Jurnalisme multimedia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jurnalisme multimedia adalah praktik jurnalisme kontemporer yang mendistribusikan konten berita baik menggunakan dua atau lebih format media melalui Internet, atau menyebarluaskan laporan berita melalui berbagai platform media.[1]

Jurnalisme multimedia memberikan ruang interaktif bagi para khalayak, untuk tak hanya berperan aktif dalam mengkonsumsi konten-konten berita, seperti membaca berita, memberikan komentar, menonton video, ataupun mendengarkan audio, yang terdapat di berbagai media daring, namun juga sekaligus dapat menjadi produsen berita (ikut serta dalam memproduksi atau membuat berita).

Jenis Multimedia yang dapat dengan baik mendukung interaktifitas dari Jurnalisme Multimedia adalah Multimedia Interaktif atau sering disebut Hypermedia. Hypermedia adalah bentuk Multimedia yang memungkinkan para penggunanya menggerakan, menyunting, memberikan komentar ataupun bentuk interaktifitas lain pada produk media yang dibuka.[2]

Dengan kata lain, dengan adanya ruang baru bagi khalayak ini telah membuat mereka memiliki kemampuan yang multitasking. Para jurnalis multimedia juga dimungkinkan tak hanya dapat menulis berita, namun juga dapat menyajikan informasi dalam bentuk gambar, video, maupun infografik.

Menurut Steen Steensen,[3] berita di media daring tidak dilengkapi dengan multi-modality. Biasanya berita yang ada di media dating hanya berisi teks dan gambar. Jurnalisme multimedia berisi lebih dari dua elemen media, meliputi tapi tidak hanya terbatas pada kata-kata (teks) dan foto (gambar).

Genre[sunting | sunting sumber]

Genre pertama dari jurnalisme multimedia terdiri dari dua format dasar storytelling: Christmas Tree dan Embedded Multimedia Stories.[4] Format Pohon Natal (Christmas Tree) mengacu pada elemen-elemen multimedia yang diposisikan sebagai "sisi lain dari teks berita utama, laiknya ornamen yang tergantung di pohon." Misalnya, video, bagan, dan gambar, diletakkan di sisi sebelah kanan web yang punya peran kedua dalam penceritaan (storytelling).

Cerita multimedia yang dilampirkan (Embedded Multimedia Stories) sebaliknya, berperan sebagai elemen utama dalam liputan berita. Alih-alih ditempatkan di sebelahd berita utama, teknologi multimedia dilampirkan (embedded) dalam laporan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan liputan.

Ciri jurnalisme multimedia[sunting | sunting sumber]

  1. Proses pembuatan berita dalam jurnalisme multimedia dapat dilakukan secara tidak linier (tidak berurutan). Penulisan dan penyuntingan berita bisa saja dilakukan bersamaan.
    • Jurnalis multimedia dituntut untuk dapat menguasai segala bidang multimedia dalam membuat berita. Karena dalam berita terdapat gambar, foto ataupun video.
  2. Pengumpuan berita dapat dilakukan dengan cara memonitor internet untuk mengetahui informasi terkini yang sedang hangat di masyarakat, melalui ruang redaksi dan petunjuk acara.
  3. Publikasi berita bersifat waktu nyata. Setelah mendapatkan data, jurnalis bisa langsung menulis lalu mempublikasikan berita dengan sangat cepat, dapat dikatakan juga tidak ada jadwal khusus untuk penerbitan berita
  4. Ada gate keeper, namun bisa juga tanpa proses gatekeeping karena menuntut kecepatan publikasi.
    • Karena mengejar faktor kecepatan dan aktualitas dengan platform media yang lain, tak jarang informasi atau isu yang disampaikan tidak jelas sumbernya, tidak berdasarkan fakta, atau tidak netral.
  5. Produk jurnalisme multimedia disebarluaskan melalui televisi digital, situs web, media sosial, dan platform media daring lainnya.
    • Pembaca atau audiens dapat terlibat secara aktif dengan menyampaikan opini atau komentarnya di kolom komentar, yang terletak di bagian bawah atau akhir berita.
    • Terdapat komunitas dan pengurus di dalam newsroom untuk mengontrol komentar-komentar dari pembaca atau audiens.

Logika media[sunting | sunting sumber]

Sebuah artikel berjudul "What is Multimedia Journalism?"[1] menjelaskan tentang elemen-elemen logika media. Adapun elemen-elemen yang dimaksud, yaitu:

Pertama, fitur media yang terstruktur secara institusional. Elemen logika media ini berhubungan dengan bagaimana institusi media dapat terselenggara. Dalam era jurnalisme multimedia, berbagai institusi media mencoba untuk menghadirkan pendekatan storytelling. Konvergensi yang dilakukan oleh media dipraktikan dalam berbagai bentuk yang dipengaruhi oleh faktor internal (keterampilan, budaya, kebiasaan) dan faktor eksternal (regulasi, kompetisi, pemegang kekuasaan, masyarakat). Konvergensi media dapat dilihat dari usaha berbagai media penyiaran (cetak dan elektronik) membuka domain di internet. Hal lainnya yang harus dipikirkan secara matang oleh media pada konteks ini, yaitu kerjasama dengan institusi lain, riset, manajemen pemasaran, dan lainnya.

Kedua, kumpulan atribut teknis dan organisasi. Elemen logika media yang kedua ini berhubungan dengan cara kerja sebuah media. Elemen ini lebih dari sekadar mengamati struktur kelembagaan media berita yang konvergen. Elemen ini membahas tentang bagaimana sebuah perusahaan media menentukan anggarannya, bagaimana cara mereka bersinergi antar departemen, dan proses atau alur dalam merekrut pekerja di perusahaan tersebut. Pada konteks pekerja dan institusi media, konvergensi yang diterapkan dapat menuai masalah etika dan estetika. Ada banyak praktik menyalin informasi tanpa menyertakan sumber, penggunaan media yang monoton, dan ketergantungan pada perangkat keras dan lunak. Secara tidak sadar, keberadaan teknologi juga membentuk konsep "harus cepat", "harus mudah", dan "harus lebih baik".

Ketiga, kompetensi budaya pengguna dan produsen berita. Tantangan terbesar pada jurnalisme abad ke-21, yaitu kemampuan untuk melakukan pengumpulan data dan penyampaian berita dalam berbagai format media sekaligus, integrasi yang terjadi pada jaringan digital, dan konsep hubungan produser berita-hubungan konsumen. Elemen ini juga menjadi dilematik karena tuntutan kecepatan media dalam publikasi sebuah berita. Teknologi pada media baru jelas menantang konsep "kebenaran" dalam jurnalisme. Jurnalis dapat menentukan apakah realita yang direproduksi ke dalam berita merupakan kebenaran atau bukan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Deuze, Mark (2004). "What is multimedia journalism?". Journalism Studies. DOI: 10.1080/ 1461670042000211131: 140 – via Taylor & Francis Online. 
  2. ^ Vaughan, Tay (2004). Multimedia: Making It Work. Yogyakarta: Penerbit Andi. hlm. 3. ISBN 979-763-353-5. 
  3. ^ Steensen, Steen (2009-02-01). "Online Feature Journalism". Journalism Practice. 3 (1): 13–29. doi:10.1080/17512780802560716. ISSN 1751-2786. 
  4. ^ "Taxonomy of Digital Story Package". Berkeley Advanced Media Institute (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-04.