Limpasan perkotaan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Limpasan perkotaan dapat mencemari lingkungan.

Limpasan perkotaan (bahasa Inggris: urban runoff) adalah campuran kompleks dari presipitasi, sedimen yang tersuspensi, puing-puing akibat aktivitas alam, kegiatan antropogenik, dan polutan kimia yang tersapu dari lanskap perkotaan selama hujan.[1] Air hujan akan mengalir diatas daerah kedap air, yaitu daerah yang tidak memiliki kemampuan atau telah melewati batas maksimum untuk menyerap air, ketika penyimpanan permukaan dan tanah pada suatu daerah berada dalam kondisi jenuh dan berkurangnya proses infiltrasi menyebabkan air yang datang tidak dapat langsung meresap ke dalam tanah dan selanjutnya menjadi aliran permukaan. Limpasan akan meningkat di daerah perkotaan sebagai akibat dari berkurangnya kemampuan tanah dan daerah terbuka yang memungkinkan air menyerap dalam tanah.[2]

Lanskap lingkungan yang telah berubah membuat air hujan akan terus mengalir di sekitar jalan beraspal, atap dan permukaan keras lainnya. Air ini membawa limbah yang mengandung bahan pencemar dalam bentuk sampah, pupuk, dan bahan lain yang berdampak buruk terhadap kualitas perairan dan mencemari ekosistem sungai dan laut. Limpasan perkotaan berpotensi melepaskan racun, limbah yang tidak dapat terurai dan kontaminan lain termasuk puing-puing plastik, hidrokarbon, deterjen, patogen, pestisida, logam berat dan bahan nanomaterial rekayasa ke lingkungan.[3]

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Limpasan perkotaan merupakan limpasan permukaan yang muncul akibat adanya proses urbanisasi. Urbanisasi mengubah hidrologi DAS (Daerah Aliran Sungai) melalui proses pembukaan lahan dan pembangunan perkotaan sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah pohon, penurunan kemampuan vegetasi dan perubahan komposisi lapisan tanah atas, yang berfungsi sebagai askes infiltrasi curah hujan dan memberikan resapan air hujan ke sungai, lahan basah dan akuifer, dengan meningkatkan jumlah limpasan permukaan karena permukaan yang kedap air secara langsung akan mengurangi jumlah penyerapan air tanah dan debit aliran ke sungai.[4]

Proses pembangunan di daerah perkotaan meningkatkan beban polutan, volume, dan kecepatan limpasan. Proses pembangunan tersebut akan mengubah kondisi alam, antara lain perubahan vegetasi menjadi permukaan kedap air seperti jalan raya beraspal, jalan, atap, dan tempat parkir. Tanah yang memiliki penutup vegetasi dapat menyerap air hujan, menghilangkan polutan, sekaligus melakukan penyaringan secara efektif. Karena trotoar dan beton tidak memiliki kemampuan untuk menyerap air atau menghilangkan polutan, karakteristik pemurnian alami tanah hilang. Selain itu, pembangunan perkotaan menciptakan sumber polusi baru dengan meningkatnya kepadatan populasi manusia dan memicu peningkatan tingkat emisi mobil, limbah perawatan mobil, limbah kota, pestisida, limbah berbahaya rumah tangga, limbah hewan peliharaan, dan sampah rumah tangga.[5]

Sumber pencemaran[sunting | sunting sumber]

Pencemaran yang terjadi di wilayah perkotaan berasal dari berbagai sumber. Polutan yang bercampur dengan air hujan akan membawa limpasan perkotaan ke berbagai tempat. Polutan dari limpasan perkotaan meliputi Sedimen (endapan), Oli, minyak, bahan kimia beracun dari kendaraan bermotor, pestisida dari rumput dan kebun, bakteri dari kotoran hewan peliharaan, logam berat kendaraan bermotor dan sumber sejenis, serta polusi termal dari permukaan kedap air seperti jalan dan atap.[6]

Sedimen dapat berupa butiran pasir, lempung, maupun jenis tanah lain yang mengendap di dasar badan air. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat mencantumkan sedimen sebagai polutan paling umum di sungai, danau, dan waduk. Sedimentasi merupakan proses alami, tetapi peningkatan kadar sedimen menyebabkan berkurangnya kualitas dan kerusakan pada badan air. Sedimen dapat menutupi habitat air yang kritis, dan berdampak buruk pada pasokan air untuk masyarakat. Selain masalah fisik tersebut, partikel sedimen dengan mudah mengangkut polutan lain seperti nutrien, logam, dan patogen.[4]

Berkenaan dengan kualitas air, istilah nutrien mengacu kepada nitrogen dan fosfor. Nutrien ini secara alami masuk ke badan air melalui proses penguraian bahan organik, tetapi aktivitas manusia secara langsung dapat meningkatkan jumlah nutrien melalui penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan di rumput, ladang, maupun area lain. Nutrien bergerak dari daerah dataran tinggi ke badan air, umumnya melalui saluran irigasi dan mudah larut dalam air.[4] Fosfor kurang larut dalam air, tetapi mudah menempel pada partikel tanah, memungkinkannya memasuki badan air melalui limpasan sedimen. Tingkat nutrien yang tinggi (terutama fosfor) di danau dan sungai air tawar dapat mendorong pertumbuhan tanaman dan alga secara berlebihan (algae bloom). Ganggang biru-hijau atau Cyanobacteria yang berpotensi beracun dapat mengakibatkan gangguan pada pasokan air minum, penggunaan air rekreasi, dan habitat akuatik.[7]

Patogen yang ditularkan melalui air adalah mikroorganisme penyebab penyakit, termasuk bakteri, virus, dan protozoa. Patogen ditemukan dalam kotoran manusia, hewan peliharaan, ternak dan satwa liar. Sumber-sumber ini dapat mencemari badan air melalui limpasan permukaan maupun kegagalan sistem septik. Ketika ditularkan ke manusia, patogen dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti penyakit gastro-intestinal, Giardia, dan virus Norwalk.[4]

Logam seperti timbal dan tembaga dapat ditemukan di limpasan perkotaan pada konsentrasi yang dapat berbahaya bagi perairan dan kesehatan manusia. Proses mencuci kendaraan di permukaan yang kedap air dapat menyebabkan logam, garam, dan deterjen langsung masuk ke badan air. Polutan ini merugikan ekologi karena secara negatif mempengaruhi daur biogeokimia air.[8]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Werbowski, Larissa M.; Gilbreath, Alicia N.; Munno, Keenan; Zhu, Xia; Grbic, Jelena; Wu, Tina; Sutton, Rebecca; Sedlak, Margaret D.; Deshpande, Ashok D. (2021-06-11). "Urban Stormwater Runoff: A Major Pathway for Anthropogenic Particles, Black Rubbery Fragments, and Other Types of Microplastics to Urban Receiving Waters". ACS ES&T Water (dalam bahasa Inggris). 1 (6): 1420–1428. doi:10.1021/acsestwater.1c00017. ISSN 2690-0637. 
  2. ^ Vereecken, Harry; Weihermüller, Lutz; Assouline, Shmuel; Šimůnek, Jirka; Verhoef, Anne; Herbst, Michael; Archer, Nicole; Mohanty, Binayak; Montzka, Carsten (2019-01). "Infiltration from the Pedon to Global Grid Scales: An Overview and Outlook for Land Surface Modeling". Vadose Zone Journal (dalam bahasa Inggris). 18 (1): 1–53. doi:10.2136/vzj2018.10.0191. ISSN 1539-1663. 
  3. ^ Lapointe, Mathieu; Rochman, Chelsea M.; Tufenkji, Nathalie (2022-05). "Sustainable strategies to treat urban runoff needed". Nature Sustainability (dalam bahasa Inggris). 5 (5): 366–369. doi:10.1038/s41893-022-00853-4. ISSN 2398-9629. 
  4. ^ a b c d megamanual.geosyntec.com https://megamanual.geosyntec.com/npsmanual/sectionintrourbanstormwaterrunoff.aspx. Diakses tanggal 2022-06-02.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  5. ^ "Urban Runoff". Beachapedia (dalam bahasa Inggris). 2022-01-07. Diakses tanggal 2022-06-05. 
  6. ^ US EPA, OW (2015-09-15). "Nonpoint Source: Urban Areas". www.epa.gov (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-06-05. 
  7. ^ Yang, Xiao-e; Wu, Xiang; Hao, Hu-lin; He, Zhen-li (2008-3). "Mechanisms and assessment of water eutrophication". Journal of Zhejiang University. Science. B. 9 (3): 197–209. doi:10.1631/jzus.B0710626. ISSN 1673-1581. PMC 2266883alt=Dapat diakses gratis. PMID 18357622. 
  8. ^ Cheryl Hogue (2019-10-28). "US EPA proposes options for monitoring hazardous air emissions". C&EN Global Enterprise. 97 (42): 17–17. doi:10.1021/cen-09742-polcon4. ISSN 2474-7408.