
V | 417 | 120 | 198 | 219 | 36 | 13 | 99 | 3 |
Jumlah = | 1.688 | 510 | 866 | 827 | 75 | 32 | 358 | 6 |
Referensi
[sunting | sunting sumber]- M.W.M. Hekker, Vooroudercultus en Sjamanisme in Bolaang Mongondow;1991:451
- W.Dunnebier, Bolaang Mongondowse Teksten - Koninklijk Instituut voor Taal-,Land- en Volkenkunde (KITLV Netherlands)
- Uwin Owen Mokodongan, Toedoe In Passi, Sejarah Desa Hingga Kiprah Loloda Mokoagow
- NP Wilken and JAT Schwarz “Verhaal eenar reis naar Bolaang Mongondow” Mededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendelinggenootschap,11 (1867: 237-238) bijdragen tot de kennis der zending en der taal-, land en volkenkunde van Nederlandsch Indie
- W.Dunnebier, Over de Vorsten van Bolaang Mongondow - - Koninklijk Instituut voor Taal-,Land- en Volkenkunde (KITLV Netherlands)
- Nutrina Gonibala Mango, Kelaskaran Banteng Kemerdekaan RI Bolaang Mongondow