Kulur, Temon, Kulon Progo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kulur
Balai Desa Dan Kantor Kepala Desa Kulur
Negara Indonesia
ProvinsiDaerah Istimewa Yogyakarta
KabupatenKulon Progo
KecamatanTemon
Kode Kemendagri34.01.01.2009
Luas279.8640 Ha
Jumlah penduduk2.856 Jiwa

Kulur adalah nama sebuah desa yang terletak di kecamatan Temon, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Desa Kulur terletak dibagian timur Kecamatan Temon yang berjarak sekitar 4 km dari ibu kota Kecamatan Temon atau 6 Km dari ibu kota Kabupaten Kulon Progo. Desa ini memiliki luas wilayah 279.8640 Ha terbagi menjadi 7 pedukuhan dengan jumlah penduduk 2.856 Jiwa.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Asal Usul Desa Kulur/Legenda Desa Kulur[sunting | sunting sumber]

Setiap desa atau daerah pasti memiliki sejarah dan latar belakang tersendiri yang merupakan pencerminan dari karakter dan ciri khas tertentu dari suatu daerah. Sejarah Desa atau daerah sering kali tertuang dalam dongeng-dongeng yang diwariskan secara turun temurun dari mulut ke mulut sehingga sulit untuk dibuktikan secara fakta. Dan tidak jarang dongeng tersebut dihubungkan dengan mitos tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat. Dalam hal ini Desa Kulur juga memiliki hal tersebut yang merupakan identitas dari desa yang akan dituangkan dalam kisah dibawah ini.

Rialatan di Ngunungan Polodadi, Kulur

Dari berbagai sumber yang telah ditelusuri dan digali, asal usul desa Kulur memiliki versi banyak cerita yang bervariatif. Hal tersebut disebabkan banyaknya tempat yang dikrematkan yang kemudian dipercaya dan dijadikan pedoman sebagai keramat orang pertama yang datang membuka suatu desa. Dari dasar diatas akhirnya legenda desa Kulur diangkat dari seorang tokoh. Karena secara umum masyarakat meyakini bahwa orang pertama yang memberi nama Kulur.

Versi I:

Raden Ayu Pakuwati merupakan salah satu bangsawan Kraton yang diasingkan (disetrakke, jawa), atau dikucilkan oleh keluarga istana karena dianggap telah membawa aib keluarga, kemudian beliau diasingkan di salah satu bagian wilayah ADIKARTO yang waktu itu masih belum banyak penduduknya, serta belum memiliki nama wilayah.

Kemudian terdengar seseorang yang juga seorang bangsawan, yang sedang melaksanakan dakwah ke wilayah yang sama, yang dikenal sebagai Kyai Mertinggi/Ki Ageng Bahu Lawe. Beliau melaksanakan dakwah di wilayah ini dan pada waktu itu telah dilaksanakan pengislaman warga secara massal, yang dilaksanakan di Nggunungan Polodadi yang hingga sekarang masih di kenang warga sebagai tempat tirakatan yang setiap setahun sekali melaksanakan upacara bersih desa yang diisi dengan kegiatan Tahlil dan pembaaan sholawat nabi.

Pertemuan Kyai Mertinggi dengan Raden Ayu Pakuwati. Raden Ayu Pakuwati mendapat saudara (sedulur), sesama bangsawan yang sekian lama berada di tempat/wilayah ini, baru sekali ini bertemu dengan seorang bangsawan. Kemudian Raden Ayu Pakuwati mengajak Kyai Mertinggi untuk tetap tinggal /menemani dengan mengatakan: "Sampeyan wus tak aku pinongko sedulur." Pada akhirnya kata tak aku pinongko sedulur (jawa) berubah menjadi kata KULUR, untuk memudahkan ucapan.

Sedangkan wilayah dimana Raden Ayu Pakuwati tinggal pada akhirnya disebut sebagai SETRO, yang berasal dari kata di setrakke (jawa) yang berarti dikucilkan.

Versi II:

Tersebut juga pada versi yang lain bahwa KULUR berasal dari kata KUWU dan LUHUR. Selain itu, tersebut juga versi lain dari asal muasal desa Kulur:

Makam Kyai Mertinggi/Ki Ageng Bahu Lawe di Desa Kulur

Kyai Mertinggi/Ki Ageng Bahu Lawe berasal dari majapahit yang malarikan diri dari kejaran prajurit kerajaan demak. Kyai mertinggi bersama sahabatnya bernama glagah wiro dan ki gebang, melarikan diri dari majapahit dan tibalah di desa kulur tepatnya di gunung songgo, kenapa di namakan gunung songgo? Karena penyebutan ini konon kabarnya karena mereka selalu sangga wang (bertopang dagu) meratapi nasib yang tak tentu rimbanya. Setelah berhari-hari di tempat itu merasa aman, maka mereka memutuskan untuk tinggal di tempat itu. Pada suatu hari warga sekitar berkeluh kesah karena beberapa hari warga satu persatu raib dan hilang, setelah di teliti warga yang hilang itu di makan seekor ular besar yang bernama sarpa pangan angin, wujutnya seperti belut besar hitam (keling) dan terdapat batu mustika kecubung di keningnya.

Mendengar keluh kesah penduduk mereka bertiga berembug memutar otak mencari cara untuk membinasakan ular yang membuat penduduk mengalami depresi mental dan ketakutan. Setelah berhari-hari, akhirnya mereka memutuskan untuk berperang dengan sang ular. Sebagai tameng pertahanan dibuatlah sebuah bronjong besar dari bambu wulung. Dan suatu sore mereka di antar oleh warga ke tempat persembunyian ular raksasa tersebut, berbekal beronjong dan keris segoro muncar, kyai mertinggi mulai bertempur dengan ular itu, kyai mertinggi di gebas buntut ular tersebut sampai ke (sekarang pasar dekat teteg rel) pertempuran semakin sengit, lalu beliau membalas menjebak ular tersebut masuk ke bronjong dan beliau habisi ular tersebut dengan pusakanya.

Akhirnya sang ular dapat dibinasakan, setelah pusaka keris bertubi-tubi dihunjamkan dan mendarat di sekitar leher sang ular tempat nyawa berada batu kecubung pun terlempar, tempat jatuhnya batu tersebut kini ditandai sebuah sumur bernama sumur bandung. Peristiwa terbunuhnya sarpa pangan angin itu terjadi pada hari kamis kliwon menjelang senja hari. Oleh penduduk bangkai ular besar itu kemudian digunakan sebagai tanggul untuk membendung air. Tempat beradanya bangkai ular itu kemudian hari bernama gumuk tanggul angin. tanggul karena digunakan untuk menanggul dan angin karena namanya sarpa pangan angin. Menurut kepercayaan orang jawa meskipun wujud fisik ular tersebut sudah hancur bersatu dengan tanah, namun wujud metafisiknya dipercaya masih berada di tempat itu. Artinya pada saat tertentu akan tampak wujud metafisiknya. Dan tidak menutup kemungkinan akan berulah lagi.

Beberapa tokoh masyarakat sebagai sumber informasi tentang nama desa yang disarikan oleh tim penyusun antara lain:

1. Soehari Wiryosiswanto.

2. Sukarman Harsoyo Susanta.

3. Rng. Marto Suwanto Pratiknyo.

4. Kasiran Joyo Sumarto.

5. Sadikan Hadipranoto

Sejarah Pemerintahan Desa

Pada zaman penjajahan Belanda Desa Kulur berbentuk Kalurahan yang dipimpin seorang Lurah yang membawahi 6 padukuhan yaitu:

1. Padukuhan Kaligayam

2. Padukuhan Polodadi

3. Padukuhan Tigaron

4. Padukuhan Trukan

5. Padukuhan Setro

6. Padukuhan Kebondalem

Tiap padukuhan dipimpin oleh seorang Dukuh yang membawahi wilayah padukuhan dan telah menjalankan tugas fungsinya dengan baik. Sebagai imbalan dari pelayanan, Pemerintah desa menyediakan lahan sawah ( tanah bengkok ).

Seiring dengan perkembangan zaman padukuhan Kebondalem dan Tigaron mengalami pemekaran wilayah dari dua padukuhan menjadi tiga padukuhan.

Daerah padukuhan Tigaron yang dikenal dengan sebutan Brengkel dan daerah padukuhan Kebondalem yang dikenal dengan sebutan Bojong digabung menjadi satu wilayah padukuhan dengan nama Padukuhan Bojong, sehingga Desa Kulur yang semula enam padukuhan menjadi tujuh padukuhan yaitu:

1. Padukuhan Kaligayam

2. Padukuhan Polodadi

3. Padukuhan Tigaron

4. Padukuhan Trukan

5. Padukuhan Setro

6. Padukuhan Kebondalem

7. Padukuhan Bojong.

Batas wilayah[sunting | sunting sumber]

Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:

Utara Kecamatan Kokap
Timur Kecamatan Kokap
Selatan Desa Kedundang, Desa Demen dan Kecamatan Pengasih
Barat Desa Kaligintung

Pembagian wilayah[sunting | sunting sumber]

  1. Dukuh Kaligayam
  2. Dukuh Polodadi
  3. Dukuh Tigaron
  4. Dukuh Trukan
  5. Dukuh Setro
  6. Dukuh Kebondalem
  7. Dukuh Bojong

Geografi[sunting | sunting sumber]

Topografi[sunting | sunting sumber]

Topografi atau bentangan daerah adalah daerah dataran rendah dan daerah pegunungan/perbukitan dengan ketinggian ± 12 m di atas permukaan air laut Samudera Hindia/Laut Selatan Jawa. Pada daerah dataran rendah, desa Kulur dilalui saluran induk Kalibawang yang berada di tengah desa memanjang dari Pedukuhan Polodadi sebelah utara ke barat pedukuhan Kebondalem, Pedukuhan Bojong dan berakhir dipedukuhan Trukan sedangkan pada daerah dataran perbukitan/pegunungan berada di sebelah utara Desa Kulur meliputi sebagian pedukuhan Kaligayam, pedukuhan Setro dan pedukuhan Trukan pada daerah ini disebut hutan rakyat karena telah dilakukan penghijaun dilahan milik masyarakat setempat.

Penggunaan lahan[sunting | sunting sumber]

Luas wilayah administrasi Desa Kulur: 279.8640 Ha terdiri atas:

Tanah Pekarangan: 157.1050 ha

Tanah pertanian: 44.3420 ha

Tanah pegunungan: 62.3590 ha

Tanah lainnya: 16.0220 ha

(termasuk jalan desa, jalan Kereta api, makam, dan sungai )

Kawasan rawan bencana[sunting | sunting sumber]

Pedukuhan Kaligayam, Setro dan Trukan merupakan wilayah perbukitan yang rawan terhadap bencana tanah longsor. Pedukuhan Polodadi (lahan persawahan), Kebondalem, Bojong dan Tigaron merupakan daerah rawan genangan air.

Pemerintahan[sunting | sunting sumber]

Daftar pemimpin[sunting | sunting sumber]

Dari masa berdirinya desa Kulur sampai dengan sekarang telah mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan Lurah / Kepala Desa.

Adapun nama Lurah / Kepala Desa Kulur adalah sebagai berikut:

1. Lurah Demang Pantja

2. Lurah Puspowirogo

3. Lurah Atmodidjojo

4. Lurah Kromosendjojo

5. Lurah Pademodiwirjo

6. Lurah Suwandi Probohardjono ( tahun 1973 - 1980 )

7. Lurah Nur Hadi Rahmanto ( tahun 1984 - 2003 )

8. Kepala Desa Albanani Heru Irianto.Bc.Hk. ( 2004 -2014 )

9. Kepala Desa Adi Nugroho, S.Pt. (2015 - Sekarang)

Perangkat desa[sunting | sunting sumber]

  • Kepala Desa: Adi Nugroho, S.Pt
  • Sekretaris Desa: Farid Nurhuda Isyai', S.Pd
  • Kasi Kemasyarakatan: Muhammad Nur Fajr
  • Kasi Pemerintahan: Miswan Rahayusanga
  • Kasi Pembangunan dan Pemberdayaan: Sutardi
  • Kaur Perencanaan dan Keuangan: Eko Wahyu Mulyanto
  • Kaur Umum Aparatur Desa dan Aset: Muh Zamroni
  • Dukuh Kaligayam: Surasa
  • Dukuh Polodadi: Sutarno
  • Dukuh Tigaron: Sawal
  • Dukuh Trukan: Eni Murtiati
  • Dukuh Setro: Sumarno
  • Dukuh Kebondalem: Bambang Suharsono
  • Dukuh Bojong: Suyono
  • Staff Desa 1: Herma Adi Prasetyo
  • Staff Desa 2: Meri Nur Santi

Pembangunan Desa[sunting | sunting sumber]

Pembangunan di desa Kulur dapat dicatat pembangunannya pada beberapa era kepemimpinan Lurah/Kepala Desa yang masing-masing memiliki hal-hal yang menonjol anatara lain sbb:

1. Masa kepemimpinan Demang Pantja

  • Pembangunan Masjid Kauman ( Masjid Desa )
    Masjid Al-Muqorrobin Kulur, Temon

2. Masa kepemimpinan Lurah Puspowirogo

  • Pembangunan Kantor Desa

3. Masa kepemimpinan Lurah Atmodijojo

  • Pembangunan jembatan ( timur Masjid Kauman )

4. Masa kepemimpinan Lurah Kromosendjojo

  • Pembangunan Balai Desa ( Joglo kayu )

5. Masa kepemimpinan Lurah Pademodiwirjo

  • Pembangunan Sekolah Dasar ( SD Negeri Kulur )
  • Jalan tembus Polodadi - Kebondalem
  • Balai makam Gunung Tahunan

6. Masa kepemimpinan Lurah Suwandi Probohardjono

  • Jalan lingkar tapal kuda
  • Pagar balai desa
  • Lapangan Mbabrik Trukan

7. Masa kepemimpinan Lurah Nur Hadi Rahmanto

  • Rehab Kantor dan Balai Desa
  • Pendirian pasar desa "CIKLI"
  • Pasar Cikli Kulur yang terletak di Pedukuhan Polodadi, Desa Kulur
    Pendirian kios desa
  • Pendirian Gedung TK
  • Pelebaran jalan Desa
  • Listrik masuk Desa
  • Pengaspalan jalan Desa
  • Penghijauan
  • Rehab balai makam Gunung Tahunan

8. Masa kepemimpinan Kepala Desa Albanani Heru Irianto.Bc.Hk.

  • Jembatan Desa Setro-Kaligayam
  • Penambahan & rehab gedung TK pertiwi ekokapti
  • Pembangunan Poskesdes
  • Poskesdes Kulur yang terletak di Pedukuhan Bojong, Desa Kulur, Kecamatan Temon
    Rehab Jembatan Bojong Ngeprih (Trukan )
  • Rehab Balai Desa dan tempat parkir
  • Mushola Balai Desa
  • Air bersih sendang Kaligayam
  • Peningkatan jalan desa dengan rabat beton
  • Peningkatan jalan lingkungan dengan cor blok
  • Peningkatan jalan aspal desa
  • Jembatan Jaten bulak Polodadi
  • Pembangunan Gedung PAUD
  • Pengaman tanggul kali nagung dengan bronjong

Rewritted By Muhammad Nur Fajr

Pranala luar[sunting | sunting sumber]