Sunan Bayat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Pangeran Bayat)

Tembayat
Ilustrasi Sunan Tembayat
Informasi pribadi
Lahir
Hasan Nawawi

±1461
Meninggal±1547
AgamaIslam
PasanganNyai Ageng Kaliwungu
Nyai Ageng Krakitan
AnakPanembahan Jiwo
Nyai Ageng Giring II
Raden Ayu Panembahan Agung
Raden Ayu Biting
Orang tua
DenominasiSunni
Dikenal sebagaiWali Sanga, Wali Tutup, pengganti Syekh Siti Jenar
Pemimpin Muslim
Penerus-
Gapura makam Sunan Pandanaran di Bayat, Klaten

Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan. Ia terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Sanga. Makamnya terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat") di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-15). Beliau juga dikenal sebagai wali pengganti Syekh Siti Jenar yang menurut kisah dihukum oleh Dewan Wali Sanga.

Asal-usul[sunting | sunting sumber]

Terdapat paling tidak tiga versi mengenai asal-usulnya: [1]

1.  SUNAN PANDANARAN I

Sunan Pandanaran I (Satu) atau Ki Ageng Pandanaran merupakan putra dari Prabu Brawijaya V (Sang Raja Terakhir Kerajaan Majapahit) dan bernama asli JOKO SUPENO. Beliau ini merupakan Pendiri Kota Semarang. Haulnya selalu diperingati oleh para pejabat Kota Semarang setiap tahun sebagai PENDIRI KOTA SEMARANG. Sunan Pandanaran I (Satu) ini dimakamkan di Kelurahan Randusari, Mugasari, Semarang Selatan. Sunan Pandanaran I (Satu) ini memiliki istri bernama Nyai Endang Sejanila dan memiliki beberapa anak serta menantu. Salah satu menantu Sunan Pandanaran I (Satu)/ Joko Supeno Bin Brawijaya V adalah Sunan Pandanaran II (Dua) atau yang lebih dikenal dengan “SUNAN TEMBAYAT” sebab banyak mengajarkan patembayatan/ pirukunan/ gotong-royong terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu. Yakni, tanpa memandang agama, suku, budaya, etnis dan semacamnya.

2.  SUNAN PANDANARAN II

Sunan Pandanaran II (Dua) merupakan menantu dari Sunan Pandanaran I (Satu). Beliau inilah yang akhirnya menjadi murid Sunan Kalijogo dan terkenal dengan sebutan “SUNAN TEMBAYAT” yang makamnya berada di Paseban, Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Sunan Pandanaran II (Dua) atau yang lebih dikenal dengan Sunan Tembayat ini merupakan putra Sayyid Maulana Hamzah (Pangeran Tumapel) Lamongan Bin Sunan Ampel Surabaya, dan bernama asli SAYYID HASAN NAWAWI dan biasa disebut RADEN KAJI. Dalam kehidupannya, Sunan Tembayat ini pernah menikah sebanyak sembilan (9) kali, termasuk menikahi putri tercantik dari Sunan Pandanaran I (Satu) Sang Pendiri Kota Semarang. Dan ketika di Bayat-Klaten, Sunan Pandanaran II (Dua) ini memiliki dua istri, yaitu: (1) Nyai Ageng Kaliwungu Binti Bathoro Kathong, dan (2) Nyai Ageng Krakitan. Dan perlu diketahui bahwa Sunan Pandanaran II (Sunan Tembayat) ini masih merupakan keponakan Sunan Kalijogo dari jalur istrinya Sayyid Maulana Hamzah (Pangeran Tumapel) Lamongan.

3.  SUNAN PANDANARAN III

Sunan Pandanaran III (Tiga) ini merupakan pengganti jabatan Adipati Semarang setelah ditinggal Sunan Pandanaran II/Sunan Tembayat yang rela melepaskan semua harta, wanita, dan tahta untuk menyusul dan berguru kepada Sunan Kalijaga di Puncak Jabalkat Gunung Cokro Kembang Klaten-Jateng. Sunan Pandanaran III (Tiga) sering disebut PANGERAN MANGKUBUMI ini merupakan putra dari Sunan Pandanaran II Bin Brawijaya V dan dimakamkan di IMOGIRI. Jadi, setelah Kadipaten Semarang ditinggal Sunan Pandanaran II/Sunan Tembayat, lalu jabatan Adipati Semarang dipegang oleh SUNAN PANDANARAN III (PANGERAN MANGKUBUMI) yang merupakan adik ipar dari Sunan Pandanaran II/Sunan Tembayat.

Riwayat Lain[sunting | sunting sumber]

Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.

Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Terdapat variasi cerita menurut beberapa babad tentang bagaimana Sunan Kalijaga menyadarkan sang bupati. Namun, pada akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.

Pangeran Mangkubumi kemudian berpindah ke selatan (entah karena diperintah sultan Demak Bintara ataupun atas kemauan sendiri, sumber-sumber saling berbeda versi), didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, Mojosongo, Sela Gringging dan Wedi, menurut suatu babad. Konon sang pangeran inilah yang memberi nama tempat-tempat itu). Ia lalu menetap di Tembayat hingga akhir hayatnya, yang sekarang bernama Bayat, Klaten, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Muzayyin Shofwan, Arif (20 Mei 2018). "PENJELASAN TIGA GELAR DAN HAKEKAT "SUNAN PANDANARAN" YANG SERING DIPERTANYAKAN MASYARAKAT UMUM". PUSTAKA AGUNG SUNAN TEMBAYAT II. Diakses tanggal 15 April 2024. 
  2. ^ Budiman, Amin. Semarang, Riwayatmu Dulu. Semarang: Satya Wacana.