Gereja Santo Servatius, Kampung Sawah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gereja Santo Servatius
Gereja Katolik Paroki Santo Servatius, Kampung Sawah
Tampak depan Gereja Santo Servatius
LokasiJl. Raya Kampung Sawah No.75 Bekasi 17113
NegaraIndonesia
DenominasiGereja Katolik Roma
Situs webwww.servatius.id
Sejarah
RelikuiSanto Servatius
Arsitektur
StatusParoki
Status fungsionalAktif
GayaArsitektur Betawi
Administrasi
ParokiKampung Sawah
DekenatBekasi
Keuskupan AgungJakarta
ProvinsiJakarta

Gereja Santo Servatius, Kampung Sawah adalah sebuah gereja paroki Katolik yang sebagian besar beranggotakan warga Katolik Betawi di wilayah Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat.[1][2] Budaya Betawi masih ditunjukkan oleh para anggota gereja tersebut melalui penggunaan bahasa dan kosakata Betawi yang merupakan turunan dari bahasa Melayu.[3][4] Di Kampung Sawah sendiri budaya Betawi tetap bertahan sekalipun beberapa bagian di antaranya telah punah.[5] Salah satu ritual budaya Betawi yang masih bertahan, walaupun mengalami perubahan, adalah bebaritan atau yang saat ini dikenal dengan nama sedekah bumi.[5] Uniknya, ritual tersebut pada masa kini dilakukan di Paroki Santo Servatius Kampung Sawah.[5]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Tampak Gereja Santo Servatius dan lonceng gereja.

Pada akhir abad XIX, sebagian besar warga Kampung Sawah telah menganut agama Islam.[2] Walaupun demikian ritual-ritual animisme masih sering mereka lakukan, terutama bila mereka memasuki tempat-tempat yang dianggap angker.[2] Wilayah Kampung Sawah saat itu masih sepertihutan belantara yang gelap.[2] Mayoritas penghuninya adalah orang-orang Betawi yang berbahasa Melayu dan terdiri dari percampuran berbagai macam kebudayaan dan keturunan.[2][3][4]

Perpaduan antara budaya Betawi dengan kekristenan sebenarnya sudah terjadi sebelum masuknya Katolik ke Kampung Sawah.[2][6][7] Meester Anthing adalah orang Protestan pertama yang berhasil masuk ke dalam budaya Betawi.[7] Ia berhasil mendirikan jemaat di Kampung Sawah dan berhasil memadukan ritus-ritus budaya dengan kekristenan yang menitikberatkan pada ngelmu dan hal-hal mistik lainnya.[2][7] Sayangnya hal tersebut dianggap sinkretisme dan semakin lama praktik-praktik tersebut mulai memudar.[2][7] Saat ini masih tersisa beberapa anggota jemaat yang menggunakan doa Bapa Kami dalam bahasa Betawi untuk melindungi mereka di tempat-tempat angker.[2]

Paroki Santo Servatius Kampung Sawah sendiri merupakan sempalan dari Gereja Protestan Kampung Sawah yang dirintis oleh Meester Anthing.[1] Pada tahun 1895 jemaat Protestan Kampung Sawah terpecah menjadi tiga fraksi yang saling bermusuhan.[1][2] Fraksi pertama adalah kelompok guru Laban yang bermarkas di Kampung Sawah barat, fraksi kedua adalah kelompok Yoseh yang mengadakan kebaktian di Kampung Sawah timur dan fraksi ketiga adalah kelompok guru Nathanael yang memilih Katolik Roma untuk masuk ke Kampung Sawah.[2] Guru Nathanael sendiri melakukan hal tersebut setelah ia dipecat dari jabatan guru pembantu di Gereja Protestan Kampung Sawah.[1][2] Ia kemudian mencari bantuan ke gereja Katedral yang berada di Lapangan Banteng, Jakarta.[1][2][7] Pada tanggal 6 Oktober dianggap sebagai hari kelahiran umat Katolik Kampung Sawah (sebutan awal untuk Paroki Santo Servatius Kampung Sawah) setelah Pastor Schweitz membaptis 18 anak di Kampung Sawah.[2]

Sejarah Ritual Bebaritan menjadi Sedekah Bumi[sunting | sunting sumber]

Bebaritan adalah ritual animisme yang dilakukan oleh warga Kampung Sawah untuk memohon keselamatan kepada denghaeng, dedemit, ataupun penunggu dari suatu daerah yang dianggap angker.[2][5] Seluruh warga membawa makanan yang diolah dari hasil bumi mereka masing-masing dan berkumpul di tempat angker tersebut.[5] Semua makanan yang telah dibawa oleh tiap-tiap warga dicampur dan disusun di atas daun pisang yang lebar sebagai alasnya.[5] Warga kemudian mengambil tempat dan berbaris sejajar dengan makanan yang sudah disusunnya.[5] Kemudian pemimpin ritual membacakan rapal-rapal (mantra-mantra) dari ujung barisan.[5] Setelah pembacaan rapal, seluruh warga menyantap makanan yang telah mereka susun di atas daun pisang tadi.[5] Ungkapan syukur warga melalui pembacaan rapalan dan acara makan bersama biasanya diisi pula dengan tari-tarian dan musik tradisional Betawi.[2][5]

Saat ini ritual bebaritan dalam bentuk yang asli sudah tidak ada lagi.[5] Ritual bebaritan terakhir kali dilakukan pada tahun 1963/1964 dan dilangsungkan dalam bentuk yang lebih modern, yaitu dengan dangdutan.[5] Pada tahun 1936, untuk pertama kalinya diadakan upacara sedekah bumi di antara anggota Paroki Santo Servatius Kampung Sawah.[2][5] Ketika itu Pastor Oscar Cremers memberkati panen padi sebagai bentuk pengucapan syukur dari warga Kampung Sawah.[2][5] Peristiwa tersebut menjadi cikal-bakal ritual sedekah bumi di Paroki Santo Servatius.[5] Ritual sedekah bumi hingga kini dilaksanakan setiap tanggal 13 Mei.[2][5]

Saat itu ritual tersebut dilakukan secara sederhana, yaitu pemberkatan panen dan pembagian sebagian hasil panen tersebut kepada penderep.[5] Penderep adalah orang-orang yang membantu pemilik sawah untuk memetik hasil panennya.[5] Ritual tersebut kemudian juga dilakukan dalam bentuk penyerahan persembahan dari warga gereja yang hadir ketika ekaristi dilaksanakan.[5] Para anggota Paroki Santo Servatius menyerahkan hasil bumi berupa kelapa, durian, nangka, rambutan, singkong, padi, dan sebagainya secara langsung di dalam misa di gereja.[5]

Inkulturasi Budaya Betawi[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 13 Mei 1996, yaitu hari peringatan Santo Servatius, sebanyak enam pria dan enam wanita asli Betawi dilantik sebagai anggota perkerabatan Santo Servatius.[2] Perkerabatan Santo Servatius merupakan bentuk penghidupan kembali tradisi kuno dalam gereja Katolik yang mengungkapkan iman para anggotanya melalui bentuk-bentuk lahiriah untuk nilai-nilai spiritual (seperti fraternity atau conferia).[2] Perkerabatan tersebut bertujuan untuk melayani dan memperkenalkan devosi terhadap Santo Servatius yang relikwinya akan ditempatkan di dalam gereja tersebut.[2] Berbagai atribut pakaian khas Betawi pun digunakan oleh mereka, seperti peci hitam, celana komprang hitam, baju sadaria putih, sarung merah dan golok bagi para bapak, sedangkan bagi para ibu menggunakan kerudung putih, sarung batik dan kebaya putih.[2] Korps musik tanjidor untuk pertama kalinya tampil di tengah anggota jemaat.[2] Nyanyian jemaat pun digubah sesuai dengan nada lagu Betawi yang sebagian besar digubah oleh Marsianus Balita.[2][5] Upacara tersebut ditutup dengan makan bersama di halaman gereja dan di Warung Servas (singkatan dari Servatius) yang terletak di seberang gereja.[2][5] Pelantikan tersebut dilakukan bersamaan dengan ritual sedekah bumi yang menjadi ciri khas paroki Santo Servatius.[2]

Saat ini setiap tanggal 13 Mei paroki Santo Servatius selalu mengadakan ritual sedekah bumi dan pesta rakyat yang berlangsung selama misa dan setelah misa.[2] Selain berbagi hasil bumi berupa makanan khas Kampung Sawah seperti kue abug, singkong rebus, kacang rebus, dll, acara juga dimeriahkan dengan lagu-lagu Benyamin S.[5] Selain acara-acara tersebut, di dalam ritual sedekah bumi juga dilakukan pembuatan dodol (ngaduk dodol).[5] Dodol ini diolah sejak dini hari dan dilakukan selama tujuh jam.[5] Makna dari kegiatan ngaduk dodol ini tidak terlepas dari syarat-syarat dalam proses pembuatannya.[5] Syarat pertama adalah syarat kultural yang dibagi menjadi dua macam yaitu sugesti dan pengendalian.[5] Bentuk sugesti yang dilakukan adalah dengan menepuk kuali sebanyak tiga kali sambil mengajukan permintaan agar dodol jadi dalam waktu yang telah ditentukan, tetapi apabila tidak jadi sesuai dengan waktu yang ditentukan maka dodol tersebut akan dihanyutkan ke sungai yang mengalir.[5]

Bentuk pengendalian yg dilakukan selama pembuatan dodol adalah menjaga agar adonan tidak terlalu encer.[5] Orang yang boleh mencicipi kole (dodol setengah jadi) adalah orang yang dianggap paling tua.[5] Kayu yang digunakan untuk bahan bakar adalah kayu rambutan atau pelepah kelapa sebab tidak menimbulkan banyak abu.[2] Selain itu, api yang digunakan untuk memasak adonan dodol harus dijaga agar tetap kecil dan tidak padam.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e A. Heuken. 2003. Gereja-gereja Tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. hlm. 185-186.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad R. Kurris. 1996. Terpencil di Pinggiran Jakarta: Satu Abad Umat Katolik Betawi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 1-192.
  3. ^ a b Muhadjir. 2000. Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 60-61.
  4. ^ a b Ridwan Saidi. 1997. Profil Orang Betawi: Asal-muasal, Kebudayaan dan Adat-istiadatnya. Jakarta: Gunara Kata. hlm. 90-91.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-02. Diakses tanggal 2011-04-15. 
  6. ^ Th. van den End dan J. Witjens. 1999. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an-Sekarang. hlm. 219.
  7. ^ a b c d e M.P.M. Muskens. 1974. Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Agung Jakarta dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid 3: Wilayah-wilayah Keuskupan dan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia Abad ke 20. hlm. 745-749.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]