Kesultanan Sambaliung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bendera Kerajaan Sambaliung
Bendera Kerajaan Sambaliung
Keraton Kesultanan Sambaliung

Kesultanan Sambaliung (sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung) adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau, di mana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.[1][2] Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.

Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.

Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibu kota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).

Batas Wilayah[sunting | sunting sumber]

Peta Kerajaan Sambaliung
Utara Kesultanan Gunung Tabur
Timur Laut Sulawesi
Selatan Kerajaan Kutai Kartanegara
Barat Kesultanan Bulungan

Sultan[sunting | sunting sumber]

Sultan pertama di Kesultanan Sambaliung ialah Sultan Alimuddin yang disebut pula sebagai Raja Alam.[3] Masa pemerintahan Sultan Alimuddin dimulai sejak tahun 1810 hingga 1844 M.

  • Sultan Kaharuddin/raja Bungkoh (1844-1848)
  • Sultan Hadi Jalaluddin bin Alam (1848-1850)
  • Sultan Asyik Syarifuddin bin Alam (1850 - 1863)
  • Sultan Salehuddin (1863-1869)
  • Sultan Adil Jalaluddin bin Muhammad Jalaluddin (1869 - 1881)
  • Sultan Bayanuddin bin Muhammad Jalaluddin (1881-1902 ))
  • Sultan Muhammad Aminuddin (1902-1960 )

Referensi[sunting | sunting sumber]

Sumber[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Indonesia)Raja Alam Enggan Dipimpin Penjajah. Kaltim Pos, 17 Agustus 2003[pranala nonaktif permanen]
  2. ^ (Belanda) Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863. D. A. Thieme. hlm. 2. 
  3. ^ Digitalisasi Data Keraton (PDF). Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi. 2018. hlm. 1. 

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]