Pandangan Islam tentang manusia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Pandangan Islam tentang manusia selalu berkaitan dengan hakikat penciptaan manusia oleh Allah. Manusia diciptakan dengan dua tujuan utama yaitu beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah di Bumi. Tujuan ini didukung oleh pemberian akal oleh Allah kepada manusia. Di dalam Al-Qur'an, manusia disebut dengan tiga istilah, yaitu Bani Adam, basyar dan insan. Ketiga penyebutan ini masing-masing memiliki aspek yang berkaitan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat manusia dalam pandangan Islam meliputi kemampuan untuk berpikir, mencipta, beriman dan bertakwa serta memiliki keterbatasan indra dan mengalami kematian.

Allah telah menetapkan tempat tinggal bagi manusia yaitu di Bumi. Dalam kehidupannya, manusia menjalin hubungan dengan Allah dan makhluk ciptaan-Nya. Beberapa manusia pilihan menjadi utusan Allah di Bumi dengan tugas sebagai nabi atapun rasul. Allah telah memberikan manusia kemampuan untuk berpikir mengenai Tuhan dan memberikan pedoman hidup bagi manusia dalam bentuk kitab suci berupa Al-Qur'an dan Sunnah.

Hakikat penciptaan[sunting | sunting sumber]

Allah menciptakan manusia dengan dua tujuan utama. Pertama ialah beribadah kepada Allah. Kedua ialah menjadi khalifah di Bumi.[1] Peran pertama dinyatakan oleh Allah dalam Surah Az-Zariyat Ayat 56.[2] Lalu peran kedua dinyatakan dalam Surah Al-Baqarah Ayat 30.[3] Peran lain yang juga diberikan oleh Allah kepada manusia yaitu memakmurkan Bumi.[4] Hal ini dinyatakan dalam Surah Hud Ayat 61.[5]

Pencapaian tujuan dari penciptaan manusia telah dipermudah oleh Allah dengan memberikan potensi kepada manusia berupa akal. Keberadaan akal ini yang membedakan manusia dengan hewan.[6] Tujuan penciptaan manusia telah diberikan kepada Adam dan keturunannya.[7] Allah telah menciptakan berbagai makhluk yang memberikan manfaat bagi manusia. Penciptaan makhluk-makhluk ini bertujuan agar manusia mensyukuri nikmat pemberian Allah. Salah satu contohnya ialah Matahari. Allah memberikan sinar matahari bagi manusia tanpa meminta biaya apapun.[8]

Penyebutan[sunting | sunting sumber]

Di dalam Al-Qur'an, istilah yang merujuk tentang manusia selalu berkaitan dengan aspek penciptaannya.[9] Tiga istilah yang digunakan ialah Bani Adam, basyar dan al-insan.[10] Pada aspek sejarah, manusia disebut sebagai Bani Adam. Penyebutan ini terdapat di dalam Surah Al-A'raf Ayat 31.[9]

Dalam aspek fisik yang bersifat kimiawi dan biologi, manusia disebut menggunakan istilah basyar. Istilah ini disebutkan sebanyak 37 kali di dalam Al-Qur'an. Salah satunya di Surah Al-Kahfi Ayat 110.[9] Sementara dihitung dengan jumlah turunannya, kata basyar disebutkan sebanyak 124 kali di dalam Al-Qur'an.[11] Kata basyar dapat digunakan untuk menyebut manusia berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan dalam jumlah tunggal maupun banyak.[12] Pemakaian istilah basyar selalu bersamaan dengan bahan penciptaan manusia yaitu tanah liat atau lempeng kering. Penyebutannya antara lain pada Surah Al-Hijr Ayat 33 dan Surah Ar-Rum Ayat 20.[13]

Sementara itu, istilah al-insan berarti makhluk yang mampu memperoleh ilmu dengan menggunakan akal.[14] Di dalam Al-Qur'an, kata insan disebutkan sebanyak 65 kali.[15] Penyebutannya terdapat pada 63 ayat yang termasuk ke dalam 43 surah.[16] Penyebutan ini antara lain pada Surah Al-'Alaq Ayat 5 dan Surah Ar-Rahman ayat 3–4. Penyebutan insan selalu berkaitan dengan sifat psikologis pada manusia. Sifat ini berkaitan dengan kemampuan untuk berpikir, memperoleh ilmu dan menerima amanah. Salah satu ayat yang menunjukkan hal ini adalah Surah Al-Ahzab Ayat 72.[14]

Berkaitan dengan aspek sosiologi, manusia diistilahkan dengan al-nas. Istilah ini berkaitan dengan sifat manusia yang selalu hidup berkelompok dengan sesamanya manusia.[17] Penyebutan al-nas sebanyak 240 kali di dalam Al-Qur'an. Jumlah surah yang menyebutkannya sebanyak 53 surah.[18] Dua di antaranya disebutkan pada Surah Az-Zumar Ayat 27 dan Surah Al-Baqarah Ayat 21.[17]

Sifat[sunting | sunting sumber]

Abu Bakar al-Warraq menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk memiliki sifat yang saling bertentangan namun saling berpasangan. Sementara Allah sebagai pencipta memiliki sifat yang tunggal dan tidak saling bertentangan. Ini dinyatakannya berdasarkan Surah Al-Fajr Ayat 3 mengenai genap dan ganjil. Sifat-sifat manusia yang berpasangan namun berlawanan antara lain kegembiraan dan kesulitan serta suka cita dan duka cita. Manusia juga menerima kesehatan bersama dengan penyakit.[19]

Kemampuan berpikir[sunting | sunting sumber]

Al-Qur'an telah memberikan informasi bahwa setelah penciptaan Adam, Allah memberikan kepadanya pengajaran dan kemampuan untuk mengetahui nama-nama segala jenis benda. Kemampuan ini yang kemudian membedakan manusia dan malaikat dan menunjukkan kemuliaan Adam dibandingkan malaikat. Kisah ini diterangkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 31–33.[20] Melalui pemberian Allah, potensi manusia dalam mengenal konsep dan lambang menjadi dapat dijelaskan menggunakan bahasa. Kemampuan berbahasa ini yang kemudian menciptakan budaya di kalangan manusia.[21]

Manusia kemudian memiliki kodrat untuk selalu penasaran akan sesuatu hal. Sehingga berbagai pengetahuan ditemukan oleh manusia dan kemudian dikembangkan. Kemampuan untuk berpengetahuan ini telah menjadikan manusia sebagai salah satu makhluk yang terhormat dan bermartabat dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Ini dibuktikan dengan perintah Allah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam.[21]

Manusia diberikan empat potensi yang umum yang menjadi landasan dan sumber pengetahuan. Potensi ini meliputi daya imajinasi, perenungan, penyelidikan dan daya keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat supernatural. Setiap individu manusia memiliki tingkat potensi yang berbeda dengan individu manusia lainnya. Daya imajinasi digunakan oleh manusia untuk menghasilkan hal-hal yang memiliki nilai seni. Daya perenungan telah digunakan oleh manusia untuk menghasilkan hal-hal yang berkaitan dengan filsafat. Daya selidik digunakan oleh manusia untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah dan teknologi. Sedangkan daya keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat supernatural telah membuat manusia mencari pengetahuan mengenai agama. Pengetahuan ini kemudian dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupannya.[22]

Dalam Surah Yunus ayat 101, Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan isi langit dan Bumi. Tujuannya untuk menggunakan kemampuan manusia dalam mempelajari, meneliti dan memanfaatkan sumber daya alam dan ciptaan Allah yang lainnya.[23]

Kemampuan mencipta[sunting | sunting sumber]

Di dalam Islam, sifat manusia sangat berbeda dengan Tuhan. Manusia adalah makhluk yang diciptakan yang sifatnya baru.[24] Manusia hanya memiliki kemampuan mencipta dari apa yang telah Allah ciptakan sebelumnya. Sementara penciptaan yang dilakukan oleh Allah tidak dapat ditiru sama sekali oleh manusia. Karena kemampuan Allah dalam mencipta pada tingkatan menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, seperti makhluk dan alam semesta.[25]

Keimanan dan ketakwaan[sunting | sunting sumber]

Perilaku manusia selalu berkaitan dengan tingkat keimanan dan ketakwaan. Keimanan pada manusia tampak dalam bentuk tindakan yang menghasilkan perbuatan. Sementara ketakwaan tampak dalam ketaatan dan kepatuhan atas suatu tindakan dan perbuatan yang berlandaskan pada keimanan.[26] Kepercayaan keimanan manusia kepada Tuhan di dalam Islam selalu berhubungan dengan akidah. Sementara manusia yang secara sadar dan tulus bersedia menerima segala ketentuan di dalam Islam disebut muslim.[27]

Keimanan dari individu manusia dapat mengalami perubahan tiap waktu. Tingkatan keimanan sangat dipengaruhi oleh lokasi tempat tinggal dan lingkungan sosial. Kedua hal ini menentukan terjadinya kenaikan tingkatan iman atau penurunan tingkatan iman individu.[28]

Keterbatasan indra[sunting | sunting sumber]

Indra manusia memiliki keterbatasan. Manusia tidak mampu melihat dan meraba makhluk gaib seperti malaikat. Namun, Allah memberikan kemampuan kepada malaikat untuk menjelma sebagai manusia. Contohnya disebutkan dalam Surah Maryam Ayat 16-17. Ayat ini mengisahkan pertemuan Malaikat Jibril yang menjelma sebagai manusia dengan Maryam.[29]

Mengalami kematian[sunting | sunting sumber]

Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah yang niscaya mengalami kematian.[30] Ayat-ayat di dalam Al-Qur'an menjelaskan bahwa manusia itu terikat oleh hukum keserba-teraturan dan hukum ketidak-kekalan karena statusnya sebagai ciptaan. Kenyataan atas kematian dialami oleh setiap makhluk hidup. Kematian manusia sendiri tidak dapat dipastikan kapan waktu terjadinya, karena kematian dapat terjadi pada berbagai tingkatan usia.[31]

Tempat tinggal[sunting | sunting sumber]

Bumi, tempat tinggal yang ditetapkan oleh Allah bagi manusia.

Dalam Surah An-Naba' Ayat 6-7, Allah menetapkan Bumi sebagai tempat tinggal bagi manusia. Hal ini diisyaratkan dengan pernyataan Bumi sebagai hamparan. Kemudian ayat ini bersambung dengan pernyataan bahwa gunung-gunung berperan sebagai pasak. Para ahli geologi memberikan pengetahuan bahwa keberadaan gunung-gunung membuat kerak Bumi dapat stabil, sehingga permukaannya dapat ditinggali.[32]

Hubungan[sunting | sunting sumber]

Hubungan dengan Allah[sunting | sunting sumber]

Manusia diwajibkan oleh Allah untuk mempelajari ilmu ibadah. Tujuannya adalah untuk mengetahui hal-hal yang wajib untuk dikerjakan dan hal-hal yang wajib untuk tidak dikerjakan. Perihal ibadah ini dipenuhi menggunakan tubuh manusia dan harta yang dimiliknya.[33] Syariat Islam memberikan aturan peribadahan manusia kepada Allah sebagai hubungan vertikal.[34] Ibadah ini dikenal dengan nama ibadah mahdah. Beberapa contohnya ialah kewajiban untuk wudu, salat, puasa, umrah dan haji.[35] Perintahnya sudah ditetapkan secara pasti oleh Allah dan telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad.[34] Allah juga telah menurunkan kitab-kitab suci untuk menyampaikan kehendak-Nya kepada manusia melalui para utusannya yaitu para rasul.[36]

Hubungan dengan makhluk[sunting | sunting sumber]

Hubungan manusia dengan sesama makhluk diatur dalam syariat Islam dan dikenal dengan nama muamalah. Hubungan ini termasuk pula hubungan manusia dengan manusia. Ketetapan yang termasuk di dalamnya hanya yang berkaitan dengan kehidupan manusia dengan makhluk hidup lainnya serta dengan alam.[34]

Kedudukan[sunting | sunting sumber]

Allah mengetahui segala hal tentang manusia karena diri-Nya yang menciptakan manusia.[37] Gambaran yang lengkap dan nyata mengenai manusia telah Allah berikan dengan menurunkan sebuah kitab suci bernama Al-Qur'an. Pemberian informasi ini bertujuan agar manusia dapat memahami tentang dirinya sendiri. Keberadaan Al-Qur'an menjadi pelengkap bagi daya nalar manusia yang terbatas dan bersifat subjektif. Di dalam Al-Qur'an manusia dijelaskan dengan menggunakan beragam istilah. Istilah-istilah ini berfungsi untuk menjelaskan kedudukan manusia.[38] Manusia yang masih menggunakan akalnya tidak digolongkan oleh Al-Qur'an menjadi hewan. Namun, Al-Qur'an menyatakan bahwa manusia yang tidak menggunakan akalnya dalam kondisi yang sangat buruk, maka manusia dianggap sama atau lebih buruk dibandingkan hewan.[39]

Para nabi dan rasul[sunting | sunting sumber]

Allah membedakan kedudukan para nabi dan rasul dengan manusia lainnya. Perbedaan ini ditinjau dari segi tugas. Para nabi dan rasul diberi tugas oleh Allah sebagai utusan-Nya yang membawakan kabar kepada manusia.[40] Nabi dan rasul pun memiliki perbedaan tugas. Nabi hanya diberikan wahyu oleh Allah tanpa adanya kewajiban untuk menyampaikannya kepada umat manusia. Sedangkan rasul menerima wahyu dengan kewajiban untuk menyampaikannya kepada umat manusia.[41] Rasul juga diberi tanggung jawab untuk menjadi teladan yang baik bagi umat manusia atas penerapan wahyu tersebut dalam kehidupannya sebagai manusia. Allah telah menyampaikan kisah-kisah sebagian rasul di dalam Al-Qur'an, sementara sebagian lainnya tidak disebutkan. Pernyataan ini disebutkan dalam Surah An-Nisa' Ayat 164 dan Surah Al-Mu'min ayat 78.[40]

Pemikiran[sunting | sunting sumber]

Ketuhanan[sunting | sunting sumber]

Dalam Surah Al-Anbiya' ayat 92, Allah menyatakan bahwa agama manusia itu hanya satu, yaitu Islam. Konsep dasarnya selalu sama sejak Nabi Adam sebagai nabi yang pertama, hingga ke masa Nabi Muhammad sebagai nabi yang terakhir. Namun, perbuatan manusia menjadi penyebab timbulnya perbedaan ajaran-ajaran tentang ketuhanan. Manusia mengadakan kebohongan dan manipulasi yang membuat ajaran-ajaran tauhid berubah menjadi ajaran yang tidak lagi sama dengan ajaran aslinya.[42]

Surah Al-Mu’minun Ayat 91 dan Surah Al-An’am Ayat 103 menjelaskan bahwa manusia memiliki kebiasaan untuk mensifatkan Allah sesuai dengan sifat-sifat manusia. Surah Al-Mu’minun Ayat 91 memberikan bantahan atas sifat-sifat tersebut dengan menyatakan bahwa Allah tidak mempunyai anak dan tidak ada Tuhan lain selain diri-Nya. Karena keberadaan Tuhan lain akan menimbulkan persaingan di antara makhluk ciptaan masing-masing. Sementara Surah Al-An’am Ayat 103 memberikan penjelasan bahwa Allah mampu melihat segala hal yang kelihatan. Namun Allah sendiri tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata manusia.[43]

Landasan hidup[sunting | sunting sumber]

Sebuah Al-Qur'an, landasan hidup utama bagi muslim.

Objek utama dalam ajaran Islam adalah perilaku manusia.[44] Dalam Islam, manusia yang menjadi muslim harus melandasi kehidupannya dengan keimanan dan keislaman. Landasan hidupnya selalu berdasarkan kepada petunjuk dari Allah. Muslim tidak semata-mata mengandalkan potensi yang dimilikinya sebagai manusia.[45] Ajaran Islam yang disampaikan melalui Al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedoman hidup, bermanfaat bagi terwujudnya kebahagiaan pada manusia. Manfaat ini diterima manusia di dunia dan di akhirat.[46] Sementara itu, segala kegiatan manusia diatur dalam syariat Islam. Keberadaan syariat Islam sebagai sistem nilai yang menjadi inti dari ajaran Islam.[47]

Perilaku manusia yang berkaitan dengan kesopanan dan kesantunan diatur dalam Islam melalui kajian tentang akhlak. Dalam pengaturan ini, akhlak manusia dibagi menjadi dua yaitu akhlak baik dan akhlak buruk. Kajian tentang akhlak menetapkan perilaku yang termasuk baik dan buruk.[48]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ilyas, Rahmat (Juni 2016). "Manusia Sebagai Khalifah dalam Perspektif Islam" (PDF). Mawa`izh. 1 (7): 170. 
  2. ^ Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (November 2016). Penciptaan Manusia dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains (PDF). Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. hlm. 2. ISBN 978-602-976-532-8. 
  3. ^ Rasyad (Januari 2022). "Konsep Khalifah dalam Al-Qur'an (Kajian Ayat 30 Surat al-Baqarah dan Ayat 26 Surat Shaad)". Jurnal Ilmiah Al Mu'ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi Perspektif. 19 (1): 21. ISSN 1693-7562. 
  4. ^ Amin, Husnul (Desember 2018). "Memakmurkan Bumi dalam Perspektif Teologi Pendidikan" (PDF). Raudhah. 3 (2): 1. ISSN 2541-3686. 
  5. ^ Sada, Heru Juabdin (Mei 2016). "Manusia dalam Perspektif Agama Islam" (PDF). Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam. 7: 134. ISSN 2086-9118. 
  6. ^ Suswanto dan Firmansyah (September 2021). "Potensi Akal Manusia dalam Al-Qur'an dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam" (PDF). Attaqwa. 17 (2): 121. 
  7. ^ Junus 2013, hlm. 2.
  8. ^ Rohidin 2020, hlm. 95.
  9. ^ a b c Une, dkk. 2015, hlm. 28.
  10. ^ Markos, Toni (2019). "Al-Qur'an dan Kebebasan Manusia". Tajdid: Majalah Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan. 22 (1): 29. 
  11. ^ Fahrudin (2021). "Tanah sebagai Bahan Penciptaan Manusia: Analisis Semiologi Roland Barthes pada Kata Thin dalam Al-Qur'an". Tafse: Journal of Qur'anic Studies. 6 (1): 24. 
  12. ^ Akip, Muhamad (September 2019). "Sumber Daya Manusia yang Berkualitas dalam Al-Qur'an" (PDF). el-Ghiroh. XVII (2): 8. 
  13. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 27.
  14. ^ a b Une, dkk. 2015, hlm. 28-29.
  15. ^ Haris, Abdul (2018). "Panggilan Quran Kepada Umat Manusia". Jurnal Pengembangan Masyarakat. V (5): 68. 
  16. ^ Istiqomah, Himmatul (6 Oktober 2018). "Konsep Manusia Sebagai Insan dalam Sebagian Ayat Al-Qur'an". Prosiding Konferensi Nasional Bahasa Arab IV: 439. 
  17. ^ a b Une, dkk. 2015, hlm. 29.
  18. ^ Muhlasin (April 2019). "Konsep Manusia dalam Perspektif Al-Qur'an". Idarotuna. 1 (2): 51. 
  19. ^ an-Naisaburi, Abu al-Qasim (Maret 2017). Kitab Kebijaksanaan Orang-Orang Gila: 500 Kisah Muslim Genius yang Dianggap Gila dalam Sejarah Islam. Jakarta Selatan: Wali Pustaka. hlm. 30–31. ISBN 978-602-74064-6-9. 
  20. ^ Bustamar dan Dalil, F. Y. M. (2020). "Kronologis Kisah Nabi Adam As dalam Tafsir Ibn Katsir". Istinarah. 2 (1): 66. 
  21. ^ a b Junus 2013, hlm. 1.
  22. ^ Junus 2013, hlm. 3.
  23. ^ Rohidin 2020, hlm. 96.
  24. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 3.
  25. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 10.
  26. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 15.
  27. ^ Rohidin 2020, hlm. 100.
  28. ^ Rohidin 2020, hlm. 105.
  29. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 18.
  30. ^ Setiadi, Ozi (Oktober 2017). "Kematian dalam Perspektif Al-Qur'an". Jurnal Al-Ashriyyah. 4 (1): 70. 
  31. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 22.
  32. ^ Rohidin 2020, hlm. 97.
  33. ^ Al Ghazali, Imam (Januari 2022). Hidup di Dunia, Apa yang Kau Cari? 43 Tahapan Menemukan Hakikat Diri dan Tuhan. Turos Pustaka. hlm. 103. ISBN 978-623-732-761-5. 
  34. ^ a b c Rohidin 2020, hlm. 101-102.
  35. ^ Sahriansyah (Desember 2014). Ibadah dan Akhlak (PDF). Banjarmasin: IAIN Antasari Press. hlm. 1. ISBN 978-979-3377-94-0. 
  36. ^ Rohidin 2020, hlm. 108.
  37. ^ Junus 2013, hlm. 9.
  38. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 26-27.
  39. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 25.
  40. ^ a b Une, dkk. 2015, hlm. 17-18.
  41. ^ Zulaiha, Eni (Desember 2016). "Fenomena Nabi dan Kenabian dalam Perspektif Alquran". Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir. 1 (2): 151–152. 
  42. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 8-9.
  43. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 2-3.
  44. ^ Rohidin 2020, hlm. 103.
  45. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 5.
  46. ^ Rohidin 2020, hlm. 99.
  47. ^ Rohidin 2020, hlm. 101.
  48. ^ Rohidin 2020, hlm. 102.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]