Kebebasan beragama di Jepang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pasal 20 Konstitusi Jepang mengatur kebebasan beragama di Jepang, dan pemerintah pada umumnya menghormati hak ini dalam praktiknya.

Demografi agama[sunting | sunting sumber]

Pemerintah Jepang tidak mewajibkan kelompok agama untuk melaporkan keanggotaan mereka, sehingga sulit untuk secara akurat menentukan jumlah penganut kelompok agama yang berbeda. Badan Urusan Budaya melaporkan pada tahun 2017 bahwa klaim keanggotaan oleh kelompok agama berjumlah 182 juta orang.[1] Melebihi total populasi sebanyak 127 juta orang, tetapi tidak memperhitungkan keanggotaan yang tumpang tindih (beberapa keluarga mungkin terdaftar di kuil Buddha dan kuil Shinto), atau keanggotaan ganda karena perubahan alamat. Jumlah tersebut, yang hampir dua kali lipat dari populasi Jepang, mencerminkan banyak warga negara yang berafiliasi dengan multi agama. Misalnya, sangat umum bagi orang Jepang untuk mempraktikkan ritus Buddhis dan Shinto.

Menurut buku tahunan Badan tersebut, 85 juta orang mengidentifikasi diri mereka beragama Shinto, 88 juta orang beragama Buddha, 2 juta orang beragama Kristen, dan 8 juta orang mengikuti agama "lain", termasuk Tenrikyo, Seicho-no-Ie, Gereja Mesianitas Dunia, dan PL Kyodan.[1] Akademisi memperkirakan terdapat 120 ribu umat Muslim di Jepang, 10 persen di antaranya merupakan warga negara Jepang. Kedutaan Besar Israel memperkirakan terdapat sekitar 2.000 orang beragama Yahudi di negara tersebut, kebanyakan dari mereka lahir di luar negeri.

Pada Desember 2017, di bawah Undang-Undang Badan Hukum Keagamaan tahun 1951, Pemerintah mengakui 157 aliran agama Buddha.[2] Enam aliran utama agama Buddha adalah Tendai, Shingon, Jodo, Zen (Sōtō dan sekte Rinzai), Nichiren, dan Nanto Rokushū. Selain itu, terdapat sejumlah organisasi awam Buddhis, termasuk Soka Gakkai, yang melaporkan keanggotaannya sebanyak delapan juta orang. Dua sekolah utama Shinto adalah Asosiasi Kuil Shinto dan Kyohashinto. Selain itu, perubahan hukum pascaperang mengakhiri penggunaan wacana "bukan agama" (hishūkyō) oleh rezim kekaisaran Jepang untuk melindungi hak-hak istimewa agama dari gerakan Shinto yang didukung negara.[3]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "宗教年鑑 平成29年版" [Religious Yearbook, 2017] (PDF) (dalam bahasa Jepang). hlm. 46–49. Diakses tanggal 2018-06-24. 
  2. ^ "宗教年鑑 平成29年版" [Religious Yearbook, 2017] (PDF) (dalam bahasa Jepang). hlm. 8. Diakses tanggal 2018-06-24. 
  3. ^ LeFebvre, 2021. "The Oppressor's Dilemma: How Japanese State Policy toward Religion Paved the Way for Christian Weddings." https://brill.com/view/journals/jrj/aop/article-1163-22118349-20210001/article-1163-22118349-20210001.xml