Komunikasi tanpa kekerasan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Marshall Rosenberg (2005)

Komunikasi tanpa kekerasan (Inggris: Nonviolent Communication, disingkat NVC) adalah pendekatan komunikasi yang dilandasi oleh prinsip-prinsip nonkekerasan. Metode ini tidak diciptakan untuk menyelesaikan pertentangan, melainkan untuk meningkatkan empati dan kualitas hidup manusia. Metode ini merupakan pengembangan dari konsep terapi berpusat pada orang yang digagas oleh psikolog klinis bernama Marshall Rosenberg sejak tahun 1960-an dan 1970-an. Metode NVC telah dibahas di banyak lokakarya, materi klinis, dan pertolongan mandiri (self-help). Buku Rosenberg yang berjudul "Nonviolent Communication: A Language of Life" menjadi salah satu buku self-help dan buku psikoterapi yang populer dalam membahas metode NVC.[1][2] Marshall Rosenberg juga membahas pendekatan NVC dalam sejumlah video yang tersedia secara daring, di mana video lokakaryanya di San Fransisco adalah yang paling populer.[3]

NVC merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk menumbuhkan empati dalam sebuah percakapan. Ketika empati tercipta di antara pihak yang terlibat percakapan, maka semua pihak dapat lebih mudah mendiskusikan solusi yang memenuhi kebutuhan dasar mereka.[4] NVC bertujuan untuk membangun keharmonisan interpersonal dan menghimpun pengetahuan untuk kerjasama selanjutnya.[5] Poin penting dalam NVC meliputi: menolak pemaksaan wacana, mengumpulkan fakta melalui observasi tanpa evaluasi, mengungkapkan perasaan dan kebutuhan secara tulus dan konkret, dan menciptakan percakapan yang efektif dan penuh empati. Metode NVC digunakan sebagai acuan psikoterapi klinis dan teknik self-help. Khususnya, dalam rangka membangun keharmonisan sebuah hubungan dan relasi di tempat kerja.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Marshall Rosenberg memberi kuliah di lokakarya Komunikasi Tanpa Kekerasan (1990)

Marion Little (2008) berpendapat bahwa konsep NVC dikembangkan Rosenberg saat dirinya melaksanakan proyek integrasi rasial di sekolah dan organisasi di Amerika Serikat Selatan pada akhir 1960-an. Saat itu, konsep awal NVC merupakan bagian dari panduan pelatihan Rosenberg pada tahun 1972, yang meliputi pengamatan (observasi), perasaan, kebutuhan, dan keinginan yang berorientasi pada tindakan.

Dasar dari NVC adalah teori psikologi ortodoks. Sementara untuk pengembangannya sangat berhubungan dengan konsep Carl Rogers tentang terapi yang berpusat pada orang. Pada konsep itu, Rogers menekankan: 1) pembelajaran berdasarkan pengalaman, 2) keterusterangan emosi, 3) kepuasan mendengar orang lain "dengan cara yang sesuai dengan diri mereka", 4) pengalaman yang memperkaya dan mendorong sesi mendengarkan yang kreatif, aktif, sensitif, dan penuh empati, 5) keselarasan yang mendalam antara pengalaman batin, kesadaran, dan komunikasi seseorang, dan 6) pengalaman yang menumbuhkan rasa cinta atau penghargaan tanpa syarat dan begitupun sebaliknya. Poin-poin tersebut memengaruhi konsep yang dijelaskan pada bagian di bawah ini.[6]

Fokus penelitian Rosenberg yang tertuju pada komunitas alih-alih praktik psikologis klinis dipengaruh oleh gagasan Erich Fromm, George Albee, dan George Miller. Menurut Rosenberg, perubahan fokusnya ini terkait: (1) kesehatan mental individu yang tergantung pada struktur sosial masyarakat (Fromm), (2) ketidaksanggupan terapis dalam memenuhi kebutuhan psikologis masyarakat (Albee), dan (3) peningkatan pengetahuan tentang perilaku manusia yang akan terjadi apabila psikologi dapat diakses bebas oleh masyarakat (Miller).[6]

Awal karir Rosenberg dimulai dengan berfokus pada anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Atas penelitian tersebut, Rosenberg menemukan minatnya pada psikolinguistik, kekuatan bahasa, dan kolaborasi. Pada perkembangan awal model NVC, Rosenberg merekonstruksi ulang hubungan antara murid dan guru untuk memberi tanggung jawab yang lebih besar dan mengajarkan pengambilan keputusan bagi siswa. Seiring waktu, model NVC kemudian berkembang dalam bentuk hubungan kekuasaan institusional (misal: polisi-masyarakat, bos-karyawan) dan hubungan informal (misal: pria-wanita, kaya-miskin, dewasa-remaja, orang tua-anak). Tujuan utama model ini adalah membentuk hubungan sosial berdasarkan paradigma restoratif, kemitraan, dan saling menghormati alih-alih paradigma dominasi berbasis rasa takut.[7]

Rosenberg mencontohkan dua hewan untuk menjelaskan perbedaan gaya berkomunikasi. Jakal yang merupakan karnivora disebut sebagai simbol agresi dan dominasi yang mewakili komunikasi kekerasan. Sementara, jerapah yang termasuk herbivora dianggap mewakili strategi NVC. Jerapah dipilih sebagai simbol NVC karena lehernya yang panjang direfleksikan terkait pembicara yang berpandangan jernih, memahami reaksi pembicara lain, dan memiliki rasa welas asih. Dalam ceramah kuliahnya, Rosenberg hampir selalu menggunakan dua hewan ini untuk menggambarkan perbedaan komunikasi.[8]

Model NVC selanjutnya berevolusi dengan format baru (1992) yang meliputi: pengamatan (observasi), perasaan, kebutuhan, dan permintaan. Semenjak akhir tahun 2000-an, efektivitas model NVC ditekankan melalui aspek "empati diri" dan "proses". Fokus model NVC kemudian menjadi condong ke arah "intensi" seseorang dan kualitas hubungan yang dialami bersama orang lain, dibandingkan pada "langkah" itu sendiri. Intensi ini mencakup pertanyaan saat berbicara ("Apakah intensi (niat) benar akan mendorong orang lain untukmelakukan apa yang diinginkan, atau untuk membina hubungan yang lebih harmonis dengan kepuasan bersama?") dan saat mendengarkan ("Apakah intensi berarti mempersiapkan apa yang harus dikatakan, atau untuk memberikan perhatian yang tulus dan penuh rasa hormat kepada orang lain?").

Gambaran[sunting | sunting sumber]

Kartu berisi kebutuhan dasar manusia di tangan peserta

Komunikasi tanpa kekerasan berpandangan bahwa sebagian besar konflik antara individu atau kelompok timbul sebagai akibat miskomunikasi kebutuhan yang disampaikan melalui bahasa paksaan atau manipulatif. Gaya penyampaian tersebut yang lantas menimbulkan rasa takut, rasa bersalah, rasa malu, dan sebagainya. Dalam situasi konflik, komunikasi kekerasan akan menghambat semua pihak untuk dapat memperjelas kebutuhan, perasaan, persepsi, dan permintaan mereka, sehingga konflik terus memanas.[9]

Nama alternatif[sunting | sunting sumber]

Dalam sebuah rekaman ceramah kuliah,[10] Marshall Rosenberg memaparkan asal usul nama "Komunikasi Tanpa Kekerasan". Ia menjelaskan bahwa nama itu merupakan gabungan dari fokus studinya yakni "komunikasi" dengan ambisi perdamaian dunia yakni "tanpa kekerasan". Namun, Rosenberg merasa bahwa nama tersebut justru mewakili apa yang tidak tergolong NVC alih-alih menjelaskan NVC yang sebenarnya. Hal ini juga dirasa bertentangan dengan prinsip penting dalam komponen keempat NVC, yaitu permintaan. Terutama saat seseorang harus menanyakan apa yang diinginkannya, bukan apa yang tidak diinginkannya. Oleh sebab itu, ada beberapa alternatif nama untuk menyebut model NVC, di antaranya: bahasa jerapah, komunikasi penuh kasih atau komunikasi kolaboratif.

Komponen[sunting | sunting sumber]

Empat komponen berikut dapat menjadi praktik komunikasi tanpa kekerasan:

  • Pengamatan: Fakta (apa yang kita lihat, dengar atau sentuh) berbeda dengan evaluasi individu tentang makna dan kepentingan. NVC mencegah generalisasi statis karena orang akan cenderung mendengar kritik dan menolak apa yang dikatakan seseorang. Sebaliknya, NVC menganjurkan untuk fokus pada pengamatan yang berhubungan dengan waktu dan konteks.[7]
  • Perasaan: Didefinisikan sebagai emosi atau sensasi yang terbebas dari pikiran maupun cerita. Individu harus membedakan perasaan dari pikiran. Misalnya, ketika seseorang berkata, "Saya merasa tidak mendapatkan kesepakatan yang adil." tidak perlu diartikan bahwa seseorang tersebut telah menganggap kita mengabaikannya ataupun sedang mengevaluasi kita. Perasaan disampaikan untuk menunjukkan apakah kebutuhan kita telah terpenuhi atau belum. Dengan mengidentifikasi perasaan, maka memastikan komunikasi dapat terjalin dan membantu menyelesaikan konflik.[7]
  • Kebutuhan: Didefinisikan sebagai kebutuhan manusia yang universal dan berbeda dari strategi untuk memenuhi kebutuhan. Dalam hal ini, segala sesuatu yang kita lakukan hanyalah untuk mengakomodir kebutuhan kita.[11] Rosenberg mengacu pada model Max-Neef yang menggolongkan kebutuhan ke dalam 9 kelas: rezeki, keamanan, cinta, pemahaman/empati, kreativitas, rekreasi, rasa memiliki, otonomi, dan makna hidup.[12] Lebih lanjut, Pusat Komunikasi Tanpa Kekerasan (Inggris: Center for Nonviolent Communication) telah mengembangkan "inventaris kebutuhan".[13]
  • Permintaan : Permintaan berbeda dengan tuntutan. Karena dalam permintaan, seseorang akan terbuka untuk mendengar jawaban "tidak" tanpa adanya upaya pemaksaan. Jika seseorang mengajukan permintaan dan menerima jawaban "tidak", maka ia tidak dianjurkan menyerah. Dalam hal ini, ia perlu berempati dengan cara mengetahui alasan orang lain enggan menyetujuinya. Proses berempati ini dilakukan sebelum semua pihak memutuskan kelanjutan percakapan. Rosenberg menyarankan agar permintaan disampaikan dengan bahasa yang jelas, positif, dan konkret.[7]

Bentuk[sunting | sunting sumber]

Ada tiga bentuk utama penerapan NVC:

  • Empati diri: Melibatkan hubungan penuh kasih dengan apa yang terjadi di dalam diri seseorang. Empati diri meliputi aspek: tak menyalahkan, memperhatikan pikiran, penilaian, dan perasaan, serta mencari relasi kebutuhan antarpihak.[11]
  • Menerima secara empatik: NVC tidak bertujuan agar individu dapat meramal kehendak orang lain. Koneksi empatik justru merujuk pada sebuah pemahaman tentang hati, di mana kita melihat energi positif dalam diri orang lain.[11] Empati melibatkan proses "mengosongkan pikiran dan mendengarkan secara penuh". Model NVC menganjurkan bahwa terlepas dari bagaimanapun orang lain mengekspresikan dirinya, maka kita perlu fokus dalam mendengarkan untuk menyoroti komponen "pengamatan, perasaan, kebutuhan, dan permintaan". Setelah itu, barulah kita dapat menangkap pesan tersirat mereka, seperti: perasaan dan kebutuhan yang mungkin orang lain ekspresikan.[7]
  • Mengekspresikan secara jujur: Model NVC kemungkinan besar melibatkan pengungkapan "pengamatan, perasaan, kebutuhan, dan permintaan". Pengamatan dapat dihilangkan jika konteks percakapannya jelas. Perasaan mungkin juga dapat dihilangkan apabila koneksi dirasa cukup atau ketika perasaan tidak memengaruhi koneksi. Dengan menyebutkan kebutuhan dan bukannya perasaan, maka kecil kemungkinanmua orang akan berpikir bahwa anda meminta mereka bertanggung jawab atas perasaan anda. Sama halnya, apabila kita menyampaikan permintaan alih-alih menyebutkan kebutuhan, maka kecil kemungkinannya orang lain akan menyimpulkan permintaan yang tidak jelas. Keempat komponen NVC tersebut dianggap bekerja sama secara sinergis. Bob Wentworth selaku pelatih NVC mengatakan, "Pengamatan memberikan konteks, perasaan mendukung koneksi dan memberikan pemahaman antarpihak, permintaan mendorong koneksi dan mengidentifikasi apa yang penting, dan permintaan menjelaskan respons seperti apa yang mungkin dibutuhkan." Dengan menggunakan komponen-komponen ini secara sinergis, maka akan meminimalisir kemungkinan salah paham dalam komunikasi.[14]

Riset[sunting | sunting sumber]

Tinjauan penelitian (2013) menganalisis 13 studi yang diambil dari 2.634 sitasi. Dua dari studi ini berasal dari jurnal peer-review. Sebelas studi menunjukkan peningkatan empati setelah penerapan NVC, di mana 5 studi menyatakan hasil signifikan dan 2 studi dengan hasil yang tidak signifikan. Eksperimen acak tentang NVC belum pernah diteliti. Penelitian NVC telah dimulai sejak 1990-an dan meningkat seiring waktu.[15]

Hingga tahun 2017, 15 tesis dan disertasi telah menguji model NVC dengan ukuran sampel sejumlah 108 atau lebih kecil dan menunjukkan efektivitas model komunikasi ini.[16]

Meskipun diterapkan secara luas dalam konteks klinis dan awam, penelitian dalam jumlah terbatas umumnya menunjukkan efektivitas metode NVC yang dikaitkan dengan resolusi konflik dan peningkatan empati. Dalam hal ini, psikolog tidak memandang metode NVC serupa dengan praktik berbasis bukti, seperti terapi perilaku kognitif. Hal ini disebabkan karena rendahnya jumlah penelitian akademis tentang metode NVC.

Allan Rohlfs (bertemu Rosenberg pada tahun 1972) merupakan pendiri Pusat Komunikasi Tanpa Kekerasan (Inggris: Center for Nonviolent Communication) pada tahun 2011 menjelaskan alasan minimnya literatur akademis terkait NVC sebagai berikut:

Pada hakikatnya, seluruh resolusi konflik berada dalam ranah akademis. Oleh sebab itu, studi empiris yang dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana menunjukkan efektivitas metode NVC. NVC begitu luar biasa. Marshall Rosenberg, Ph.D. (psikologi klinis, Universitas Wisconsin) selaku pencetus NVC menggelar lokakarya di bidang psikologi klinis dan konsultasi untuk mendanai 100 persen organisasi NVC. Organisasi ini tak pernah menerima hibah uang penelitian. Data empiris yang ada saat ini adalah hasil studi dari peneliti independen yang menjalankan penelitiannya dengan dana perolehan mandiri dan mempublikasikan studi empirisnya dengan peer review.[4]

Bowers dan Moffett (2012) menyatakan bahwa metode NVC belum banyak diterapkan di lingkup akademis karena kurangnya penelitian tentang dasar teoritis dan efek positifnya.[17]

Connor dan Wentworth (2012) menguji efek 6 bulan pelatihan dan pembinaan NVC pada 23 eksekutif di perusahaan Fortune 100. Hasil menunjukkan bahwa diskusi dan rapat menjadi lebih efisien dengan 50-80 persen waktu yang lebih sedikit dibutuhkan.

Studi (2014) meneliti efek kombinasi NVC dan pelatihan kesadaran (mindfulness) pada 885 narapidana pria di lapas Monroe di Monroe, Washington. Hasil menunjukkan bahwa kombinasi aktivitas tersebut mampu mengurangi residivisme dari 37% menjadi 21% dan menghemat anggaran negara untuk biaya penahanan sebesar $5 juta per tahun. Kombinasi aktivitas ini terbukti meningkatkan kesabaran, mengurangi kemarahan, menumbuhkan rasa tanggung jawab atas perasaan seseorang, membangun empati, dan membantu menyampaikan permintaan tanpa sekalipun menuntut.[18]

Hubungan dengan spiritualitas[sunting | sunting sumber]

Theresa Latini menilai, "Rosenberg memahami NVC sebagai latihan spiritual yang amat mendasar."[19] Sementtara, Marshall Rosenberg memasukkan pengaruh pengalaman spiritualnya ke dalam pengembangan dan praktik NVC:

Saya pikir penting bagi orang-orang untuk melihat bahwa spiritualitas adalah dasar dari Komunikasi Tanpa Kekerasan. NVC adalah latihan spiritual yang hendak saya tunjukkan sebagai pedoman hidup manusia. Meskipun kami tidak menyebutkan hal ini secara gamblang, orang-orang tetap tertarik dengan latihan ini. Bahkan ketika orang-orang mempraktikkan NVC sebagai teknik mekanis, mereka akan merasakan pengalaman berbeda tentang diri sendiri dan orang lain yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Bisa saya katakan bahwa ini yang disebut dengan proses spiritualitas. Orang-orang akan mulai beranggapan bahwa NVC lebih dari sebuah proses komunikasi dan menyadari bahwa hal tersebut akan mewujudkan spiritualitas tertentu.[20]

Rosenberg lebih lanjut menyampaikan bahwa ia mengembangkan NVC dalam rangka "menyadari" apa yang ia sebut sebagai "Energi Ilahi".[20]

Beberapa orang Kristen menilai bahwa NVC telah menyempurnakan kekristenan mereka.[19][21][22] Banyak orang juga menyatakan bahwa Komunikasi Tanpa Kekerasan sangat melengkapi ajaran Buddha, baik dalam teori maupun praktiknya untuk mewujudkan cita-cita Buddhis.[23][24][25]

Hubungan dengan model lain[sunting | sunting sumber]

Marion Little mengkaji kerangka teoritis terkait NVC. Dalam studi Fisher, Ury, dan Patton di Harvard Negotiation Project dan di Program on Negotiation tahun 1980-an, model berbasis kepentingan (interest-based model) yang berpengaruh pada resolusi konflik, negosiasi, dan mediasi terlihat tumpang-tindih secara konseptual dengan NVC. Little berpendapat bahwa The Gordon Model for Effective Relationships (1970) adalah konsep dasar dari model NVC dan negosiasi berbasis kepentingan. Seperti Rosenberg, Gordon pernah bekerja dengan Carl Rogers, sehingga kesamaan model mereka mungkin mencerminkan pengaruh yang sama.[6]

Suzanne Jones menyatakan bahwa terdapat perbedaan substantif antara mendengarkan secara aktif yang digagas Gordon dan mendengarkan dengan empati seperti yang direkomendasikan oleh Rosenberg. Jones menilai bahwa mendengarkan secara aktif melibatkan aksi spesifik untuk menunjukkan pada pihak lain bahwa anda mendengarnya. Sedangkan, mendengarkan dengan empati melibatkan proses yang menghadirkan hati dan pikiran secara penuh untuk pengalaman orang lain dengan tujuan memahami, berempati, dan memaknai pengalaman orang yang bersangkutan.[15]

Gert Danielsen dan Havva Kök menilai adanya tumpang tindih antara premis NVC dan teori kebutuhan manusia (Inggris: Human Needs Theory, disingkat HNT). Mereka beranggapan bahwa kedua model tersebut digunakan untuk memahami sumber konflik dan merencanakan proses resolusi konflik, di mana kekerasan diasumsikan timbul saat individu atau kelompok tidak melihat alternatif cara untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau ketika mereka membutuhkan pemahaman, rasa hormat, dan pertimbangan untuk kebutuhan mereka.[26][26]

Chapman Flack melihat adanya tumpang tindih antara apa yang direkomendasikan Rosenberg dan pemikiran kritis, khususnya gagasan Bertrand Russell yang menyatukan kebaikan dan pemikiran yang murni.[27]

Martha Lasley menilai adanya kesamaan antara metode NVC dengan Focused Conversation Method (FCM) yang dikembangkan oleh Institute of Cultural Affairs (ICA). NVC memiliki 4 komponen (pengamatan, perasaan, kebutuhan, dan permintaan) yang mirip dengan tahapan FCM yakni "tujuan, reflektif, interpretatif, dan keputusan".[28][29]

Aplikasi[sunting | sunting sumber]

NVC telah diaplikasikan dalam lingkup organisasi dan bisnis,[30] pengasuhan,[31][32][33] pendidikan,[34][35] mediasi,[36] psikoterapi,[37] perawatan kesehatan,[38] terapi gangguan pola makan,[39] peradilan,[40][41] dan sebagai dasar untuk buku anak-anak.[42]

Rosenberg menggunakan Komunikasi Tanpa Kekerasan dalam program perdamaian di zona konflik, seperti Rwanda, Burundi, Nigeria, Malaysia, Indonesia, Sri Lanka, Kolombia, Serbia, Kroasia, Irlandia, dan Timur Tengah, serta Tepi Barat.[43]

Tanggapan[sunting | sunting sumber]

Sejumlah peneliti telah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kritik dan kelemahan metode NVC. Mereka menyatakan bahwa hal tersebut menjadi sebuah tantangan nyata dalam aplikasi metode NVC.[15][44] Tantangan itu meliputi berbagai masalah potensial, teori dan praktiknya, serta menyangkut studi yang dilakukan peneliti

Kesulitan penerapan NVC dan bahaya penyalahgunaan menjadi sebuah perhatian. Selain itu, Bitschnau[45] dan Flack[27] menemukan potensi paradoks kekerasan dalam penggunaan NVC atas penggunaannya yang kurang terampil. Bitschnau juga menilai bahwa NVC sangat sulit diterapkan pada seluruh orang karena membutuhkan banyak waktu, kesabaran, dan disiplin. Mereka yang ahli dalam penggunaan NVC dapat berprasangka buruk terhadap orang-orang yang tidak ahli, sehingga para ahli akan cenderung untuk berbicara dengan orang-orang satu golongannya.

Selain itu, eksklusivitas NVC condong kepada orang-orang yang berpendidikan tinggi, mengerti tata bahasa, dam memperhatikan pilihan kata dan sintaksis.[46] Hal ini menyebabkan ketimpangan aksesibilitas antara mereka yang kurang mampu dan mereka yang berada di kelas sosial yang lebih tinggi.

Oboth menyatakan bahwa seseorang bisa jadi menyembunyikan perasaan mereka dalam proses empati dan melanggar komunikasi tanpa kekerasan.[47]

Meskipun ditujukan untuk memperkuat hubungan, NVC nyatanya dapat mengarah menuju rusaknya hubungan. Kashtan (2012) menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang terbatas dengan sumber daya yang terbatas dan karena itulah menggunakan NVC untuk memahami kebutuhan antarpihak akan menyebabkan terlalu banyak ketegangan dalam rangka memenuhi semua kebutuhan.[48]

Sejumlah peneliti telah mengevaluasi alokasi besar untuk waktu dan upaya pembelajaran menggunakan NVC.[15]

Chapman Flack yang meninjau video pelatihan Rosenberg, menemukan pemaparan ide-ide yang memukau dan anekdot "humbling and inspiring" ketika berinteraksi dengan audiensnya. Namun, Flack bertanya-tanya tentang aspek presentasi Rosenberg, seperti "pandangan redupnya tentang tempat untuk berpikir" dan gagasan Walter Wink tentang asal-usul cara berpikir manusia. Flack menilai bahwa sejumlah elemen yang dikatakan Rosenberg tampak bertentangan dengan gambaran umum dan kompleksitas sifat manusia, sejarah, sastra, dan seni.[27]

Flack menilai perbedaan antara "perasaan yang kuat" dari Komunikasi Tanpa Kekerasan sebagai bentuk kebaikan yang mungkin dilakukan dengan hati-hati dan penuh perhatian, sementara "perasaan yang lemah" menjadi sebuah perwujudan ego dan ketergesaan. "Perasaan yang kuat" mewakili bahasa untuk menguji pemikiran dan tindakan seseorang, mendukung pemahaman, mengarah ke sesuatu yang terbaik untuk masyarakat, dan menghormati emosi seseorang. Dalam "perasaan yang lemah", seseorang dapat menggunakan bahasa untuk memicu perdebatan, melabeli orang lain untuk keuntungan politik, atau bersikeras bahwa orang lain mengekspresikan diri dengan cara ini. Meski khawatir dengan perkataan Rosenberg yang mengarah pada "perasaan yang lemah", Flack melihat bukti yang menegaskan bahwa Rosenberg memahami "perasaan yang kuat" dalam praktiknya. Komunikasi yang ditunjukkan Rosenberg dengan audiensnya adalah buktinya. Namun Flack memperingatkan bahwa "godaan dari perasaan yang lemah tidak akan hilang". Flack kemudian menganjurkan, "Jadilah konservatif terhadap apa yang kita lakukan dan jadilah liberal terhadap apa yang kita terima dari orang lain" (dikenal sebagai prinsip ketangguhan) dan waspadalah terhadap "perubahan komunikasi tanpa kekerasan menjadi kekerasan halus yang dilakukan atas namanya."[27]

Ellen Gorsevski menilai buku Rosenberg "Nonviolent Communication: A Language of Compassion" (1999) berada dalam konteks retorika geopolitik. Ia menyatakan bahwa kekuatan relatif individu sangat dilebih-lebihkan, sementara isu utama kekerasan struktural hampir sepenuhnya diabaikan.[49] PuddleDancer Press melaporkan bahwa NVC telah didukung oleh berbagai tokoh masyarakat.[50] Sedangkan, Sven Hartenstein memproduksi kartun spoofing tentang NVC.[51]

Walau sejumlah penelitian menunjukkan efektivitas yang tinggi dari metode NVC, tetapi penelitian akademis tentang metode ini masih sangat minim.[15] Dari sudut pandang berbasis bukti, NVC dinilai tidak memiliki kedudukan yang setara dengan praktik psikologis, seperti terapi perilaku kognitif. Peneliti pro NVC umumnya menunjukkan efektivitas metode ini dengan cara mengaitkan hal tersebut dengan pengalaman klinis dan anekdot. Sementara, para kritikus berpendapat bahwa efektivitas metode ini hanya berhasil pada tingkat individu, di mana mereka juga mempertimbangkan masalah kesetaraan dan konsistensi. Dalam posting blog di internet, sejumlah orang menganggap bahwa NVC adalah model yang kontradiktif dan berpotensi memaksa dengan risiko penyalahgunaan yang nyata.[52] Metode NVC juga dianggap membutuhkan usaha ekstra (waktu) untuk belajar dan menerapkan, serta tingkat pendidikan tertentu.[15]

Dilaporkan pula bahwa satu langkah awal yang diterapkan Satya Nadella saat menjadi CEO Microsoft pada 2014 adalah meminta para eksekutif perusahaan untuk membaca buku Rosenberg Nonviolent Communication.[53]

Organisasi[sunting | sunting sumber]

Pusat Komunikasi Anti Kekerasan (Inggris: Center for Nonviolent Communication, disingkat CNVC) yang didirikan oleh Marshall Rosenberg memiiki nama populer berupa NVC (Nonviolent Communication and Compassionate Communication) untuk memperjelas misi mereka dan keperluan branding.[54]

CNVC melakukan setifikasi pada pelatih yang ingin mempraktikkan NVC selaras dengan prosedur organisasi CNVC.[55] CNVC juga menawarkan pelatihan oleh pelatih bersertifikat.[56]

Beberapa pelatihan dalam NVC dipandu oleh para pelatih yang berada dalam naungan organisasi lain yang menjunjung visi dan misi serupa CNVC.[57] Beberapa dari pelatihan ini diumumkan melalui CNVC.[58] Banyak organisasi NVC bermunculan di seluruh dunia dengan fokus di lingkup regional.[59]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Lee, C. A.; Kessler, C. M.; Varon, D.; Martinowitz, U.; Heim, M.; Rosenberg, M.; Molho, P. (1998). "Nonviolent (empathic) communication for health care providers". Haemophilia (dalam bahasa Inggris). 4 (4): 335–340. doi:10.1046/j.1365-2516.1998.440335.x. 
  2. ^ Rahman, Atif; Hamdani, Syed Usman; Awan, Naila Riaz; Bryant, Richard A.; Dawson, Katie S.; Khan, Muhammad Firaz; Azeemi, Mian Mukhtar-ul-Haq; Akhtar, Parveen; Nazir, Huma (2016). "Effect of a Multicomponent Behavioral Intervention in Adults Impaired by Psychological Distress in a Conflict-Affected Area of Pakistan: A Randomized Clinical Trial". JAMA (dalam bahasa Inggris). 316 (24): 2609. doi:10.1001/jama.2016.17165. ISSN 0098-7484. 
  3. ^ Girrafe NVC (2021). "San Francisco workshop long versions by Marshall Rosenberg". Youtube. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  4. ^ a b Kashtan & Kashtan. (2010). "Key Assumptions and Intentions of NVC – BayNVC". BAYNVC (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  5. ^ Fullerton, Elaine (2009). The development of "Nonviolent Communication" in an early years setting to support conflict resolution and develop an emotional intelligence related to both self and others (PDF) (Laporan). General Teaching Council for Scotland. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  6. ^ a b c Little, Marion (2008). Fostering empathy development and conflict resolution skills. A violence prevention strategy (PDF). Victoria: University of Victoria. hlm. 5–8. 
  7. ^ a b c d e Rosenberg, Marshall (2003). Nonviolent Communication: A Language of Life. Encinitas: Puddledancer Press. hlm. 4. ISBN 9781892005038.  [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ Seed of Peace (2017). "Learning to speak Giraffe - Nonviolent Communication in action". Seed of Peace (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  9. ^ Heartland (2007). "What is Violent Communication?" (PDF). Heartland Community College. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  10. ^ Girrafe NVC. 2021. Marshall didn't like the name “Nonviolent Communication”. https://youtube.com/watch/MsnaIPzqPzw Diakses tanggal 17 Maret 2022.
  11. ^ a b c Rosenberg, Marshall B. (2005). Speak Peace in a World of Conflict: What You Say Next Will Change Your World. Encinitas: Puddledancer Press. hlm. 240. ISBN 978-1-892005-17-5.  [pranala nonaktif permanen]
  12. ^ Girrafe NVC. 2021. 9 Needs we all have (Max-Neef) by Marshall Rosenberg https://youtube.com/watch/rSCIASL4k-c Diakses tanggal 17 Maret 2022.
  13. ^ CNVC Needs Inventory. 2022. https://www.cnvc.org/sites/default/files/2018-10/CNVC-needs-inventory.pdf Diakses tanggal 17 Maret 2022.
  14. ^ Empathic Way Europe (2020). "The four NVC steps in practice". Empathic Way Europe (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  15. ^ a b c d e f Juncadella, Carme Mampel (2013). "What is the impact of the application of the Nonviolent Communication model on the development of empathy? Overvie" (PDF). MSC in Psychotherapy Studies. 3 (1): 3. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  16. ^ Center for Nonviolent Communication (2012). "NVC Research". Center for Nonviolent Communication. Center for Nonviolent Communication. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  17. ^ Perrone-McGovern, Kristin M.; Oliveira-Silva, Patrícia; Simon-Dack, Stephanie; Lefdahl-Davis, Erin; Adams, David; McConnell, John; Howell, Desiree; Hess, Ryan; Davis, Andrew (2014). "Effects of Empathy and Conflict Resolution Strategies on Psychophysiological Arousal and Satisfaction in Romantic Relationships". Applied Psychophysiology and Biofeedback (dalam bahasa Inggris). 39 (1): 19–25. doi:10.1007/s10484-013-9237-2. ISSN 1090-0586. 
  18. ^ Suarez, Suarez dkk (2014). "Freedom Project: Nonviolent Communication and Mindfulness Training in Prison". SAGE Open. 4 (1): 10. doi:10.1177/2158244013516154. 
  19. ^ a b Latini, Theresa (2009). "Nonviolent Communication: A Humanizing Ecclesial and Educational Practice" (PDF). Journal of Education & Christian Belief. Kuyer's Institute for Christian Teaching and Learning. 13 (1): 19–31. doi:10.1177/205699710901300104. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  20. ^ a b Agnew, Elizabeth N. (2012). "Needs and Nonviolent Communication in the Religious Studies Classroom". Teaching Theology & Religion. 15 (3): 210–224. doi:10.1111/j.1467-9647.2012.00801.x. ISSN 1368-4868. 
  21. ^ Rohlfs, Allan (2012). "Beyond anger and blame: How to achieve constructive conflict". The Christian Century (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  22. ^ van Deusen Hunsinger, Deborah (2009). "Practicing Koinonia" (PDF). Theology Today. 66 (3): 346–367. doi:10.1177/004057360906600306. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  23. ^ Shantigarbha (2008). "NVC in the FWBO: Heart-to-Heart Communication". FWBO & TBMSG News. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  24. ^ Little, Jason (2009). "Buddhism and Nonviolent Communication". Shambhala Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  25. ^ Lasater, Judith Hanson; Lasater, Ike K. (2009). What We Say Matters: Practicing Nonviolent Communication. California: Rodmell Press. hlm. 192. ISBN 978-1-930485-24-2.  [pranala nonaktif permanen]
  26. ^ a b Danielsen, Gert (2007). "Meeting Human Needs, Preventing Violence: Applying Human Needs Theory to the Conflict in Sri Lanka" (PDF). CNVC. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  27. ^ a b c d Flack, Chapman (2006). "The subtle violence of nonviolent language". Cross Currents. 56 (1): 5. ISSN 0011-1953. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  28. ^ Lasley, Thomas J. (1979). "Misbehavior: Challenging, Coping with the Classroom System". NASSP Bulletin. 63 (428): 48–51. doi:10.1177/019263657906342808. ISSN 0192-6365. 
  29. ^ Stanfield, R. Brian (2000). The Art of Focused Conversation: 100 Ways to Access Group Wisdom in the Workplace (ICA series). New York: New Society Publishers. hlm. 240. ISBN 978-0-86571-416-8. 
  30. ^ Lasater, Ike; Julie Stiles (2010). Words That Work In Business: A Practical Guide to Effective Communication in the Workplace. New York: Puddledancer Press. hlm. 160. ISBN 978-1-892005-01-4.  [pranala nonaktif permanen]
  31. ^ Hart, Sura; Victoria Kindle Hodson (2006). Respectful Parents, Respectful Kids: 7 Keys to Turn Family Conflict into Cooperation. New York: Puddledancer Press. hlm. 208. ISBN 9781892005229.  [pranala nonaktif permanen]
  32. ^ Burrows, Leigh (2004). "Compassionate communication with parents of children and young people with learning disabilities". Australian Journal of Learning Disabilities. 9 (4): 12–20. doi:10.1080/19404150409546775. ISSN 1324-8928. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-05. Diakses tanggal 2022-04-05. 
  33. ^ Dixhorn dkk (2004). Raising Children Compassionately: Parenting the Nonviolent Communication Way. New York: Puddledancer Press. hlm. 48. ISBN 9781892005410.  [pranala nonaktif permanen]
  34. ^ Brion-Meisels, Linda; Brion-Meisels, Steven; Hoffman, Catherine (2007). "Creating and Sustaining Peaceable School Communities". Harvard Educational Review (dalam bahasa Inggris). 77 (3): 374–379. doi:10.17763/haer.77.3.l57qx4063775m647. ISSN 0017-8055. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-05. Diakses tanggal 2022-04-05. 
  35. ^ Rosenberg, Marshall B.; Eisler (Riane). Life-Enriching Education: Nonviolent Communication Helps Schools Improve Performance, Reduce Conflict, and Enhance Relationships. New York: Puddledancer Press. hlm. 192. ISBN 9781892005052.  [pranala nonaktif permanen]
  36. ^ Larsson & Nilsson (2012). A Helping Hand, Mediation with Nonviolent Communication. New York: Friare Liv Konsult. hlm. 258. ISBN 978-91-976672-7-2.  [pranala nonaktif permanen]
  37. ^ NVC Academy (2010). "Open Hearted Therapy: A Year-long Program for Therapists". NVC Training. NVC Academy. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  38. ^ Wacker, Renata; Dziobek, Isabel (2018). "Preventing empathic distress and social stressors at work through nonviolent communication training: A field study with health professionals". Journal of Occupational Health Psychology (dalam bahasa Inggris). 23 (1): 141–150. doi:10.1037/ocp0000058. ISSN 1939-1307. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-05. Diakses tanggal 2022-04-05. 
  39. ^ Haskvitz, Sylvia (2005). Eat by Choice, Not by Habit: Practical Skills for Creating a Healthy Relationship with Your Body and Food. Encinitas: Puddledancer Press. hlm. 20. ISBN 9781892005205. 
  40. ^ ORNCC Projects and Affiliates (2012). "Oregon Prison Project Teaches Empathy, A Key in Lowering Recidivism". ORNCC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  41. ^ BayNVC (2012). "BayNVC Restorative Justice Project". Bay NVC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  42. ^ Allen, J.P.; Marci Winters (2011). Giraffe Juice: The Magic of Making Life Wonderful (PDF). Encinitas: Giraffe Juice. hlm. 142. ISBN 978-0-615-26393-9. Diakses tanggal Sep 22, 2011. 
  43. ^ Rosenberg, Marshall B. (2003). Nonviolent communication : a language of life. Encinitas: PuddleDancer Press. hlm. 6. ISBN https://en.id1lib.org/book/961987/760e21 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). OCLC 52312674.  [pranala nonaktif permanen]
  44. ^ Twemlow, Stuart W. (2014). "A Theoretical Framework for Creating Safe, Altruistic Nonviolent Communities". Journal of Infant, Child, and Adolescent Psychotherapy (dalam bahasa Inggris). 13 (4): 314–326. doi:10.1080/15289168.2014.951270. ISSN 1528-9168. [pranala nonaktif permanen]
  45. ^ Oser, Fritz; Heinrichs, Karin; Bauer, Johannes; Lovat, Terence (2021). The International Handbook of Teacher Ethos: Strengthening Teachers, Supporting Learners (dalam bahasa Inggris). Berlin: Springer Nature. hlm. 5. ISBN 978-3-030-73644-6. 
  46. ^ "The Protective Use of Force - The Natural Child Project". www.naturalchild.org. Diakses tanggal 2019-11-25. 
  47. ^ Burlesson dkk (2011). Assessing the Impact of Nonviolent Communication (PDF). Encinitas: Puddledancer Press. 
  48. ^ Kashtan, Miki (2012). "Does Nonviolent Communication Work". Psychology Today. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  49. ^ Gorsevski, Ellen (2004). Peaceful Persuasion: The Geopolitics of Nonviolent Rhetoric. New York: State University of New York Press. hlm. 227.  [pranala nonaktif permanen]
  50. ^ "Endorsements of Nonviolent Communication". PuddleDancer Press. Diakses tanggal Nov 30, 2011. 
  51. ^ Hartenstein, Sven (2013). "ANVC (Almost Nonviolent Communication)". ANVC. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  52. ^ Real Social Skills (2019). "Nonviolent Communication can be emotionally violent". Real Social Skills (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  53. ^ MacCracken, Harry (2017). "Satya Nadella Rewrites Microsoft's Code". Fast Company. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  54. ^ CNVC (2012). "Guidelines for Sharing NVC for Individuals who are not Certified Trainers". CNVC. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  55. ^ CNVC (2022). "Certification". CNVC. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  56. ^ CNVC (2022). "Intensive Trainings". CNVC. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  57. ^ Museux, Anne-Claire; Dumont, Serge; Careau, Emmanuelle; Milot, Élise (2016). "Improving interprofessional collaboration: The effect of training in nonviolent communication". Social Work in Health Care (dalam bahasa Inggris). 55 (6): 427–439. doi:10.1080/00981389.2016.1164270. ISSN 0098-1389. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-05. Diakses tanggal 2022-04-05. 
  58. ^ CNVC (2022). "Training Schedule". CNVC. Diakses tanggal 17 Maret 2022. 
  59. ^ Duyndam, Joachim; Korte, Anna-Marie J.A.C.M.; Poorthuis, Marcel (2017). Sacrifice in Modernity: Community, Ritual, Identity: From Nationalism and Nonviolence to Health Care and Harry Potter. BRILL. doi:10.1163/9789004335530. ISBN 978-90-04-33553-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-05. Diakses tanggal 2022-04-05. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

  • Situs web resmi CNVC, Organisasi internasional nirlaba.
  • NVC: Alat daring untuk menciptakan komunikasi yang mengacu NVC.