Lompat ke isi

Maskulisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Maskulisme adalah istilah yang merujuk pada gerakan atau perspektif yang berfokus pada hak-hak, peran, dan pengalaman laki-laki dalam masyarakat. Sebagai sebuah ideologi atau gerakan sosial, maskulisme berkaitan erat dengan perjuangan laki-laki untuk mendapatkan hak-hak yang setara dalam masyarakat yang sering kali didominasi oleh struktur patriarki. Meskipun sering disamakan dengan feminisme, maskulisme memiliki fokus yang berbeda, meskipun keduanya berjuang untuk menghapus ketidaksetaraan berdasarkan jenis kelamin.

Gerakan maskulisme, meskipun sering kali dianggap sebagai reaksi terhadap feminisme, telah ada sejak jauh sebelum feminisme muncul dalam bentuknya yang modern. Sejak abad ke-19, dalam konteks sosial yang lebih luas, berbagai permasalahan terkait laki-laki mulai mendapat perhatian, meskipun baru pada paruh kedua abad ke-20 maskulisme menjadi lebih dikenal sebagai sebuah gerakan tersendiri.

Pada awalnya, maskulisme muncul sebagai reaksi terhadap ekspektasi yang ketat terhadap laki-laki dalam masyarakat patriarkal. Laki-laki pada masa itu sering kali dihadapkan pada peran yang sangat kaku: mereka harus menjadi pencari nafkah, kuat secara fisik dan emosional, serta mendominasi dalam segala hal. Sebagai reaksi terhadap ketidakadilan ini, beberapa kalangan mulai memperjuangkan hak-hak laki-laki yang lebih fleksibel dan terbuka terhadap emosi serta peran yang lebih beragam.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ide-ide maskulisme mulai muncul dalam bentuk diskusi-diskusi tentang peran laki-laki dalam masyarakat, terutama dalam hal hak asuh anak, sistem pendidikan, dan peran mereka dalam keluarga. Namun, baru pada tahun 1970-an, dengan berkembangnya gerakan hak asasi manusia, maskulisme mulai berkembang lebih pesat. Gerakan ini juga mendapat perhatian lebih besar ketika isu-isu mengenai kekerasan dalam rumah tangga dan diskriminasi terhadap laki-laki mulai muncul di media.[1]

Maskulisme tidak memiliki satu definisi yang baku, namun ada beberapa pemahaman penting yang sering kali dikemukakan oleh para ahli. Secara umum, maskulisme mengacu pada perjuangan untuk memperjuangkan hak-hak laki-laki, serta mempromosikan pemahaman yang lebih inklusif tentang maskulinitas.

Michael Kimmel

[sunting | sunting sumber]

Michael Kimmel adalah seorang sosiolog yang memfokuskan penelitian pada maskulinitas dan studi tentang laki-laki. Dalam bukunya Manhood in America: A Cultural History, ia mengemukakan bahwa maskulisme bertujuan untuk mendobrak pembatasan yang dikenakan oleh masyarakat terhadap laki-laki, yang sering kali dipaksa untuk mengikuti pola dominasi dan kekuatan. Kimmel menekankan bahwa maskulisme bukan berarti menempatkan laki-laki lebih unggul dari perempuan, melainkan menghapuskan semua bentuk dominasi dalam struktur sosial.

R.W. Connell

[sunting | sunting sumber]

R.W. Connell, dalam bukunya Masculinities, mengemukakan bahwa maskulisme adalah konstruksi sosial yang dapat dipahami dalam banyak bentuk. Salah satu konsep penting yang dikemukakan oleh Connell adalah maskulinitas hegemonik, yaitu bentuk maskulinitas yang dominan dalam masyarakat dan menuntut laki-laki untuk menunjukkan kekuatan fisik dan emosional. Namun, maskulinitas hegemonik ini dapat merugikan laki-laki itu sendiri dan orang lain, serta memperkuat ketidaksetaraan gender.

Teori Maskulinitas Hegemonik (Connell)

[sunting | sunting sumber]

Teori ini mengemukakan bahwa dalam suatu masyarakat, terdapat satu bentuk maskulinitas yang dianggap paling ideal dan harus dicontohkan oleh semua laki-laki, yaitu "maskulinitas hegemonik". Dalam masyarakat patriarkal, maskulinitas hegemonik cenderung terkait dengan kekuatan fisik, kekayaan, dan dominasi. Teori ini menjelaskan bagaimana laki-laki yang tidak memenuhi standar ini sering kali didiskriminasi atau dianggap lebih rendah.[2]

Teori Maskulinitas Multidimensi

[sunting | sunting sumber]

Berbeda dengan teori maskulinitas hegemonik, teori multidimensi menganggap bahwa tidak ada satu bentuk maskulinitas yang tunggal. Maskulinitas dapat bervariasi berdasarkan kelas sosial, ras, orientasi seksual, dan faktor lainnya. Dengan pendekatan ini, maskulisme mengakui bahwa pengalaman laki-laki dalam masyarakat dapat sangat beragam dan harus dilihat dalam konteks yang lebih luas.

Teori Maskulinitas Toksik

[sunting | sunting sumber]

Teori ini berfokus pada dampak negatif dari konstruksi maskulinitas yang sangat patriarkal. Maskulinitas toksik menggambarkan norma-norma sosial yang memaksa laki-laki untuk menekan emosi mereka, menghindari kerentanan, dan mengejar kekuasaan. Hal ini dapat berujung pada masalah seperti kekerasan domestik, kecanduan, dan gangguan mental. Oleh karena itu, maskulisme sehat bertujuan untuk mengatasi maskulinitas toksik dengan mendorong laki-laki untuk menjadi lebih autentik dan empatik.

Maskulisme dalam Konteks Sosial dan Budaya

[sunting | sunting sumber]

Maskulisme juga tidak bisa dipahami hanya dalam konteks teori atau gerakan sosial saja. Dalam banyak budaya, maskulinitas telah berkembang menjadi suatu struktur yang kuat dan mempengaruhi cara hidup laki-laki dalam masyarakat. Sebagai contoh, di banyak negara Asia, ekspektasi terhadap laki-laki untuk menjadi pemberi nafkah utama dan kuat secara fisik sangat kuat. Ini sering kali mempengaruhi kesehatan mental dan emosional mereka, serta membatasi peluang mereka untuk mengekspresikan kelemahan atau mencari bantuan.

Sebaliknya, di negara-negara Barat, konsep maskulinitas mulai berkembang seiring dengan gerakan sosial yang lebih inklusif. Dalam masyarakat yang lebih liberal, laki-laki didorong untuk lebih terbuka mengenai masalah emosional dan kesehatan mental, serta diberi kesempatan untuk mengeksplorasi peran-peran yang lebih fleksibel dalam keluarga dan pekerjaan.[3]

Maskulisme sehat vs maskulinitas toksik

[sunting | sunting sumber]

Salah satu pilar utama dalam maskulisme yang sehat adalah kemampuan untuk membedakan antara maskulinitas sehat dan maskulinitas toksik. Maskulinitas toksik merujuk pada norma sosial yang memaksa laki-laki untuk menjadi keras, tidak menunjukkan emosi, serta mengutamakan dominasi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti keluarga dan pekerjaan. Hal ini sering kali menyebabkan tekanan emosional, stres, hingga kekerasan dalam hubungan. Sebaliknya, maskulinitas sehat mendorong laki-laki untuk menunjukkan sisi emosional mereka, lebih terbuka dalam berkomunikasi, dan tidak takut untuk menunjukkan kerentanannya. Ini adalah langkah menuju masyarakat yang lebih inklusif dan saling menghargai.[4]

Menanggapi patriarki yang merugikan laki-laki

[sunting | sunting sumber]

Meskipun patriarki seringkali dikaitkan dengan penindasan terhadap perempuan, sistem ini juga merugikan laki-laki. Maskulisme sehat mengakui bahwa laki-laki sering kali dipaksa untuk mengikuti standar maskulinitas yang kaku dan terbatas. Mereka sering kali tidak diperbolehkan untuk mengekspresikan emosi selain kemarahan, serta dihargai hanya jika mampu memenuhi peran-peran tradisional seperti menjadi pencari nafkah utama atau kepala rumah tangga yang dominan. Maskulisme sehat berupaya untuk membebaskan laki-laki dari belenggu ini, memungkinkan mereka untuk lebih bebas dalam mengeksplorasi identitas mereka tanpa terikat pada norma-norma yang menghambat.

Maskulisme dan kesehatan mental laki-laki

[sunting | sunting sumber]

Salah satu isu besar yang diangkat oleh maskulisme sehat adalah kesehatan mental laki-laki. Laki-laki sering kali tidak mendapatkan dukungan yang cukup dalam hal kesehatan mental karena dianggap "lemah" jika mereka mencari pertolongan. Maskulisme sehat mendorong laki-laki untuk lebih terbuka dalam berbicara tentang masalah emosional dan mental mereka, serta mengakses layanan konseling atau terapi tanpa merasa malu. Menghancurkan stigma seputar kesehatan mental ini adalah bagian penting dari perjuangan maskulisme yang sehat, untuk menciptakan ruang yang lebih aman dan inklusif bagi laki-laki.

Langkah praktis menuju maskulisme sehat

[sunting | sunting sumber]

Untuk menciptakan maskulisme yang sehat, ada beberapa langkah praktis yang dapat diambil oleh laki-laki dan masyarakat pada umumnya. Pertama, laki-laki perlu diberi ruang untuk mengekspresikan emosi mereka dengan bebas, tanpa takut dianggap lemah atau tidak maskulin. Kedua, mereka harus belajar untuk mengembangkan hubungan yang setara dengan perempuan dan sesama laki-laki, berdasarkan rasa saling menghormati. Ketiga, penting untuk membangun komunitas yang mendukung laki-laki dalam menjadi diri mereka yang sebenarnya, tanpa harus terjebak dalam standar maskulinitas yang toksik. Dengan melakukan ini, maskulisme sehat dapat berfungsi sebagai mitra dalam memperjuangkan kesetaraan gender.[5]

Maskulisme dan feminisme

[sunting | sunting sumber]

Walaupun sering dianggap sebagai gerakan yang berlawanan, maskulisme sehat dan feminisme sebenarnya memiliki banyak kesamaan dalam tujuan akhir mereka, yaitu menciptakan kesetaraan gender yang lebih luas. Kedua gerakan ini berupaya untuk meruntuhkan sistem patriarki yang membatasi setiap individu berdasarkan jenis kelamin. Maskulisme sehat mengajak laki-laki untuk bergabung dalam perjuangan ini, tidak hanya untuk memperjuangkan hak-hak mereka sendiri, tetapi juga untuk mendukung perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Dengan begitu, maskulisme dan feminisme dapat berjalan berdampingan dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Sejarah Penindasan dan Gerakan Perempuan – LRC-KJHAM". Diakses tanggal 2025-04-12.
  2. ^ "Maskulinisme/Maskulinitas Hegemonik - Hyperkulturell.de" (dalam bahasa Jerman). 2023-09-17. Diakses tanggal 2025-04-12.
  3. ^ Hidayat, Rachmad (2020). Maskulinisme dalam Kontruksi Ilmu. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  4. ^ MR, Admin (2023-05-25). "Muslihat dan Siasat Toxic Masculinity". Muslimah Reformis. Diakses tanggal 2025-04-12.
  5. ^ "Patriarki, Peradaban dan Asal-Usul Gender | Southeast Asian Anarchist Library". sea.theanarchistlibrary.org. Diakses tanggal 2025-04-12.