Klazomania

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Klazomania (dari bahasa Yunani κλάζω ("klazo") yang berarti berteriak) merupakan istilah yang merujuk pada teriakan yang bersifat kompulsif.[1] Klazomania umumnya memiliki ciri-ciri yang menyerupai gerenyet yang bersifat kompleks seperti ekolalia, palilalia dan koprolalia. Meski begitu, klazomania juga terlihat pada orang yang mengidap ensefalitis letargika,[2] gangguan penggunaan alkohol, dan keracunan karbon monoksida. Klazomania pertama kali dilaporkan oleh L. Benedek pada tahun 1925 pada pasien dengan parkinsonisme postensefalitik.[3] Kondisi mengenai klazomania masih sedikit yang diketahui oleh ilmuwan, meski beberapa kasusnya telah dilaporkan.[4]

Klasifikasi[sunting | sunting sumber]

Klazomania memiliki kesamaan ciri-ciri dengan gerenyet vokal yang terlihat pada penderita gangguan gerenyet, termasuk pula pada pengidap sindrom Tourette (ST).[5] Klazomania dijelaskan dalam tinjauan jurnal tahun 2006 sebagai penyebab dari aktivitas gerenyet dan dibedakan dari sindrom Tourette, yang mana klazomania sering dikaitkan dengan proses infeksi (ensefalitis) daripada ST.[3]

Tanda dan gejala[sunting | sunting sumber]

Klazomania mirip dengan gerenyet kompleks lainnya termasuk ekolalia, palilalia dan coprolalia.[6] Klazomania umumnya didefinisikan sebagai teriakan yang bersifat kompulsif, dan dapat meliputi dalam berbagai bentuk aktivitas seperti mengumpat, atau mendengus.[3] Orang yang mengidap klazomania bisa saja terlihat memerah, dan klazomania dapat mejadi semakin parah jika orang tersebut sedang dalam keadaan gelisah.[4] Lamanya gejala klazomania tergantung pada individu masing-masing, tetapi dapat digolongkan dengan berbagai periode, seperti periode puncak yang kemudian diikuti oleh remisi intermiten dengan intensitas yang keparahan lebih rendah.[3] Meskipun individu yang sedang mengalami klazomania mungkin terdengar seperti sedang kesakitan, sebenarnya tidak ada rasa sakit secara fisik di dalam dirinya.[3] Teriakan yang bersifat kompulsif dari klazomania dapat disertai dengan gejala lain, seperti krisis okulogirik atau gerakan tak sadar lainnya.[3] Keberadaan klazomania pernah dibandingkan dengan epilepsi lobus temporal, meskipun keduanya dapat dibedakan berdasarkan durasi serangan dan fakta bahwa pasien yang mengalami klazomania tampaknya masih sadar.

Sebuah laporan tahun 1961 oleh Wohlfart mendeskripsikan seorang tukang pos yang dikenal sebagai KR yang terjangkit ensefalitis lethargica pada usia 12 tahun.[7] Meskipun dia melaporkan tidak ada efek sakit yang signifikan dari penyakitnya, dia mudah tersinggung dan mengeluh kelelahan selama bertahun-tahun setelah sembuh. Pada usia 22 tahun, pasien mengalami cedera kepala, meskipun ia tidak mengalami gegar otak atau patah tulang tengkorak akibat insiden tersebut. Enam bulan kemudian, ia mengalami kejang okulogirik, serta diskinesia pada mulut dan lidah.[7] Pada usia 44, pasien mengalami serangan klazomania pertamanya.[7] Dia tetap sadar ketika kejadian, tetapi dia berteriak selama sekitar setengah jam dan tampak seperti orang "gila" selama berjam-jam setelah teriakan itu berakhir. Keesokan harinya, dia merasa lebih baik, meskipun dia melaporkan kelelahan. Pasien terus menderita serangan selama beberapa tahun ke depan sebelum datang di bawah pengawasan Wohlfart dan rekan. Dia kemudian menjabat sebagai model untuk menggambarkan klazomania dari awal hingga akhir dari penelitian Wohlfart.[7]

Menurut catatan Wohlfart tentang satu pasien, gejala dari klazomania kadang-kadang ditandai dengan linglung: pasien KR menatap lurus ke depan dan hanya merespons dalam satu suku kata pada menit-menit menjelang kejadian.[7] Kejang okulogirik kemudian berkembang, di mana ia menunjukkan ekolalia. Setelah 15 menit, gejala motorik yang sifatnya lebih lanjut telah muncul sehingga membuat pasien melakukan gerakan tersentak-sentak kecil dengan lengannya yang kemudian berubah menjadi gerakan melingkar. Pada 20 menit, serangan klazomania mencapai puncaknya dan membuat kulit pasien menjadi merah terang dengan gerakan kompulsif yang ada pada lengan serta kakinya kemudian melakukan gerakan menendang secara acak. Dia mulai mengumpat, berteriak, menjerit, dan mendengus dengan keras, dengan nafas yang terengah-engah dan terputus-putus. Dia kemudian memberikan penjelasan kepada orang-orang yang hadir mengenai situasi yang sedang terjadi saat itu. Lalu, dia berusaha untuk meminta maaf atas perilakunya. Setelah itu pasien dapat memberikan penjelasan tentang apa yang telah terjadi. Wohlfart dkk. menyimpulkan bahwa pasien sadar akan sekelilingnya selama serangan. Pasien bahkan menyatakan keprihatinan atas perilakunya yang melewatkan janji temu yang telah dijadwalkan. Pasien menunjukkan beberapa kemampuan untuk mengendalikan perilakunya ketika diajak bicara dengan nada yang tajam, tetapi dia pasti akan kembali berteriak dan bergerak-gerak secara acak setelah beberapa detik diam. Episode berlangsung satu setengah jam dan disertai dengan keluarnya air liur, berkeringat, dan takikardia. Puncak serangan berlangsung 30 menit; intensitas serangan tersebut kemudian mulai mereda, meskipun pasien masih melakukan beberapa teriakan dan gerakan setelah beberapa menit remisi.[7] Periode remisi antara episode berteriak menjadi lebih lama, sampai seluruh serangan selesai dalam waktu sekitar satu setengah jam.[7]

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Meskipun penyebab klazomania tidak diketahui, klazomania sering dianggap terkait dengan ensefalitis letargika. tinjauan jurnal tahun 2006 oleh Jankovic dan Mejia mengaitkan klazomania dengan tourettisme (gerenyet yang terjadi bukan karena sindrom Tourette), terlihat secara luas setelah pandemi ensefalitis letargika tahun 1916 hingga 1927.[8]

Wohlfart (1961) berhipotesis bahwa klazomania disebabkan oleh lesi yang mengiritasi di otak tengah dan malfungsi dalam kontrol sirkuit motorik dari substansia nigra di otak tengah ke globus pallidus di striatum (jalur mesostraital). Sirkuit ini dapat sangat terstimulasi selama "fit" pada otak tengah.[7]

Dalam laporan tahun 1996 tentang satu kasus, Bates et al. mendalilkan bahwa klazomania mirip dengan gangguang gerenyet vokal pada sindrom Tourette, meskipun pasien dengan klazomania mungkin tidak memiliki gerenyet motorik yang diperlukan untuk mendiagnosis ST.[9] Bates dan rekan mengamati kasus di mana gangguan penggunaan alkohol dan ensefalitis disertai dengan gerenyet vokal dan kadang-kadang klazomania.[9] Mereka berhipotesis bahwa penyebab klazomania terkait dengan efek gabungan dari kerusakan otak akibat gangguan penggunaan alkohol atau ensefalitis.[9]

Patofisiologi[sunting | sunting sumber]

Tinjauan Jankovic dan Mejia tahun 2006 menunjukkan bahwa otopsi korban pandemi ensefalitis letargika 1917 hingga 1926 mengungkapkan bahwa orang yang mengidap penyakit tersebut, mengalami "penyusutan neurofibrillari dan hilangnya saraf di globus pallidus, hipotalamus, tegmentum otak tengah, materi abu-abu periaqueduktal, striatum, dan substantia nigra".[10]

Wohlfart dkk. berhipotesis bahwa klazomania berasal dari materi abu-abu periaqueduktal di otak tengah.[7] Pusat vokalisasi pada hewan terletak di materi abu-abu periaqueduktal dan episode seperti klazomania yang melibatkan dengusan dan suara hewan dapat ditimbulkan oleh stimulasi elektrik pada wilayah ini.[7] Wohlfart dan rekan-rekannya berhipotesis bahwa stimulasi sistem saraf otonom oleh hipotalamus posterior terlibat dalam klazomania. Mereka menyimpulkan bahwa klazomania menyerupai kemarahan palsu pada hewan, yang dikendalikan oleh stimulasi sistem saraf simpatik. Selama klazomania, seseorang bisa saja mengalami pelebaran pupil, takikardia, keluarnya air liur, peningkatan tekanan darah, retraksi bibir, menggonggong, mendengus, dan marah seperti yang dilakukan hewan jika menunjukkan kemarahan palsu.[7] Bates dan rekan (1996) mengatakan bahwa neuroimaging dan hasil patologi tidak mendukung bukti keterlibatan hipotalamus yang serupa dengan yang ditemukan pada kemarahan palsu yang ada di hewan.[9]

Diagnosa[sunting | sunting sumber]

Jankovic dan Mejia mendeskripsikan klazomania sebagai akibat dari tourettisme (gerenyet yang memiliki ciri-ciri seperti sindrom Tourette tetapi bukan karena ST). Menurut edisi keempat dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR), sindrom Tourette dapat didiagnosis ketika kriteria diagnostik lainnya terpenuhi dan gejalanya tidak dapat dikaitkan dengan kondisi medis umum lainnya.[11] Oleh karena itu, kondisi medis lain yang mencakup gerenyet atau gerakan semacam gerenyet, seperti tourettisme harus dieliminasi sebelum diagnosis TS dapat dilakukan. Tidak ada tes khusus untuk klazomania, dan diagnosis pada penyakit tersebut umumnya didasarkan pada riwayat dan gejala.[12]

Menurut Bates (1996), kelainan elektroensefalografi (EEG) tidak diamati selama klazomania, dan hubungan antara klazomania dan kejang dianggap tidak mungkin terjadi.[9]

Perawatan[sunting | sunting sumber]

Dalam dosis besar, atropin sulfat membantu mengendalikan gerakan tak sadar yang terkait dengan klazomania pada satu pasien. Upaya untuk pengobatan juga dapat dilakukan dengan kombinasi fenobarbital dan triheksifenidil (juga dikenal sebagai Artane). Fenobarbital digunakan sebagai antikonvulsan dan umumnya digunakan untuk mengobati kejang, sedangkan Artane digunakan untuk mengobati gerakan tak terkendali pada penyakit Parkinson. Namun, kombinasi ini tidak memiliki bukti kalau ini memiliki efektivitas untuk mengobati klazomania.[7] Klazomania tidak dapat diobati dengan obat anti-epilepsi.[9]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Kata "klazomania" berasal dari bahasa Yunani, yaitu κλάζω ("klazo"), yang berarti "berteriak".[9] Istilah ini diciptakan oleh L. Benedek pada tahun 1925 ketika dia menyaksikan seseorang yang berteriak secara kompulsif yang mana orang tersebut mengidap parkinsonisme postensefalitik.[9] Dia melaporkan bahwa klazomania akan berlangsung hingga beberapa jam dan tampaknya berada di luar kendali pasien. Dia menggambarkan teriakan tersebut sebagai teriakan yang sangat keras dan mencatat bahwa teriakan itu bisa dalam bentuk suku kata, vokal atau bahkan suara binatang. Selain itu, ia mengamati bahwa meskipun sifat teriakan tersebut dapat menunjukkan bahwa pasien sedang mengalami kesakitan, suara itu sendiri pada nyatanya tidak terkait dengan rasa sakit yang ada di fisik. Menurut Benedek, pasien ternyata memiliki kemampuan untuk mengantisipasi suatu kejadian bahkan bisa mencegahnya melalui pernapasan yang dalam dan cepat. Namun, ia mencatat bahwa upaya yang diperlukan untuk menekan klazomania bisa lebih melelahkan daripada menahannya. Dia mengatakan bahwa meskipun kecemasan dapat meningkatkan frekuensi klazomania, itu tidak mempengaruhi presentasi serangan klazomania secara keseluruhan.[9]

Dua rekan Benedek, yaitu E. Von Thurzó dan T. Katona, mencatat dua kasus klazomania pada tahun 1927.[9] Mereka memperluas pengamatan Benedek sebelumnya. Mereka kemudian mendapatkan gambaran wajah merah marah dari seorang pasien yang terserang klazomania, serta kegelisahan dan agitasi yang ekstrem yang dialami oleh pasien itu. Mereka mencatat bahwa setelah serangan tersebut, pasien meminta maaf atas kejadian tersebut yang mana itu menunjukkan bahwa pasien sadar akan perilaku tersebut. Dari sini, Thurzó dan Katona mengusulkan bahwa tidak ada kehilangan kesadaran selama klazomania dan individu akan dapat tetap sepenuhnya sadar terhadap lingkungan mereka.[9]

Salah satu contoh pertama di mana penyakit menular dikaitkan dengan klazomania adalah pandemi ensefalitis letargika yang terkenal dari tahun 1916 hingga 1927.[8] Pandemi ini juga memunculkan gejala gerenyet lain yang terkait dengan ensefalitis letargika seperti gangguang vokalisasi yang tertahan, ekolalia, palilalia, dan krisis okulogirik.[8]

Pada tahun 1961, Wohlfart dkk. melaporkan kasus klazomania yang disertai dengan krisis okulogirik, gejala lain dari sindrom Parkinson pascaensefalitis.[7] Klazomania pernah diusulkan bahwa gejala itu sangat terkait dengan penggunaan alkohol dan keracunan karbon monoksida jangka panjang yang berlebihan pada tahun 1996.[9] Bates dkk. melaporkan bahwa seorang yang berusia 63 tahun yang dirawat di rumah sakit jiwa yang memiliki riwayat dua tahun episode (kejang-kejang) tiba-tiba berteriak. Pria itu mengaku tidak memiliki ingatan tentang serangan itu, yang mana sebenarnya dia bisa mengantisipasi dalam beberapa detik. Episode itu ditandai dengan teriakan "aagh" atau "tolong" dan dia dilaporkan tampak marah selama insiden tersebut. Di akhir gejala, dia akan tampak terkejut, meskipun dia bisa melanjutkan percakapan. Pasien tetap sepenuhnya berorientasi antara serangan. Episode itu sendiri terjadi pada frekuensi satu atau dua bulan, umumnya terjadi di malam hari dan semakin memburuk ketika pertama kali muncul.[9]

Pengamatan klazomania pada pasien ensefalitis membantu membangun landasan neurologis terhadap gerenyet pada kondisi lain, termasuk sindrom Tourette.[13]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "APA Dictionary of Psychology". dictionary.apa.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-03-17. 
  2. ^ Foley, Paul Bernard (2018-02-07). Encephalitis Lethargica: The Mind and Brain Virus (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 498. ISBN 978-1-4939-0384-9. 
  3. ^ a b c d e f Mainka, Tina; Balint, Bettina; Gövert, Felix; Kurvits, Lille; Riesen, Christoph; Kühn, Andrea A.; Tijssen, Marina A.J.; Lees, Andrew J.; Müller‐Vahl, Kirsten (2019-10-25). "The spectrum of involuntary vocalizations in humans: A video atlas". Movement Disorders. 34 (12): 1774–1791. doi:10.1002/mds.27855. ISSN 0885-3185. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-23. Diakses tanggal 2022-03-17. 
  4. ^ a b Prashanth Pillai, Nithin Krishna, William Regenold (2017). "Klazomania: A Rare Case of Compulsive Screaming, Complicating Major Depression, Effectively Treated with Electroconvulsive Therapy (ECT)" (PDF). Journal of Aging Science: 1–2. 
  5. ^ Betances, Elodie M.; Carugno, Paola (2022). Coprolalia. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. PMID 31747170. 
  6. ^ Ganos, Christos; Edwards, Mark J.; Müller-Vahl, Kirsten (2016-12-30). ""I swear it is Tourette's!": On functional coprolalia and other tic-like vocalizations". Psychiatry Research (dalam bahasa Inggris). 246: 821–826. doi:10.1016/j.psychres.2016.10.021. ISSN 0165-1781. 
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m Wohlfart G, Ingvar DH, Hellberg AM (1961). "Compulsory shouting (Benedek's "klazomania") associated with oculogyric spasms in chronic epidemic encephalitis". Acta Psychiatr Scand. 36 (2): 369–77. doi:10.1111/j.1600-0447.1961.tb01051.x. PMID 13786189. 
  8. ^ a b c Jankovic J, Mejia NI (2006). "Tics associated with other disorders". Adv Neurol. 99: 61–8. PMID 16536352. 
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m Bates GD, Lampert I, Prendergast M, Van Woerkom AE (1996). "Klazomania: the screaming tic". Neurocase. 2 (1): Abstrak. doi:10.1080/13554799608402386. 
  10. ^ Mejia, Nicte I.; Jankovic, Joseph (2005-03). "Secondary tics and tourettism". Brazilian Journal of Psychiatry (dalam bahasa Inggris). 27: 11–17. ISSN 1516-4446. 
  11. ^ American Psychiatric Association (2000). DSM-IV-TR: Tourette's Disorder. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed., text revision (DSM-IV-TR), ISBN 0-89042-025-4. Available at BehaveNet.com Retrieved on August 10, 2009.
  12. ^ Leckman JF, Bloch MH, King RA, Scahill L (2006). "Phenomenology of tics and natural history of tic disorders". Adv Neurol. 99: 1–16. PMID 16536348. 
  13. ^ Larner AJ (2002). "K". A Dictionary of Neurological Signs. Springer Netherlands. hlm. 204. doi:10.1007/0-306-47505-7_11. ISBN 1-4020-0043-X. 

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]