Konformitas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.[1] Beberapa contoh dari konfomitas adalah ketika menengok orang sakit, orang akan membawakan buah atau makanan lainnya.[2] Ketika hendak mengambil uang di ATM atau menaruh uang di bank, orang akan menunggu giliran dengan mengantri.[2] Kuatnya pengaruh sosial yang ada dalam konformitas dibuktikan secara ilmiah dalam penelitian yang dilakukan oleh Solomon Asch pada tahun 1951.[2] Pada penelitian ini menunjukkan bahwa orang cenderung melakukan konformitas, mengikuti penilaian orang lain karena tekanan kelompok yang dirasakan.[2] Penelitian lain tentang konformitas juga dilakukan oleh Muzafer Sherif pada tahun 1936.

Penelitian[sunting | sunting sumber]

Solomon Asch[sunting | sunting sumber]

Pada subjek diperlihatkan empat buah garis secara bersamaan dan diminta menunjukkan garis yan paling mirip panjangnya dengan garis X.

Solomon Asch melibatkan lima orang mahasiswa penelitian tentang persepsi.[3] Mereka melakukan penelitian di dalam ruangan setengah gelap dan duduk mengelilingi sebuah meja.[3][4] Mereka diberi kartu yang isinya hanya satu garis lurus dan kartu kedua berisi gambar tiga garis dengan panjang bervariasi.[5] Tugas mereka adalah memilih garis kartu kedua yang panjangngnya sama dengan garis acuan di kartu pertama.[5] Salah satu garis panjangnya jelas persis sama dengan garis acuan tersebut, sedangkan dua garis yang lain sangat berbeda.[3] Pada saat garis-garis itu diperlihatkan, setiap subjek memberikan jawaban dengan suara yang kerasa secara berturut-turut sesuai dengan letak tempat duduk mereka.[3] Subjek yang pertama memberikan jawabannya dan yang lain mengikutinya dengan gilirannya.[3]

Pada percobaan berikutnya, subjek yang pertama memperhatikan garis-garis itu dengan teliti seperti sebelumnya dan kemudian memberikan jawaban yang jelas keliru.[3] Subjek berikutnya juga sama dalam memberikan jawaban yang salah, begitu pula subjek ketiga dan keempat.[3] Pada saat tiba giliran subjek kelima, ia menjadi bingung karena jelas bahwa orang lain telah memberikan jawaban yang keliru.[3] Dalam situasi ini, biasanya orang yang menjadi subjek kelima akan memberikan jawaban yang keliru, setuju dengan jawaban yang lain meskipun mengetahui bahwa jawaban itu salah.[3] Tentu saja dalam penelitian ini situasi tersebut telah diatur.[3] Keempat subjek pertama adalah rekan peneliti dan memberikan tanggapan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh peneliti.[3] Tetapi subjek yang kelima tidak mengetahui bahwa mereka saling bekerjasama dan merasa lebih baik memberikan jawaban yang keliru daripada bertentangan dengan yang lain.[3]

Muzafer Sherif[sunting | sunting sumber]

Dalam penelitian Muzafer Sherif, ia ingin mengamati timbulnya norma sosial di dalam laboratorium.[6] Sherif membawa kelompok mahasiswa dari Columbia University yang terdiri dari tiga orang.[6] Tugas bagi mahasiswa adalah duduk di ruang gelap laboratorium dan melihat satu titik cahaya.[5] Setiap mahasiswa diberi tahu bahwa cahaya itu akan bergerak.[5] Tugas mereka adalah memperkirakan berapa jauh cahaya itu bergerak.[5] Lalu cahaya itu muncul dan setiap mahasiswa mengatakan perkiraannya dengan keras.[5] Pada percobaan pertama, mahasiswa itu memberikan jawaban yang beragam.[5] Tetapi ketika mereka membuat lebih banyak variasi jawaban dan mendengar jawaban dari orang lain, jawaban mereka menjadi semakin sama.[5] Apa yang ditunjukkan pada penelitian ini adalah kemunculan norma atau standar kelompok untuk menilai cahaya itu.[5] Dalam kehidupan sehari-hari, munculnya norma sosial ini seperti pada saat generasi remaja secara pelan-pelan membentuk standar bersama dalam berpakaian dan berperilaku.[5]

Faktor[sunting | sunting sumber]

Kohesivitas dan konformitas[sunting | sunting sumber]

Kohesivitas didefinisikan sebagai ketertarikan yang dirasakan oleh seseorang terhadap suatu kelompok.[1] ketika kohesivitas tinggi atau ketika seseorang suka dan mengagumi suatu kelompok tertentu maka tekanan untuk melakukan konformitas akan bertambah besar.[1] Salah satu cara untuk diterima oleh orang-orang tersebut adalah dengan menjadi seperti mereka dalam berbagai hal.[1] Sebaliknya ketika kohesivitas rendah, tekanan terhadap konformitas juga rendah.[1] Hasil penelitian menunjukkan bahwa kohesivitas memunculkan efek yang kuat terhadap konformitas.[1]

Konformitas dan ukuran kelompok[sunting | sunting sumber]

Asch menemukan bahwa konformitas meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah anggota kelompok.[1] Sebaliknya penelitian-penelitian terkini justru menunjukkan bahwa konformitas cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran kelompok hingga delapan orang anggota tambahan atau lebih.[1] Jadi tampak bahwa semakin besar kelompok tersebut, maka semakin besar pula kecenderungan seseorang untuk ikut serta meskipun tingkah laku tersebut berbeda dari yang sebenarnya diinginkan.[1]

Norma sosial deskriptif dan norma sosial injungtif[sunting | sunting sumber]

Norma deskriptif adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu.[1] Norma-norma ini mempengaruhi tingkah laku dengan cara memberi tahu seseorang mengenai apa yang umumnya dianggap efektif atau adaptif pada situasi tersebut. Sebaliknya norma injungtif menetapkan tingkah laku apa yang diterima atau tidak diterima pada situasi tertentu.[1] Akan tetapi norma injungtif dapat memberikan pengaruh yang lebih kuat. Hal ini benar karena norma injungtif cenderung mengalihkan perhatian dari bagaimana orang bertindak pada situasi tertentu kepada bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku.[1] Seperti contoh membuang sampah sembarangan, maka mereka harus bertingkah laku untuk membuang sampah ke tempat sampah.[1] Selain itu norma injungtif juga dapat mengaktifkan motif sosial untuk melakukan hal yang benar dalam situasi tertentu tanpa mengindahkan apa yang orang lain lakukan.[1]

Dasar[sunting | sunting sumber]

Pengaruh sosial normatif[sunting | sunting sumber]

Salah satu alasan penting mengapa seseorang melakukan konformitas adalah seseorang belajar bahwa dengan melakukan konformitas bisa membantu untuk mendapatkan persetujuan dan penerimaan yang diinginkan.[1] Sumber konformitas ini dikenal sebagai pengaruh sosial normatif karena pengaruh sosial ini meliputi perubahan tingkah laku untuk memenuhi harapan orang lain.[1] Misalnya ketika sesorang bersama dengan teman lain yang sangat menyadari pentingnya kesehatan, maka orang tersebut akan memperlihatkan kepadanya bahwa ia sangat suka pada buah dan ikan segar serta tidak merokok, meskipun sesungguhnya orang tersebut tidak begitu suka pada makanan itu.[5] Dalam situasi ini, jika seseorang mengubah perilakunya agar sesuai dengan norma kelompok, mungkin juga cenderung akan mengubah keyakinannya.[5]

Pengaruh sosial informasional[sunting | sunting sumber]

Dasar dari konformitas yang kedua adalah pengaruh sosial informasional yakni kecenderungan seseorang untuk bergantung pada orang lain sebagai sumber informasi tentang berbagai aspek dunia sosial.[1] Contohnya adalah seorang turis Amerika yang mencari tahu cara membeli tiket kereta di Paris mungkin akan mengamati perilaku orang Paris dengan cermat, memperhatikan ke mana mereka membeli tiket, bagaimana mereka melewati peron dan bagaimana cara mereka mencari gerbong kereta.[1] Dengan mengikuti langkah-langkah dari orang lain yang lebih tahu, turis itu bisa menguasai dasar-dasar pembelian tiket kereta api di sana.[1] Kecenderungan untuk menyesuaikan diri bergantung pada dua aspek situasi: seberapa besar keyakinan seseorang pada kelompok dan seberapa yakin seseorang pada penilaian diri sendiri.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t (Indonesia)A.Baron, Robert (2005). Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh. Erlangga. hlm. 57,62,63,267. ISBN 979-741-644-5. 
  2. ^ a b c d W. Sarwono, Sarlito (2009). Psikologi Sosial. Salemba Humanika. hlm. 106. ISBN 978-602-8555-04-3. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l (Indonesia)O. Sears, David (1985). Psikologi Sosial Jilid 2. Erlangga. hlm. 78. 
  4. ^ Januar Budhi, ed. (2009). Psikologi Sosial. Refika Aditama. hlm. 85. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l (Indonesia)E. Taylor, Shelley (2009). Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas. Kencana. hlm. 255, 258, 259. ISBN 978-979-1486-56-9. 
  6. ^ a b (Indonesia)G. Myers, David (2012). Psikologi Sosial Edisi 10. Salemba Huanika. hlm. 254. ISBN 978-602-8555-45-6.