PT. SUKUN Wartono Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sekilas PR Sukun[sunting | sunting sumber]

Berawal dari klobot, salah satu jenis rokok khas Indonesia yang terbuat dari kulit jagung sebagai pembungkus tembakau, Pabrik Rokok Sukun kini telah dikenal sebagai salah satu dari sedikit perusahaan rokok nasional yang bertahan dengan identitas dan kekuatannya sebagai rokok yang mengandalkan ciri khas kelokalannya dan berakar pada tradisi. Hal ini bisa dilihat dari jenis rokok yang diproduksi PR Sukun, yang layaknya sebuah perjalanan rokok Indonesia. Di dalamnya kita masih bisa mendapatkan rokok tradisional seperti klobot, kretek, filter, hingga mild yang digemari generasi muda.

Kisah perjalanan PR Sukun tak akan pernah bisa dilepaskan dari sosok Mochamad Wartono, yang kemudian lebih kerap disapa Mc. Wartono. Beliau dilahirkan di desa Gondosari, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, pada tahun 1920, dari pasangan Singo Sarpani dan Paijah. Sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari orangtua yang bekerja sebagai petani dan pernah menjabat sebagai Lurah Gondosari, Mc. Wartono tumbuh menjadi sosok yang berkarakter ulet, tekun, pekerja keras, dan pantang menyerah. Bakat dan jiwa kewirausahaannya tumbuh dan terasah tidak hanya dilatarbelakangi oleh didikan orangtuanya, namun juga ketika beliau menempuh pendidikan di Vervolk School dan Sekolah Dagang di daerahnya.

Perjodohan tak selalu memberikan kisah sedih. Bahkan sebaliknya, perjodohan yang mempertemukan Mc. Wartono dengan Sutarsi, memunculkan sebuah kisah tentang kebahagiaan sebuah keluarga yang dipenuhi cinta dan kesetiaan. Pasangan Mc. Wartono dan Tarsi menikah pada 15 Agustus 1941. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai enam buah hati. Yaitu Sri Fatimah Wartono, Tasan Wartono, Annie Wartono, Rindho Wartono, Yusuf Wartono, dan Edy Wartono.

Persentuhan Mc. Wartono dengan bisnis rokok dimulai saat ia masih berusia sangat muda, di mana ketika itu ia membantu kakaknya, Kamad, sebagai kasir di Pabrik Rokok Kretek Hj. Moeslich dengan merek Tebu dan Jagung. Dalam pengalamannya sebagai kasir inilah, ketelitian Mc. Wartono terasah. Ia harus memperhatikan dengan detil jumlah uang pembayaran yang harus dibayarkan kepada para karyawan Kamad. Ketelitian ini juga diperlukan untuk mencatat bahan-bahan baku pembuatan rokok seperti tembakau, cengkeh, kertas, dan klobot yang diambil para pekerja borongan. Pengalaman inilah yang di kemudian hari mendorong dirinya untuk mendirikan pabrik rokok.

Pengalaman membantu kakaknya menjadi kasir di Perusahaan Rokok milik Hj. Moeslich, menginspirasi Mc. Wartono untuk mendirikan perusahaan rokok. Pada 1947, Mc. Wartono mulai memproduksi rokok klobot dan sigaret secara sederhana dengan merek Siyem. Hanya dengan tenaga pekerja sebanyak 6-10 orang, ternyata usaha ini berkembang pesat. Pada tahun 1950, Mc. Wartono mulai memproduksi merek rokok “SUKUN”. Merek baru ini ternyata mendorong laju perusahaan yang ditandai dengan didirikannya bangunan-bangunan baru di sekitar rumah Mc. Wartono sebagai tempat produksi rokok. Pada tahun 1960, beliau mendirikan gedung dua tingkat yang hingga kini menjadi pabrik utama, menyusul pendirian bangunan-bangunan lainnya seiring meningkatnya jumlah produksi rokok Sukun.

Dalam membesarkan putra-putrinya, Mc. Wartono mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan bisnis yang penuh disiplin dan bertanggungjawab demi mempersiapkan kemampuan keturunannya dalam meneruskan jalannya roda perusahaan. Persiapan ini diberikannya baik ke anak lelaki maupun perempuan. Untuk dua putrinya, beliau memberikan kepercayaan untuk menjalankan dua perusahaan rokok: PR Siyem bagi putri pertamanya dan PR. Langsep bagi putri ketiganya, Anie Wartono.

Adapun pengelolaan PR. Sukun telah diajarkannya kepada putra keduanya, Tasan Wartono sejak putranya ini masih berusia remaja. Sehingga pada saat Mc. Wartono dipanggil Yang Mahakuasa pada 20 Februari 1973, dengan tanpa menemui kendala apa pun, jalannya perusahaan telah bisa dikelola oleh Tasan Wartono. Pada perjalanan selanjutnya, PR. Sukun yang semakin berkembang pesat bersama tiga anak perusahaan lainnya, Sukuntex, Sukun Druk – yang bergerak di bidang percetakan – dan Sukun Transport, melibatkan tiga putra Mc. Wartono lainnya yaitu Rindho Wartono, Yusuf Wartono, dan Edy Wartono.

Sebagai sebuah perusahaan keluarga, bertahannya PR. Sukun hingga saat ini di mana generasi ketiga – yaitu cucu-cucu Mc. Wartono – ikut andil dalam pengelolaan perusahaan, memperlihatkan sebuah sinergi dan kekompakan yang dihasilkan dari didikan almarhum Mc. Wartono dan Sutarsih kepada keturunannya untuk selalu memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar dan lingkungannya.

Kisah Rokok Indonesia[sunting | sunting sumber]

Membicarakan rokok khas Indonesia atau rokok nusantara, kita tidak bisa melepaskan diri dari rokok kretek. Istilah kretek sendiri muncul dari bunyi gemeretak yang dihasilkan racikan tembakau dan cengkeh yang ada di dalam rokok saat dinyalakan dengan api. Campuran cengkeh dalam tembakau ini merupakan inovasi yang tak ditemukan dari rokok-rokok negara lain. Inovasi pengolahan tembakau dan cengkeh ini oleh sebagian kalangan turut dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat Nusantara yang memiliki tradisi mengunyah pinang yang sering kali dicampur dengan daun tembakau yang sudah diiris-iris dan dikeringkan. Sebagian catatan sejarah menyatakan bahwa kebiasaan merokok di Indonesia dikenal saat masyarakat Barat datang ke nusantara. Beberapa sumber sejarah dari laporan VOC pernah menyebutkan bahwa Sultan Agung mengisap rokok dengan menggunakan pipa. Sedangkan di Babad Ing Sangkala, dituliskan bahwa sejumlah bangsawan Jawa sudah mengonsumsi rokok tembakau pada masa pemerintahan Panembahan Senopati di masa kerajaan Mataram Islam. Di luar perkenalan rokok tembakau yang dialami para kelas bangsawan dan raja-raja Jawa sebagai hasil dari perkenalan mereka dengan penjajah Belanda, di kalangan rakyat kelas bawah, kebiasaan merokok juga mulai menyebar luas meski dengan keunikannya tersendiri. Kalangan ini mengembangkan tradisi meracik tembakau dengan bahan-bahan campuran lainnya sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat agraris yang masih memupuk kesadaran spiritualitas kejawen. Dari pandangan spiritualitas inilah, muncul racikan tembakau yang dicampur dengan uwur, klembak, menyan, hingga cengkeh. Dalam sejumlah ritual, bahkan rokok racikan ini diikutsertakan sebagai bagian dari sesaji bersama dengan kopi dan teh yang dipersembahkan bagi leluhur. Kemunculan rokok kretek sendiri memiliki sejumlah versi. Menurut sejumlah data sejarah, telah muncul produksi rokok lintingan kretek berskala rumahan di Kota Kudus pada tahun 1870. Saat itu kemunculannya dikaitkan dengan nama H. Djamhari yang konon merupakan penemu dan pengembang usaha rokok kretek lintingan ini. Kisah tentang inovasinya ini cukup unik. Ia mencoba menyembuhkan rasa sakit dan sesak di dadanya dengan mencampurkan cengkeh yang sudah dia rajang halus dan kemudian dicampur dengan tembakau. Idenya ini muncul ketika ia mengunyah cengkeh dan merasakan sakitnya berangsur membaik. Ia pun kemudian berpikir jika asap dari cengkeh ini sampai ke paru-parunya, pasti rasa sakit di dadanya akan sembuh. Ternyata uji cobanya mengisap racikan cengkeh dan tembakau sesuai dengan yang diharapkannya. Dari situlah, kabar tentang inovasi H. Djamhari ini tersiar dan sejak itu muncullah rokok kretek ini. Setelah H. Djamhari meninggal pada 1890, berkembanglah industri rokok di kota Kudus. Dimulai dari Niti Semito dengan merek Bal Tiga, yang awalnya masih berupa rokok klobot. Jenis rokok kretek baru diproduksi Niti Semito pada 1909 dengan penjualan tanpa kemasan. Ia menjual rokok dalam bentuk ikatan dengan harga 2,5 sen per ikat (25 batang ukuran kecil) dan 3 sen (25 batang ukuran besar). Setelah konsumen mulai menyukai produknya, Niti Semito memberi merek “Soempil” pada produksi rokok kreteknya, lalu diganti dengan merek “Djeruk”, dan kemudian berganti dengan nama “M Niti Semito”. Kesuksesan Niti Semito pun ditandai pada tahun 1914 di mana perusahaannya yang mengusung nama Sigaretan Fabriek M.Niti Semito Koedoes mempekerjakan hingga 15.000 orang. Melihat kesuksesan Niti Semito, mulai banyak pengusaha mengekor jejaknya. Pada 1912-1918 bermunculan pabrik-pabrik rokok di Kudus dan daerah Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Dari Kudus, bermunculan pabrik rokok seperti cap “Delima” (pemilik Haji Ashadi), cap “Mrico” (keluarga Atmo), dan cap “Jangkar Duren” (pemilik Haji Ali Asikin). Adapun kota-kota lainnya, pabrik rokok didapati di Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri, Tulungagung, hingga Malang. Kesuksesan perusahaan-perusahaan rokok yang didirikan pengusaha pribumi pun diikuti para para pengusaha Tionghoa. Kompetisi tak terelakkan dan berpuncak peristiwa kerusuhan Oktober 1918 di Kudus. Saat itu banyak pabrik rokok yang hancur dan dibakar massa. Industri rokok kretek mengalami kemunduran yang diakibatkan karena banyak pengusaha pribumi yang dihukum setelah kerusuhan. Pasca kerusuhan, bisnis rokok kretek di Kudus mulai dikuasai para pengusaha Tionghoa. Pada 1930, di Pati muncul merek “Menak Djinggo”, hasil kongsi antara Kho Djie Siong dan Tan Djie Siong. Tahun 1935 pabrik ini pindah ke Kudus, yang di kemudian hari (1953) memproduksi kretek cap “Nojorono”. Mengingat Nojorono mendapat sambutan hangat di konsumen, maka pada tahun 1973, nama tersebut dijadikan nama badan usaha: PT Nojorono Kudus. Selanjutnya pada tahun 1936 muncul kretek dengan merek “Gentong Gotri” yang dimiliki Kho Djie Hay. Beberapa pengusaha pribumi di era ini yang cukup menonjol adalah Haji Ma’roef yang mendirikan merek “Djambu Bol” pada tahun 1937 dan kemudian MC. Wartono pada 1947 dengan merek “Sukun”. Setelah tahun 1924, industri rokok tak hanya berkembang di Kudus. Sejumlah kota di Jawa Timur, pun bermunculan pabrik rokok. Seperti seperti Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Malang. Bila pada tahun 1924 baru ada sekitar 35 pabrik, maka pada tahun 1928 sudah ada 50, kemudian pada tahun 1933 jumlahnya sudah mencapai 269 pabrik.