Kewedanaan Jasinga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kawedanan Jasinga)
Peta Kewedanaan di Bogor (Kewedanaan Jasinga berwarna biru).

Kewedanaan Jasinga adalah salah satu kewedanaan yang pernah berdiri di Kabupaten Bogor. Kewedanaan Jasinga terletak di bagian barat Kabupaten Bogor dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Lebak dan Kabupaten Tangerang di Provinsi Banten. Kewedanaan Jasinga meliputi kecamatan Jasinga, Cigudeg, Tenjo, Parungpanjang, Nanggung, dan Sukajaya.

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Asal-usul nama Jasinga sendiri hingga kini masih terdapat berbagai versi. Kebanyakan versi yang melekat dan diyakini masyarakat yaitu cerita yang didapat dari penuturan turun temurun dari mulut ke mulut para sesepuh setempat.

Ada beberapa versi mengenai asal usul nama Jasinga antara lain:

  1. Mitos seekor singa yang melegenda yaitu jelmaan dari tokoh-tokoh Jasinga.
  2. Pembukaan lahan yang dilakukan oleh Wirasinga, hingga nama lahan tersebut dijadikan nama Jasinga atas jasa Wirasinga.
  3. Jayasingawarman (358-382 M) yakni raja Tarumanagara I yang mendirikan Ibukota dengan nama Jayasinghapura.
  4. Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda yaitu Gajah Lumejang dan Singa Bapang yang digabungkan menjadi Jasinga.

Pendapat pertama, bahwa nama Jasinga dikaitkan dengan riwayat atau cerita yang dituturkan oleh para sesepuh Jasinga seperti Wirasinga, Sanghyang Mandiri dan Pangeran Arya Purbaya dari Banten. Dalam setiap hidupnya serta perjuangannya mempunyai wibawa seperti seekor singa. Bahkan sempat berwujud menjadi seekor singa. Perwujudan singa tersebut membuat orang disekitar yang melihatnya menjadi terkejut dan kagum, dan setiap orang yang melihat akan mengucapkan: "eeh.. ja.. singa eta mah". Kata "ja" menjadi kata khas tersendiri dalam dialek Jasinga yang berguna untuk memperjelas kalimat berikutnya, seperti "da" dalam dialek Priangan.

Pendapat kedua meyakini bahwa Wirasinga keturunan Sanghyang Mandiri (Sunan Kanduruan Luwih) membuka lahan di Pakuan bagian barat; dalam bahasa Sunda disebut ngababakan lembur anyar. Nama daerah tersebut dinamakan Jasinga oleh Sanghyang Mandiri serta menobatkan Wirasinga sebagai penguasa baru Jasinga atau sebagai Jaya Singa sebuah daerah yang makmur yang dipimpin oleh Wirasinga.

Pendapat ketiga, Jasinga berasal dari kata Jayasingha. Diceritakan bahwa seorang Reshi Salakayana dari Samudragupta (India) dikejar-kejar oleh Candragupta dari Kerajaan Magada (India), hingga akhirnya mengungsi ke Jawa bagian barat. Ketika itu, Jawa bagian barat masih dalam kekuasaan Dewawarman VIII (340-362 M) sebagai raja dari kerajaan Salakanagara. Jayasingharwarman menikah dengan Putri Dewawarman VIII yaitu Dewi Iswari Tunggal Pertiwi, dan mendirikan ibukotanya Jayasinghapura. Jayasinghawarman (358-382 M) bergelar Rajadiraja Gurudharmapurusa wafat di tepi kali Gomati (Bekasi) Ibukota Jayasinghapura dipindahkan oleh Purnawarman, Raja Tarumanegara III (395-434 M) ke arah pesisir dengan nama Sundapura.

Pendapat keempat, bahwa Jasinga berasal dari kata Gajah Lumejang dan Singa Bapang. Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda sekaligus menetapkannya sebagai suatu tempat komunitas Sunda. Tujuh ajaran tersebut yaitu; Pangawinan (Pedalaman Banten), Parahyang (Lebak Parahyang), Bongbang (Sajira), Gajah Lumejang (Parung Kujang-Gunung Kancana), Singa Bapang (Jasinga), Sungsang Girang (Bayah), Sungsang Hilir (Jampang-Palabuhan Ratu).[1]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pada masa lalu, Jasinga meliputi batas wilayah dengan Sajira di sebelah barat, Tangerang di sebelah utara, Bayah di sebelah selatan dan Cikaniki di sebelah timur. Berlalunya waktu, Jasinga kini meliputi daerah Cigudeg, Tenjo, Nanggung, Parungpanjang, Sukajaya, dan Jasinga sebagai titik pusatnya.

Oleh orang-orang tua dulu Jasinga disebut juga daerah Bogor-Banten, bahkan juru pantun terkenal Sunda yaitu Aki Buyut Baju Rambeng berasal dari daerah Pegunungan Tonggoheun di Jasinga. Disebut Bogor-Banten karena posisinya berbatasan langsung dengan wilayah Banten. Tidak hanya batas wilayah tetapi ditinjau dari budaya, perilaku serta dialek bahasa mirip sekali dengan masyarakat Banten yang sebagian tidak terpengaruh dengan budaya Priangan. Kini Jasinga termasuk wilayah administrasi Kabupaten Bogor.

Dahulu di wilayah Kerajaan Tarumanegara terdapat tujuh yaitu Pangawinan, Parahyang, Bongbang, Gajah Lumejang, Singa Bapang, Sungsang Girang, Sungsang Hilir. Kemudian tujuh ajaran tersebut mempengaruhi Purnawarman sebagai Raja Tarumanegara III (395-434 M), sehingga ia mendirikan ibukota dengan nama Sundapura. Keruntuhan Tarumanegara terjadi pada masa Linggawarman (669-732 M) sebagai Raja Tarumanegara XII karena begitu kuatnya pengaruh Sunda. Putri Linggawarman yaitu Dewi Manasih (Minawati) dinikahkan dengan Tarusbawa putra Rakyan Sunda Sembawa. Tarusbawa menjadi Raja Sunda (669-732 M) dan Taruma pun runtuh. Pengaruh Hindu pun akhirnya melemah dan menjadi ajaran leluhur Sanghyang Sunda.

Dua titik wilayah yang merupakan Sanghyang Sunda yaitu Gajah Lumejang-Singa Bapang dijadikan tempat laskar bagi Kerajaan Sunda. Dan kedua nama tersebut disatukan menjadi Gajah Lumejang Singa Bapang kemudian menjadi nama Jasinga (Ja: Gajah Lumejang, Singa: Singa Bapang). Perpaduan dua Filosofi gajah dan singa. Tujuh ajaran Sanghyang Sunda tersebut tercantum dalam Kitab Aboga yang diperkirakan dibuat pada masa kejayaan Kerajaan Sunda Pajajaran seperti dituturkan oleh narasumber bahwa kitab tersebut di bawa ke Leiden pada akhir abad 19.

Nama Jasinga ditinjau secara autentik yaitu menunjuk pada naskah-naskah kuno atau kajian sejarah Sunda terdapat Jayasinghapura yang berarti gerbang kemenangan yang didirikan oleh Raja Taruma I (Jayasinghawarman). Dalam naskah sejarah yang ditulis dan dirangkum oleh Panitia Wangsakerta Panembahan Cirebon, nama Jasinga terdapat dalam sejarah Lontar sebagai tempat rujukan untuk melengkapi Kitab Negara Kretabhumi yang disusun untuk pedoman bagi raja-raja Nusantara. Kitab itu disusun selama 21 tahun (1677-1698 M) pada masa-masa genting yaitu beralihnya raja-raja di Nusantara ke dalam penjajahan Belanda. Lontar itu berjudul "Akuwu Desa Jasinga".

Dari mitos seekor singa, diyakini bahwa sampai saat ini masi ada beberapa ekor singa yang menjaga wilayah Jasinga walaupun dalam bentuk gaib. Padahal di Jawa Barat tidak ditemukan habitat singa walaupun di Indonesia sekalipun. Jika dikaitkan dengan datangnya raja-raja pendahulu dari India, maka perlambang singa berasal dari India, bisa saja wujud nyata seekor singa pernah dibawa oleh pembesar yang datang dari India.

Jasinga tidak layaknya seperti legenda-legenda di Jawa Barat lainnya yang begitu percaya adanya harimau serta dijadikan lambang atau filosofi tertentu. Masyarakat Jasinga meyakini adanya seekor singa, hingga pusat kecamatan dilambangkan sebuah Tugu Singa. Nama singa juga terdapat pada sebuah tanaman yang bernama Singadepa yang tumbuh di hutan-hutan. Daun Singadepa berguna untuk memandikan bayi yang baru lahir, pengharum badan, serta sebagai pencuci darah. Tumbuhan Singadepa mempunyai tinggi +30 cm, hidup di daerah yang lembab dan tertutup oleh pohon-pohon yang lebih tinggi. Di Jasinga tanaman Singadepa sangat sedikit dan ada di hutan-hutan tertentu, kecuali di hutan pedalaman Baduy hingga ke Lebaksibedug (Citorek) di dekat Gunung Bapang.

Pada tahun 1945-1949, wilayah Jasinga merupakan basis perjuangan yang menjadi benteng pertahanan bagi daerah karesidenan Banten dalam mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 kemerdekaan Republik Indonesia. Wilayah Jasinga menjadi pertahanan militer, dengan dukungan penuh dari masyarakat setempat, juga sebagai tempat peristirahatan pejuang setelah melakukan pertempuran, serta sebagai tempat dapur umum. Saat menghadapi penjajah Netherland Indies Civil Administration.

Wilayah Jasinga adalah garis demarkasi pertahanan, selain dijadikan tempat dan markas pasukan tentara Indonesia sejak BKR/TRI/TNI, dan gerilyawan-gerilyawan yang akan menuju ke front, juga menjadi basis pemerintahan Kabupaten Bogor RI, sekaligus menjadi benteng pertahanan bagi daerah karesidenan Banten, yang baru dapat diinjak musuh setelah terjadinya aksi militer ke II (dua). Pada tanggal 19 Desember 1948. disamping itu pula secara politis, dan taktis wilayah Jasinga dijadikan sebagai pemerintah (darurat) RI Kabupaten Bogor.

Peninggalan[sunting | sunting sumber]

Bangunan bekas pendopo Kewedanaan Jasinga.

Kewedanaan Jasinga memiliki bangunan pendopo di Kampung Bojong, Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga yang kondisi bangunannya rawan roboh dan terawat layaknya bangunan tua yang terabaikan.[2] Pendopo Kawedanaan Jasinga sendiri di bangun pada tahun 1911 dan di renovasi pada tahun 1972. Dipakai sebagai kantor pemerintahan darurat kabupaten Bogor pada 20 Desember 1948 oleh Bupati Bogor I yaitu Ipik Gandamana sebelum berpindah ke desa Malasari, kecamatan Nanggung. Bangunan yang berdiri diatas tanah Pemda Kabupaten Bogor ini memiliki luas hampir 1 hektar.[3]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Asal Usul Nama Jasinga". bogorkab.go.id. Diakses tanggal 21 Januari 2022. 
  2. ^ "Bangunannya Tak Terawat Dan Rawan Roboh". www.metropolitan.id. Diakses tanggal 21 Januari 2022. 
  3. ^ "Eks Pendopo Kawedanan Jasinga Saksi Sejarah Yang Terlupakan". pajajaranpost.id. Diakses tanggal 21 Januari 2022. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]