Murad Hoffman

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Murad Wilfried Hofmann

Murad Wilfried Hofmann lahir pada tanggal 6 Juli 1931 dengan nama Wilfred Hoffman dari sebuah keluarga Katolik di German. Murad Wilfried Hofman menempuh pendidikan di Union College, New York. Pada tahun 1957, ia meraih gelar Doktor dalam bidang Undang-undang Jerman dari Universitas Munich. Dan pada tahun 1960, ia meraih gelar Magister dari Universitas Harvard dalam bidang Undang-undang Amerika. Ia kemudian bekerja di kementerian luar negeri Jerman dari tahun 1961 hingga 1994. Ia bertugas dalam masalah pertahanan nuklir. Murad pernah menjadi direktur penerangan NATO di Brussel, Duta Besar Jerman di Aljazair dan terakhir Duta Besar Jerman di Maroko hingga tahun 1994. Kini bersama istrinya, seorang muslimah asal Turki, ia menikmati masa-masa pensiun di Istanbul sambil berpikir dan mengarang buku.

Pengalamannya sebagai duta besar dan tamu beberapa negara Islam mendorongnya untuk mempelajari Islam, terutama Al-Qur'an. Dengan tekun ia mempelajari Islam dan belajar mempraktekkan ibadah-ibadahnya. Pada tanggal 11 September 1980, di Bonn, setelah lama ia rasakan pergolakan pemikiran dalam dirinya yang makin mendekatkan dirinya kepada keimanan, dengan terharu ia mengungkapkan dalam memoarnya (edisi bahasa Indonesia: Pergolakan Pemikiran): "Aku harus menjadi seorang Muslim!". Maka pada tanggal 25 September 1980, di Islamic Center Colonia, ia mengucapkan dua kalimat syahadat.

Ia memilih nama baru bagi dirinya yaitu "Murad". Muhammad Asad, seorang Muslim Austria, yang sebelumnya bernama Leopold Weist, dalam pengantarnya terhadap memoar Murad Hoffman, yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul 'Pergolakan Pemikiran', lebih jauh menjelaskan makna filosofis nama tersebut: "Murad artinya 'yang dicari', dan pengertiannya yang lebih luas adalah 'tujuan', yaitu tujuan tertinggi hidup Willfred Hoffman."

Murad Hoffman telah menulis beberapa buku tentang Islam. Pada tahun 1985, ia menulis memoarnya yang diterbitkan pada bahasa Inggris pada tahun 1987, dalam bahasa Perancis pada tahun 1990, dalam bahasa Arab pada tahun 1993, dan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1998 (dengan judul Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman). Bukunya yang menggegerkan; Der Islam als Alternative, juga telah diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris dan bahasa Arab pada tahun 1993. Annie Marie Schimmel dengan hangat memberikan kata pengantar dalam buku tersebut, dan dengan antusias menutup pengantarnya itu sambil menyitir Goethe: "Jika Islam berarti ketundukan dengan penuh ketulusan, maka atas dasar Islamlah selayaknya kita hidup dan mati!". Memang, menurut pengamatan Murad Moffman, sebentar lagi Schimmel akan terus terang memeluk Islam.

Dalam buku Trend Islam 2000, Murad Hoffman mencoba menatap potensi futuristik peradaban Islam. Dengan tujuh bagian kajian, ia memulai dengan melihat tiga sikap kaum Muslimin terhadap masa depan mereka; Pertama: kelompok yang pesimis, yang melihat bahwa perjalanan sejarah pada dasarnya selalu menurun. Kedua: kelompok yang melihat sejarah umat Islam seperti gelombang yang terdiri dari gerakan naik turun. Ketiga: kelompok yang amat optimis, yang melihat bahwa sejarah Islam terus menuju kemajuannya. Ketiga kelompok tersebut, masing-masing mempunyai sandarannya dari teks agama Islam.

Hoffman mengajak kita untuk bersikap optimis, menatap mentari esok dengan semangat dan usaha. Maka ia mulai mencari faktor-faktor yang mendorong optimisme tersebut, kemudian dibandingkan dengan situasi agama Kristen dan Yahudi, sambil membaca hubungan Islam dan Barat. Kemudian ia kembali bertanya, apakah mungkin membangkitkan Islam kembali? Untuk menjawab itu, ia mengajukan skala prioritas pembaruan yang harus dilaksanakan sebagai prasyarat kebangkitan itu, yaitu: perbaikan mutu pendidikan dan teknologi, melepaskan belenggu kaum perempuan, perbaikan dalam hak-hak asasi manusia, merumuskan teori negara dan ekonomi, memberikan sikap tegas terhadap sihir dan khurafat, dan memperbaiki sarana transportasi dan komunikasi di dunia Islam. Sambil dengan tegas membedakan antara: Islam sebagai agama dan sebagai peradaban, sunnah yang sahih dan yang tidak, syari'ah dan pemahaman fuqaha (fiqh), serta al-Qur'an dan as-Sunnah. Ia terutama memberikan prioritas pada perbaikan pendidikan dan kemampuan teknologi. Karena masa depan kita, ia menambahkan, diciptakan dari dua bidang ini.

Namun setelah menyaksikan kondisi negara-negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, ia tampak kecewa, karena mendapati mereka ternyata masih jauh dari kesiapan untuk melakukan perbaikan-perbaikan itu. Hal itulah, barangkali yang menyebabkan ia menulis dalam pengantar buku Trend Islam 2000: "Jika aku telah berhasil mengemukakan sesuatu, maka sesuatu itu adalah suatu realitas yang pedih!"

"Dengan kondisi negara-negara Islam seperti itu", tambahnya pada penutup buku Trend Islam 2000, "kita justru menjumpai kesuburan dan vividitas peradaban yang diperlukan untuk membangkitkan Islam telah berpindah dari pusat-pusat tradisional ke tempat-tempat seperti Los Angeles, Washington, Leichter, Oxford, atau Colon dan Paris. Oleh karena itu, tidak aneh jika nanti gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam justru dipimpin oleh pemikir-pemikir Islam dari negara-negara non-Muslim!"

Saat ini Murad Hoffman sudah aktif ikut dalam konferensi-konferensi Islam Internasional yang diadakan oleh organisasi-organisasi Islam. Jadi sudah dikelompokkan sebagai tokoh Islam Internasional. Dan setahun lepas, ia mendapatkan bintang penghargaan dari pemerintah Mesir atas jasa-jasanya dalam pemikiran Islam. Yang menarik dari Murad Hoffman adalah, ketika ia sedang menjadi duta besar Jerman di Maroko, pada tahun 1992, ia mempublikasikan bukunya yang menggegerkan masyarakat Jerman: Der Islam als Alternative (Islam sebagai Alternatif). Dalam buku tersebut, ia tidak saja menjelaskan bahwa Islam adalah alternatif yang paling baik bagi peradaban Barat yang sudah kropos dan kehilangan justifikasinya, tetapi ia secara eksplisit mengatakan bahwa alternatif Islam bagi masyarakat Barat adalah suatu keniscayaan.

Seperti ia ungkapkan dalam prakata bukunya tersebut: "Islam tidak menawarkan dirinya sebagai alternatif yang lain bagi masyarakat Barat pasca industri. Karena memang hanya Islamlah satu-satunya alternatif itu!" Oleh karena itu, tidak aneh ketika buku itu belum terbit saja telah menggegerkan masyarakat Jerman. Mulanya adalah wawancara televisi saluran I dengan Murad Hoffman; dan dalam wawancara tersebut, Hoffman bercerita tentang bukunya yang ketika itu sebentar lagi akan terbit.

Saat wawancara tersebut disiarkan, seketika gemparlah seluruh media massa dan masyarakat Jerman. Dan serentak mereka mencerca dan menggugat Hoffman, hingga sebelum mereka membaca buku tersebut. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh media massa murahan yang kecil, tetapi juga oleh media massa yang besar semacam Der Spigel. Malah pada kesempatan yang lain, televisi Jerman men-shooting Murad Hoffman saat ia sedang melaksanakan salat di atas sejadahnya, di kantor Duta Besar Jerman di Maroko, sambil dikomentari oleh sang reporter: "Apakah logis jika Jerman berubah menjadi Negara Islam yang tunduk terhadap hukum Tuhan?"