Karya sastra

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Karya sastra adalah ciptaan yang disampaikan dengan komunikatif tentang maksud penulis untuk tujuan estetika.[1] Karya-karya ini sering menceritakan sebuah kisah, dalam sudut pandang orang ketiga maupun orang pertama, dengan plot dan melalui penggunaan berbagai perangkat sastra yang terkait dengan waktu mereka.[1] Karya sastra dikenal dalam dua bentuk, yaitu fiksi dan nonfiksi.[2] Jenis karya sastra fiksi adalah prosa, puisi, dan drama.[2] Sedangkan contoh karya sastra nonfiksi adalah biografi, autobiografi, esai, dan kritik sastra.[2] Menurut Suroto, roman terbentuk atas pengembangan seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut.[2] Karya sastra digunakan untuk memenuhi kepuasan rohani penulis dan para pembacanya. Bentuk kepuasan ini dapat diwakilkan melalui penggunaan bahasa yang bermakna kesenangan, kesedihan, kekecewaan, maupun ungkapan lain yang memiliki nilai keindahan.[3]

Karya sastra merupakan bentuk fisik dari sastra yang ditulis oleh sastrawan.[4] Ciri khas yang mutlak ada di dalam karya sastra adalah keindahan, keaslian dan nilai artistik dalam isi dan ungkapannya. Suatu karya tidak dapat dikatakan sebagai karya sastra jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi. Syarat keindahan di dalam sastra yaitu jika ada prinsip keutuhan, keselarasan, keseimbangan dan fokus dalam penulisannya.[5]

Ciri khas[sunting | sunting sumber]

Karya sastra merupakan karya yang sebagian besar memiliki sifat imajinatif dan kreatif. Karya-karya sastra yang masih menggunakan fakta dalam penceritaan ditemukan pada sastra Inggris dan sastra Prancis. Penggunaan fakta berdasarkan pada pengalaman penulisnya, ditemukan pada khotbah John Donne, autobiografi John Bunyan, falsafah René Descartes dan falsafah Blaise Pascal.[6] Karya sastra yang memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang hanya imajinasi dianggap lebih bernilai dibanding dengan karya sastra yang memberitahukan tentang kenyataan-kenyataan yang sungguh terjadi di dalam kehidupan.[7]

Ciri lain yang membedakan karya sastra dengan karya lainnya adalah penggunaan bahasa yang khas dengan daya khayal dan bernilai seni. Bahasa digunakan sebagai sistem tanda yang memberikan arti dan makna bagi pembacanya. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra mengikuti paham strukturalisme atau paham formalisme. Paham strukturalisme memandang karya sastra dari unsur-unsur pembangunnya atau strukturnya. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra merupakan sistem tanda yang berupa bahasa teks dengan kandungan pemahaman dan saling berhubungan satu sama lain. Sedangkan paham formalisme memandang bahwa bahasa sastra merupakan bahasa yang khas dan menyimpang dari bahasa sehari-hari.[8]

Bahasan[sunting | sunting sumber]

Bahasan utama dalam karya sastra yaitu tentang permasalahan di sekitar kehidupan manusia. Adanya keinginan manusia untuk mengungkapkan tujuan keberadaan dirinya membuat terciptanya karya sastra. Karya sastra menjadi lembaga sosial yang bertindak sebagai perantara manusia dalam menciptakan lingkungan sosial. Karya sastra menyerupakan antar gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagai realitas sosial. Bahasan di dalam karya sastra berkaitan dengan manusia dengan manusia lainnya atau perasaan pribadi dari manusia. Selain itu, karya sastra juga membahas tentang hubungan timbal-balik antarindividu atau antara individu dengan masyarakat.[9]

Bahasan karya sastra berkaitan dengan kajian ilmu sastra. Penggunaan ilmu sastra diterapkkan dalam memahami karya sastra, menikmati, menganalisis, menginterpertasi, dan menciptakan karya sastra. Ilmu yang diperlukan dalam karya sastra yaitu sejarah sastra, kritik sastra, dan teori sastra.[10]

Jenis[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan bentuknya[sunting | sunting sumber]

Puisi[sunting | sunting sumber]

Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang disajikan secara monolog. Kata-kata yang digunakan dalam penulisan puisi bersifat indah dan memiliki beragam makna yang mendalam. Penggunaan diksi, majas, rima, dan irama menjadi penentu keindahan puisi. Sedangkan pemadatan unsu-unsur bahasa menjadi penentu keberagaman makna yang terkandung dalam puisi. Bahasa yang digunakan dalam puisi tidak sama dengan bahasa sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas dengan makna yang mendalam dan beragam. Penggunaan kata di dalam puisi mengandung konotasi yang disertai dengan beragam penafsiran dan pengertian.[11] Puisi merupakan perwujudan dari imajinasi manusia, yang digunakan sebagai sumber untuk memperoleh kreativitas. DI dalam puisi terdapat penyampaian perasaan seseorang yang menimbulkan simpati atau empati kepada orang lain ke dalam keadaan yang dialaminya.[12]

Prosa[sunting | sunting sumber]

Prosa merupakan karya sastra yang disusun dalam bentuk cerita atau narasi. Penyajian prosa dilakukan dengan menggabungkan bentuk monolog dan dialog. Di dalam prosa, pencerita memasukkan pemikirannya ke dalam pikiran-pikiran tokoh. Pemikiran para tokoh kemudian memunculkan dialog antartokoh.[13] Prosa dibedakan menjadi prosa non-sastra dan prosa sastra. Prosa non-sastra merupakan karangan yang berisfat ilmiah, seperti laporan penelitian, makalah, atau artikel. Sedangkan posa sastra terbagi menjadi prosa fiksi dan prosa nonfiksi. Prosa fiksi meliputi dongeng, cerita pendek, dan novel, sedangkan prosa nonfiksi meliputi biografi, autobiografi, dan esai.[14]

Drama[sunting | sunting sumber]

Drama merupakan jenis karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan. Pemberian gambaran dilakukan dengan peristiwa konflik dan emosi melalui perilaku dan dialog. Penyajian perilaku dan dialog mirip dengan perilaku dan dialog sehari-hari. Drama merupakan pembuatan ulang dan peniruan kehidupan sehari-hari ke dalam pentas dengan memanfaatkan kegiatan harian yang nyata. Unsur drama yang terutama ialah bahasa, gerak, posisi, isyarat, dan ekspresi wajah. Bahasa dalam drama memperhatikan penggunaan kata, intonasi, tempo kalimat, pelafalan, serta volume suara dan tekanannya.[15]

Berdasarkan periode waktunya[sunting | sunting sumber]

Karya sastra lama[sunting | sunting sumber]

Karya sastra lama merupakan karya sastra yang tercipta di dalam kehidupan masyarakat lama. Kriteria masyarakat lama yaitu masih mempertahankan dan meyakini adat istiadat yang berlaku di daerahnya. Karya sastra lama pada mulanya merupakan suatu ujaran yang kemudian berbentuk bahasa lisan. Pesan yang terkandung di dalam karya sastra lama berupa ajaran agama, moral, pendidikan, nasihat, dan adat istiadat.[16] Karya sastra lama dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat lama. Kepercayaan tentang roh dan kekuatan gaib menjadi pesan penting di dalam karya sastra lama. Karya sastra lama kemudian mendapatkan pengaruh dari agama-agama besar yaitu Hindu, Budha, dan Islam. Karya sastra lama dapat dibedakan menjadi prosa lama dan puisi lama.[17]

Media[sunting | sunting sumber]

Media yang digunakan di dalam karya sastra adalah bahasa. Penggunaan bahasa menentukan kualitas dari suatu karya sastra. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra berbeda dengan bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari. Dalam karya sastra, bahasa keseharian diubah dan dipadatkan sehinga memiliki makna yang ambigu dan homonim. Penggunaan kategori bahasa di dalam karya sastra juga tidak beraturan dan tidak rasional. Karya sastra memiliki sifat yaitu menggunakan karya yang telah ada sebagai acuan penulisan karya baru. Penulisan bahasa pada karya sastra bersifat ekspresif dan pragmatik serta berusaha untuk mempengaruhi dan mengubah sikap pembacanya. Selain itu, bahasa dalam karya sastra digunakan sebagai tanda dan simbol yang memiliki keindahan, daya khayal, dan bersifat tidak nyata.[7]

Pendekatan[sunting | sunting sumber]

Pendekatan dalam karya sastra digunakan oleh pengamat sastra, peneliti sastra, ataupun kritikus sastra untuk melihat karya yang akan dikaji. Pendekatan ini merupakan langkah awal dalam melihat karya sastra sebelum penggunaan metode, teori, atau bentuk kajian yang lainnya. Penggunaan pendekatan dalam sastra telah dilakukan sejak zaman Yunani Kuno pada kaidah seni yang dibahas oleh Plato dan Aristoteles.[18]

Karya sastra dapat dibedakan berdasarkan pada pendekatan ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif. Perbedaan antara keempat pendekatan ini terletak pada peran yang ditonjolkan. Pendekatan ekspresif menonjolkan peran penulis sebagai pencipta karya sastra, sedangkan pendekatan pragmatik menonjolkan pembaca sebagai penghayat karya sastra. Pendekatan mimetik menonjolkan karya sastra sebagai tiruan alam, sedangkan pendekatan objektif menonjolkan peran karya sastra sebagai sesuatu mandiri.[19]

Pendekatan ekspresif[sunting | sunting sumber]

Pendekatan ekspresif mulai berlaku pada abad ke-19 Masehi. Para penyair mulai menjadi pemberi ekspresi terhadap puisi. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang berasal dan dihasilkan dari dalam diri penulisnya dan disampaikan di luar diri penulis. Kritikus sastra memandang seni sebagai sesuatu yang menggunakan teori ekspresif. Dalam pendekatan ekspresif, kehadiran penyair dalam karya sastra memiliki kedudukan yang sangat penting. Karya sastra diyakini tidak akan tercipta tanpa keberadaan pengarang yang memiliki tujuan dalam penulisannya. Pengarang menjadi penentu terhadap keberadaan suatu nilai atau ideologi di dalam karya sastra. Keberadaan nilai atau ideologi ini diartikan sebagai ekspresi atau sebagai produk dari imajinasi penyair yang didasari oleh persepsi, pikiran, dan perasaannya. Pengungkapan diri pengarang di dalam karya sastra dapat diamati melalui kecenderungan dalam menilai pekerjaan berdasarkan haknya. Selain itu, identitas pengarang juga dapat diamati melalui ketulusan atau kecukupannya terhadap visi atau kondisi pikiran dengan mencari bukti dari temperamen dan pengalaman khusus. Pandangan karya sastra dengan pendekatan ekspresif dikembangkan oleh kritikus romantisisme di awal abad ke-19 M. Pendekatan ekspresif juga digunakan oleh para kritikus psikologi dan psikoanalitis.[20]

Pendekatan pragmatik[sunting | sunting sumber]

Pendekatan pragmatik mulai banyak digunakan pada akhir abad ke-18 Masehi. Karya sastra dipandang melalui sudut pandang pembaca dengan menggunakan teori pragmatis. Ketika Pendekatan karya sastra dipandang dapat melatih pemahaman yang dilakukan pembaca sastra. Dalam pendekatan pragmatik, karya sastra dinilai berdasarkan kemampuan intelektual, keadaan emosial dan perilaku etis yang disampaikannya kepada pembaca. Dalam pandangan ini, sastra dievaluasi dengan mengacu pada dampak positif dan dampak negatif buruk karya sastra terhadap pembaca. Karya sastra hanya dianggap sebagai karya sastra jika telah dibaca oleh pembaca.[21]

Pendekatan mimetik[sunting | sunting sumber]

Pendekatan mimetik merupakan pendekatan karya sastra yang berlandaskan kepada prinsip dasar kesenian. Karya sastra dianggap sebagai sebuah seni yang merupakan hasil tiruan dari alam. Pendekatan mimetik pertama kali dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles. Teori sastra modern menggunakan pendekatan mimetik dalam realisme sastra.[22]

Pendekatan objektif[sunting | sunting sumber]

Pendekatan objekti dalam karya sastra mulai berkembang pada abad ke-20 Masehi. Penilaian terhadap karya sastra sepenuhnya dilihat dari karya sastra itu sendiri. Dalam pendekatan objektif, seni diartikan sesuai dengan definisi aslinya serta pekerjaan sastra dianggap sebagai entitas yang mandiri. Pendekatan objektif memandang karya sastra terpisah dari pengaruh luar serta tersusun dari dalam karya sastra itu sendiri. Pada pendekatan objektif, penilaian karya sastra didasarkan pada kriteria intrinsik. Pembicaraan mengenai sastra dianggap hanya akan ada jika ada karya sastra.[23]

Pendekatan interdisiplin[sunting | sunting sumber]

Dalam karya sastra, pendekatan interdisiplin melibatkan penelitian yang menggabungkan dua ilmu atau lebih. Karya sastra dapat dikaji melalui pendekatan interdisiplin, transdisiplin, krosdisiplin, antardisiplin, dan lintas disiplin. Pada pendekatan interdisiplin dan krosdisiplin, suatu ilmu dapat digabungkan menjadi satu. Pendekatan interdisiplin dan krosdisiplin dilakukan pada kajian antropologi sastra, sosiologi sastra, dan psikologi sastra. Sedangkan pada pendekatan transdisiplin, lintas disiplin, maupun antardisiplin, belum terjadi penyatuan ilmu dan masing-masing masih memiliki kajian tersendiri.[24]

Pembentukan[sunting | sunting sumber]

Pembentukan karya sastra berkaitan dengan latar belakang sosiologi dari kehidupan penulisnya. Karya sastra dapat dijadikan sebagai lembaga masyarakat yang menggunakan bahasa sebagai media komunikasi. Latar belakang penulis berkaitan dengan kondisi politik di lingkungan tempat tinggalnya maupun ideologi yang dianutnya.[25]

Mutu[sunting | sunting sumber]

Bentuk, isi, ekspresi dan bahasa yang ditampilkan di dalam karya sastra menjadi penentu mutu karya tersebut. Karya sastra yang bermutu mampu memberikan gambaran secara jelas terhadap perasaan penulisnya serta mampu menjadi alat komunikasi dengan orang lain. Selain itu, karya sastra yang bermutu juga memiliki bentuk penulisan dengan pola yang teratur serta memiliki kesatuan antarunsur sastra. Karya sastra yang bermutu juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan penemuan dan pembaruan. Ekspresi ditampilkan apa adanya dengan cerita yang merupakan pengkhayatan kehidupan penulisnya yang diperoleh melalui penafsiran.[26]

Fungsi[sunting | sunting sumber]

Fungsi karya sastra yaitu untuk mengkomunikasikan ide dan menyalurkan pikiran serta perasaan estetis manusia pembuatnya.[27] Ide itu disampaikan lewat amanat yang pada umumnya ada dalam sastra.[27] Selain ide, dalam sastra terdapat juga deskripsi berbagai peristiwa, gambaran psikologis, dan berbagai dinamika penyelesaian masalah.[27] Hal ini dapat menjadi sumber pemikiran dan inspirasi bagi pembacanya.[27] Konflik-konflik dan tragedi yang digambarkan dalam karya sastra memberikan kesadaran pada pembaca bahwa hal itu dapat terjadi dalam kehidupan nyata dan dialami langsung oleh pembaca.[27] Kesadarannya itu membentuk semacam kesiapan dalam diri untuk menghadapi kondisi sosial yang terjadi di masyarakat.[27] Sastra juga berguna bagi para pembacanya sebagai media hiburan.[27]

Memberikan pengalaman imajinatif[sunting | sunting sumber]

Karya sastra digunakan untuk mengungkapkan suatu gagasan, ide, atau pemikiran dengan berlandaskan pada pengetahuan dari pengalaman. Sasaran utama dari karya sastra adalah kejiwaan manusia, Aspek kejiwaan ini meliputi aspek kognitif, afektif dan konatif. Karya sastra mampu memberikan tambahan keterampilan dalam pemikiran, pengindraan dan daya fantasi. Sebuah karya sastra berusaha menggugah pengalaman imajinatif melalui kesadaran panca indra. [28]

Memahami hakikat kehidupan[sunting | sunting sumber]

Karya sastra digunaaan untuk memberikan hiburan sekaligus kenikmatan dalam penyajian yang bernilai seni dan mengandung keindahan. Penulisan karya sastra yang mengandung literatur akan memperjelas, memperdalam, dan memperluas wawasan serta penghayatan manusia tentang hakikat kehidupan.[29] Karya sastra menggunakan bahasa sebagai media dalam memberikan gambaran tentang kehidupan dengan segala kerumitannya. Pesan yang disampaikan dalam bahasa sastra berupa cita-cita, keinginan, harapan, dan kekuasaan. Selain itu, karya sastra juga menjelaskan tentang pengabdian, makna dan tujuan hidup, perjuangan, eksistensi dan ambisi manusia. Perasaan yang ingin disampaikan di dalam karya sastra dapat berbentuk cinta, benci dan iri hati, tragedi dan kematian, serta hal-hal yang bersifat transedental dalam kehidupan manusia. Pengarang karya sastra menyampaikan hakikat, nilai kehidupan, dan eksistensi manusia melalui nilai kemanusiaan, sosial, kebudayaan, moral, politik, gender, pendidikan maupun ketuhanan atau keagamaan.[30]

Mempengaruhi tindakan masyarakat[sunting | sunting sumber]

Karya sastra merupakan ekspresi sastrawan yang didasarkan kepada pengamatannya terhadap kondisi masyarakat. Di dalam masyarakat, karya sastra dapat menggugah perasaan orang untuk berpikir dan merenungi kehidupan. Pengkajian dan pembacaan karya sastra merupakan sumber moral dan ilmu kemanusiaan yang menjadi penyebab tindakan dalam masyarakat. Karya sastra juga dapat membahayakan keberlangsungan suatu pemerintahan, sehingga lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada suatu negara dapat melarang penerbitan suatu karya sastra tertentu.[31]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Pengertian Karya Sastra". SHVOONG.com. Diakses tanggal 2014-06-05. 
  2. ^ a b c d "Latar Belakang Masalah Karya Sastra" (pdf). Diakses tanggal 2014-06-06. 
  3. ^ Kosasih 2008, hlm. 4.
  4. ^ Noor 2011, hlm. 17"Bentuk fisik dari sastra disebut karya sastra. Penulis karya sastra disebut sastrawan."
  5. ^ Nuryatin dan Irawati 2016, hlm. 7.
  6. ^ Mahliatussikah 2015, hlm. 2-3.
  7. ^ a b Mahliatussikah 2015, hlm. 3.
  8. ^ Mahliatussikah 2015, hlm. 3-4.
  9. ^ Suswandari dan Hatmo 2018, hlm. 1.
  10. ^ Nuryatin dan Irawati 2016, hlm. 8-9.
  11. ^ Kosasih 2008, hlm. 31.
  12. ^ Ahyar 2019, hlm. 34.
  13. ^ Kosasih 2008, hlm. 51.
  14. ^ Ahyar 2019, hlm. 235.
  15. ^ Kosasih 2008, hlm. 81.
  16. ^ Sumaryanto 2010, hlm. 1.
  17. ^ Sumaryanto 2010, hlm. 1-2.
  18. ^ Efendi 2020, hlm. 16.
  19. ^ Takari dan Fadlin 2018, hlm. 10.
  20. ^ Efendi 2020, hlm. 22-23.
  21. ^ Efendi 2020, hlm. 20-21.
  22. ^ Efendi 2020, hlm. 18.
  23. ^ Efendi 2020, hlm. 24.
  24. ^ Efendi 2020, hlm. 25-26.
  25. ^ Noor 2011, hlm. 26"Karya sastra sebagai lembaga masyarakat yang bermediumkan bahasa memiliki keterkaitan yang erat dengan sosiologi pengarangnya.Latar belakang pengarang memiliki peran yang besar dalam memberikan nuansa dan nilai dalam proses penciptaan karya sastra. Latar belakang tersebut, di dalamnya merangkum berbagai macam kondisi di mana sang pengarang memijakkan kaki, entah itu kondisi politik yang sedang bergejolak, maupun ideologi pengarang itu sendiri."
  26. ^ Mahliatussikah 2015, hlm. 6.
  27. ^ a b c d e f g "Salah satu Manfaat Karya Sastra". Diakses tanggal 2014-06-06. 
  28. ^ Suswandari dan Hatmo 2018, hlm. 5.
  29. ^ Al-Ma'ruf dan Nugrahani 2017, hlm. 5.
  30. ^ Al-Ma'ruf dan Nugrahani 2017, hlm. 4-5.
  31. ^ Takari dan Fadlin 2018, hlm. 12.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  1. Ahyar, Juni (2019). Apa Itu Sastra: Jenis-Jenis Karya Sastra dan Bagaimanakah Cara Menulis dan Mengapresiasi Sastra (PDF). Sleman: Deepublish. ISBN 978-623-02-0145-5. 
  2. Al-Ma'ruf, A. I., dan Nugrahani, F. (2017). Pengkajian Sastra: Teori dan Aplikasi (PDF). Surakarta: CV. Djiwa Amarta Press. ISBN 978-602-60585-8-4. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-01-10. Diakses tanggal 2020-12-16. 
  3. Efendi, Agik Nur (2020). Kritik Sastra: Pengantar Kritik, Teori dan Pembelajarannya (PDF). Bojonegoro: Madza Media. ISBN 978-623-7334-31-6.  [pranala nonaktif permanen]
  4. Kosasih, E. (2008). Apresiasi Sastra Indonesia (PDF). Jakarta: Nobel Edumedia. ISBN 978-602-8219-57-0. 
  5. Mahliatussikah, Hanik (2015). Pembelajaran Puisi Teori dan Penerapannya dalam Kajian Puisi Arab (PDF). Malang: Universitas Negeri Malang. ISBN 978-979-495-785-1. 
  6. Noor, Rohinah M. (2011). Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendidikan Moral yang Efektif. Sleman: Ar-Ruzz Media. ISBN 978-979-25-4857-0. 
  7. Nuryatin, A., dan Irawati, R.P. (2016). Pembelajaran Menulis Cerpen (PDF). Semarang: Cipta Prima Nusantara. ISBN 978-602-8054-88-1. 
  8. Sumaryanto (2010). Mengenal Puisi dan Syair. Semarang: PT. Sindur Press. ISBN 978-979-067-054-9. 
  9. Suswandari, M., dan Hatmo, K. T. (2018). Ontologi Puisi (PDF). Kebumen: CV. Intishar Publishing. ISBN 978-602-5692-57-4. 
  10. Takari, M., dan Fadlin (2018). Sastra Melayu Sumatera Utara (PDF). Medan: Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. ISBN 978-602-51878-1-0.