Mediatisasi (kajian media)
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Desember 2022. |
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Mediatisasi, dalam ilmu komunikasi dan kajian media, adalah teori yang melihat media sebagai pembentuk dan pembingkai proses dan wacana komunikasi politik serta masyarakat di mana komunikasi tersebut terjadi.[1] Dalam kerangka pikir tersebut, perkembangan di sektor media dimulai dengan subordinasi kekuatan yang dimiliki oleh institusi-institusi yang sebelumnya berpengaruh.[2][3] Sebagai akibat dari proses tersebut, institusi-institusi dan masyarakat menjadi dibentuk dan bergantung pada media massa.[4]
Asal muasal
[sunting | sunting sumber]Mediatisasi adalah bagian dari pergeseran paradigma dalam kajian media dan komunikasi. Ia mengikuti jejak dari konsep mediasi dan kini telah menjadi konsep yang menjelaskan proses komunikasi dalam mengubah masyarakat dan membangun hubungan-hubungan dalam skala besar. Kedua konsep bersifat komplementer.[5] Akademisi Denmark Stig Hjarvard mengembangkan konsep mediatisasi dengan gagasannya bahwa mediatisasi adalah sebuah proses sosial di mana masyarakat dicekoki dan dijenuhkan oleh media hingga media menjadi tidak bisa lagi dipisahkan dari institusi-institusi lain dalam suatu masyarakat.[6]
Perubahan sosio-budaya
[sunting | sunting sumber]Mediatisasi tidak hanya berfokus pada efek media tetapi juga hubungan antara media dengan perubahan sosio-budaya, bagaimana praktek komunikasi sehari-hari berubah, dan konstruksi komunikatif akan kenyataan.[7][8] Media tidak selalu mengakibatkan transformasi sosio-budaya tetapi dianggap terlibat dalam menyampaikan pesan-pesan perihal politik, ekonomi, pendidikan, agama, dan lain sebagainya.[7]
Menurut Hjarvard dan Peterson, peran media dalam perubahan budaya dapat dilihat dalam empat fenomena yakni:[9]
- Ketika berbagai subkultur berupaya memanfaatkan media untuk kepentingan masing-masing, mereka kemudian tertanam (kembali) dalam budaya arus utama;
- Kebijakan budaya nasional biasanya menjadi katalisator meningkatnya mediatisasi;
- Mediatisasi melibatkan transformasi di mana pihak berwenang dan pakar dipertunjukkan untuk mendapatkan dan mempertahankan reputasi; dan
- Perkembangan teknologi membuat media menjadi terjangkau dan membangun proses mediatisasi.
Mediatisasi taktis
[sunting | sunting sumber]Mediatisasi taktis melihat respons masyarakat dan aktivis terhadap perubahan teknologi secara luas. Dalam penelitian yang dilakukan Kim Sawchuk dari Universitas Concordia terhadap konteks lansia dalam mediatisasi, lansia dituntut untuk melakukan mediatisasi oleh berbagai institusi yang melakukan transisi daring (lembaga pemerintahan, perbankan, dan lain sebagainya). Pendekatan taktis terhadap media ialah dari mereka yang tersubordinasi oleh sistem baru tersebut sehingga penyesuaian diperlukan agar kepentingan kelompok tersubordinasi tersebut dapat dipenuhi. Dalam kasus lansia tersebut, misalnya, penyampaian pesan terhadap para lansia yang digantikan menggunakan video menjelaskan mandat mereka menggantikan komunikasi tatap muka menafikan pandangan lansia yang disampingkan akan perkembangan teknologi dalam menjaga kesejahteraan mereka.[10]
Dalam kasus lain, misalnya, terhadap artis graffiti dan pengguna papan luncur di mana media memadukan dan mengatur langkah-langkah sehari-hari mereka. Berkat proses tersebut, subkultur mereka bisa menjadi bagan dari budaya rus utama, mengubah sifat "pemberontakan" mereka, dan mengajak mereka untuk terlibat dalam budaya komersial global.[11]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Lilleker, D., 2008, Key Concepts in Political Communications. SAGE London.
- ^ Krotz, F. (2008). Media Connectivity: Concepts, Conditions, and Consequences. In A. Hepp, F. Krotz & S. Moores (Eds.), Network, Connectivity and Flow: Key concepts for Media and Cultural Studies. New York: Hampton Press.
- ^ Hjarvard, S. (2008). The Mediatization of Religion: A Theory of the Media as Agents of Religious Change. In Northern Lights 2008. Yearbook of Film & Media Studies. Bristol: Intellect Press: 7.
- ^ Mazzoleni, G., & Schulz, W. (1999). "Mediatization" of Politics: A Challenge for Democracy? Political Communication, 16(3), 247-261.
- ^ Hepp, A. Hajarvard, S., Lundby, (2015). Mediatization: theorizing the interplay between media, culture and society Media, Culture & Society 37(2) 314–324.
- ^ Hjarvard, S. (2008). The Mediatization of Religion: A Theory of the Media as Agents of Religious Change. In Northern Lights 2008. Yearbook of Film & Media Studies. Bristol: Intellect Press.
- ^ a b Hepp, A. Hajarvard, S., Lundby, (2015). Mediatization: theorizing the interplay between media, culture and society, Media, Culture & Society 37(2) 314–324.
- ^ Couldry, N. & A. Hepp. (2013). Conceptualizing Mediatization: Contexts,Traditions, Arguments. Communication Theory 23: 191-202.
- ^ Hjarvard, S. & L.N. Peterson, (2013). Mediatization and cultural change, MedieKultur, 54: 3.
- ^ Sawchuk, K. (2013). Tactical mediatization and activist ageing: pressures, push-backs, and the story of RECAA. MedieKultur 54: 47-64.
- ^ Encheva, K., Driessens, O., & Verstraeten, H. (2013). The mediatization of deviant subcultures: an analysis of the media - related practices of graffiti writers and skaters, MedieKultur, 54: 29.