Keracunan kerang paralitik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Keracunan Kerang Paralitik (Paralytic Shellfish Poisoning/ PSP)[sunting | sunting sumber]

Keracunan Kerang Paralitik (Paraytic Shellfish Poisoning/ PSP) merupakan penyakit yang terjadi akibat konsumsi hewan filter feeder (kerang, remis, tiram, scallop/ simping, kepiting, ikan mackerel, dan ikan pemakan plankton lainnya) yang telah terkontaminasi oleh toksin PSP. Toksin PSP dihasilkan oleh alga jenis dinoflagellata laut dan cyanobacteria air tawar. Toksin PSP terakumulasi ke dalam daging hewan filter feeder saat memakan alga tersebut.

Varian Toksin PSP[sunting | sunting sumber]

Toksin PSP memiliki lebih dari 26 varian, yang termasuk ke dalam kelompok : toksin carbamoyl, toksin decarbamoyl, toksin N-sulfocarbamoyl, dan toksin deoxydecarbamoyl.

Toksin PSP tersebut memiliki tingkat toksisitas yang berbeda, toksin PSP paling beracun yaitu saxitoxin (STX) dan neosaxitoxin (NEO) yang berasal dari kelompok toksin carbamoyl. Kelompok toksin decarbamoyl memiliki tingkat toksisitas menengah, kelompok toksin N-sulfocarbamoyl memiliki tingkat toksisitas kurang beracun, sedangkan kelompok toksin deoxydecarbamoyl belum terdapat informasi.

Struktur Kimia Toksin Penyebab PSP (Sumber: Jiangbing Qiu et al., 2020)

Produsen Toksin PSP[sunting | sunting sumber]

Produsen toksin PSP di habitat laut berasal dari dinoflagellata, sedangkan produsen toksin PSP di habitat air tawar berasal dari cyanobacteria. Dinoflagellata laut penghasil toksin PSP berasal dari genus Alexandrium (A. tamarense, A. minutum, A. catenella), genus Pyrodinium (Pyrodinium bahamense), dan genus Gymnodinium (Gymnodinium catenatum). Cyanobacteria air tawar penghasil toksin PSP terdiri dari genus Anabaena, Cylindrospermopsis, Aphanizomenon, Planktothrix, dan Lyngbia.

Sifat dan Struktur Kimia Saxitoxin[sunting | sunting sumber]

Saxitoxin adalah senyawa racun non protein terkuat yang paling sering dijumpai sebagai penyebab PSP dibandingkan dengan toksin jenis lainnya. Toksisitas saxitoxin setara dengan dua kali lipat racun kobra, atau secara spesifik toksisitas saxitoxin yaitu 5500 MU/mg atau 2045 MU/mol, dimana satu MU (Mouse Unit) setara dengan jumlah yang diperlukan untuk membunuh tikus 20 gram dengan waktu 15 menit menggunakan intraperetoneal injection (suntikan di rongga perut) (Schener, 1994).

Saxitoxin dihasilkan oleh alga dinoflagellata yang sedang mengalami ledakan populasi (Harmful Algal Blooms/ HAB) di pesisir pantai. Kejadian dan intensitas HABs dipengaruhi oleh suhu laut dan tingkat eutrofikasi (peningkatan unsur hara melampaui batas yang dapat diterima oleh alam) (Viscianodkk, 2016).

Struktur Kimia Saxitoxin (Ostlund et al., 1974)

Gejala[sunting | sunting sumber]

Gejala PSP bervariasi, namun secara umum gejala awal PSP ditandai dengan rasa terbakar di bagian bibir, mulut, dan wajah setelah beberapa menit mengonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh toksin PSP, rasa terbakar dapat menyebar ke jari tangan dan kaki setelah 1-2 jam. Diikuti oleh gejala lain seperti pusing, mual, muntah, kesulitan bernapas dan berbicara, aritmia (detak jantung abnormal), serta kelumpuhan otot dada, perut, lengan dan tungkai.

Berat ringannya gejala dipengaruhi oleh kadar paparan toksin, anak-anak lebih sensitif terhadap toksin PSP serta lebih cepat mengubah toksin jenis sulfamat kurang poten (toksin C1, C2, B1, dan B2) menjadi turunan jenis toksin karbamat yang lebih poten. Kematian dapat terjadi setelah 2 jam jika terpapar kadar toksin yang tinggi. Namun secara umum, kematian dapat terjadi setelah 12 jam akibat korban mengalami kesulitan bernapas. Kondisi korban dapat membaik jika mampu bertahan setelah 12 jam pertama (Hashimoto, 1980).

Cara Kerja Toksin PSP[sunting | sunting sumber]

Toksin PSP bekerja dengan cara memblokade saluran ion natrium secara selektif pada membran saraf. Proses pengeblokan tersebut terjadi pada saat kondisi istirahat (-75 mv) menuju kondisi aksi (0 mv), sehingga akan terjadi perubahan tegangan di sepanjang membran saraf dari -75 mv menjadi 0 mv. Pengeblokan tersebut menyebabkan saraf tidak dapat menerima impuls sehingga terjadi paralysis atau kelumpuhan.

Proses Pengeblokan Saxitoxin Pada Membran Saraf (Hashimoto, 1980)

Batas Ambang Kadar Toksin PSP[sunting | sunting sumber]

Pada dasarnya batas ambang kadar toksin PSP yang ditetapkan oleh masing-masing negara sama, hanya berbeda pada satuan yang digunakan. Di Indonesia, kadar toksin PSP maksimal 0,8 mg/kg. Sedangkan di Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia kadar toksin PSP maksimal 800 µg/kg.

Menurut Australia New Zealand Food (2001), toksin PSP dapat menyebabkan keracunan pada kadar 0,12-0,18 mg/kg. Pada kadar 0,40-1,06 mg/kg dapat menyebabkan kematian, sedangkan pada kadar 2,00-10,00 mg/kg merupakan dosis yang fatal.

Sumber PSP[sunting | sunting sumber]

PSP dapat berasal dari makanan yang berasal dari kerang, remis, tiram, scallop/ simping, kepiting, lobster, ikan mackerel, ikan herring, dan hasil laut lainnya yang telah terkontaminasi oleh toksin PSP. Biasanya, hasil laut yang mengandung toksin PSP diperoleh dari pemanenan secara non-komersial.

Pencegahan[sunting | sunting sumber]

Pencegahan dapat dilakukan dengan tidak mengonsumsi hewan filter feeder yang dipanen secara non-komersial. Pada pemanenan secara komersial, hewan filter feeder terutama kerang secara rutin diuji dan dianggap aman untuk dikonsumsi.

Toksin PSP tahan terhadap asam serta proses pemanasan dan pembekuan. Selain itu, tidak terdapat perbedaan rasa, warna, maupun bau pada hewan filter feeder yang telah terkontaminasi toksin PSP. Oleh karena itu, tidak disarankan mengonsumsi hewan filter feeder non-komersial.

Pengobatan[sunting | sunting sumber]

Belum ditemukan penawar racun PSP, namun perawatan medis yang mendukung dapat membantu menyelamatkan nyawa penderita. Misalnya, diberikan ventilator mekanik dan oksigen jika terjadi kesulitan bernapas, diberikan obat penstabil detak jantung jika terjadi aritmia, terapi cairan untuk membantu mengekskresi toksin PSP, identifikasi toksin PSP pada urine di laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis, dilakukan kontrol gangguan gastrointestinal, dan lain-lain.

Kasus PSP di Dunia[sunting | sunting sumber]

1. Eropa[sunting | sunting sumber]

  • Kasus PSP di Pantai Timur Jutlandia (Denmark) pada tahun 1987 dan 1990 yang disebabkan oleh A.tamarensis dan A. ostenfeldii (CRL, 1995).
  • Kasus PSP di Perancis yaitu di Pantai Atlantik pada tahun 1992; pada akhir tahun 1998 oleh A.tamarensis pada beberapa area produksi kerang, tiram, dan remis yang terdeteksi memiliki konsentrasi toksin sebesar 350.000 sel/liter sehingga ditutup selama dua bulan (EU-NRL, 2000); serta pada tahun 2000 terdapat toksin PSP sehingga terjadi penutupan dua daerah di Brittany.
  • Kasus PSP di Jerman pada tahun 1972 oleh A. tamarensis, A. minutum, A.ostenfeldii; tahun 1987 di Lower Saxonia; serta Maret 1992 oleh G. catenatum di Laut Utara dan Laut Baltik.
  • Kasus PSP selama satu minggu pada bulan Juli 1992 di Cork Harbor (Irlandia) akibat mekarnya alga A. tamarensis.
  • Penemuan A. minutum saat terjadi HAB (Harmful Algal Blooms) di Pantai Adriatik Barat Laut (Italia) tahun 1994 tetapi tidak menyebabkan masalah kesehatan pada masyarakat.
  • Kasus PSP di Norwegia pada tahun 1901, 1939, 1959, 1979, 1981, 1991, dan 1992 dengan total 32 korban.
  • Wabah PSP di Pantai Utara Tanjung Roca (Portugal) pada tahun 1986-1990, tahun 1992 di Pantai Lisbon dan Pantai Algarve, tahun 1993 di seluruh pantai Portugal, tahun 1994 di Pantai Selatan Portugal dan Pantai Algarve, tahun 1995 di Pantai Laguna Obidos oleh Gymnodinium catenatum dan Alexandrium lusitanicum, tahun 1997 di Pantai Algarve oleh Tellina crasa.
  • Kasus PSP di Pantai Atlantik Barat Laut (Spanyol) tahun 1976 pada kerang jenis Mytilus edulis yang diekspor dan menyebabkan keracunan pada 120 orang di negara tujuan ekspor; tahun 1993 yang berlangsung lama akibat toksin STX, GNTX2, dan GNTX3; tahun 2000 dilakukan pelarangan pemanenan bivalvia di area produksi di Galicia (EU-NRL, 1998).
  • Kasus PSP di Swedia tahun 1985-1988 oleh A. excavatum.
  • Kasus PSP di Pantai Timur Laut Inggris tahun 1968 dengan jumlah 78 korban.

2. Afrika[sunting | sunting sumber]

  • Kasus PSP di perairan Atlantik Maroko bulan Oktober-November 1994 oleh G. catenatum.
  • Kasus PSP di Afrika Selatan tahun 1969 dan 1979 oleh Gonyaulax catenella yang menyebabkan kematian (Collins, 2001).
  • Kasus PSP di laguna Burger dan Gar El Melh (Tunisia) oleh Alexandrium minutum dan A. tamarensis (Rhomdane et al., 1998).

3. Amerika[sunting | sunting sumber]

  • Kasus PSP di Pantai British Columbia (Kanada) tahun 1793, tahun 1880-1995 di St. Lawrence Estuary (Quebec) dan Teluk Fundy (antara New Brunswick dan Nova Scotia) (Todd, 1997) yang menyebabkan 538 kasus dan 32 kematian.
  • Kasus PSP di Pantai Timur seperti: kasus PSP di Maine tahun 1958, tahun 1972 di Maine selatan melalui New Hampshire ke Massachusetts menyebabkan keracunan pada 33 orang, tahun 1980 keracunan pada 51 orang (IPCS, 1984), tahun 1990 keracunan pada 6 nelayan di Georges Bank tepatnya di Pantai Nantucket, serta pada tahun 2002 di perairan Titusville (Florida).
  • Kasus PSP di Pantai Barat seperti: kasus PSP di Alaska selama berabad-abad dari tahun 1799 yang menyebabkan keracunan pada 143 orang di tahun 1973-1994; pada bulan April 1995 dan Agustus serta Desember 1997 yang menyebabkan keracunan masing-masing pada 3, 5, dan 3 orang.
  • Kasus PSP di Semenanjung Valdes (Argentina) tahun 1980 yang menyebabkan kematian pada 2 awak kapal (Ferrari, 2001) dan terjadi secara berkala di musim semi dan musim panas.
  • Kasus PSP di Brazil tahun 1992 oleh A. catenella dan G. catenatum.
  • kasus PSP di Ushuaia (Chili) tahun 1886, 1972-1997 oleh A. catenella yang mengakibatkan 26 orang meninggal.
  • Kasus PSP di Guatemala tahun 1987 setelah mengonsumsi sup kerang yang menyebabkan 26 orang meninggal.
  • Kasus PSP di Meksiko tahun 1979 dan 1989 oleh P. bahamense yang menyebabkan kematian pada 3 orang, tahun 1995-1996 di daerah kecil Pantai Pasifik Meksiko yang menyebabkan kematian pada 6 orang.
  • Kasus PSP di Uruguay tahun 1980 yang menyebabkan keracunan pada 60 orang akibat G. catenatum.

4. Asia[sunting | sunting sumber]

  • Kasus PSP China pertama kali di Provinsi Zhejiang tahun 1967-1979 yang menyebabkan keracunan pada 423 orang serta kematian pada 23 orang oleh Nassarius succinstus (Zhou et al., 1999).
  • Kasus PSP di India tahun 1981 yang menyebabkan keracunan pada 98 orang dan 1 kematian.
  • Kasus PSP Jepang pertama kali di Teluk Hiroshima tahun 1992 (Hamasaki et al., 1998), pada Maret 1997 di Pulau Fukue yang menyebabkan keracunan pada 20 orang (Takatani et al., 1997).
  • Kasus PSP Malaysia pertama kali di Pantai Barat Sabah tahun 1977 yang menyebabkan keracunan pada 201 orang dan 4 kematian oleh P. bahamense (IPCS, 1984).
  • Kasus PSP Thailand pertama kali pada tahun 1983 yang menyebabkan keracunan pada 62 orang dan 1 kematian setelah mengonsumsi kerang lokal (Mytilus spp.) (IPCS, 1984).
  • Kasus PSP banyak terjadi di Indonesia seperti: kasus PSP di Lewotobi, Wulung Gitung, Flores Timur yang menyebabkan keracunan pada 191 orang dan 9 kematian akibat konsumsi ikan pada 24 November 1983 (Adnan, 1984); kasus PSP di Desa Balang Tiku (Kalimantan Timur) akibat konsumsi kerang tudai yang menyebabkan 2 kematian dan keracunan massal pada hampir seluruh penduduk desa pada 12 Januari 1988; kasus PSP di Ujung Pandang yang menyebabkan 4 kematian akibat konsumsi kerang pada bulan Agustus 1989; kasus PSP di Lata (Ambon) yang menyebabkan 3 kematian dan 33 orang dirawat di rumah sakit akibat konsumsi “bia manis” (Hiatula chinensis) pada bulan Juli 1994 (Wiadnyana et al., 1994).

Metode Analisis PSP[sunting | sunting sumber]

1. Mouse Bioassay (MBA)[sunting | sunting sumber]

Metode MBA dilakukan dengan menginjeksi toksin ke tubuh tikus dan dilakukan pengamatan kondisi tikus dalam waktu tertentu. Metode MBA mudah dilakukan, namun dinilai kurang etis, lambat, dan mahal.

2. Immunoassay[sunting | sunting sumber]

Salah satu contoh metode immunoassay yaitu metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Metode ELISA dilakukan dengan cara mendeteksi interaksi antibodi dengan target dan antigen cross reactive. Metode ELISA dinilai lebih akurat dan sensitif, cepat (biasanya dalam satu jam), serta tidak memerlukan keahlian khusus.

3. Cell Based Assay (CBA)[sunting | sunting sumber]

Metode CBA merupakan metode yang dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap efek biokimia yang dihasilkan dari interaksi sel-sel hidup dan bahan yang diuji. Metode CBA dinilai memiliki respon yang cepat, sensivitas tinggi, dan selektivitas yang baik.

4. Teknik Flourometrik dan Kolorimetri[sunting | sunting sumber]

Teknik flourometrik dan kolorimetri dilakukan dengan mengoksidasi toksin PSP hingga terbentuk flouresen. Dalam teknik ini perlu memperhatikan beberapa hal seperti: penyesuaian pH selama ekstraksi dan sebelum oksidasi, pembersihan tempat pertukaran ion untuk menghilangkan co-ekstraktan dan berbagai logam yang dapat mengganggu penelitian.

5. Teknik Kromatografi[sunting | sunting sumber]

Teknik kromatografi dilakukan dengan memisahkan toksin PSP menggunakan teknik kromatografi pertukaran ion dan post column reactor (PCR) sehingga menghasilkan turunan toksin yang lebih mudah dideteksi. Namun, teknik ini memerlukan waktu yang lama dan keterampilan khusus.

6. Teknik Elektroforesis[sunting | sunting sumber]

Teknik elektroforesis terdiri dari elektroforesis kapiler dan elektroforesis slab. Teknik elektoforesis kapiler menggunakan kapiler silika (-100 mm) sebagai pengganti elektroforesis gel. Sebelum digunakan untuk menjembatani dua reservoir penyangga, sampel dimasukkan ke dalam ujung kolom. Toksin akan bermigrasi melalui kolom dan dideteksi ketika melewati UV atau sel flouresensi. Sedangkan elektroforesis slab merupakan metode penyaringan toksin PSP secara cepat dalam sejumlah sampel menggunakan UV dan semprotan peroksida.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. Alvarez, G. et al. 2019. Paralytic Shellfish Toxins in Surf Clams Mesodesma donacium during a Large Bloom of Alexandrium catenella Dinoflagellates Associated to an Intense Shellfish Mass Mortality. Toxins. 11. (188). 1-18. doi:10.3390/toxins11040188.
  2. Amanhir, R. et al. 2017. Weekly Occurrence of Gymnodinium catenatum and Paralytic Shellfish Poisoning in the Mediterranean Shore of Morocco. International Journal of Biochemistry Research & Review. 17. (2). 1-11. Article no.IJBCRR.14413 ISSN: 2231-086X, NLM ID: 101654445.
  3. Arnich, N. et al. 2018. Dose-Response Modelling of Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) in Humans. Toxins. 10. (141). 1-20. doi: 10.3390/toksin10040141.
  4. Ben-Gigirey, B. et al. 2020. First Report of Paralytic Shellfish Toxins in Marine Invertebrates and Fish in Spain. Toxins. (12). 1-12. doi:10.3390/toxins12110723.
  5. Costa, A. et al. 2020. Algal blooms of Alexandrium spp. and Paralytic Shellfish Poisoning toxicity events in mussels farmed in Sicily. Italian Journal of Food Safety. (10). 1-7. doi:10.4081/ijfs.2021.9062.
  6. Deng, Y. et al. 2019. Paralytic Shellfish Poisoning Toxin Detection Based On Cell-Based Sensor and Non-Linear Signal Processing Model. International Journal Of Food Properties. 22. (1). 890-897. ISSN: 1094-2912 (Print) 1532-2386 (Online).
  7. Eangoor, P. et al. 2017. Rapid and Sensitive ELISA Screening Assay for Several Paralytic Shellfish Toxins in Human Urine. Journal of Analytical Toxicology. (41). 755–759. doi: 10.1093/jat/bkx072.
  8. Eangoor, P. et al. 2017. Rapid and Sensitive ELISA Screening Assay For Several Paralytic Shellfish Toxins in Human Urine. Journal Of Analytical Toxicology. (41). 755-759. doi. 10.1093/Jat/Bkx072.
  9. Edwards, L.J. et al. 2018. An Outbreak of Paralytic Shellfish Poisoning in Tasmania. Communicable Diseases Intellegence. (42). 1-7. (PII: S2209-6051(18)00004-0).
  10. Food and Agriculture Organization of The United Nations Rome. (2004). Marine Biotoxins. [Online]. Tersedia: http://www.fao.org/3/y5486e/y5486e00.htm#Contens. [3 Juni 2021].
  11. Han, J. et al. 2020. Effects of paralytic shellfish poisoning toxin-producing dinoflagellate Gymnodinium catenatum on the marine copepod Tigriopus japonicas. Marine Pollution Bulletin. 163. 1-7. https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.2020.111937.
  12. Kadiri, M.O. et al. 2018. Amnesic Shellfish Poisoning (ASP) and Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) in Nigerian Coast, Gulf of Guinea. Frontiers in Marine Science. 481. (5). 1-6. doi:10.3389/fmars.2018.00481.
  13. Kartika, I. W. D. 2019. Karakteristik Fisikokimia Dan Potensi Aplikasi Toksin Spirolides Dari Mikroalga Alexandrium Ostenfeldii. Universitas Udayana. : Badung.
  14. Kusnoputranto, H. et al. 2014. Akumulasi dan Depurasi Toksin PSP (Paralytic Shellfish Poisoning) oleh Kerang Hijau. Jurnal Ilmu Kelautan. 19. (1). 27-34.
  15. Ley-Quinonez, C.P. et al. 2020. Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) as a Cause of Sea Turtle Mortality in Puerto Vallarta. Herpetological Review. 51. (3). 489–494.
  16. Li, H. et al. 2018. A Dual Function Cardiomyocyte-Based Hybrid-Biosensor For The Detection of Diarrhetic Shellfish Poisoning and Paralytic Shellfish Poisoning Toxins. Analytical sciences. (38). 893-900.
  17. Li, J. et al. 2020. Quick detection method for paralytic shellfish toxins (PSTs) monitoring in freshwater - A review. Chemosphere. (265). 2-14. https://doi.org/10.1016/j.chemosphere.2020.128591.
  18. Lopes, I. et al. 2019. Paralytic shellfish poisoning due to ingestion of contaminated mussels: A 2018 case report in Caparica (Portugal). Toxicon. 10. (2). 1-7. https://doi.org/10.1016/j.toxcx.2019.100017.
  19. Panggabean, L.M.G. 2006. Toksin Alami Dari Mikroalgae. Jurnal Oseana. 31. (3). 1-12.
  20. Qiu, J. et al. 2020. Semiquantitation of Paralytic Shellfish Toxins by Hydrophilic Interaction Liquid Chromatography-Mass Sp. Toxins 2020. (12). 2-16. doi:10.3390/toxins12060398.
  21. Raposo, M. et al. 2020. A Carbamoylase-Based Bioassay for the Detection of Paralytic Shellfish Poisoning Toxins. Sensors. 20. (507). 1-14. doi:10.3390/s20020507.
  22. Raposo, M.I.C. et al. 2020. Paralytic Shellfish Toxins (PST)-Transforming Enzymes: A Review. Toxins. 12. (344). 1-20. doi:10.3390/toxins12050344.
  23. Shin, H.H. et al. 2017. Which species, Alexandrium catenella (Group I) or A. pacificum (Group IV), is really responsible for past paralytic shellfish poisoning outbreaks in Jinhae-Masan Bay, Korea?. Harmful algae. 68. 31-39. http://dx.doi.org/10.1016/j.hal.2017.07.006.
  24. Smith, Z.J. et al. 2020. Limnological Differences in a Two-Basin Lake Help to Explain the Occurrence of Anatoxin-a, Paralytic Shellfish Poisoning Toxins, and Microcystins. Toxins. 12. (559). 1-26. doi:10.3390/toxins12090559.
  25. Sudarmiati, S. et al. 2007. Mekanisme Keracunan Saraf Akibat Konsumsi Kerang-kerangan yang Terkontaminasi Dinoflagellata Beracun (Studi Literatur). 1. (1). 1-5.
  26. Suleiman, M. et al. 2017. Case Report: Paralytic Shellfish Poisoning in Sabah, Malaysia. Am. J. Trop. Med. Hyg. 97. (6). 1731-1736. doi:10.4269/ajtmh.17-0589.
  27. Tobin, E.D. et al. 2019. Environmental drivers of paralytic shellfish toxin producing Alexandrium catenella blooms in a fjord system of northern Southeast Alaska. Harmful Algae. (88). 1-14. https://doi.org/10.1016/j.hal.2019.101659.
  28. Turner, A.D. et al. 2020. Application of Six Detection Methods for Analysis of Paralytic Shellfish Toxins in Shellfish from Four Regions within Latin America. Marine Drugs. (18). 1-30. doi:10.3390/md18120616.
  29. Villalobos, L.G. et al. 2019. Spatiotemporal distribution of paralytic shellfish poisoning (PSP) toxins in shellfish from Argentine Patagonian coast. Heliyon. 5. 1- 9. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2019.e01979.
  30. Wharton, R.E. et al. 2017. Quantification of Saxitoxin in Human Blood by ELISA. Toxicon. (133). 110-115. doi: 10.1016/j.toxicon.2017.05.009.