Masjid Besar Nurul Amilin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Masjid Besar Nurul Amilin terletak di Jalan Kelayan Kecil RT. 15 RW. 01 Kelurahan Kelayan Timur, Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin. Rencana pembangunannya sejak zaman penjajahan belanda sekitar tahun 1938 (sesuai dengan ikrar wakaf dari H.Abdul Muthalib). Namun baru terealisasikan pada awal zaman penjajahan Jepang pada tahun 1942. Masjid Besar Nurul Amilin memiliki luas tanah 2501 m2 dan luas bangunan 629.8 m2. Status tanahnya merupakan tanah wakaf yang artinya tanah yang diberikan untuk digunakan sebagai fasilitas umum.[1]

Bagian, fasilitas, dan kegiatan[sunting | sunting sumber]

Masjid ini dilengkapi beberapa bagian seperti mihrab, ruang induk, serambi kiri, serambi kanan, pendopo, dan menara. Masjid ini juga memiliki tempat wudhu, toilet, generator set, sound system, kipas angin, kantor sekretariat, aula serbaguna, TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an), tempat penitipan sandal/sepatu, gudang dan tempat parkir.

Selain digunakan dalam penyelenggaraan salat fardu, masjid ini juga menyelenggarakan berbagai aktivitas seperti salat Idulfitri dan Iduladha, peringatan hari-hari besar islam, pengajian rutin, dan kegiatan pendidikan.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sebelum penjajahan Jepang, masyarakat kampung Kelayan dan kampung-kampung tetangganya sangat kesulitan dalam pelaksanaan sholat jum'at, karena jarak masjid yang terlalu jauh. Seperti diketahui bahwa di Banjarmasin waktu itu hanya memiliki dua buah masjid jami/besar yaitu Masjid Sultan Suriansyah dan Masjid Jami Sungai Jingah. Sumber lain menyebutkan ada 3 buah masjid yang disebutkan diatas, ditambah dengan Masjid Jami Basirih. Oleh tokoh-tokoh masyarakat, waktu itu disepakati untuk membangun sebuah masjid yang berlokasi di jalan Kelayan Kecil. Tanah untuk pembangunan masjid tersebut adalah wakaf dari H.Talip pada tahun 1938. Pada awal penjajahan Jepang mulailah para ulama, tokoh-tokoh masyarakat dan anggota masyarakat lainnya berkumpul untuk melakukan pembangunan masjid. Para ulama dan tokoh masyarakat pada waktu itu bukan hanya datang dari Banjarmasin saja tetapi ada pula yang datang dari Hulu Sungai.

Ada seorang ulama yang datang dari Nagara menghitung jarak masjid yang akan dibangun dengan tempai ibadah lain yaitu yang ada di Kelayan B muara. Kesimpulan beliau adalah jaraknya cukup memenuhi syarat untuk pendirian masjid. Selain itu ulama dan tokoh masyarakat lainnya sibuk untuk menentukan arah kiblat. Kemudian dibangunlah masjid darurat berdinding kajang dan beratap daun rumbia.

H.Bijirmi (Haji Ijir), yang pada saat itu berumur kurang lebih 17 tahun. Beliau menceritakan bahwa untuk menguruk (meninggikan) tanah masjid, materialnya diambil dari tebing sungai Kelayan Kecil yang berada di depan masjid. Selain itu masyarakat dari Tatah Belayung, Tatah Pemangkih, Tatah Layap, siang malam menguruk tanah sampai ketinggiannya sesuai dengan rencana para ulama dan tokoh masyarakat lainnya. Terakhir sebelum pengecoran tanah, diuruk lagi dengan pasir yang diambil dari pulau kembang. Menurut cerita bapak Haji Ijir, bahwa seorang tokoh masyarakat pada waktu itu yang sangat berperan dalam memberikan bantuan dana adalah bapak Haji Karim (alm). Beliau lah yang langsung membeli keramik lantai masjid ke Pulau Jawa dan juga membawa serta tenaga kerja yang ahli dalam memasang keramik tersebut. Para pekerja lainnya yang berasal dari masyarakat sekitar yang turut berjasa dalam pembangunan masjid ini antara lain, Kai Dilah, Kai Jamain dan Kai Taher. Dahulu masjid ini bernama Masjid Jami, lalu pada era tahun 1970-an masjid ini diberi nama Masjid Jami (besar) Nurul Amilin. Pada masa itu dibangun sebuah menara dengan ketinggian sekitar 25 meter. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 2015 Masjid Jami Nurul Amilin ditetapkan sebagai masjid besar Kecamatan dan berganti nama menjadi Masjid Besar Nurul Amilin.

Referensi[sunting | sunting sumber]