Museum Dara Juanti

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Museum Dara Juanti
Peta

Musem Dara Juanti merupakan museum yang menyimpan berbagai bukti sejarah perabadan daerah Sintang sekaligus sebagai bekas lokasi pusat pemerintahan Kerajaan Sintang, yakni Istana Al-Mukarramah. Museum yang juga bekas kompleks kerajaan Sintang hingga saat ini masih terawat baik dan menjadi tempat tinggal Sultan Sintang, Pangeran Ratu Sri Negara H.R.M. Ikhsan Perdana. Nama Dara Juanti diambil dari nama putri pendiri kerajaan Sintang, Demong Irawan, yang bernama Putri Dara Juanti. Museum Dara Juanti terletak di Jalan Dara Juanti Hilir, Kelurahan Kapuas Kiri Hilir, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Salah satu koleksi fenomenal di museum ini adalah lambang Burung Garuda pemberian Patih Lohgender (dari Majapahit) yang dibawa sebagai salah satu seserahan saat meminang Putri Dara Juanti.[1][1][1]

Koleksi[sunting | sunting sumber]

Beberapa benda-benda peninggalan yang ada di museum ini antara lain sebagai berikut:

  • Di dalam Museum Dara Juanti terdapat beberapa peninggalan sejarah seperti adanya meriam raja Suka, gundukan tanah yang berasal dari kerajaan Majapahit, tujuh buah meriam anak raja Suka, beberapa kopak batu, meriam raja Beruk, alat musik asli dari suku dayak, serta masih banyak lagi peninggalan sejarah yang ada di dalam museum tersebut yang bisa Anda ketahui saat Anda berkunjung ke Museum Dara Juanti.[2]
  • Benda bersejarah yang lainnya yang ada di istana adalah sebuah peninggalan yang berasal dari Demong Irawan (pendiri kerajaan) seperti situ batu kundu dan beberapa meriam sebagai lambang berdirinya kerajaan Sintang.[2]
  • Pada serambi depan istana terdapat silsilah raja-raja yang pernah memerintah pada saat kerajaan Sintang serta terdapat salinan undangan adat kerajaan Sintang dan naskah Al quran tulisan tangan Sultan Nata.[2]
  • Istana ini juga masih menyimpan barang-barang hantaran Patih Logender (seorang perwira dari Majapahit) ketika meminang Putri Dara Juanti (putri Demong Irawan—pendiri Kerajaan Sintang), antara lain seperangkat gamelan, patung garuda dari kayu, serta gundukan tanah dari Majapahit.[1][2]

Cerita di Balik Lambang Negara "Garuda Pancasila"[sunting | sunting sumber]

Saat Ade Mohammad Djohan diangkat menjadi Ketua Mejelis Kerajaan Sintang, beliau juga terpilih sebagai anggota DPR wakil Kalimantan Barat. Dari jabatan itu hubungan persahabatan dengan Sultan Hamid II asal Kerajaan Kadriyah Pontianak sangatlah dekat, apalagi Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio yang berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) No. 2 tahun 1949 dipercaya untuk mengkoordinir kegiatan perancangan lambang Negara. Sehubungan dengan penugasan itu beliau mulai melakukan pendekatan ke berbagai kalangan termasuk melakukan studi komperatif atas lambang Negara barat maupun timur. Dalam rangka mencari ide untuk membuat lambang Negara, terdapat kesempatan Sultan Hamid II berbicara kepada Ade Mohammad Djohan (sebagai kepala Swapraja Sintang anggota parlemen RIS). Ade menyatakan bahwa lambang kerajaan Sintang adalah Burung Garuda. Mendengar ucapan Ade, Sultan Hamid sangat tertarik dan sejak itu baik di Jakarta ataupun di Pontianak terjadi diskusi yang sangat intensif antara keduanya. Akhirnya, Sultan Hamid II memberitahukan kepada Ade bahwa beliau telah memutuskan akan membuat rancangan Lambang Negara RIS berbentuk Burung Garuda.[1]

Pada bulan Januari 1950, Sultan Hamid II berkunjung ke Kapuas Hulu dan ia sengaja singgah di kesultanan Sintang untuk membuktikan sebuah fakta yang yang pernah dibicarakan dengan Ade tentang lambang kerajaan Sintang. Sultan Hamid II kagum dan sangat tertarik melihat fakta yang ada. Oleh karena itu, Sultan Hamid II segera meminjam burung Garuda yang ada di kerajaan Sintang tersebut untuk dibawa ke Pontianak. Burung Garuda yang dipinjam oleh Sultan Hamid saat itu berukuran kecil yang menghiasi puncak penyangga tiang Gantungan Gong yang dibawa Patih Lohgender dari Majapahit. Saat itu pihak swapraja Sintang tak keberatan, tetapi dengan beberapa syarat, salah satunya Sultan Hamid II harus menandatangani semacam berita acara peminjaman, dan waktu peminjaman sendiri tak boleh lebih dari 1 bulan. Fakta bahwa bentuk Burung Garuda yang pernah dibawa Sultan Hamid II tersebut kini disimpan di Istana Kesultanan Sintang (Museum Dara Juanti), yang telah ratusan tahun lalu menjadi pusat Kerajaan Sintang.[1]

Menurut A.M Sulaiman (83), salah seorang pegawai swapraja Sintang yang turut menjadi saksi peminjaman lambang kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II pada masa itu, juga membenarkan adanya peminjaman tersebut. Sebagai saksi hidup peminjaman, beliau juga menyatakan, tak bermaksud menyangkal fakta sejarah bahwa Sultan Hamid II yang mengusulkan Burung Garuda Sebagai lambang negara, tetapi mereka hanya berharap ada pelurusan kronologi sejarah. Faktanya, Sultan Hamid II memang meminjam lambang kerajaan Sintang yang berbentuk Burung Garuda, dan lambang tersebut dijadikan acuan Sultan Hamid dalam mengusulkan Burung Garuda Sebagai Lambang Negara.

Diskursus mengenai kronologi terciptanya lambang negara Indonesia kembali dibuka, pasalnya meski sejarah negara ini menyatakan bahwa ide penggunaan Burung Garuda sebagai lambang negara ini diperkenalkan oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, tetapi ternyata lambang yang dibawa oleh Sultan Hamid tersebut dipinjam dari lambang kerajaan Sintang. Apabila Sultan Hamid II tidak meminjam burung Garuda yang menjadi lambang kerajaan Sintang saat itu, besar kemungkinan rancangan lambang Negara yang diusulkan oleh Sultan Hamid II bisa jadi dengan bentuk dan nama lain seperti yang diusulkan oleh anggota panitia lainnya.

Kalau kita amati secara mendalam, lambang Negara Republik Indonesia “Lahir dari Sintang” sudah tepat, karena bahan yang dipinjam oleh Sultan Hamid II berbentuk fisik dan bukan sketsa gambar garuda di berbagai candi di pulau Jawa seperti yang dikirimkan oleh K.H. Dewantara kepada Sultan Hamid II, apalagi seperti pernyatan J.U Lontaan yang menyatakan: "Ukiran burung Garuda. Tak berbeda dengan gambar burung garuda lambang bangsa Indonesia", Lambang kerajaan Sintang dengan nama Burung Garuda, sedangkan Lambang Negara olehSultan Hamid II menamakan Elang Rajawali Garuda Pancasila. Dan baru diatur dalam amendemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 barulah dicantumkan bahwa “Garuda Pancasila” merupakan Lambang Negara Indonesia.

Oleh sebab itu, lambang Negara Republik Indonesia lahir dari lambang kerajaan Sintang sudah sangat jelas sekali karena artefak burung Garuda itu sendiri masih utuh dan terpelihara dengan baik, bahkan dalam rangka memperingati “60 tahun Garuda Pancasila” oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Museum Konperensi Asia Afrika Bandung meminjam artefak burung Garuda itu untuk dijadikan icon pameran "60 tahun Garuda Pancasila". Karena pameran itu mendapat sambutan puluhan ribu pengunjung, maka pihak kementerian luar negeri melalui museum konperensi Asia Afrika memperpanjang peminjaman untuk tingkat Asia di Bandung sehingga peminjaman artefak tersebut menjadi 6 (enam) bulan lamanya. Alhasil artefak burung Garuda yang berasal dari eks kerajaan Sintang mampu menyedot puluhan bahkan ratusan ribu pengunjung dari berbagai lapisan masyarakat.[3]

Lihat Pula[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f Rujukan kosong (bantuan) 
  2. ^ a b c d Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :0
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :1
  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :0
  2. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :2
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :1