Kulit gelap

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kelompok pria Kamboja dengan kulit gelap.
Pekerja imigran Indonesia berkulit gelap di Suriname, sekitar tahun 1940

Kulit gelap adalah warna kulit manusia yang terjadi secara alami, kaya akan pigmen melanin dan memiliki warna gelap.[1][2][3] Orang-orang dengan warna kulit relatif gelap disebut orang kulit cokelat (brown),[4] dan orang-orang dengan kulit yang sangat gelap sering disebut sebagai orang kulit hitam (black),[5] meskipun penggunaan semacam ini dapat menjadi ambigu di beberapa negara di mana hal ini juga digunakan untuk secara spesifik merujuk pada kelompok-kelompok etnis atau populasi-populasi yang berbeda.[6][7][8][9]

Evolusi pada pigmentasi kulit gelap diyakini telah dimulai sekitar 1,2 juta tahun yang lalu,[10] pada spesies awal hominid berkulit terang setelah mereka pindah dari hutan hujan khatulistiwa ke sabana yang mendapat banyak cahaya matahari. Dalam menghadapi panasnya sabana, mekanisme pendinginan yang lebih baik diperlukan, yang dilakukan melalui penghilangan rambut di tubuh dan perkembangan sistem keringat yang lebih efisien. Penghilangan rambut tubuh yang mengakibatkan berkembangnya pigmentasi kulit gelap, merupakan sebuah mekanisme seleksi alam terhadap penipisan asam folat, dan terhadap kerusakan DNA pada tingkat yang rendah. Faktor utama yang berkontribusi terhadap evolusi pada pigmentasi kulit gelap ialah pemecahan asam folat sebagai reaksi terhadap radiasi ultraviolet; hubungan antara pemecahan asam folat yang disebabkan oleh radiasi ultraviolet dan penurunan kesesuaian sebagai bentuk kegagalan dari embriogenesis dan spermatogenesis normal menyebabkan hasil seleksi pada pigmentasi kulit gelap. Pada saat Homo sapiens modern berevolusi, semua manusia memiliki warna kulit gelap.[11][12][13][14][15][16]

Manusia dengan pigmentasi kulit gelap memiliki kulit yang secara alami kaya melanin (terutama eumelanin), dan memiliki lebih banyak melanosom yang memberikan perlindungan unggul melawan efek merusak dari radiasi ultraviolet. Melanosom ini membantu tubuh mempertahankan cadangan asam folat dan melindungi terhadap kerusakan DNA.[17]

Orang berkulit gelap yang tinggal di daerah tinggi dengan sinar matahari yang kurang terik memiliki peningkatan risiko – terutama di musim dingin – mengalami kekurangan vitamin D. Sebagai konsekuensi kekurangan vitamin D, mereka memiliki risiko yang lebih tinggi terkena rakhitis, dan berbagai jenis kanker, dan kemungkinan penyakit kardiovaskular dan aktivitas sistem kekebalan tubuh yang rendah.[18] Namun demikian, beberapa studi terbaru mempertanyakan jika ambang batas yang menunjukkan kekurangan Vitamin D pada individu berkulit terang relevan dengan kekurangan Vitamin D pada individu berkulit gelap, karena mereka menemukan bahwa rata-rata individu berkulit gelap memiliki kepadatan tulang yang lebih tinggi dan memiliki risiko patah tulang yang lebih rendah dibandingkan individu berkulit terang pada tingkat Vitamin D yang sama. Hal Ini disebabkan karena kemungkinan rendahnya kadar agen pengikat Vitamin D (sehingga bioavailabilitasnya lebih tinggi) pada individu berkulit gelap.[19][20]

Distribusi global populasi berkulit gelap umumnya sangat berkorelasi dengan tingginya tingkat radiasi ultraviolet di daerah yang mereka huni. Populasi berkulit gelap hampir secara eksklusif hidup di dekat garis khatulistiwa, di daerah tropis dengan sinar matahari yang intens: Australia, Melanesia, Asia Tenggara Kepulauan, Papua Nugini, Asia Selatan, dan Afrika. Studi yang dilakukan terhadap populasi-populasi tersebut menunjukkan bahwa kulit gelap itu merupakan hasil simpanan keadaan adaptasi terhadap sinar UV yang tinggi, yang telah ada pada manusia modern sebelum migrasi keluar Afrika (asal usul manusia moderen dari Afrika) dan bukanlah akibat evolusi adaptasi yang muncul setelahnya.[21] Karena migrasi dalam jumlah besar dan meningkatnya mobilitas penduduk antarwilayah geografis di masa lalu, populasi berkulit gelap saat ini dapat ditemukan di seluruh dunia.[22][23]

Evolusi[sunting | sunting sumber]

Karena seleksi alam, orang-orang yang tinggal di daerah-daerah dengan sinar matahari yang intens memiliki pewarnaan kulit yang gelap untuk melindungi terhadap sinar ultraviolet dan untuk melindungi tubuh mereka terutama dari penipisan asam folat. Evolusi pigmentasi kulit disebabkan oleh radiasi Ultraviolet (UV) dari matahari. Sebagaimana hominid secara bertahap mengalami kehilangan bulu tubuh antara 4.5 hingga 2 juta tahun yang lalu untuk memungkinkan pendinginan yang lebih baik melalui keringat, kulit mereka yang telanjang dan memiliki sedikit pigmentasi kulit terpapar oleh sinar matahari. Di daerah tropis, seleksi alam memilih populasi manusia berkulit gelap dengan tingkat pigmentasi kulit yang tinggi untuk melindungi efek berbahaya sinar matahari. Reflektansi kulit (jumlah sinar matahari yang direfleksikan kulit) pada populasi asli dan radiasi UV aktual di wilayah geografis tertentu memiliki korelasi yang sangat tinggi, yang mendukung gagasan tersebut. Bukti genetik juga mendukung gagasan tersebut, dengan menunjukkan bahwa sekitar 1.2 juta tahun lalu terdapat tekanan evolusi yang kuat, yang berpengaruh pada pengembangan pigmentasi kulit gelap pada awal anggota genus Homo.[24] Efek sinar matahari terhadap kadar asam folat sangat penting dalam perkembangan kulit gelap.[25]

Sabana di Afrika Timur, di mana sebagian besar evolusi hominid kulit gelap kemungkinan terjadi

Nenek moyang primata yang paling awal dari manusia modern paling mungkin memiliki kulit terang, seperti relatif modern manusia yang paling dekat – simpanse.[26] Sekitar 7 juta tahun lalu garis keturunan manusia dan simpanse menyimpang, dan antara 4.5 dan 2 juta tahun lalu manusia purba keluar dari hutan hujan ke savana Afrika Timur.[27] Mereka tidak hanya harus mengatasi sinar matahari yang intens, tetapi juga harus mengembangkan sistem pendinginan tubuh yang lebih baik. Lebih sulit mendapatkan makanan di sabana yang panas dan sebagaimana otak mamalia rentan terhadap pemanasan berlebih – kenaikan suhu sebesar 5 atau 6 °C dapat menyebabkan serangan panas (heatstroke) – sehingga ada kebutuhan untuk mengembangkan regulasi panas yang lebih baik. Solusinya yaitu melalui berkeringat dan kehilangan rambut tubuh.

Dengan berkeringat panas tubuh hilang melalui penguapan. Manusia purba, seperti simpanse sekarang, memiliki sedikit kelenjar keringat, dan sebagian besar kelenjar keringat mereka terletak di telapak tangan dan telapak kaki. Pada gilirannya, individu dengan lebih banyak kelenjar keringat terlahir. Manusia ini bisa mencari makanan dan berburu untuk waktu yang lebih lama sebelum terpaksa kembali ke tempat berlindung mereka. Semakin lebih mereka dapat mencari makanan, semakin banyak jumlah dan lebih sehat keturunan yang dihasilkan, serta semakin tinggi kemungkinan mereka mewariskan gen dengan lebih banyak kelenjar keringat. Dengan sedikit jumlah rambut, keringat dapat menguap lebih mudah dan mendinginkan tubuh secara lebih cepat. Beberapa juta tahun evolusi kemudian, manusia purba memiliki rambut tubuh yang jarang dan lebih dari dua juta kelenjar keringat di tubuh mereka.[28][29]

Kulit dengan jumlah bulu yang lebih sedikit, bagaimanapun juga, sangat rentan mengalami kerusakan akibat sinar ultraviolet dan hal ini terbukti menjadi masalah bagi manusia yang tinggal di daerah dengan radiasi UV yang intens, dan hasil evolusi yang terjadi ialah perkembangan warna kulit gelap sebagai bentuk perlindungan. Para ilmuwan telah lama berasumsi bahwa manusia memperkembangkan melanin dalam rangka untuk menyerap atau menyebarkan radiasi matahari yang berbahaya. Beberapa peneliti beranggapan bahwa melanin melindungi terhadap kanker kulit. Sementara radiasi UV yang tinggi dapat menyebabkan kanker kulit, perkembangan kanker biasanya terjadi setelah usia melahirkan anak. Sebagaimana seleksi alam memilih individu dengan ciri-ciri memiliki keberhasilan reproduksi, kanker kulit memiliki sedikit efek pada evolusi kulit gelap. Hipotesis sebelumnya menyatakan bahwa puting yang terbakar sinar matahari dapat menghalangi proses menyusui, namun warna sedikit kecoklatan cukup dapat melindungi ibu dalam masalah menyusui.[30][31][32]

Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1978 meneliti efek dari sinar matahari pada asam folat – kadar vitamin B kompleks. Studi tersebut menemukan bahwa bahkan untuk sinar matahari yang intens dalam jangka waktu yang pendek mampu mengurangi kadar asam folat hingga separuh, jika seseorang memiliki kulit terang. Kadar folat yang rendah berkorelasi dengan kerusakan tabung saraf, seperti anencefali dan spina bifida. Sinar UV bisa melucuti folat yang penting untuk perkembangan sehat janin. Dengan adanya kelainan dalam folat ini anak-anak dapat lahir tanpa otak atau sumsum tulang belakang yang lengkap. Nina Jablonski, seorang profesor antropologi dan ahli evolusi warna kulit manusia,[33] menemukan beberapa kasus dimana ibu yang pergi ke studio untuk menggelapkan warna kulit mempunyai keterhubungan dengan kerusakan tabung saraf pada awal masa kehamilan mereka. Ia juga menemukan bahwa asam folat sangat penting untuk perkembangan sperma; beberapa obat kontrasepsi pria berdasarkan pada prinsip penghambatan folat. Telah diketahui bahwa folat dapat mendorong terjadinya evolusi kulit gelap.[34]

Dengan menyebarnya manusia dari khatulistiwa Afrika ke daerah yang memiliki radiasi UV rendah dan ke tempat dengan ketinggian yang lebih tinggi pada suatu waktu antara 120,000 hingga 65,000 tahun yang lalu, kulit gelap kemudian timbul sebagai sebuah kerugian.[35] Populasi dengan pigmentasi kulit terang berkembang di daerah yang beriklim sedikit sinar matahari. Pigmentasi kulit terang melindungi terhadap kekurangan vitamin D. Hal ini diketahui bahwa orang-orang berkulit gelap yang telah pindah ke daerah dengan iklim yang memiliki sinar matahari terbatas dapat mengakibatkan kondisi yang berhubungan dengan vitamin D seperti rakhitis, dan berbagai bentuk kanker.[36]

Hipotesis pendahulu[sunting | sunting sumber]

Wanita dengan kulit gelap

Hipotesis utama lain yang telah diajukan melalui sejarah untuk menjelaskan evolusi warna kulit gelap berhubungan dengan meningkatnya kematian akibat kanker kulit, meningkatnya tingkat kesesuaian sebagai bentuk perlindungan terhadap terbakar sinar matahari, dan meningkatnya manfaat karena sifat antibakteri dari eumelanin.

Berpigmentasi gelap, kulit kaya eumelanin melindungi terhadap kerusakan DNA yang disebabkan oleh sinar matahari.[37] Hal ini dikaitkan dengan menurunnya tingkat kanker kulit di kalangan populasi berkulit gelap.[38][39][40][41][42] Adanya feomelanin pada kulit terang meningkatkan tekanan oksidatif dalam melanosit, dan hal ini dikombinasikan dengan keterbatasan kemampuan feomelanin menyerap radiasi UV memberikan kontribusi pada tingkat kanker kulit yang lebih tinggi di kalangan individu berkulit terang.[43] Efek merusak radiasi UV pada struktur DNA dan terdapatnya peningkatan risiko kanker kulit telah diakui secara luas.[44][45][46][47] Namun jenis kanker tersebut biasanya mempengaruhi orang-orang di akhir atau setelah karier reproduksi mereka dan belum dapat dijadikan alasan evolusi di balik perkembangan pigmentasi kulit gelap. Dari semua jenis kanker kulit, hanya melanoma ganas yang memiliki pengaruh besar terhadap usia reproduksi. Tingkat kematian akibat melanoma sangat rendah (kurang dari 5 kematian per 100,000 orang) sebelum pertengahan abad ke-20. Rendahnya tingkat kematian akibat melanoma selama usia reproduksi tidak dapat dijadikan alasan utama di balik perkembangan pigmentasi kulit gelap.

Hasil studi telah menunjukkan bahwa bahkan terbakar sinar matahari yang serius pun tidak dapat mempengaruhi fungsi kelenjar keringat dan termoregulasi. Tidak ada data atau penelitian yang mendukung bahwa terbakar sinar matahari dapat menyebabkan kerusakan yang sangat serius yang dapat mempengaruhi keberhasilan reproduksi.

Kelompok hipotesis lain berpendapat bahwa pigmentasi kulit gelap berkembang sebagai perlindungan antibakteri terhadap penyakit infeksi tropis dan parasit. Meskipun memang benar bahwa eumelanin memiliki sifat antibakteri, hal penting sekunder dari eumelamin ialah sebagai penyerap fisik untuk melindungi terhadap kerusakan yang disebabkan radiasi UV. Hipotesis ini tidak konsisten dengan bukti-bukti bahwa sebagian besar evolusi hominid berlangsung di lingkungan sabana dan tidak di hutan hujan tropis.[48] Manusia-manusia yang hidup di tempat panas dan lingkungan bermatahari terik memiliki kulit lebih gelap dari manusia yang hidup di lingkungan basah dan berawan. Hipotesis antimikroba juga tidak menjelaskan mengapa beberapa populasi (seperti Inuit atau bangsa Tibet) yang tinggal jauh dari daerah tropis dan terpapar radiasi UV yang tinggi memiliki pigmentasi kulit yang lebih gelap dibandingkan populasi di sekitarnya.

Biokimia dan genetika[sunting | sunting sumber]

Kulit berpigmen gelap
Kulit berpigmen gelap

Manusia berkulit gelap memiliki jumlah melanin yang tinggi ditemukan di kulit mereka. Melanin adalah turunan dari asam amino tirosin. Eumelanin adalah bentuk dominan dari melanin yang ditemukan di kulit manusia. Eumelanin melindungi jaringan dan DNA dari kerusakan akibat radiasi sinar UV. Melanin diproduksi di sel-sel khusus yang disebut melanosit, yang ditemukan pada tingkat terendah epidermis.[49] Melanin dihasilkan dalam paket-paket kecil yang terikat dengan membran, yang disebut melanosomes. Orang-orang dengan kulit gelap alami memiliki melanosomes yang bergerombol, besar, dan berisi penuh dengan eumelanin.[50][51] Empat kali lipat perbedaan kulit gelap alami memberikan tujuh sampai delapan kali lipat perlindungan terhadap kerusakan DNA, namun bahkan warna kulit yang paling gelap sekalipun tetap tidak dapat melindungi terhadap semua kerusakan yang dapat terjadi pada DNA.

Kulit gelap memberikan perlindungan yang besar terhadap radiasi UV karena kandungan eumelanin, kemampuan menyerap radiasi UV dari melanosomes yang besar, dan karena eumelanin dapat dimobilisasikan dengan lebih cepat dan dibawa ke permukaan kulit dari kedalaman epidermis. Untuk wilayah tubuh yang sama, individu-individu berkulit terang dan gelap memiliki jumlah melanosit yang sama (terdapat cukup banyak variasi antara daerah tubuh yang berbeda), tetapi organela yang mengandung pigmen, yang disebut melanosomes, lebih besar dan lebih banyak pada individu berkulit gelap. Keratosit dari kulit gelap yang tumbuh bersama dengan melanosit menghasilkan pola distribusi karakteristik melanosome dari kulit gelap.[52][53] Melanosomes tidak berada dalam keadaan teragregasi dalam kulit berpigmen gelap dibandingkan pada kulit berpigmen terang. Karena beratnya melanosomes yang mengandung melanin pada kulit berpigmen gelap, kulit berpigmen gelap dapat menyerap lebih banyak energi dari radiasi UV dan dengan demikian memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap bahaya terbakar sinar matahari melalui penyerapan dan dispersi sinar UV. Kulit berpigmen gelap melindungi terhadap kerusakan DNA secara langsung maupun tidak langsung. Photodegration terjadi ketika melanin menyerap foton. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa efek perlindungan terhadap cahaya (photoprotective) pada kulit gelap meningkat dengan fakta bahwa melanin dapat menangkap radikal bebas seperti hidrogen peroksida, yang diciptakan akibat interaksi radiasi UV dengan lapisan kulit. Kulit dengan banyak pigmen melanosit memiliki kapasitas yang lebih besar untuk terbelah setelah proses iradiasi dari radiasi UV, yang menunjukkan bahwa pada kulit dengan lebih banyak pigmen melanosit terjadi lebih sedikit kerusakan DNA. Meskipun demikian, UVB merusak sistem kekebalan tubuh bahkan pada individu berkulit gelap karena efek UVB pada sel-sel Langerhans. Stratum korneum orang-orang berkulit gelap atau berkulit kecokelatan lebih kental dan mengandung lebih banyak lapisan sel yang berubah menjadi lapisan tanduk dibandingkan pada orang-orang berpigmen terang. Kualitas pada kulit gelap ini meningkatkan fungsi perlindungan penghalang kulit.

Melinda Shankar, wanita Kanada Indo-Guyana dengan kulit gelap.

Meskipun kulit berpigmen gelap menyerap sekitar 30 sampai 40% lebih banyak sinar matahari dibandingkan kulit berpigmen terang, kulit gelap tidak meningkatkan pemasukan panas ke dalam internal tubuh di saat kondisi radiasi matahari yang intens. Radiasi matahari memanaskan permukaan tubuh dan tidak memanaskan bagian dalam tubuh. Selain itu, jumlah panas tersebut sangat kecil dibandingkan panas yang dihasilkan ketika otot-otot secara aktif digunakan selama latihan, dan oleh karena itu dapat diabaikan. Terlepas dari warna kulit, manusia memiliki kemampuan yang sangat baik untuk mengusir panas melalui keringat. Setengah dari radiasi matahari yang mencapai permukaan Bumi dalam bentuk sinar inframerah diserap sama banyaknya tidak bergantung pada warna kulit.

Pada orang dengan kulit gelap alami, proses perubahan warna kulit menjadi cokelat terjadi dengan mobilisasi melanin yang dramatis ke atas epidermis dan berlanjut dengan peningkatan produksi melanin. Hal ini bertanggung jawab untuk fakta bahwa orang-orang berkulit gelap dapat terlihat lebih gelap setelah satu atau dua minggu terkena paparan sinar matahari, dan kemudian kehilangan warna tersebut setelah berbulan-bulan tidak terkena matahari. Orang-orang berpigmen gelap cenderung menunjukkan sedikit tanda-tanda penuaan di kulit mereka dibandingkan orang-orang berpigmen terang karena kulit gelap melindungi dari sebagian besar penuaan akibat cahaya (photoaging).[54]

Warna kulit merupakan ciri poligenik, yang berarti bahwa beberapa gen terlibat dalam penentuan suatu fenotip tertentu. Banyak gen bekerja bersama-sama dalam kombinasi secara kompleks, aditif, dan non aditif untuk menentukan warna kulit individu. Variasi warna kulit terdistribusi normal dari terang hingga gelap, sebagaimana hal tersebut umum terjadi dalam ciri poligenik.[55][56]

Data yang dikumpulkan dari studi mengenai gen MC1R menunjukkan bahwa ada kekurangan keragaman dalam sampel orang berkulit gelap Afrika dari alela gen mereka dibandingkan dengan populasi non-Afrika. Hal ini adalah pengetahuan yang luar biasa mengingat bahwa jumlah polimorfisme untuk hampir semua gen dalam gen manusia yang ada lebih besar pada sampel Afrika dibandingkan wilayah geografis lainnya. Jadi, sementara gen MC1Rf tidak secara signifikan memberikan kontribusi terhadap variasi warna kulit di seluruh dunia, alela yang ditemukan dalam kadar tinggi di populasi Afrika mungkin melindungi terhadap radiasi UV dan mungkin kontribusi penting dalam evolusi kulit gelap.[57][58]

Warna kulit bervariasi, yakni sebagian besar karena variasi dalam jumlah gen yang memiliki pengaruh besar serta beberapa gen lain yang memiliki pengaruh kecil (TYR, TYRP1, OCA2, SLC45A2, SLC24A5, MC1R, KITLG dan SLC24A4). Variasi gen ini tidak termasuk efek epistasis, yang mungkin akan meningkatkan jumlah gen terkait.[59] Variasi dalam gen SLC24A5 bertanggung jawab terhadap 20-25% variasi antara populasi berkulit gelap dan terang Afrika,[60] dan tampaknya telah muncul baru-baru ini dalam sekurangnya 10,000 tahun terakhir.[61] Polimorfisme Ala111Thr atau rs1426654 dalam wilayah pengkodean gen SLC24A5 mencapai fiksasi di Eropa, dan juga umum di kalangan populasi di Afrika Utara, Tanduk Afrika, Asia Barat, Asia Tengah dan Asia Selatan.[62][63][64]

Implikasi kesehatan[sunting | sunting sumber]

Pigmentasi kulit merupakan adaptasi evolusioner untuk berbagai tingkat radiasi UV di seluruh dunia. Akibatnya, terdapat banyak implikasi kesehatan yang merupakan produk pergerakan populasi manusia dengan pigmentasi kulit tertentu ke lingkungan baru dengan tingkat radiasi UV yang berbeda. Manusia modern sering mengabaikan sejarah evolusi mereka, yang merupakan risiko mereka. Praktik-praktik budaya yang meningkatkan masalah kondisi mereka, di antara populasi berkulit gelap, ialah pakaian tradisional dan makanan yang kurang mengandung vitamin D.[65]

Keuntungan pigmentasi kulit gelap pada lingkungan dengan sinar matahari tinggi[sunting | sunting sumber]

Orang-orang berpigmen gelap yang tinggal dalam lingkungan dengan sinar matahari yang tinggi diuntungkan karena tingginya jumlah melanin yang diproduksi kulit mereka. Pigmentasi gelap melindungi dari kerusakan DNA dan menyerap dalam jumlah yang tepat radiasi UV yang dibutuhkan oleh tubuh, serta melindungi terhadap penipisan folat. Folat adalah vitamin B kompleks yang larut dalam air yang secara alami terdapat dalam sayuran berdaun hijau, biji-bijian, dan buah jeruk. Wanita membutuhkan folat untuk menjaga kesehatan telur, untuk implantasi telur yang tepat, dan untuk perkembangan normal plasenta setelah pembuahan. Folat diperlukan untuk produksi normal sperma pada pria. Selain itu, folat juga sangat penting untuk pertumbuhan janin, perkembangan organ, dan perkembangan tabung saraf. Folat mengalami kerusakan pada radiasi UV yang intens. Wanita berkulit gelap menderita kerusakan tabung saraf pada tingkat yang paling rendah.[66] Folat memainkan peran penting dalam produksi DNA dan ekspresi gen. Sangat penting untuk mempertahankan tingkat asam amino yang tepat untuk membentuk protein. Folat digunakan dalam pembentukan myelin, selubung yang menutupi sel-sel saraf dan memungkinkan untuk mengirim sinyal-sinyal listrik dengan cepat. Folat juga berperan penting dalam perkembangan berbagai neurotransmiter, misalnya serotonin yang mengatur nafsu makan, tidur, dan suasana hati. Folat serum dapat rusak oleh radiasi UV atau konsumsi alkohol. Karena kulit dilindungi oleh melanin, orang yang berpigmen gelap memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk terkena kanker kulit dan kondisi yang berkaitan dengan kekurangan folat, seperti kerusakan tabung saraf.

Kerugian pigmentasi kulit gelap pada lingkungan dengan sinar matahari rendah[sunting | sunting sumber]

Rakhitis adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan kulit gelap

Orang-orang berkulit gelap yang hidup dalam lingkungan dengan sinar matahari rendah diketahui sangat rentan mengalami kekurangan vitamin D karena berkurangnya sintesis vitamin D. Orang yang berkulit gelap membutuhkan enam kali lebih banyak kebutuhan UVB dibandingkan orang berpigmen terang. Hal ini bukanlah suatu masalah di dekat khatulistiwa, namun dapat menjadi sebuah masalah pada garis lintang yang lebih tinggi. Untuk orang dengan kulit gelap pada iklim dengan radiasi UV yang rendah, diperlukan waktu sekitar dua jam untuk memproduksi jumlah vitamin D yang sama sebagaimana yang diperlukan orang berkulit terang dalam waktu lima belas menit. Orang berkulit gelap memiliki indeks masa tubuh yang tinggi dan tidak mengonsumsi suplemen vitamin D dapat berarti akan berakibat pada kekurangan vitamin D.[67][68] Vitamin D memerankan peran yang sangat penting dalam mengatur sistem kekebalan tubuh manusia dan kekurangan vitamin D yang kronis dapat membuat manusia rentan terhadap tipe kanker khusus dan berbagai penyakit infeksi.[69][70] Kekurangan vitamin D meningkatkan risiko berkembangnya limalipat tuberkolosis (tuberculosis fivefold) dan berkontribusi terhadap berkembangnya kanker payudara, kanker prostat, dan kanker kolorektum.[71] Penyakit yang paling lazim terjadi berikut kekurangan vitamin D ialah rakhitis, pelunakan tulang pada anak-anak yang berpotensi menyebabkan patah tulang dan kelainan bentuk pada tulang. Rakhitis disebabkan oleh berkurangnya sintesis vitamin D yang menyebabkan ketiadaanya vitamin D, sehingga kemudian menyebabkan asupan yang mengandung kalsium tidak dapat diserap oleh tubuh. Penyakit ini di masa yang telah lalu dapat ditemukan secara umum di antara orang Amerika berkulit gelap di bagian selatan Amerika Serikat yang bermigrasi ke utara ke lingkungan dengan sinar matahari yang lebih rendah. Popularitas meminum minuman mengandung gula dan berkurangnya waktu yang dihabiskan di luar berkontribusi signifikan terhadap berkembangnya rakhitis. Kelainan tulang panggul pada wanita berhubungan dengan rakhitis parah setelah melahirkan secara normal yang dapat berakibat pada tingginya tingkat kematian pada bayi atau ibu, atau keduanya. Kekurangan vitamin D terjadi paling umum di wilayah dengan sinar matahari rendah, terutama pada musim dingin.[72] Kekurangan vitamin D kronis mungkin juga dapat dihubungkan dengan kanker payudara, kanker prostat, kanker usus besar, kanker ovarium, dan kemungkinan tipe kanker lainnya.[73][74][75] Hubungan antara penyakit kardiovaskular dan kekurangan vitamin D juga mengusulkan keterhubungan antara kesehatan jantung dan otot polos.[76][77] Rendahnya kadar vitamin D dapat pula dikaitkan dengan kerusakan/gangguan pada sistem imunitas dan fungsi otak.[78][79] Selain itu, penelitian terbaru telah menghubungkan kekurangan vitamin D dengan penyakit autoimune, hipertensi, sklerosis multipel, diabetes, dan hal yang berkenaan dengan amnesia/memory loss. Di luar daerah tropis, radiasi UV menembus lapisan yang lebih tebal dari atmosfer, yang berakibat pada sebagian besar UVB terpantulkan atau hancur dalam perjalanan; oleh karena itu, terdapat lebih kecil kemungkinan biosintesis vitamin D di daerah yang jauh dari khatulistiwa. Jumlah asupan vitamin D yang lebih tinggi untuk orang-orang berkulit gelap yang hidup di daerah dengan sinar matahari rendah sangat dianjurkan oleh para dokter, yakni dengan mengonsumsi makanan kaya vitamin D atau mengonsumsi suplemen vitamin D,[80][81][82][83][84] meskipun terdapat pula bukti pada akhitr-akhir ini yang mengungkapkan bahwa individu berkulit gelap mampu memproses vitamin D secara lebih efisien dibandingkan individu berkulit terang sehingga mungkin memiliki ambang batas kecukupan yang lebih rendah.

Distribusi geografis[sunting | sunting sumber]

Anak laki-laki berambut pirang berkulit gelap dari Vanuatu, Melanesia.

Terdapat korelasi antara distribusi geografis radiasi UV (UVR) dan distribusi pigmentasi kulit di seluruh dunia. Daerah yang memiliki jumlah UVR yang lebih tinggi memiliki populasi berkulit gelap, umumnya terletak di dekat khatulistiwa. Daerah-daerah yang jauh dari khatulistiwa umumnya lebih dekat ke kutub memiliki konsentrasi UVR yang lebih rendah, dan terdiri dari lebih banyak populasi berkulit terang. Hal ini adalah hasil evolusi manusia yang merupakan kontribusi variabel kadar melanin di dalam kulit sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan tertentu. Persentase yang lebih besar dari orang-orang berkulit gelap ditemukan di belahan selatan karena garis lintang dan distribusi massa daratan yang tidak proporsional. Distribusi variasi kulit warna di masa sekarang ini tidak benar-benar mencerminkan korelasi intensitas UVR dan pigmentasi kulit gelap karena migrasi dalam jumlah besar dan pergerakan orang-orang melintasi benua pada beberapa waktu yang lalu.

Seorang Aborigin Australia pria dengan kulit gelap.

Populasi berkulit gelap yang mendiami Asia Selatan, Afrika, Melanesia, Pulau Papua, dan Australia semuanya hidup di beberapa daerah dengan radiasi UV tertinggi di dunia, dan mengembangkan pigmentasi kulit sangat gelap sebagai perlindungan dari sinar matahari yang berbahaya. Evolusi telah membatasi manusia dengan kulit gelap di lintang tropis, terutama di kawasan yang tidak memiliki hutan, dimana radiasi ultraviolet dari matahari biasanya yang paling intens. Populasi berkulit gelap yang berbeda tidak selalu berhubungan erat secara genetik. Sebelum migrasi massal modern, telah diutarakan pendapat bahwa mayoritas orang-orang berpigmen gelap hidup di sekitar 20° dari khatulistiwa.

Penduduk asli Pulau Buka dan Pulau Bougainville di utara Kepulauan Solomon di Melanesia dan orang-orang Chopi dari Mozambik di pantai tenggara Afrika memiliki kulit yang lebih gelap dibandingkan populasi di sekitarnya. (Orang-orang pribumi Bougainville, Papua nugini, merupakan beberapa pigmentasi kulit yang paling gelap di dunia.) Meskipun orang-orang tersebut terpisahkan secara luas, mereka mempunyai lingkungan fisik yang serupa. Di kedua daerah, mereka mendapatkan paparan UVR yang sangat tinggi dari langit yang tidak berawan di dekat khatulistiwa yang kemudian terpantulkan oleh air atau pasir. Air memantulkan UVR, bergantung pada warna air, sekitar 10 sampai 30% yang jatuh di atasnya. Orang-orang dalam populasi ini menghabiskan waktu berjam-jam memancing di laut. Karena sangat tidak praktis untuk memakai pakaian yang berlebihan di lingkungan budaya yang banyak air dan teknologi yang ada sangat sedikit dapat menyangga paparan UVR. Kulit orang-orang tersebut mengambil radiasi UVR dalam jumlah yang sangat besar. Populasi tersebut mungkin mendekati atau merupakan kegelapan maksimal yang dapat dicapai oleh kulit manusia.

Penelitian yang lebih baru menemukan bahwa populasi manusia selama 50,000 tahun telah berubah dari berkulit gelap ke berkulit terang dan sebaliknya. Hanya pada 100-200 generasi yang lalu, nenek moyang dari sebagian besar orang yang hidup hari ini kemungkinan juga tinggal di tempat yang berbeda dan memiliki warna kulit yang berbeda. Menurut Nina Jablonski, populasi berpigmen gelap modern di India Selatan dan Sri Lanka adalah contoh dari ini, memiliki kulit yang kembali gelap setelah nenek moyang mereka bermigrasi dari daerah yang lebih jauh ke utara. Para ilmuwan awalnya meyakini bahwa pergeseran seperti itu dalam pigmentasi, berlangsung dalam waktu yang relatif lambat. Namun, para peneliti mengamati bahwa perubahan warna kulit bisa terjadi dalam waktu 100 generasi (~2.500 tahun), tanpa memerlukan perantara perkawinan. Kecepatan perubahan itu juga dipengaruhi oleh pakaian, yang cenderung memiliki efek memperlambat.

Australia[sunting | sunting sumber]

Pribumi Australia suku Aborigin, seperti halnya semua manusia, adalah keturunan migran Afrika, dan nenek moyang mereka mungkin ada di antara kelompok besar yang pertama meninggalkan Afrika sekitar 50,000 tahun yang lalu. Meskipun termasuk migrasi awal, bukti genetik telah menunjukkan bahwa masyarakat pribumi Australia secara genetik sangat berbeda dengan populasi berkulit gelap Afrika dan ditemukan pula bahwa kekerabatan mereka lebih dekat dengan populasi Eurasia.

Istilah hitam (black) awalnya digunakan sebagai referensi untuk pigmentasi kulit dari suku aborigin Australia; namun hari ini istilah tersebut dipakai oleh aktivis aborigin untuk menyatakan berbagi budaya dan identitas, terlepas dari warna kulit.

Melanesia[sunting | sunting sumber]

Orang Papua berkulit gelap

Melanesia, suatu sub-wilayah di Oseania, yang nama tersebut berarti "pulau hitam", memiliki beberapa pulau yang dihuni oleh orang-orang dengan pigmentasi kulit gelap. Kepulauan Melanesia terletak tepat di utara dan timur laut Australia serta timur pantai Papua Nugini. Ujung barat melanesia, dari pulau Papua melalui kepulauan Solomon, pertama kali dihuni oleh manusia sekitar 40,000 hingga 29,000 tahun yang lalu.

Di seluruh dunia, rambut pirang sangat langka ditemukan di luar Eropa, dan Asia barat daya, terutama di kalangan populasi berkulit gelap. Namun, orang Melanesia merupakan salah satu populasi manusia berkulit gelap yang diketahui memiliki rambut pirang alami.

Pulau Papua[sunting | sunting sumber]

Orang Papua asli dari pulau Papua memiliki pigmentasi kulit gelap dan telah mendiami pulau tersebut selama sekurangnya 40,000 tahun. Karena kesamaan fenotip mereka dengan penduduk Asli Australia, serta akibat lokasi pulau Papua yang berada di rute migrasi tersebut direbut oleh penduduk Asli Australia, umumnya dipercayai bahwa orang Papua dan orang Aborigin Australia memiliki asal-usul yang sama. Namun demikian, pada tahun 1999, sebuah studi gagal menemukan indikasi yang jelas mengenai asal-usul genetik kedua populasi tersebut, sehingga diusulkan bahwa migrasi ke Sahul terjadi melalui beberapa gelombang dengan leluhur yang berbeda.

Afrika Sub-Sahara[sunting | sunting sumber]

Pria tua berkulit gelap di Ethiopia

Afrika Sub-Sahara merupakan wilayah di Afrika yang terletak di sebelah selatan Sahara dimana populasi berkulit gelap dalam jumlah besar hidup. Kelompok berkulit gelap di benua Afrika tersebut memiliki reseptor protein yang sama dengan yang dimiliki oleh Homo ergaster dan Homo erectus . Menurut studi ilmiah, populasi di Afrika juga memiliki keragaman warna kulit. Variasi warna kulit dengan tingkat yang sangat tinggi terdapat di antara populasi yang berbeda di Sub-Sahara Afrika. Perbedaan-perbedaan tersebut bergantung sebagian pada jarak umum terhadap khatulistiwa, yang menggambarkan interaksi kompleks yang mendorong terjadinya evolusi, yang memberikan kontribusi terhadap warna kulit akibat distribusi geografis pada titik waktu tertentu.

Karena sering berasal dari keturunan yang berbeda, di antara populasi berkulit gelap, kehadiran kulit gelap secara umum tidak dapat diandalkan sebagai penanda genetik, termasuk di antaranya kelompok-kelompok di Afrika tersebut. Sebagai contoh, Wilson dkk. (2001) menemukan bahwa sebagian besar sampel Ethiopia yang mereka miliki menunjukkan hubungan kedekatan genetik yang lebih dekat antara orang Ethiopia tersebut dengan orang berkulit terang Armenia dan Norwegia, daripada dengan populasi berkulit gelap Bantu. Mohamoud (2006) juga mengamati bahwa sampel orang Somalia mereka secara genetik lebih mirip populasi Arab dibandingkan populasi Afrika lainnya.

Jazirah arab[sunting | sunting sumber]

Badui dari suku Janaba, Selatan Saudi.

Di belahan jazirah Arab dan Sokotra, terdapat sejumlah penduduk asli dengan warna kulit yang sangat berpigmen. Di antara kelompok asli berkulit coklat gelap tersebut adalah Mahra, Soqotri, Qara, dan Janaba, yang berbicara menggunakan bahasa-bahasa Semitik selatan.

Budaya[sunting | sunting sumber]

Preferensi ataupun ketidaksukaan terhadap warna kulit yang lebih gelap bervariasi, bergantung pada wilayah geografis dan juga waktu. Pada masa sekarang, kulit yang lebih gelap dipandang modis dan merupakan tanda kesejahteraan pada masyarakat tertentu. Hal ini berakibat pada berkembangnya industri penggelapan kulit (tanning) di beberapa negara. Namun, di beberapa negara lainnya, kulit gelap tidak dipandang sebagai warna kulit yang sangat diinginkan atau menunjukkan kelas yang lebih tinggi, terutama di kalangan wanita.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ dark-skinned Princeton University "naturally having skin of a dark color"
  2. ^ "Dark-skinned". thefreedictionary.com. Diakses tanggal 24 January 2017. a person or race having skin of a dark colour 
  3. ^ Muehlenbein, Michael (2010). Human Evolutionary Biology. Cambridge University Press. hlm. 192–213. 
  4. ^ Dictionary.com: black 3.a "a member of any of various dark-skinned peoples" 21.a"pertaining or belonging to any of the various populations characterized by dark skin pigmentation"
  5. ^ Oxford Dictionaries. April 2010. Oxford University Press. "belonging to or denoting any human group having dark-coloured skin" "black" Diarsipkan 2012-07-13 di Wayback Machine. (accessed 6 August 2012).
  6. ^ Dictionary.com: black 3.a "a member of any of various dark-skinned peoples" 21.a"specifically the dark-skinned peoples of Africa, Oceania, or Australia."
  7. ^ "Global Census". American Anthropological Association. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-14. Diakses tanggal 10 December 2012. 
  8. ^ Oxford Dictionaries. April 2010. Oxford University Press. "especially of African or Australian Aboriginal ancestry" "black" Diarsipkan 2012-07-13 di Wayback Machine. (accessed 6 August 2012).
  9. ^ James, Mackers (1828-11-08). "Proclamation". Classified Advertising. Trove. Diakses tanggal 10 December 2012. 
  10. ^ Nina, Jablonski (2004). "The evolution of human skin and skin color". Annual Review of Anthropology. 33: 585–623. doi:10.1146/annurev.anthro.33.070203.143955. genetic evidence [demonstrate] that strong levels of natural selection acted about 1.2 mya to produce darkly pigmented skin in early members of the genus Homo 
  11. ^ Bower, C.; Stanley (1992). "The role of nutritional factors in the aetiology of neural tube defects". Journal of Paediatrics and Child Health. 28 (1): 12–16. doi:10.1111/j.1440-1754.1992.tb02610.x. PMID 1554510. 
  12. ^ Minns, R.A. (1996). "Folic acid and neural tube defects". Spinal Cord. 34 (8): 460–465. doi:10.1038/sc.1996.79. PMID 8856852. 
  13. ^ Copp; et al. (1998). "Embryonic mechanisms underlying the prevenetion of neural tube defects by vitamins". Mental Retardation and Developmental Disabilities Research Reviews. 4: 264–268. doi:10.1002/(sici)1098-2779(1998)4:4<264::aid-mrdd5>3.0.co;2-g. 
  14. ^ Molloy; Mills, J. L.; Kirke, P. N.; Weir, D. G.; Scott, J. M.; et al. (1999). "Folate status and neural tube defects". BioFactors. 10 (2–3): 291–294. doi:10.1002/biof.5520100230. PMID 10609896. 
  15. ^ Lucock, M. "Folic acid: nutritional biochemistry, molecular biology, and role in disease processes". Molecular Genetics and Metabolism. 71 (1–2): 121–138. doi:10.1006/mgme.2000.3027. PMID 11001804. 
  16. ^ William; Rasmussen, S. A.; Flores, A; Kirby, R. S.; Edmonds, L. D.; et al. (2005). "Decline in the prevalence of spina bifida and anencephaly by race/ethnicity:1995–2002". Pediatrics. 116 (3): 580–586. doi:10.1542/peds.2005-0592. PMID 16140696. 
  17. ^ Nielsen; et al. "The importance of the depth distribution of melanin in skin for DNA protection and other photobiological processes". Journal of Photochemistry and Photobiology B: Biology. 82: 194–198. doi:10.1016/j.jphotobiol.2005.11.008. 
  18. ^ Jane, Higdon. "Vitamin D". Micronutrient Information Center. Linus Pauling Institute. Diakses tanggal 10 December 2012. 
  19. ^ Holick, Michael F. (21 November 2013). "Bioavailability of Vitamin D and Its Metabolites in Black and White Adults". The New England Journal of Medicine. 369: 2047–2048. doi:10.1056/NEJMe1312291. PMID 24256384. Diakses tanggal 19 June 2014. 
  20. ^ DeVita Raeburn, Elizabeth (20 November 2013). "Bone Density Higher in Blacks, Vitamin D Lower". MedPage Today. Diakses tanggal 19 June 2014. 
  21. ^ Harding, R; Healy, E; Ray, A; Ellis, N; Flanagan, N; Todd, C; Dixon, C; Sajantila, A; et al. (2000). "Evidence for Variable Selective Pressures at MC1R". The American Journal of Human Genetics. 66 (4): 1351–61. doi:10.1086/302863. PMC 1288200alt=Dapat diakses gratis. PMID 10733465. 
  22. ^ O'Neil, Dennis. "Skin Color Adaptation". Human Biological Adaptability: Skin Color as an Adaptation. Palomar. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 December 2012. Diakses tanggal 10 December 2012. 
  23. ^ O'Neil, Dennis. "Overview". Modern Human Variation. Palomer. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 November 2012. Diakses tanggal 10 December 2012. 
  24. ^ Nina, Jablonski (2004). "The evolution of human skin and skin color". Annual Review of Anthropology. 33: 585–623. doi:10.1146/annurev.anthro.33.070203.143955. 
  25. ^ Gina, Kirchweger. "The Biology of Skin Color: Black and White". Evolution Library. PBS. Diakses tanggal 10 December 2012. 
  26. ^ Jablonski, N.G. (2006). Skin: a Natural History. Berkeley: University of California Press. 
  27. ^ Dawkins, Richard (2004). The Ancestor's Tale. 
  28. ^ Montagna, W. "The consequences of having naked skin". Birth Defects: Original Article Series. 17: 1–7. 
  29. ^ Langbein; Rogers, M. A.; Praetzel, S; Cribier, B; Peltre, B; Gassler, N; Schweizer, J; et al. (2005). "Characterization of a novel human type II epithelial keratin K1b, specifically expressed in eccrine sweat glands". Journal of Investigative Dermatology. 125 (3): 428–444. doi:10.1111/j.0022-202X.2005.23860.x. PMID 16117782. 
  30. ^ Blum, H.F. (1961). "Does the melanin pigment of human skin have adaptive value?". Quarterly Review of Biology. 36: 50–63. doi:10.1086/403275. PMID 13870200. 
  31. ^ Rigel, D.S. "Cutaneous ultraviolet exposure and its relationship to the development of skin cancer". Journal of the American Academy of Dermatology. 58: S129–S132. doi:10.1016/j.jaad.2007.04.034. 
  32. ^ Jemal; et al. "Recent trends in cutaneous melanoma incidence among white in the United States". Journal of the National Cancer Institute. 93: 678–683. doi:10.1093/jnci/93.9.678. 
  33. ^ Jablonski, Nina. "Department of Anthropology at Penn State". Penn State University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-16. Diakses tanggal 14 December 2012. 
  34. ^ Jablonski, N.G.; Chaplin (2000). "The evolution of human skin coloration". Journal of Human Evolution. 39 (1): 57–106. doi:10.1006/jhev.2000.0403. PMID 10896812. 
  35. ^ Tim Appenzeller, Nature Human migrations: Eastern odyssey 485, 24–26 DOI:10.1038/485024a 2 May 2012
  36. ^ "Effects of Ecology and Climate on Human Physical Variations". Diakses tanggal 10 December 2012. 
  37. ^ Miyamura; et al. (2007). "Regulation of human skin pigmentation and responses to ultraviolet radiation". BioFactors. 20: 2–13. doi:10.1111/j.1600-0749.2006.00358.x. 
  38. ^ Saraiya; Glanz, K; Briss, P. A.; Nichols, P; White, C; Das, D; Smith, S. J.; Tannor, B; Hutchinson, A. B.; Wilson, K. M.; Gandhi, N; Lee, N. C.; Rimer, B; Coates, R. C.; Kerner, J. F.; Hiatt, R. A.; Buffler, P; Rochester, P; et al. (2004). "Interventions to prevent skin cancer by reducing exposure to ultraviolet radiation: a systematic review". American Journal of Preventive Medicine. 27 (5): 422–466. doi:10.1016/j.amepre.2004.08.009. PMID 15556744. 
  39. ^ Agar, N.; Young A. R. (2005). "Melanogenesis: a photoprotective response to DNA damage?". Mutation Research. 571 (1–2): 121–132. doi:10.1016/j.mrfmmm.2004.11.016. PMID 15748643. 
  40. ^ Pfeifer; You, Y. H.; Besaratinia, A; et al. (2005). "Mutations induced by ultraviolet light". Mutation Research. 571 (1–2): 19–31. doi:10.1016/j.mrfmmm.2004.06.057. PMID 15748635. 
  41. ^ Rouzaud; et al. (2005). "MC1R and the response of melanocytes to ultraviolet radiation". Mutation Research/Fundamental and Molecular Mechanisms of Mutagenesis. 133–152. 571. 
  42. ^ Brenner, M.; Hearing V. J. (2008). "The protective role of melanin against UV damage in human skin". Photochemistry and Photobiology. 84 (3): 539–549. doi:10.1111/j.1751-1097.2007.00226.x. PMC 2671032alt=Dapat diakses gratis. PMID 18435612. 
  43. ^ Van Nieuwpoort; Smit, N. P.; Kolb, R; Van Der Meulen, H; Koerten, H; Pavel, S; et al. (2004). "Tyrosine-induced melanogenesis shows differences in morphologic and melanogenic preferences of melanosomes from light and dark skin types". Journal of Investigative Dermatology. 122 (5): 1251–1255. doi:10.1111/j.0022-202X.2004.22533.x. PMID 15140229. 
  44. ^ Kielbassa; Epe, B; et al. (2000). "DNA damaged induced by ultraviolet and visible light and its wavelength dependence". Methods in Enzymology. 319: 436–445. doi:10.1016/s0076-6879(00)19041-x. PMID 10907532. 
  45. ^ Cleaver and Crowely (2002). "UV damage, DNA repair and skin carcinogenesis". Frontiers in Bioscience. 7: 1024–1043. doi:10.2741/cleaver. 
  46. ^ Sinha; et al. (2002). "UV-induced DNA damage and repair: a review". Photochemical and Photobiological Science. 1 (4): 225–236. doi:10.1039/b201230h. PMID 12661961. 
  47. ^ Schreier, W. J.; Schrader, T. E.; Koller, F. O.; Gilch, P; Crespo-Hernández, C. E.; Swaminathan, V. N.; Carell, T; Zinth, W; Kohler, B; et al. (2007). "Thymine dimerization in DNA is an ultrafast photoreaction". Science. 315 (5812): 625–629. doi:10.1126/science.1135428. PMC 2792699alt=Dapat diakses gratis. PMID 17272716. 
  48. ^ Epel; et al. (1999). "Development in the floating world: defenses of eggs and embryos against damage from UV radiation". American Zoologist. 39: 271–278. doi:10.1093/icb/39.2.271. 
  49. ^ Haass, Nikolas K.; Smalley, Keiran S. M.; Li, Ling; Herlyn, Meenhard (2005-06-01). "Adhesion, migration and communication in melanocytes and melanoma". Pigment Cell Research / Sponsored by the European Society for Pigment Cell Research and the International Pigment Cell Society. 18 (3): 150–159. doi:10.1111/j.1600-0749.2005.00235.x. ISSN 0893-5785. PMID 15892711. 
  50. ^ Thong, H.Y.; et al. (2003). "The patterns of melanosome distribution in keratinocytes of human skin as one determining factor of skin colour". British Journal of Dermatology. 149 (3): 498–505. doi:10.1046/j.1365-2133.2003.05473.x. PMID 14510981. 
  51. ^ Tadokoro, T; et al. (2005). "Mechanisms of skin tanning in different racial/ethnic groups in response to ultraviolet radiation". Journal of Investigative Dermatology. 124 (6): 1326–1332. doi:10.1111/j.0022-202X.2005.23760.x. PMID 15955111. 
  52. ^ Minwala, S; et al. (2001). "Keratinocytes Play a Role in Regulating Distribution Patterns of Recipient Melanosomes In Vitro". Journal of Investigative Dermatology. 117 (2): 341–347. doi:10.1046/j.0022-202x.2001.01411.x. PMID 11511313. 
  53. ^ Szabo, G; et al. (1969). "Racial differences in the fate of melanosomes in human epidermis". Nature. 222 (5198): 1081–1082. doi:10.1038/2221081a0. PMID 5787098. 
  54. ^ Jablonski, Nina (2012). Living Color. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press. ISBN 978-0-520-25153-3. 
  55. ^ Lewis, Ricki (2012). Human genetics : concepts and applications (edisi ke-10th). New York, NY: McGraw-Hill Co. hlm. 135–136. ISBN 978-0-07-352530-3. 
  56. ^ "Skin Color" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-09-15. Diakses tanggal 2017-11-27. 
  57. ^ Rana, B. K.; Hewett-Emmett, D.; Jin, L.; Chang, B. H.; Sambuughin, N.; Lin, M.; Watkins, S.; Bamshad, M.; Jorde, L. B. (1999-04-01). "High polymorphism at the human melanocortin 1 receptor locus". Genetics. 151 (4): 1547–1557. ISSN 0016-6731. PMC 1460552alt=Dapat diakses gratis. PMID 10101176. 
  58. ^ "Effects of Ecology and Climate on Human Physical Variations". 
  59. ^ Khan, Razib (2009). "Genetics of human pigmentation: Gene expression". Discover Magazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-14. Diakses tanggal 11 December 2012. 
  60. ^ Lamason, R. L.; Mohideen, MA; Mest, JR; Wong, AC; Norton, HL; Aros, MC; Jurynec, MJ; Mao, X; et al. (2005). "SLC24A5, a Putative Cation Exchanger, Affects Pigmentation in Zebrafish and Humans". Science. 310 (5755): 1782–17886. doi:10.1126/science.1116238. PMID 16357253. 
  61. ^ Gibbons, A. (2007). "AMERICAN ASSOCIATION OF PHYSICAL ANTHROPOLOGISTS MEETING: European Skin Turned Pale Only Recently, Gene Suggests". Science. 316 (5823): 364. doi:10.1126/science.316.5823.364a. PMID 17446367. 
  62. ^ "Graphical display of Allele Frequencies for Ala111Thr". Allele Frequency Database. Diakses tanggal 10 October 2012. 
  63. ^ "ALFRED – Polymorphism Information – Ala111Thr". Allele Frequency Database. Diakses tanggal 10 October 2012. 
  64. ^ Pagani, Luca; Toomas Kivisild, Ayele Tarekegn, Rosemary Ekong, Chris Plaster, Irene Gallego Romero, Qasim Ayub, S. Qasim Mehdi, Mark G. Thomas, Donata Luiselli, Endashaw Bekele, Neil Bradman, David J. Balding, Chris Tyler-Smith (21 June 2012). "Ethiopian Genetic Diversity Reveals Linguistic Stratification and Complex Influences on the Ethiopian Gene Pool". The American Journal of Human Genetics. 91 (1): Volume 91, Issue 1, 83–96, 21 June 2012. doi:10.1016/j.ajhg.2012.05.015. PMC 3397267alt=Dapat diakses gratis. PMID 22726845. Diakses tanggal 20 July 2013. CS1 maint: Multiple names: authors list (link)
  65. ^ "Dark-skinned immigrant urged to take vitamin D". CBC News. Diakses tanggal 10 December 2012. 
  66. ^ Buccimazza, S. S.; C. D. Molteno, T. T. Dunnem, and D. L. Viljoen (1994). "Prevalence of neural tube defects in Cape Town, South Africa". Teratology. 50 (3): 194–199. doi:10.1002/tera.1420500304. PMID 7871483. CS1 maint: Multiple names: authors list (link)
  67. ^ "Dark-skinned immigrants urged to take vitamin D". CBC News. 
  68. ^ Oglesby, Erika. "Darker Skin? More Vitamin D, Please!". Care2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-26. Diakses tanggal 1 January 2013. 
  69. ^ Murray, F. G. (1934). "Pigmentation, sunlight, and nutritional disease". American Anthropologist. 36 (3): 438–445. doi:10.1525/aa.1934.36.3.02a00100. 
  70. ^ Loomis, W. F. (1967). "Skin-pigment regulation of vitamin-D biosynthesis in man". Science. 157 (3788): 501–506. doi:10.1126/science.157.3788.501. PMID 6028915. 
  71. ^ Chaplin, G; Chaplin, G., and N. G. Jablonski (2009). "Vitamin D and the evolution of human depigmentation". American Journal of Physical Anthropology. 139 (4): 451–461. doi:10.1002/ajpa.21079. PMID 19425101. CS1 maint: Multiple names: authors list (link)
  72. ^ Vieth, R (2003). In Bone Loss and Osteoporosis: an Anthropological Perspective. Kluwer Academic/Plenum Press. hlm. 135–150. 
  73. ^ Garland, C.F.; Garland, F.C., Gorham, E.D.; et al. (2006). "The Role of Vitamin D in Cancer Prevention". Journal of Public Health. 96: 252–261. doi:10.2105/ajph.2004.045260. PMC 1470481alt=Dapat diakses gratis. PMID 16380576. CS1 maint: Multiple names: authors list (link)
  74. ^ Fleet, J.C. (2008). "Molecular actions of vitamin D contributing to cancer prevention". Molecular Aspects of Medicine. 29 (6): 388–396. doi:10.1016/j.mam.2008.07.003. PMC 2613446alt=Dapat diakses gratis. PMID 18755215. 
  75. ^ Grant, W.B. (2008). "Solar ultraviolet irradiance and cancer incidence and morality". Advances in Experimental Medicine and Biology. Advances in Experimental Medicine and Biology. 624: 16–30. doi:10.1007/978-0-387-77574-6_2. ISBN 978-0-387-77573-9. PMID 18348444. 
  76. ^ Chen, T.C.; et al. (2007). "Factors that influence the cutaneous synthesis and dietary sources of vitamin D". Archives of Biochemistry and Biophysics. 460 (2): 213–217. doi:10.1016/j.abb.2006.12.017. PMC 2698590alt=Dapat diakses gratis. PMID 17254541. 
  77. ^ Kim, Dae Hyun; Sabour, Siamak; Sagar, Utpal N.; Adams, Suzanne; Whellan, David J. (2008-12-01). "Prevalence of hypovitaminosis D in cardiovascular diseases (from the National Health and Nutrition Examination Survey 2001 to 2004)". The American Journal of Cardiology. 102 (11): 1540–1544. doi:10.1016/j.amjcard.2008.06.067. ISSN 1879-1913. PMID 19026311. 
  78. ^ McGrath, J.J.; et al. (2004). "Vitamin D – implications for brain development". Journal of Steroid Biochemistry and Molecular Biology. 89–90 (1–5): 557–560. doi:10.1016/j.jsbmb.2004.03.070. PMID 15225838. 
  79. ^ Harms, M.; et al. (2008). "Developmental vitamin D deficiency alters adult behaviour in 129/SvJ and C57BL/6J mice". Behavioural Brain Research. 187 (2): 343–350. doi:10.1016/j.bbr.2007.09.032. PMID 17996959. 
  80. ^ "How to get your vitamin D". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-13. Diakses tanggal 2017-11-27. 
  81. ^ Painter, Kim (19 April 2009). "Your Health". USA Today. 
  82. ^ "Vitamin D deficiency and skin sun exposure". Chicago Tribune. 26 October 2011. 
  83. ^ Villarosa, Linda. "Why Black People Need More Vitamin D". The Root. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-17. Diakses tanggal 1 January 2013. 
  84. ^ "Micronutrient Information Center". Linus Pauling. Diakses tanggal 1 January 2013.