Kimia organoklorin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Organoklorida)


Dua representasi
organoklorida
kloroform.

Organoklorida, senyawa organoklorin, klorokarbon, atau hidrokarbon terklorinasi adalah kelompok senyawa organik yang mengandung setidaknya satu atom klorin yang terikat secara kovalen sehingga berpengaruh pada sifat kimia molekul tersebut. Kelas kloroalkana (alkana dengan satu atau lebih hidrogen yang tersubstitusi klorin) menyediakan contoh-contoh yang umum. Beragamnya struktur serta sifat kimia organoklorida mengarah pada banyaknya penamaan serta aplikasi dari kelompok senyawaan ini. Organoklorida merupakan senyawa yang berguna pada berbagai aplikasi, tetapi beberapa diantaranya menimbulkan masalah lingkungan.[1]

Sifat fisik dan kimia[sunting | sunting sumber]

Klorinasi memodifikasi berbagai sifat fisik hidrokarbon. Senyawa ini biasanya lebih padat daripada air karena massa atom klor yang lebih tinggi dibanding hidrogen. Organoklorin alifatik adalah agen pengalkilasi karena klorida adalah gugus pergi yang baik.

Keberadaan di alam[sunting | sunting sumber]

Banyak senyawa organoklorin yang diisolasi dari sumber alami mulai dari bakteri hingga manusia.[2][3] Senyawa organik terklorinasi ditemukan di hampir setiap kelas biomolekul termasuk alkaloid, terpena, asam amino, flavonoid, steroid, dan asam lemak.[2][4] Organoklorida, termasuk dioksin, diproduksi di lingkungan dengan suhu tinggi dari kebakaran hutan, dan dioksin telah ditemukan dalam abu dari api yang dinyalakan oleh petir yang menjadi prekursor dioksin sintetik.[5] Selain itu, berbagai hidrokarbon terklorinasi sederhana termasuk diklorometana, kloroform, dan karbon tetraklorida telah diisolasi dari ganggang laut.[6] Mayoritas klorometana di lingkungan diproduksi secara alami oleh dekomposisi biologis, kebakaran hutan, dan gunung berapi.[7]

Organoklorida alami epibatidin, alkaloid yang diisolasi dari katak pohon, memiliki efek analgesik yang kuat dan telah menstimulasi penelitian dalam pengobatan nyeri baru. Namun, karena indeks terapinya yang tidak dapat diterima, senyawa ini tidak lagi diteliti untuk penggunaan terapeutik yang potensial.[8] Katak mendapatkan epibatidin melalui makanan mereka dan kemudian membungkusnya di kulit mereka. Kemungkinan sumber makanan tersebut adalah kumbang, semut, tungau, dan lalat.[9]

Preparasi[sunting | sunting sumber]

Dari klorin[sunting | sunting sumber]

Alkana dan aril alkana dapat diklorinasi dalam kondisi radikal bebas, dengan sinar UV. Namun, tingkat klorinasi sulit dikendalikan. Aril klorida dapat dibuat dengan halogenasi Friedel-Crafts, menggunakan katalis klorin dan asam Lewis.[1]

Reaksi haloform, menggunakan klorin dan natrium hidroksida, juga mampu menghasilkan alkil halida dari metil keton, dan senyawa terkait. Kloroform sebelumnya diproduksi dengan metode tersebut.

Klorin juga mengadisi ikatan rangkap pada alkena dan alkuna, menghasilkan senyawa di- atau tetra-kloro.

Reaksi dengan hidrogen klorida[sunting | sunting sumber]

Alkena bereaksi dengan hidrogen klorida (HCl) untuk menghasilkan alkil klorida. Sebagai contoh, produksi kloroetana dalam industri dihasilkan oleh reaksi etilena dengan HCl:

H2C=CH2 + HCl → CH3CH2Cl

Dalam oksiklorinasi, reaksi tersebut memanfaatkan hidrogen klorida dan bukan klorin yang lebih mahal untuk tujuan yang sama:

CH2=CH2 + 2 HCl + ½ O2 → ClCH2CH2Cl + H2O.

Alkohol sekunder dan tersier bereaksi dengan hidrogen klorida untuk menghasilkan senyawaan klorida yang sesuai. Di laboratorium, reaksi terkait melibatkan seng klorida dalam asam klorida pekat:

Pereaksi tersebut dikenal sebagai pereaksi Lucas, dan campuran ini digunakan dalam analisis organik kualitatif untuk mengklasifikasikan alkohol.

Agen klorinasi lain[sunting | sunting sumber]

Alkil klorida paling mudah disiapkan dengan memperlakukan alkohol dengan tionil klorida (SOCl2) atau fosforus pentaklorida (PCl5), tetapi juga umumnya dengan sulfuril klorida (SO2Cl2) dan fosforus triklorida (PCl3):

ROH + SOCl2 → RCl + SO2 + HCl
3 ROH + PCl3 → 3 RCl + H3PO3
ROH + PCl5 → RCl + POCl3 + HCl

Di laboratorium, tionil klorida merupakan pereaksi yang sangat nyaman digunakan, karena produk sampingnya yang berupa gas. Atau, Reaksi Appel dapat pula digunakan:

Alkil klorida bereaksi dengan magnesium untuk menghasilkan pereaksi Grignard, mengubah senyawa elektrofilik menjadi senyawa nukleofilik. Reaksi Wurtz secara reduksi menggandengkan dua alkil halida untuk bergandeng dengan natrium.

Aplikasi[sunting | sunting sumber]

Vinil klorida[sunting | sunting sumber]

Aplikasi terbesar kimia organoklorin adalah produksi vinil klorida. Produksi tahunan pada tahun 1985 adalah sekitar 13 miliar kilogram, hampir seluruhnya dikonversi menjadi polivinilklorida (PVC).

Klorometana[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar hidrokarbon terklorinasi dengan berat molekul rendah seperti kloroform, diklorometana, dikloroetena, dan trikloroetana adalah pelarut yang berguna. Pelarut ini cenderung relatif non-polar; karena itu mereka tidak dapat bercampur dengan air dan efektif dalam aplikasi pembersihan. Beberapa miliar kilogram metana terklorinasi diproduksi setiap tahun, terutama oleh klorinasi metana:

CH4 + x Cl2 → CH4−xClx + x HCl

Yang paling penting adalah diklorometana, yang terutama digunakan sebagai pelarut. Klorometana adalah prekursor dari klorosilana dan silikon. Secara historis signifikan, tetapi dalam skala yang lebih kecil adalah kloroform, terutama merupakan pendahulu klorodifluorometana (CHClF2) dan tetrafluoroetena yang digunakan dalam pembuatan Teflon.[1]

Pestisida[sunting | sunting sumber]

Dua kelompok utama insektisida organoklorin adalah senyawa tipe-DDT dan alisiklik terklorinasi. Mekanisme aksi keduanya sedikit berbeda.

Isolator[sunting | sunting sumber]

Bifenil terpoliklorinasi (PCB) pernah digunakan sebagai isolator listrik dan agen transfer panas. Penggunaannya secara umum telah dihapuskan karena timbulnya masalah kesehatan. PCB digantikan oleh eter difenil terpolibrominasi (PBDE), yang membawa masalah toksisitas dan bioakumulasi yang serupa.

Toksisitas[sunting | sunting sumber]

Beberapa jenis organoklorida memiliki toksisitas yang signifikan terhadap tanaman atau hewan, termasuk manusia. Dioksin, diproduksi ketika bahan organik dibakar di hadapan klorin, adalah polutan organik persisten yang menimbulkan bahaya ketika dilepaskan ke lingkungan, seperti juga beberapa insektisida (seperti DDT). Sebagai contoh, DDT, yang banyak digunakan untuk mengendalikan serangga pada pertengahan abad ke-20, juga terakumulasi dalam rantai makanan, seperti halnya metabolit DDE dan DDD, dan menyebabkan masalah reproduksi (mis., penipisan kulit telur) pada spesies burung tertentu.[10] Beberapa senyawa organoklorin, seperti moster belerang, moster nitrogen, dan Lewisit, bahkan digunakan sebagai senjata kimia karena toksisitasnya.

Namun, keberadaan klorin dalam senyawa organik tidak menjamin toksisitasnya. Beberapa organoklorida dianggap cukup aman untuk dikonsumsi dalam makanan dan obat-obatan. Misalnya, kacang polong mengandung hormon tumbuhan terklorinasi alami asam 4-kloroindola-3-asetat (4-Cl-IAA);[11][12] dan pemanis sukralosa (Splenda) banyak digunakan dalam produk diet. Hingga 2004, setidaknya 165 organoklorida telah disetujui di seluruh dunia untuk digunakan sebagai obat farmasi, termasuk antibiotik alami vankomisin, antihistamin loratadin (Claritin), antidepresan sertralin (Zoloft), anti-epilepsi lamotrigin (Lamictal), dan anestesi inhalasi isofluran.[13]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c M. Rossberg et al. "Chlorinated Hydrocarbons" dalam Ullmann's Encyclopedia of Industrial Chemistry 2006, Wiley-VCH, Weinheim. doi:10.1002/14356007.a06_233.pub2
  2. ^ a b Gordon W. Gribble (1998). "Naturally Occurring Organohalogen Compounds". Acc. Chem. Res. 31 (3): 141–152. doi:10.1021/ar9701777. 
  3. ^ Gordon W. Gribble (1999). "The diversity of naturally occurring organobromine compounds". Chemical Society Reviews. 28 (5): 335–346. doi:10.1039/a900201d. 
  4. ^ Kjeld C. Engvild (1986). "Chlorine-Containing Natural Compounds in Higher Plants". Phytochemistry. 25 (4): 7891–791. doi:10.1016/0031-9422(86)80002-4. 
  5. ^ Gribble, G. W. (1994). "The Natural production of chlorinated compounds". Environmental Science and Technology. 28 (7): 310A–319A. Bibcode:1994EnST...28..310G. doi:10.1021/es00056a712. PMID 22662801. 
  6. ^ Gribble, G. W. (1996). "Naturally occurring organohalogen compounds - A comprehensive survey". Progress in the Chemistry of Organic Natural Products. 68 (10): 1–423. doi:10.1021/np50088a001. PMID 8795309. 
  7. ^ Public Health Statement - Chloromethane, Centers for Disease Control, Agency for Toxic Substances and Disease Registry
  8. ^ Schwarcz, Joe (2012). The Right Chemistry. Random House. 
  9. ^ Elizabeth Norton Lasley (1999). "Having Their Toxins and Eating Them Too Study of the natural sources of many animals' chemical defenses is providing new insights into nature's medicine chest". Bioscience. 45 (12): 945–950. doi:10.1525/bisi.1999.49.12.945. Diakses tanggal 2015-05-06. 
  10. ^ Connell, D.; et al. (1999). Introduction to Ecotoxicology. Blackwell Science. hlm. 68. ISBN 978-0-632-03852-7. 
  11. ^ Pless, Tanja; Boettger, Michael; Hedden, Peter; Graebe, Jan (1984). "Occurrence of 4-Cl-indoleacetic acid in broad beans and correlation of its levels with seed development". Plant Physiology. 74 (2): 320–3. doi:10.1104/pp.74.2.320. PMC 1066676alt=Dapat diakses gratis. PMID 16663416. 
  12. ^ Magnus, Volker; Ozga, Jocelyn A; Reinecke, Dennis M; Pierson, Gerald L; Larue, Thomas A; Cohen, Jerry D; Brenner, Mark L (1997). "4-chloroindole-3-acetic and indole-3-acetic acids in Pisum sativum". Phytochemistry. 46 (4): 675–681. doi:10.1016/S0031-9422(97)00229-X. 
  13. ^ MDL Drug Data Report (MDDR), Elsevier MDL, versi 2004.2

Pranala luar[sunting | sunting sumber]