Khulafaur Rasyidin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Khulafaur Rasyidin
Arab: الخلفاء الراشدون
Muhammad (atas), dan para Khulafaur Rasyidin. Abu Bakar (kiri), Umar, Ali, dan Utsman (kanan). Dari Subhat al-Akhbar, Perpustakaan Nasional Austria.
GelarKhalīfat ar-Rasūl (masa Abu Bakar)
Amirul Mukminin (sejak masa Umar)
KediamanMadinah (632–656)
Kufah (656–661)
Ditunjuk olehSyurā
Pejabat perdanaAbu Bakar
Dibentuk8 Juni 632
Pejabat terakhirAli bin Abi Thalib
Jabatan dihapus28 Juli 661

Khulafaur Rasyidin (Arab: الخلفاء الراشدون, translit: al-Khulafāʾ al-Rāsyidūn, terj. har.''Khalifah yang Dibimbing dengan Benar''), atau hanya Rasyidin, adalah istilah yang digunakan oleh Muslim Sunni untuk menyebut empat orang khalifah yang memimpin negara Islam pertama Kekhalifahan Rasyidin setelah kematian nabi Islam Muhammad. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin 'Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Pemerintahan para khalifah ini, yang disebut Kekhalifahan Rasyidin (632–661), dianggap dalam Islam Sunni sebagai pemerintahan yang telah "dibimbing dengan benar" (Arab: راشد, translit: rāsyd), dan merupakan model (sunnah) yang harus diikuti dan diteladani dari sudut pandang agama.[1]

Abu Bakar (m. 632–634) terpilih sebagai Khalifah pertama dalam peristiwa Saqifah Bani Sa'idah segera setelah kematian Muhammad. Aksesinya ditolak oleh beberapa orang sahabat Muhammad, yang paling menonjol diantara mereka adalah Ali bin Abi Thalib, yang kemudian menyerah dan menawarkan kesetiaannya.[2] Abu Bakar memerangi kelompok murtad, dan memperluas wilayah kekhalifahan. Pemerintahannya yang singkat berakhir dengan kematiannya di tahun 634 M. Penerus Abu Bakar adalah Umar bin Khattab (m. 634–644), yang juga seorang sahabat terkemuka Muhammad. Bersamaan dengan penaklukan Persia Sasaniyah dan dua pertiga dari Bizantium Romawi, Umar membangun struktur politik dan administrasi negara. Ia menciptakan diwan, sebuah badan ekonomi negara, ia juga menetapkan kebijakan yang memperbolehkan pembangunan kembali pemukiman Yahudi di Yerusalem. Kekhalifahannya berakhir ketika dia dibunuh oleh Abu Lu'lu'ah, seorang budak dari persia.

Sebelum kematiannya, Umar membentuk sebuah panitia yang beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah baru setelah kematiannya, dan Utsman bin Affan (m. 644–656) adalah yang terpilih di antara mereka. Utsman mungkin adalah khalifah paling dikenang karena berjasa dalam pengumpulan al-Qur'an dan membentuknya menjadi sebuah mushaf seperti yang dibaca saat ini. Kebijakan Utsman untuk menetapkan anggota keluarganya sebagai pejabat dan gubernur telah menimbulkan pemberontakan yang mengakibatkan dirinya terbunuh pada 656 M. Ali bin Abi Thalib (m. 656–661), mewarisi kekacauan yang terjadi pada akhir masa kekhalifahan Utsman. Ia termasuk dari enam orang dari anggota panita yang ditunjuk Umar dalam Pemilihan Utsman. Pada masa pemerintahannya, Ali menghadapi konflik internal yang dikenal sebagai Fitnah Pertama. Pihak ketiga, Khawarij, memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan membunuh tiga orang yang dianggap penyebab peperangan, yaitu Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin Ash. Dari ketiga orang tersebut, hanya Ali yang berhasil dibunuh. Putranya, Hasan, mengakhiri konflik dengan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu'awiyah.

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Secara etimologis, al-Khulafāʾ ar-Rāsyidūn terdiri dari dua kata, yaitu al-Khulafāʾ yang memiliki arti "pengganti" atau "pemimpin" dan al-Rāshidūn yang memiliki arti "dibimbing dengan benar" (atau menurut sebagian Muslim, "mendapatkan petunjuk").[3] Dengan demikian, al-Khulafāʾ al-Rāsyidūn dapat diterjemahkan sebagai "para pemimpin yang dibimbing dengan benar".[4]

Menurut Muslim Sunni, istilah Khulafaur Rasyidin berasal dari sebuah Hadis yang meramalkan bahwa kekhalifahan setelah kematian Muhammad akan berlangsung selama 30 tahun dan kemudian akan diikuti oleh kerajaan.[5][6] Menurut hadis lain dalam Sunan Abu Dawud dan Musnad Ahmad, menjelang akhir zaman, Khilafah Terpimpin akan dipulihkan sekali lagi oleh Tuhan.[7] Namun, istilah ini tidak digunakan dalam Islam Syiah, karena sebagian besar Muslim Syiah tidak menganggap aturan tiga khalifah pertama sah.[8] Di sisi lain, Syiah Zaidiyah percaya tiga khalifah pertama sebagai pemimpin yang sah.[9]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Suksesi Muhammad adalah isu sentral yang memecah komunitas Muslim.[10] Islam Sunni menerima status politik mereka sepenuhnya, sedangkan Muslim Syiah sebagian besar menolak legitimasi tiga khalifah pertama, dan mempertahankan bahwa Muhammad telah menunjuk Ali sebagai penggantinya.[10][11]

Abu Bakar[sunting | sunting sumber]

Orang-orang berjanji setia kepada Abu Bakar di Saqifah, dengan Umar di sebelah kanan. Miniatur Persia dibuat sekitar tahun 1595.

Abu Bakar, (Arab: أَبُو بَكْرٍ, c. 573–634 M/13 H) adalah sahabat dekat Muhammad dan ayah mertuanya. Dia memerintah Kekhalifahan Rasyidin dari 632 hingga 634 M sebagai Khalifah Muslim pertama setelah kematian Muhammad.[12] Abu Bakar melanjutkan fungsi politik dan administrasi yang sebelumnya dijalankan oleh Muhammad. Abu Bakar disebut As-Siddiq (اَلـصِّـدِّيْـق terj. har.'yang membenarkan')[13] karena menjadi orang pertama yang membenarkan peristiwa Isra Mikraj Muhammad,[14] dan dikenal dengan gelar itu di antara generasi Muslim Sunni selanjutnya.[15]

Setelah kematian Muhammad, sejumlah sahabat dari golongan Anshar berniat untuk mengangkat sendiri pemimpin diantara mereka dengan mengesampingkan para imigran (Muhajirin).[16] Abu Bakar dan Umar bin Khattab, bergegas pergi ke Saqifah dan meyakinkan orang-orang disana bahwa pemimpin setelah Muhammad harus berasal dari Muhajirin pula, sedangkan Anshar sebagai pembantu.[17] Abu Bakar menawarkan Umar dan Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai pilihan.[18] Namun, Umar segera menjabat tangan dan berjanji setia kepada Abu Bakar; sebuah contoh yang diikuti oleh orang-orang yang hadir.[19] Peristiwa ini dikenal sebagai Saqifah Bani Sa'idah.[20] Pada awalnya, aksesi Abu Bakar sempat ditolak oleh beberapa orang sahabat Muhammad,[21] diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib. Ali mungkin diharapkan untuk menggantikan Muhammad setelah kematiannya,[22] karena kedekatan mereka dan pidato Muhammad di Ghadir Khum.[23]

Sejak menjelang kematian Muhammad, beberapa kepala suku, seperti Aswad al-Ansi, Musailamah al-Kazzab, dan Sajjah mengaku sebagai nabi baru yang diberi wahyu oleh Tuhan. Abu Bakar menentang pengakuan mereka dan memerintahkan untuk memerangi mereka.[24] Strategi Abu Bakar dengan mengirim pasukan secara berkala tampaknya berhasil. Kampanye kemurtadan yang dimulai oleh kelompok pendukung nabi palsu selama tahun ke-11 Hijriyah dapat diakhiri oleh pasukan yang dikirim oleh Abu Bakar pada tahun yang sama.[25]

Setelah kampanye kemurtadan selesai, Abu Bakar menguasai seluruh Jazirah Arab dan mengendalikan suku-suku yang bertikai. Ia melarang suku-suku ini untuk melakukan penjarahan dan peperangan.[26] Dia memutuskan untuk memperluas kekhalifahan. Tidak jelas apakah niatnya adalah untuk melakukan ekspansi skala penuh, atau serangan pendahuluan untuk mengamankan zona penyangga antara negara Islam dengan kekaisaran Sasaniyah dan Bizantium yang kuat. Kebijakan ini memulai ekspansi militer secara besar-besaran atas Bizantium dan Persia.[27] Khalid dikirim ke Persia dengan pasukan yang terdiri dari 18.000 sukarelawan, dan menaklukkan provinsi terkaya di Persia, Irak. Setelah itu, Abu Bakar mengirim pasukannya untuk menginvasi Suriah Romawi, provinsi penting Kekaisaran Bizantium.[28]

Pada Agustus 634, Abu Bakar jatuh sakit dan tidak kunjung sembuh. Dia mengalami demam tinggi dan hanya bisa berbaring di tempat tidur.[29] Penyakitnya berkepanjangan, dan ketika kondisinya memburuk, dia akhirnya meninggal dunia Pada 23 Agustus 634.[30] Sebelum kematiannya, ia mendiktekan wasiat terakhirnya kepada Utsman yang isinya mengangkat Umar sebagai penggantinya.[30]

Umar bin Khattab[sunting | sunting sumber]

Umar bin Khattab (Arab: عمر ابن الخطاب, translit: ʿUmar ibn al-Khattāb, c.586/590–644[31]) adalah pendamping terkemuka dan penasihat Muhammad. Putri Umar, Hafshah menikah dengan Muhammad; dengan demikian dia menjadi ayah mertua Muhammad. Ia menggantikan Abu Bakar setelah kematiannya 23 Agustus 634 sebagi khalifah kedua, dan memainkan peran penting dalam Islam.[32] Ia mmerintah Kekhalifahan Rasyidin selama sepuluh tahun.[33]

Di bawah pemerintahan Umar, kekhalifahan Islam berkembang dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menguasai seluruh Kekaisaran Persia Sassaniyah dan lebih dari dua pertiga Kekaisaran Romawi Timur.[34] Kemampuan legislatifnya, kontrol politik dan administrasi yang kuat atas kekaisaran yang berkembang pesat, dan serangan multi-cabang yang terkoordinasi dengan cemerlang terhadap Persia Sassaniyah menghasilkan penaklukan kekaisaran Persia dalam waktu kurang dari dua tahun. Ini menandai reputasinya sebagai pemimpin politik dan militer yang hebat. Di antara penaklukannya adalah Yerusalem, Damaskus, dan Mesir.[35]

Kunjungan khalifah Umar memasuki Yerusalem, dengan pasukan meletakkan senjata dan menunduk.

Umar memerintahkan pemindahan komunitas Kristen dan Yahudi dari wilayah Najran dan Khaibar menuju Suriah dan Irak.[36] Dia juga mengizinkan orang-orang Yahudi untuk bermukim kembali di Yerusalem, yang sebelumnya dilarang dari semua orang Yahudi.[37] Dia mengeluarkan perintah agar orang Kristen dan Yahudi ini diperlakukan dengan baik dan memberi mereka tanah yang setara di pemukiman baru mereka.[38][39] Umar juga melarang non-Muslim berada di Hijaz lebih dari tiga hari.[40] Ia adalah orang pertama yang mendirikan angkatan darat sebagai departemen negara.[41]

Di bawah kepemimpinan Umar, kekhalifahan berkembang; karenanya, dia mulai membangun struktur politik yang akan menyatukan wilayah yang luas.[42][43][44] Dia melakukan banyak reformasi administrasi dan mengawasi kebijakan publik dengan cermat, mendirikan administrasi lanjutan untuk tanah yang baru ditaklukkan, termasuk beberapa kementerian dan birokrasi baru, dan memerintahkan sensus semua wilayah Muslim.[45][44][46] Selama pemerintahannya, kota garnisun (amsar) Basrah dan Kufah didirikan atau diperluas. Pada 638, ia memperluas dan merenovasi Masjidil Haram (Masjid Suci) di Makkah dan Masjid Nabawi (Masjid Nabi) di Madinah.[47][46]

Umar adalah khalifah pertama yang mengadopsi gelar Amirul Mukminin (terj. har.'pemimpin orang-orang beriman').[48] Ibnu Sa'ad mencatat dalam bukunya, at-Thabaqat al-Kubra, bahwa setelah kematian Abu Bakar, umat Islam saat itu berkata: "Kami adalah Mu'minin (orang-orang beriman/setia) dan Umar adalah Amir (pemimpin) kami."[48] Setelah itu, gelar Amirul Mukminin dipegang oleh Umar yang kemudian menjadi gelar standar khalifah.[48][49] Pada masa-masa setelahnya, para khalifah dan sultan dari berbagai dinasti Muslim, seperti Umayyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah juga turut mengadopsi Amirul Mukminin sebagai gelar spiritual dan politik mereka.[50] Umar mungkin juga dikenang karena membentuk sistem kalender Islam Hijriyah.[51]

Pada November 644, Umar diserang oleh seorang budak Persia bernama Abu Lu'lu'ah ketika ia sedang memimpin salat subuh di Masjid Nabawi.[52] Sebelum kematiannya, ia sempat menunjuk sebuah komite beranggotakan enam orang: Ali,Utsman, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa'ad bin Abi Waqqash untuk memilih salah seorang di antara mereka sebagai penggantinya.[53]

Utsman bin Affan[sunting | sunting sumber]

Pemilihan Utsman, folio dari Tarikhnama (Buku sejarah) oleh al-Balami.

Utsman bin Affan (Arab: ثمان ابن عفان, translit: ʿUthmān ibn ʿAffān) (ca. 579–17 Juli 656) adalah salah satu sahabat awal dan menantu Muhammad. Dua putri Muhammad dan Khadijah, Ruqayyah dan Ummu Kultsum menikah dengannya satu demi satu. Utsman lahir dari klan Bani Umayyah, keluarga kuat dari suku Quraisy.[54]

Sebelum kematiannya, Umar membentuk sebuah panitia yang beranggotakan enam orang: Ali, Utsman, Thalhah, Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman bin Auf dipercaya sebagai ketua komite. Beberapa sumber menambahkan Sa'id bin Zaid, seorang sahabat Muhammad,[55] sementara laporan oleh ath-Thabari mengatakan Sa'id dikeluarkan karena kekerabatannya dengan Umar, yang konon tidak menginginkan suksesi turun-temurun.[56] Di sisi lain, beberapa sumber tidak memasukkan Sa'id dalam panitia.[55] Sebagian besar sumber juga mengatakan bahwa Thalhah tiba di Madinah setelah panitia mencapai keputusan akhir dan tidak hadir dalam persidangan.[55] Sa'id secara formal bertindak sebagai wakilnya oleh beberapa catatan.[57] Sejarawan Sunni Ibnu Sa'ad dan beberapa sumber Sunni lain juga mencantumkan putra Umar, Abdullah dalam kapasitas sebagai penasehat komite.[58][59]

Sa'ad memberikan suara kepada sepupunya, Abdurrahman, yang cenderung mendukung saudara iparnya, Utsman.[60][61] Blok suara yang terdiri dari tiga orang ini akan menjadi mayoritas dalam komite jika Thalhah tidak hadir dan Sa'ad memberikan dua suara. Menurut Ayoub, susunan panitia ini menghalangi peluang Ali, yang menambahkan bahwa Umar mungkin melakukannya tanpa disadari.[62] Meski sependapat, namun Jafri tidak setuju, dia mengatakan bahwa Umar bermaksud menghalangi Ali tetapi tidak bisa begitu saja mengecualikannya dari persidangan.[63] Jafri menyatakan bahwa Umar dengan sengaja menghalangi peluang Ali dengan memberikan jabatan ketua komite kepada Abdurrahman, kemungkinan karena takut akan perselisihan dan kerusuhan sipil.[64] Dalam pandangan Jafri, masuknya Ali ke dalam komite sekaligus mengakui klaimnya,[65] menghalangi peluangnya,[65] dan menghilangkan kebebasannya untuk mencari cara menjadi khalifah secara mandiri.[64] Pada akhirnya, Utsman memenangkan pemilihan dan diangkat menjadi khalifah pada usia tujuh puluh tahun.[66][67][68]

Di bawah kepemimpinannya, kekhalifahan meluas ke Fars (sekarang Iran) pada tahun 650 dan beberapa wilayah Khorasan Raya (sekarang Afghanistan) pada tahun 651, dan penaklukan Armenia dimulai pada tahun 640-an.[69]

Utsman mungkin paling dikenal karena membentuk panitia yang bertugas memproduksi salinan al-Qur'an berdasarkan teks yang telah dikumpulkan secara terpisah pada perkamen, tulang dan batu selama masa hidup Muhammad dan juga pada salinan al-Qur'an yang telah disusun oleh Abu Bakar dan dimiliki oleh Hafshah, salah satu janda Muhammad setelah kematian Abu Bakar.[70] Para anggota panitia juga adalah qari al-Qur'an dan telah menghafal seluruh teks selama masa hidup Muhammad, mereka dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.[71] Pekerjaan ini dilakukan karena ekspansi besar-besaran Islam di bawah pemerintahan Utsman, yang menemui banyak dialek dan bahasa yang berbeda. Hal ini menyebabkan variasi bacaan al-Qur'an bagi para mualaf yang tidak terbiasa dengan bahasa tersebut. Setelah mengklarifikasi kemungkinan kesalahan dalam pengucapan atau dialek, Utsman mengirim salinan teks suci ke setiap kota Muslim dan kota garnisun, dan menghancurkan berbagai versi mushaf yang dianggap menyimpang.[72][73]

Menurut sumber-sumber Sunni, tidak seperti Umar yang disiplin dan memerintah dengan tegas, Utsman kurang ketat dan cenderung lebih fokus pada kemakmuran ekonomi.[74] Di bawah Utsman, rakyat menjadi lebih makmur dan di bidang politik mereka menikmati tingkat kebebasan yang lebih besar. Tidak ada lembaga yang dirancang untuk menyalurkan aktivitas politik dan karena tidak ada lembaga tersebut, kecemburuan dan persaingan suku Arab pra-Islam yang telah ditekan di bawah khalifah sebelumnya, muncul kembali.[75]

Perlawanan terhadap Utsman kemudian muncul karena dia lebih menyukai anggota keluarga ketika memilih gubernur, dengan alasan bahwa dengan melakukan ini, dia akan dapat memberikan pengaruh yang lebih besar pada bagaimana kekhalifahan dijalankan. Utsman menjadikan sistem kapitalis sebagai sistem kekhalifahan. Sebaliknya, orang yang ditunjuknya memiliki kendali lebih besar atas bisnis negara daripada yang Utsman rencanakan.[76] Mereka melangkah lebih jauh dengan memaksakan otoritarianisme atas provinsi mereka. Selain itu, campur tangan Utsman dalam urusan provinsi, yang terdiri dari pernyataannya atas tanah mahkota Irak sebagai aset negara, dan tuntutannya agar surplus provinsi diteruskan ke khalifah di Madinah, menimbulkan penentangan yang meluas terhadap pemerintahannya, terutama dari kalangan Irak dan Mesir, tempat sebagian besar tentara penaklukan menetap.[77] Sementara itu, banyak surat dari rakyat yang telah ditulis kepada para sahabat terkemuka Muhammad, mengeluh tentang dugaan tirani gubernur yang ditunjuk Utsman. Surat-surat dikirim ke para pemimpin opini publik di berbagai provinsi tentang penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh keluarga Utsman. Hal ini menimbulkan keresahan di seluruh wilayah kekhalifahan dan menyebabkan Utsman sendirilah yang harus menyelidiki masalah tersebut dalam upaya untuk memastikan kebenaran rumor tersebut.[78] Wilferd Madelung menentang dugaan peran Abdullah bin Saba dalam pemberontakan melawan Utsman dan mengamati bahwa hanya sedikit sejarawan modern yang mau menerima legenda tentang Ibnu Saba.[79]

Menurut Bernard Lewis, "kelemahan dan nepotisme Utsman memuncakkan kebencian yang selama beberapa waktu dipendam secara samar-samar di antara para prajurit Arab. Tradisi Muslim menghubungkan kehancuran yang terjadi selama pemerintahannya dengan cacat pribadi Utsman. Namun, penyebabnya terletak jauh lebih dalam dan kesalahan Utsman terletak pada kegagalannya untuk mengenali, mengendalikan, atau memperbaikinya".[80] Madelung juga mencatat bahwa Utsman telah menyebabkan sebagian besar kekhalifahan tunduk kepada Bani Umayyah.[81][82]

Pada akhirnya, penentangan terhadap kebijakan Utsman dimulai di Madinah. Para penentang Utsman mengumpulkan orang-orang dan mengadakan aksi demonstrasi untuk memprotes Utsman. Namun, aksi demonstrasi berubah menjadi pengepungan setelah salah satu demonstran terbunuh.[83] Masyarakat mengepung rumah Utsman selama empat puluh hari dan kemudian membunuhnya saat sedang membaca al-Qur'an pada 17 Juni 656. Mereka menusuk perutnya dan memukul kepalanya.[84]

Ali bin Abi Thalib[sunting | sunting sumber]

koin Dirham Islam pada masa khalifah Ali, 656–661 M.

Ali bin Abi Thalib (Arab: علي ابن أبي طالب, translit: ʿAlī ibn Abī Ṭālib) adalah sepupu dan menantu Muhammad.[85] Di Makkah, Ali muda adalah orang pertama yang memeluk Islam dari anak-anak dan orang yang menawarkan dukungannya ketika Muhammad pertama kali memperkenalkan Islam kepada kerabatnya.[86][87][88][89][90] Kemudian, dia memfasilitasi pelarian Muhammad yang aman ke Madinah dengan mempertaruhkan nyawanya sebagai umpan.[91][92][93][94][95] Saat tiba di Madinah, Ali bersumpah persaudaraan dengan Muhammad dan kemudian melamar putri Muhammad, Fatimah, dan menikahinya.[96][97][98]

Ali biasa bertindak sebagai sekretaris Muhammad di Madinah, dan menjabat sebagai wakilnya selama ekspedisi Tabuk.[99] Ali sering dianggap sebagai pejuang paling cakap dalam pasukan Muhammad dan keduanya adalah satu-satunya pria Muslim yang mewakili Islam melawan delegasi Kristen dari Najran.[100][101][102][103] Peran Ali dalam pengumpulan al-Qur'an, teks utama Islam, dianggap sebagai salah satu kontribusi utamanya.[104] Dalam Islam Syi'ah, Ali dianggap sebagai penerus sah Muhammad yang pengangkatannya diumumkan pada acara Ghadir Khum dan sebelumnya dalam misi kenabiannya.[105]

Tak lama setelah pembunuhan Utsman di Madinah, massa meminta kepemimpinan Ali dan pada awalnya ditolak.[106][107][108] Penjelasan Will Durant untuk keengganan awal Ali adalah bahwa, "Genial dan dermawan, meditatif dan pendiam; dia (Ali) berusaha menghindar dari drama yang mana agama telah digantikan oleh politik, dan pengabdian oleh intrik".[109] Dengan tidak adanya oposisi yang serius dan didesak terutama oleh Ansar dan delegasi Irak, Ali akhirnya disumpah (bai'at) pada tanggal 25 Dzulhijjah 35 H (656 M), dan Muslim memenuhi Masjid Nabawi hingga ke halamannya untuk berjanji setia kepadanya.[110][111][112]

Dikatakan bahwa Ali mewarisi masalah-masalah internal yang berat pada masa pemerintahan Utsman.[113][114] Setelah pengangkatannya sebagai khalifah, Ali memindahkan ibukotanya dari Madinah ke Kufah, kota garnisun Muslim di Irak saat ini.[115] Ali juga memberhentikan sebagian besar gubernur Utsman yang dianggapnya korup, termasuk Muawiyah bin Abu Sufyan, sepupu Utsman.[116][117] Di bawah Utsman yang lunak, Muawiyah telah membangun struktur kekuasaan paralel di Damaskus yang menurut Madelung, mencerminkan despotisme kekaisaran Bizantium Romawi.[116][118][119] Setelah negosiasi antara mereka gagal, kedua belah pihak terlibat dalam perang saudara berdarah dan panjang, yang dikenal sebagai Fitnah Pertama.[120][121]

Pihak ketiga, Khawarij, memberontak dan akhirnya dibubarkan oleh Ali pada Pertempuran Nahrawan.[122] Setelah pertempuran, Khawarij yang tersisa memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan membunuh Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin Ash yang mereka anggap sebagai penyebab munculnya konflik.[123] Namun, dari ketiga target, hanya Ali yang berhasil dibunuh. Ia dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam saat memimpin salat subuh di Masjid Kufah pada 28 Januari 661 M.[124][125]

Setelah pembunuhan Ali, putranya, Hasan, terpilih sebagai khalifah dan mengadopsi pendekatan serupa terhadap Muawiyah.[126][127][128] Namun, ketika Muawiyah mulai menyuap para komandan militer dan kepala suku, kampanye militer Hasan mengalami pembelotan dalam jumlah besar.[129][130][131] Setelah kehilangan seluruh harapannya, Hasan memilih untuk menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah.[131][132]

Ekspansi Militer[sunting | sunting sumber]

Penaklukan pada masa Abu Bakar[sunting | sunting sumber]

Dengan Arab yang telah bersatu di bawah satu negara terpusat dengan militer yang tangguh, wilayah tersebut sekarang dapat dilihat sebagai ancaman potensial bagi kekaisaran Bizantium dan Sasaniyah yang bertetangga. Mungkin Abu Bakar, dengan alasan bahwa tidak dapat dihindari bahwa salah satu dari kekuatan ini akan melancarkan serangan pendahuluan terhadap kekhalifahan muda, memutuskan bahwa lebih baik melakukan serangan pertama sendiri. Terlepas dari motivasi khalifah, pada tahun 633 pasukan kecil dikirim ke Irak dan Palestina, merebut beberapa kota. Meskipun Bizantium dan Sassaniyah pasti akan membalas, Abu Bakar punya alasan untuk percaya diri; kedua kekaisaran itu secara militer kelelahan setelah berabad-abad berperang satu sama lain, sehingga kemungkinan setiap pasukan yang dikirim ke Arab akan berkurang dan melemah.[133]

Keuntungan yang lebih mendesak adalah keefektifan para pejuang Muslim serta semangat mereka, yang terakhir sebagian didasarkan pada kepastian kebenaran tujuan mereka. Selain itu, keyakinan umum di kalangan umat Islam adalah bahwa masyarakat harus dipertahankan dengan segala cara.[133] Sejarawan Theodor Nöldeke memberikan pendapat yang agak kontroversial bahwa semangat keagamaan ini sengaja digunakan untuk menjaga semangat dan momentum umat:[134]

Tentu saja, itu merupakan kebijakan yang baik untuk mengubah suku-suku yang baru saja ditaklukkan di wilayah terpencil menuju tujuan eksternal di mana mereka dapat segera memuaskan nafsu mereka akan harta rampasan dalam skala besar, mempertahankan perasaan suka berperang mereka, dan memperkuat diri mereka dalam keterikatan mereka pada keyakinan baru … Muhammad sendiri telah mengirimkan ekspedisi melintasi perbatasan Bizantium, dan dengan demikian telah menunjukkan jalan kepada penerusnya. Mengikuti jejaknya adalah sesuai dengan jiwa muda Islam yang terdalam, yang sudah tumbuh besar di tengah hiruk pikuk senjata.

Meskipun Abu Bakar telah memulai konflik-konflik awal ini yang akhirnya menghasilkan penaklukan Persia dan Suriah, dia tidak hidup untuk melihat daerah-daerah itu ditaklukkan oleh Islam, dan malah menyerahkan tugas itu kepada penerusnya, Umar.[133]

Penaklukan pada masa Umar[sunting | sunting sumber]

Wilayah kekuasaan Khalifah Umar pada puncak pemerintahannya di tahun 644.

Kekhalifahan Umar terkenal karena penaklukan yang luas. Dengan dibantu oleh komandan lapangan yang brilian, Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin Jarrah, ia mampu menggabungkan Irak, Iran, Azerbaijan, Kaukasus, Suriah, Tepi Barat, Mesir, dan sebagian Afghanistan, Turkmenistan, dan Pakistan barat ke dalam Khilafah. Selama masa pemerintahannya, Romawi Bizantium kehilangan lebih dari tiga perempat wilayah mereka dan di Persia, dan Umar adalah raja (penguasa) Kekaisaran Persia Sasaniyah sebelum akhirnya dibubarkan.[135] Sejarawan telah memperkirakan bahwa lebih dari 4.050 kota ditaklukkan pada masa pemerintahan Umar.[136]

Penaklukan pada masa Utsman[sunting | sunting sumber]

Selama pemerintahannya, gaya militer Utsman lebih bersifat otonom karena dia mendelegasikan banyak otoritas militer kepada kerabatnya yang tepercaya, seperti Abdullah bin Amir, Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan Abdullah bin Sa'ad, tidak seperti kebijakan Umar yang lebih terpusat. Konsekuensinya, kebijakan yang lebih mandiri ini memungkinkan lebih banyak ekspansi hingga Sindh (sekarang Pakistan) yang belum tersentuh selama masa jabatan Umar.[137]

Kekhalifahan Rasyidin mencapai puncak kejayaannya pada masa Khalifah Utsman, 655–656

Muawiyah bin Abu Sufyan telah ditunjuk sebagai gubernur Suriah oleh Umar pada tahun 639 untuk menghentikan gangguan Bizantium dari laut selama Peperangan Arab-Bizantium. Dia menggantikan kakak laki-lakinya Yazid bin Abi Sufyan, yang meninggal karena wabah, bersama dengan Abu Ubaidah bin Jarrah, gubernur sebelumnya, dan 25.000 orang lainnya. Sekarang di bawah pemerintahan Utsman pada tahun 649, Mu'awiyah diizinkan untuk membentuk angkatan laut Muslim yang nantinya akan bersaing dan mengalahkan angkatan laut Bizantium pada Pertempuran Tiang Kapal pada tahun 655 dan menaklukan Laut Mediterania.[138][139][140][141][142]

Di sebelah timur, Ahnaf bin Qais, kepala Bani Tamim dan seorang komandan veteran, meluncurkan serangkaian ekspansi militer lebih lanjut dengan terus mendesak pasukan Yazdegerd III di dekat Sungai Oxus di Turkmenistan[143][144] dan kemudian menghancurkan koalisi militer loyalis Kekaisaran Sassaniyah dan Kekaisaran Hephthalite di Pengepungan Herat.[143] Belakangan, gubernur Basrah, Abdullah bin Aamir juga memimpin sejumlah kampanye sukses, mulai dari menumpas pemberontakan di Fars, Kerman, Sistan, dan Khorasan, hingga pembukaan front baru untuk penaklukan di Transoksiana dan Afghanistan.[145]

Sejarawan Islam al-Baladzuri menulis dalam Fatuhul Buldan bahwa pada 652, Balochistan ditaklukkan kembali selama kampanye melawan pemberontakan di Kermān, di bawah komando Mujasyi' bin Mas'ud. Ini adalah pertama kalinya Balochistan barat berada langsung di bawah hukum Kekhalifahan dan membayar upeti pertanian.[146][147]

Era Ali dan akhir penaklukan[sunting | sunting sumber]

Pada akhir masa kekhalifahan Utsman, muncul perselisihan mengenai versi mushaf al-Qur'an mana yang benar. Pada tahun 644, berbagai jenis mushaf diterima di Damaskus, Basra, Hims, dan Kufah.[148] Untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, Khalifah Utsman memproklamirkan mushaf al-Qur'an yang dimiliki oleh salah satu janda Muhammad, Hafshah binti Umar sebagai versi yang pasti dan benar. Hal ini menyinggung beberapa Muslim yang berpegang pada versi saingannya.[148] Bersama dengan favoritisme yang ditunjukkan oleh 'Utsman kepada klannya sendiri, Bani Umayyah, dalam penunjukan pejabat pemerintah, menyebabkan pemberontakan di Madinah pada tahun 656 dan pembunuhan 'Utsman.[148]

Penerus 'Utsman sebagai Khalifah, menantu Muhammad, Ali, menghadapi perang saudara yang dikenal oleh umat Islam sebagai fitnah ketika gubernur Suriah, Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan janda Muhammad, Aisyah binti Abu Bakar memberontak melawannya.[149] Selama waktu ini, periode pertama penaklukan Muslim berhenti, karena tentara Islam berbalik melawan satu sama lain.[149] Sebuah kelompok fundamentalis yang dikenal sebagai Khawarij memutuskan untuk mengakhiri perang saudara dengan membunuh para pemimpin kedua belah pihak.[149] Namun, fitnah berakhir pada Januari 661 ketika Khalifah Ali dibunuh oleh seorang Khawarij, memungkinkan Mu'awiyah menjadi Khalifah dan mendirikan dinasti Umayyah.[150]

Kebijakan sosial[sunting | sunting sumber]

Pada masa pemerintahannya, Abu Bakar (atau Umar, menurut beberapa catatan) mendirikan Baitul Mal (perbendaharaan negara).[151] Umar memperluas perbendaharaan dan mendirikan gedung pemerintahan untuk mengelola keuangan negara.[151] Setelah penaklukan, dalam hampir semua kasus, para khalifah dibebani dengan pemeliharaan dan pembangunan jalan dan jembatan sebagai imbalan atas kesetiaan politik bangsa yang ditaklukkan.[152]

Kegiatan sipil[sunting | sunting sumber]

Kesejahteraan sipil dalam Islam dimulai dalam bentuk pembangunan dan pembelian sumur. Selama kekhalifahan, umat Islam memperbaiki banyak sumur tua di tanah yang mereka taklukkan.[153] Selain sumur, kaum Muslim juga membangun banyak kanal baru. Sementara beberapa kanal dikecualikan untuk digunakan oleh pendeta (seperti mata air yang dibeli oleh Thalhah), dan orang-orang yang membutuhkan. Sebagian besar kanal juga dibuka untuk penggunaan umum. Beberapa kanal dibangun di antara pemukiman, seperti kanal Saad yang menyediakan air ke Anbar, dan Kanal Abi Musa untuk menyediakan air ke Basra.[154]

Selama kelaparan 638 M,[155] Umar bin Khattab memerintahkan pembangunan kanal di Mesir yang menghubungkan sungai Nil dengan laut. Tujuan terusan ini adalah untuk memfasilitasi pengangkutan biji-bijian ke Arab melalui jalur laut. Kanal itu dibangun dalam waktu satu tahun oleh Amr bin Ash, dan Abdus Salam Nadvi menulis bahwa "Arabia terbebas dari kelaparan sepanjang masa."[156] Setelah empat banjir melanda Makkah setelah kematian Muhammad, Umar memerintahkan pembangunan dua bendungan untuk melindungi Ka'bah. Dia juga membangun bendungan di dekat Madinah untuk melindungi air mancurnya dari banjir.[152]

Pemukiman[sunting | sunting sumber]

Koin Utsman, salah satu koin Islam pertama, imitasi dari koin Sasaniyah bergambar bulan dan kaisar Khosrau II. Utsman menambahkan Basmalah untuk membedakannya dari koin terdahulu.

Pada masa pemerintahan Umar, tentara Muslim menemukan tempat yang cocok untuk membangun pangkalan militer di daerah Basrah. Daerah ini merupakan taklukkan umat Islam yang masih sangat jarang penduduknya sehingga dapat dibangun permukiman dan masjid.[157][158][159]

Selama penaklukan Mesir, wilayah Fustat digunakan oleh tentara Muslim sebagai pangkalan militer. Setelah penaklukan Aleksandria, umat Islam kembali dan menetap di daerah yang sama. Awalnya tanah itu digunakan untuk padang rumput, tetapi kemudian dibangun pemukiman.[160] Daerah lain yang sudah berpenduduk diperluas secara besar-besaran. Atas perintah Umar, Arfajah al-Bariqi membangun sebuah benteng, beberapa gereja, masjid, dan pemukiman bagi penduduk Yahudi di Mosul.[161] Pada masa kepemimpinan Utsman, ia merenovasi Masjid Nabawi dan membangun beberapa bendungan.[162]

Pandangan Muslim[sunting | sunting sumber]

Pandangan Sunni[sunting | sunting sumber]

Dalam Islam Sunni, penerapan label "petunjuk yang benar" bagi para Khulafaur Rasyidin menandakan status mereka sebagai model yang tindakan dan pendapatnya (sunnah) harus diikuti dan diteladani dari sudut pandang agama.[163] Dalam pengertian ini, mereka 'dibimbing dengan benar' atau 'mendapatkan petunjuk'.[164] Narasi tentang agama dan kehidupan mereka berfungsi sebagai pedoman keimanan yang benar.[163]

Kaum Sunni telah lama memandang periode Khulafaur Rasyidin sebagai sistem pemerintahan yang patut dicontoh yang ingin mereka tiru. Kaum Sunni juga menyamakan sistem ini dengan kesuksesan duniawi yang dijanjikan oleh Tuhan, dalam al-Qur'an dan hadis. Bagi orang-orang Muslim yang mengejar keridhaan-Nya, kesuksesan spektakuler ini semakin menambah daya tarik emulator dari era Khulafaur Rasyidin.[165][166][167]

Pada saat yang sama, telah dicatat bahwa dominasi orang Arab atas non-Arab berdasarkan etnis selama pemerintahan Umar dan meluasnya nepotisme kekhalifahan Utsman bertentangan dengan seruan Islam.[168][169]

Khalifah kelima[sunting | sunting sumber]

Beberapa penulis dan ulama Sunni menambahkan putra Ali, Hasan bin Ali sebagai Khulafaur Rasyidin kelima. Mereka yang berpegang pada versi ini beralasan bahwa Muhammad menetapkan rentang khilafah Rasyidin selama tiga puluh tahun dan Hasan telah menggenapi enam bulan sisa masa jabatan ayahnya,[170] ini merupakan pendapat Ibnu Katsir, Ibnul Arabi, dan Qadi Iyadh.[171] Sementara itu, ulama Sunni lain menambahkan Umar bin Abdul Aziz, khalifah Umayyah ke-8 sebagai Khulafaur Rasyidin kelima.[172] Mereka mempertimbangkan bahwa kesalehan Umar serupa dengan kesalehan keempat Khulafaur Rasyidin. Umar bin Abdul Aziz juga sering disamakan dengan khalifah kedua Umar bin Khattab dalam hal kesederhanaan dan ketegasan.[173]

Pandangan Syi'ah[sunting | sunting sumber]

Muslim Syi'ah menyatakan bahwa suksesi Muhammad diselesaikan oleh janji ilahi, bukan oleh konsensus.[174][175] Allah memilih penerus Muhammad dari keluarganya. Kondisi ini mirip dengan para nabi terdahulu di masa lalu yang disebutkan dalam al-Qur'an.[176] Dalam pandangan Syi'ah, seperti para nabi terdahulu dalam al-Qur'an,[176] Allah memilih penerus Muhammad dari keluarganya.[174][175] Secara khusus, Muhammad mengumumkan sepupu dan menantunya, Ali, sebagai penggantinya yang sah tidak lama sebelum kematiannya pada peristiwa Ghadir Khum dan pada kesempatan lain, misalnya pada peristiwa Dzul Asyir.[105] Tentu saja, seperti iman itu sendiri, umat beriman diberkahi dengan kehendak bebas untuk tidak mengikuti Ali, yang merugikan mereka sendiri. Dalam pandangan Syi'ah, sementara wahyu langsung berakhir dengan kematian Muhammad, Ali tetap menjadi penuntun yang benar atau Imam menuju Tuhan, mirip dengan penerus nabi masa lalu dalam al-Qur'an.[175] Setelah kematian Muhammad, Ali mewarisi pengetahuan ketuhanan Muhammad dan otoritasnya untuk menafsirkan al-Qur'an dengan benar, terutama ayat-ayat alegoris dan metaforisnya ("mutasyabihat").[177][178]

Lini masa[sunting | sunting sumber]

Ali bin Abi ThalibUtsman bin AffanUmar bin KhattabAbu Bakar

Pergantian khalifah tidak selalu terjadi pada hari pertama tahun baru (Hijriyah maupun Masehi). Khalifah akan digantikan apabila ia meninggal dunia.[179] Khilafah dicapai dengan kesetiaan; orang-orang berba'iat (berjanji setia) kepada Khalifah dengan syarat mereka mengikuti tradisi (sunnah) Allah dan Rasul (Muhammad) dalam setiap keputusannya.[180] Jika Khalifah taat, maka kekuasaannya akan berlangsung seumur hidup.[181] Di era Kekhalifahan Rasyidin, tidak ada kepemimpinan kolektif negara dan Khalifah tidak memiliki wakil, wali, atau agen kecuali ketika dia terpaksa absen. Penggantinya akan mengurus urusan negara sampai dia kembali.[182]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Melchert 2020, hlm. 63; cf. p. 72, note 1)
  2. ^ (Madelung 1997, hlm. 253)
  3. ^ * Fayda, Mustafa (1998). HULEFÂ-yi RÂŞİDÎN - An article published in 18th volume of Turkish Encyclopedia of Islam (PDF) (dalam bahasa Turki). 18. Istanbul: TDV İslâm Ansiklopedisi. hlm. 325. ISBN 978-97-53-89445-6. 
  4. ^ (Melchert 2020, hlm. 63)
  5. ^ Heather N. Keaney (2013). Medieval Islamic Historiography: Remembering Rebellion. Sira: Companion- versus Caliph-Oriented History: Routledge. ISBN 9781134081066. He also foretold that there would be a caliphate for thirty years (the length of the Rashidun Caliphate) that would be followed by kingship. [Dia juga meramalkan bahwa akan ada kekhalifahan selama tiga puluh tahun (jangka waktu Kekhalifahan Rashidun) yang akan diikuti oleh kerajaan]. 
  6. ^ Hamilton Alexander Rosskeen Gibb; Johannes Hendrik Kramers; Bernard Lewis; Charles Pellat; Joseph Schacht (1970). "The Encyclopaedia of Islam". The Encyclopaedia of Islam. Brill. 3 (Parts 57–58): 1164. 
  7. ^ Aqidah.Com (2009-12-01). "The Khilaafah Lasted for 30 Years Then There Was Kingship Which Allaah Gives To Whomever He Pleases". Aqidah.Com. Aqidah.Com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-08-24. Diakses tanggal 16 August 2014. 
  8. ^ Sowerwine, James E. (2010). Caliph and Caliphate: Oxford Bibliographies Online Research Guide (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 5. ISBN 9780199806003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2022-07-04. 
  9. ^ "شبكة الشيعة العالميَّة؛ الإمامة وأهل البيت: المستبصر الدكتور: محمد بيومي مهران - ج1 : ص 151. تاسعًا: إمامة المفضول". shiaweb.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-8-10. Diakses tanggal 2023-1-15. يقول ابن حزم : إن الخوارج والشيعة - ما عدا الزيدية - وقوم من المعتزلة ، يذهبون إلى أنه لا تجوز إمامة أحد ، إذا وجد من هو أفضل منه ،
    [Ibnu Hazm mengatakan: Kaum Khawarij dan Syi'ah - kecuali Zaidi - dan sebagian Mu'tazilah, berpandangan bahwa tidak boleh seorang pun memimpin umat, jika ada orang yang lebih baik darinya.]
     
  10. ^ a b (Abbas 2021, hlm. 6)
  11. ^ Ernst, Carl W. (2003). Following Muhammad: Rethinking Islam in the contemporary world. University of North Carolina Press. hlm. 169. ISBN 9780807828373. 
  12. ^ "Abu Bakr - Muslim caliph". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-04-29. 
  13. ^ (Campo 2009, hlm. 9)
  14. ^ Elias, Abu Amina (2022-01-24). "Abu Bakr on Truth: How Abu Bakr got the name al-Siddiq". Diakses tanggal 2023-04-08. 
  15. ^ Nardo, Don (2011). The Islamic EmpirePerlu mendaftar (gratis). Lucent Books. hlm. 30, 32. ISBN 9781420506341. 
  16. ^ (Jafri 1979, hlm. 34)
  17. ^ (Madelung 1997, hlm. 31)
  18. ^ (Madelung 1997, hlm. 38-40)
  19. ^ (Madelung 1997, hlm. 38-40)
  20. ^ (Madelung 1997, hlm. 39)
  21. ^ (Abbas 2021, hlm. 93): "According to Tabari, a group of Ansar meanwhile proposed Ali as the one most deserving to lead the community...The call was ignored....They would have reminded everyone about what the Prophet had said about Ali's status at Ghadir Khumm not too long ago." [Menurut ath-Thabari, sekelompok Anshar sementara itu mengusulkan Ali sebagai orang yang paling pantas untuk memimpin masyarakat... Seruan itu diabaikan.... Mereka akan mengingatkan semua orang tentang apa yang dikatakan Nabi tentang status Ali di Ghadir Khum tidak terlalu dahulu kala.]
  22. ^ Bainbridge, Beryl (1985). Women and the Family in the Middle East. University of Texas Press. hlm. 256. ISBN 9780292755291. Ali was expected to succeed Muhammad in the leadership of the Muslim community (ummah) following the Prophet's death in 632. [Ali diharapkan untuk menggantikan Muhammad dalam kepemimpinan komunitas Muslim (ummah) setelah kematian Nabi pada tahun 632.] 
  23. ^ (Abbas 2021, hlm. 95): "He emphasised his merits and kinship to the Prophet as proof supporting his claim to be the rightful successor to the Prophet." [Dia menekankan jasa dan kekerabatannya dengan Nabi sebagai bukti yang mendukung klaimnya sebagai penerus Nabi yang sah]
  24. ^ "Abu Bakr | Biography & Facts". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-11-06. 
  25. ^ Parolin, Gianluca Paolo (2009). Citizenship in the Arab World: Kin, Religion and Nation-state. Amsterdam University Press. hlm. 52. ISBN 9789089640451. 
  26. ^ (Mikaberidze 2011, hlm. 751)
  27. ^ (ath-Thabari, hlm. 5, Vol. 2)
  28. ^ A.I. Akram (1 January 2009). "Chapter 18". Sword of Allah: Khalid Bin Al-Waleed His Life & Campaigns. Adam Publishers & Distributors. ISBN 978-81-7435-521-8. 
  29. ^ Masudul, Hasan. Sidiq-i-Akbar Hazrat Abu Bakr. Lahore: Ferozsons, 1976. OCLC 3478821
  30. ^ a b "Islamic history of Khalifa Abu Bakr – Death of Abu Bakr | Al Quran Translations | Alim". www.alim.org. 
  31. ^ (Campo 2009, hlm. 685)
  32. ^ "The Biography of Abu Bakr As-Siddeeq". archive.org. 2007. 
  33. ^ Ahmed, Nazeer, Islam in Global History: From the Death of Prophet Muhammad to the First World War, American Institute of Islamic History and Cul, 2001, p. 34. ISBN 0-7388-5963-X.
  34. ^ A Restatement of the History of Islam and Muslims on Al-Islam.org
  35. ^ "The Caliphate". Jewishvirtuallibrary.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-09. Diakses tanggal 2014-04-16. 
  36. ^ Ibnu Hisyam, Abdul Malik (2006). سيرة النبوية لابني هشام [Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam]. Diterjemahkan oleh Bahri, Fadhli. Jakarta: Darul Falah. hlm. 328-329. ISBN 979-3036-17-6. 
  37. ^ Simha Assaf, Meqorot u-Meḥqarim be-Toldot Yisrael, Jerusalem 1946, pp. 20–21 (Hebrew and Judeo-Arabic)
  38. ^ (Madelung 1997, hlm. 74)
  39. ^ Muzakki, M. Harir (2016). The Crisis of Islam Krisis Islam: Antara Perang Suci dan Teror Kotor. Ponorogo: STAIN Po Press. hlm. 14-15. ISBN 978-602-9312-92-8. 
  40. ^ Madelung (1997), hlm. 74.
  41. ^ "في التحصيات والمحاصرات خلال عهد الخلفاء الراشدين". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-05. Diakses tanggal 2023-02-12. 
  42. ^ Essid, Yassine (1995). A Critique of the Origins of Islamic Economic Thought. Brill. hlm. 24, 67. ISBN 978-90-04-10079-4. 
  43. ^ Al-Buraey, Muhammad (2002). Administrative Development: An Islamic Perspective. Routledge. hlm. 248–249. ISBN 978-0-7103-0333-2. 
  44. ^ a b "شبكة الألوكة الثقافية؛ ثقافة ومعرفة: التراتيب الإدارية في عهد عمر بن الخطاب". Alalukah.net (dalam bahasa Arab). 2009-05-12. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-05. Diakses tanggal 2023-02-12. 
  45. ^ "موسوعة المقاتل: الشورى في الإسلام - حكم الشورى" (dalam bahasa Arab). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-09. Diakses tanggal 2023-02-12. 
  46. ^ a b "موقع قصة الإسلام: إدارة عمر بن الخطاب" (dalam bahasa Arab). islamstory. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-16. Diakses tanggal 2023-02-12. 
  47. ^ Book of the Thousand Nights and One Night, E. P. Mathers, p. 471
  48. ^ a b c Vidani, Peter (19 November 2012). ""Ameer al-Mu'mineen"". Umar ibn Al-Khattab (radiAllahu anhu) (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-08-17. 
  49. ^ "Life of Umar Ibn Al-Khattab" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-10-11. 
  50. ^ Gibb, H. A. R. (1960). "Amīr al-Muʾminīn". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H.; Lévi-Provençal, E.; Schacht, J.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume I: A–B (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 445–446. OCLC 495469456. 
  51. ^ Umar bin Al-Khattab (2002). "Islamic Actions and Social Mandates: The Hijri Calendar". witness-pioneer.org. Diakses tanggal 2006-12-16. 
  52. ^ El-Hibri, Tayeb (2010). Parable and Politics in Early Islamic History: The Rashidun Caliphs. New York: Columbia University Press. hlm. 108–109. ISBN 978-0-231-15082-8. 
  53. ^ "Umar Ibn Al-Khattab : His Life and Times, Volume 2". archive.org. 
  54. ^ Asma Afsaruddin, Oliver (2009). "ʿUthmān ibn ʿAffān"Perlu langganan berbayar. Dalam John L. Esposito. The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Oxford: Oxford University Press. 
  55. ^ a b c (Crone 2001, hlm. 5)
  56. ^ (Ayoub 2014, hlm. 42n6)
  57. ^ (Madelung 1997, hlm. 71)
  58. ^ (Jafri 1979, hlm. 51)
  59. ^ (Ayoub 2014, hlm. 46)
  60. ^ (Momen 1985, hlm. 21)
  61. ^ (Abbas 2021, hlm. 116)
  62. ^ (Ayoub 2014, hlm. 43-4)
  63. ^ (Jafri 1979, hlm. 52-3, 55)
  64. ^ a b (Jafri 1979, hlm. 53)
  65. ^ a b (Jafri 1979, hlm. 52-3)
  66. ^ (Ayoub 2014, hlm. 49)
  67. ^ (Mavani 2013, hlm. 113)
  68. ^ (Jafri 1979, hlm. 54)
  69. ^ Ochsenweld, William; Fisher, Sydney Nettleton (2004). The Middle East: a history (edisi ke-sixth). New York: McGraw Hill. ISBN 0-07-244233-6. 
  70. ^ Tabatabai, Sayyid M. H. (1987). The Qur'an in Islam : its impact and influence on the life of muslimsPerlu mendaftar (gratis). Zahra Publ. ISBN 978-0710302663. 
  71. ^ Yusuff, Mohamad K. "Zayd ibn Thabit and the Glorious Qur'an". 
  72. ^ Shafi', Maulana Mufti Muhammad. "Ma'ariful-Qur'an" (PDF). Diakses tanggal 1 July 2022. 
  73. ^ Cook, Michael (2000). The Koran: A Very Short Introduction. Oxford University Press. hlm. 117–124. ISBN 0-19-285344-9. 
  74. ^ Gabrieli, Francesco (1968). Muhammad and the Conquests of Islam. London: McGraw-Hill. ISBN 9780303175865. 
  75. ^ Aadil, Mohammad Ilyas (2015). Hazrat Usman e Ghani. ASIN B07LF74HJ3. 
  76. ^ G. Levi Della Vida; R.G. Khoury (2012). "ʿUt̲h̲mān b. ʿAffān". Dalam P. Bearman; Th. Bianquis; C.E. Bosworth; E. van Donzel; W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-2nd). Brill. doi:10.1163/1573-3912_islam_COM_1315. 
  77. ^ (Kennedy 2016, hlm. 61–62)
  78. ^ Rahman, Habibur U. A Chronology of Islamic History, 570–1000 CE, ISBN 978-0-8161-9067-6
  79. ^ (Madelung 1997, hlm. 2)
  80. ^ Lewis, Bernard (2002). The Arabs in History. Oxford University Press. hlm. 59. ISBN 9780191647161. 
  81. ^ (Madelung 1997, hlm. 90)
  82. ^ Uthman-ibn-Affan Diarsipkan 28 March 2010 di Wayback Machine., Britannica
  83. ^ (Madelung 1997, hlm. 136–138)
  84. ^ Hinds, Martin (October 1972a). "The Murder of the Caliph 'Uthman". International Journal of Middle East Studies. 3 (4): 450–457. doi:10.1017/S0020743800025216. 
  85. ^ (Momen 1985, hlm. 12–16)
  86. ^ Gleave, Robert (2021). "ʿAlī B. Abī Ṭālib". Dalam Fleet, Kate. Encyclopedia of Islam (edisi ke-Third). Brill Reference Online. 
  87. ^ (Betty 1975, hlm. 48, 49)
  88. ^ (Abbas 2021, hlm. 34)
  89. ^ (Hazleton 2013, hlm. 95–97)
  90. ^ Irving, Washington (1868), Mahomet and his successors, 8, New York: G. P. Putnam and Son, hlm. 71 
  91. ^ (Abbas 2021, hlm. 45, 46)
  92. ^ (Hazleton 2013, hlm. 159–161)
  93. ^ Peters, Francis (1994). Muhammad and the origins of Islam. Albany: State University of New York Press. hlm. 185–187. ISBN 9780791418758. 
  94. ^ (Betty 1975, hlm. 85–87)
  95. ^ Watt, W. Montgomery (1953). Muhammad at Mecca. Oxford: Clarendon Press. hlm. 149–151. 
  96. ^ (Abbas 2021, hlm. 5, 48)
  97. ^ (Miskinzoda 2015, hlm. 82)
  98. ^ (Momen 1985, hlm. 12, 13)
  99. ^ (Miskinzoda 2015, hlm. 69)
  100. ^ (Momen 1985, hlm. 13)
  101. ^ (Abbas 2021, hlm. 54, 112, 191)
  102. ^ Rogerson, Barnaby (2006). The heirs of the prophet Muhammad: And the roots of the Sunni-Shia schism. London: Abacus. hlm. 40, 62. ISBN 9780349117577. 
  103. ^ (Madelung 1997, hlm. 15, 16)
  104. ^ (Abbas 2021, hlm. 87)
  105. ^ a b (Momen 1985, hlm. 12, 15)
  106. ^ (Madelung 1997, hlm. 142)
  107. ^ (Momen 1985, hlm. 22)
  108. ^ (Abbas 2021, hlm. 129)
  109. ^ (Abbas 2021, hlm. 128)
  110. ^ (Hazleton 2009, hlm. 99)
  111. ^ (Madelung 1997, hlm. 141, 142)
  112. ^ (Jafri 1979, hlm. 63)
  113. ^ (Hazleton 2009, hlm. 100)
  114. ^ (Momen 1985, hlm. 24)
  115. ^ (Abbas 2021, hlm. 141)
  116. ^ a b (Abbas 2021, hlm. 134)
  117. ^ (Madelung 1997, hlm. 148)
  118. ^ (Madelung 1997, hlm. 197)
  119. ^ (Hazleton 2009, hlm. 183)
  120. ^ Badie, Dina (2017). After Saddam: American foreign policy and the destruction of secularism in the Middle East. Lexington Books. hlm. 4. ISBN 9781498539005. 
  121. ^ (Glassé 2003, hlm. 423)
  122. ^ Della Vida, Giorgio Levi (1978). "Khāridjites". Dalam van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch.; Bosworth, C. E. Encyclopaedia of Islam. Volume IV: Iran–Kha (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 1074–1075. OCLC 758278456. 
  123. ^ Haj Manouchehri, Faramarz (2021). "ʿAlī B. Abī Ṭālib". Dalam Melvin-Koushki, Matthew; Bulookbashi, Ali A. Encyclopaedia Islamica. Brill Reference Online. 
  124. ^ (Madelung 1997, hlm. 308–309)
  125. ^ Abbas, Ali (5 December 2012). "The Life of the Commander of the Faithful Ali Ibn Abu Talib (as)". Diakses tanggal 6 December 2015. 
  126. ^ (Glassé 2003, hlm. 423)
  127. ^ (Abbas 2021, hlm. 163)
  128. ^ (Madelung 1997, hlm. 318)
  129. ^ (Abbas 2021, hlm. 164)
  130. ^ (Madelung 1997, hlm. 318–320)
  131. ^ a b (Momen 1985, hlm. 27)
  132. ^ (Hazleton 2009, hlm. 228)
  133. ^ a b c (Nardo 2011, hlm. 30–32)
  134. ^ Nöldeke, Theodore (1892). Sketches from Eastern History. hlm. 73. 
  135. ^ Sebuah Restatement Sejarah Islam dan Muslim di Al-Islam.org
  136. ^ Meri, Josef W.; Bacharach, Jere L. (2006). Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia. Routledge. hlm. 843–845. ISBN 0203957601. Diakses tanggal 23 October 2021. 
  137. ^ Perlmann, Moshe, ed. (1987). The History of al-Ṭabarī, Volume IV: The Ancient Kingdoms. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. hlm. 138. ISBN 978-0-88706-181-3. 
  138. ^ Lewis, Archibald Ross; Runyan, Timothy J. (1990). European Naval and Maritime History, 300–1500. Indiana University Press. ISBN 9780253205735 – via Google Books. 
  139. ^ Kroll, Leonard Michael (16 March 2005). History of the Jihad: Islam Versus Civilization. AuthorHouse. ISBN 9781463457303 – via Google Books. 
  140. ^ Gregory, Timothy E. (26 August 2011). A History of Byzantium. John Wiley & Sons. ISBN 9781444359978 – via Google Books. 
  141. ^ Weston, Mark (28 July 2008). Prophets and Princes: Saudi Arabia from Muhammad to the Present. John Wiley & Sons. ISBN 9780470182574 – via Google Books. 
  142. ^ Bradbury, Jim (1992). The Medieval Siege. Boydell & Brewer. ISBN 9780851153575 – via Google Books. 
  143. ^ a b The Muslim Conquest of Persia by A.I. Akram. Ch:17 ISBN 0-19-597713-0,
  144. ^ Shadows in the Desert: Ancient Persia at War, By Kaveh Farrokh, Published by Osprey Publishing, 2007 ISBN 1-84603-108-7
  145. ^ Morony, Michael G. (2005). Iraq After the Muslim Conquest. Gorgias Press. ISBN 9781593333157 – via Google Books. [pranala nonaktif permanen]
  146. ^ Boyle, John Andrew (1968). The Cambridge History of Iran. 5. Cambridge University Press. hlm. 87. ISBN 9780521069366. 
  147. ^ Daryaee, Touraj (1977). The Oxford Handbook of Iranian History. Bookland. hlm. 117. 
  148. ^ a b c (Nicolle 2009, hlm. 61)
  149. ^ a b c (Nicolle 2009, hlm. 62)
  150. ^ (Nicolle 2009, hlm. 629)
  151. ^ a b (Nadvi 2000, hlm. 411)
  152. ^ a b (Nadvi 2000, hlm. 408)
  153. ^ (Nadvi 2000, hlm. 403-4)
  154. ^ (Nadvi 2000, hlm. 405-6)
  155. ^ Numani, Shibli; Numani, Muhammad Shibli (6 November 2004). Umar: Makers of Islamic Civilization (dalam bahasa Inggris). I.B.Tauris. hlm. 44–45. ISBN 9781850436706. 
  156. ^ (Nadvi 2000, hlm. 407-8)
  157. ^ Netton, Ian Richard (2013-12-19). Encyclopaedia of Islam (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 9781135179601. 
  158. ^ Fidai, Rafi Ahmad; Shaikh, N. M. (2002-01-01). THE COMPANION OF THE HOLY PROPHET (dalam bahasa Inggris). Adam Publishers & Distributors. ISBN 9788174352231. 
  159. ^ Bennison, Amira K. (2011-07-30). The Great Caliphs: The Golden Age of the 'Abbasid Empire (dalam bahasa Inggris). I.B.Tauris. ISBN 9780857720269. 
  160. ^ (Nadvi 2000, hlm. 416-7)
  161. ^ (Nadvi 2000, hlm. 418)
  162. ^ (Syakir 2000, hlm. 231)
  163. ^ a b (Melchert 2020, hlm. 63)
  164. ^ (Melchert 2020, hlm. 72, note 1)
  165. ^ Jeffry R. Halverson (27 Apr 2010). Theology and Creed in Sunni Islam: The Muslim Brotherhood, Ash'arism, and Political Sunnism. Palgrave Macmillan. hlm. 69. ISBN 9780230106581. 
  166. ^ Didier Fassin (31 Dec 2014). A Companion to Moral Anthropology (edisi ke-reprint). John Wiley & Sons. hlm. 235. ISBN 9781118959503. 
  167. ^ Cristoffel A. O. van Nieuwenhuijze (1997). Paradise Lost: Reflections on the Struggle for Authenticity in the Middle East. BRILL. hlm. 28. ISBN 9789004106727. 
  168. ^ (Madelung 1997, hlm. 77, 81)
  169. ^ (Momen 1985, hlm. 21)
  170. ^ Al-Dimsyaqi, Ismail bin Umar al-Qurasyi (1986). المتوفى في سنة (774هـ) (1424هـ/2003م). كتاب البداية والنهاية، الجزء الثامن [Almarhum pada tahun (774 H.) (1424 H./2003 M). Kitab Awal dan Akhir, Bagian VIII.]. hlm. 18. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Mei 2019. 
  171. ^ Uthā, Muhammad Abd al-Qader. كتاب أحكام القرآن لابن العربي، الجزء الرابع. (على موقع المكتبة الشاملة). hlm. 152. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Mei 2019. 
  172. ^ "هل يعتبر عمر بن عبد العزيز من الخلفاء الراشدين؟ - إسلام ويب - نقلاً عن شرح مقدمة سنن ابن ماجه لابن ماجة" [Apakah Omar bin Abdul Aziz dianggap sebagai salah satu Khalifah yang Diberi Petunjuk? - Islamweb - Mengutip penjelasan pengantar Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah]. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-1. Diakses tanggal 2023-06-01. 
  173. ^ Katheer, Ibn. Caliphate of Banu Umawiyya: Ibn Katheer from Al Bidaya wa Al Nihaya. Maktaba Darusalam. hlm. 231–233.  ISBN 9786035000802
  174. ^ a b (Madelung 1997, hlm. 17)
  175. ^ a b c (Momen 1985, hlm. 147)
  176. ^ a b (Madelung 1997, hlm. 8–12)
  177. ^ Mavani, Hamid (2013). Religious authority and political thought in Twelver Shiʿism: From Ali to post-Khomeini. Routledge. hlm. 73. ISBN 978-1-135-04473-2. 
  178. ^ "(Quran 3:7) Dialah yang menurunkan Kitab kepadamu. Sebagian darinya adalah ayat-ayat definitif, yang merupakan induk Kitab, sementara yang lain adalah kiasan..." 
  179. ^ (Syakir 2000, hlm. 38–39)
  180. ^ (Syakir 2000, hlm. 39)
  181. ^ (Syakir 2000, hlm. 166)
  182. ^ Helmy, Mustafa (2006). الخلافة [Al-Khilafah] (dalam bahasa Arab). Kotobarabia.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-07. Diakses tanggal 2022-07-05. 

Bibliografi[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]