Sri Tanjung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sri Tanjung
Pembunuhan Sri Tanjung oleh Sidapaksa di tepi sungai. Lukisan karya R. Iskandar (1977).
Dongeng rakyat
NamaSri Tanjung
Juga dikenal sebagaiKisah asal usul Banyuwangi
Data
PengelompokanSejarah/asal usul tempat
MitologiHindu
Negara Indonesia
KawasanBanyuwangi, Jawa Timur
Tanggal Asal MuasalAbad ke 13

"Sri Tanjung" adalah cerita rakyat dalam khazanah kebudayaan Jawa yang berasal dari era Kerajaan Majapahit. Kisah ini dikenal dalam karya sastra berbahasa Jawa Pertengahan dalam bentuk kidung, suatu bentuk cerita yang dinyanyikan. Pewarisannya dilakukan secara lisan, sehingga ada cukup banyak varian cerita yang dikenal. Namun, plot dasar cerita adalah mengenai kesetiaan seorang istri (bernama Sri Tanjung) kepada suaminya, meskipun ia dilanda fitnah. Versi yang cukup dikenal dikaitkan dengan asal-usul nama Banyuwangi (Jawa: Banyuwangi, translit. air yang harum), wilayah paling timur dari Pulau Jawa. Nama Sri Tanjung dapat pula dikaitkan dengan bunga tanjung (Mimusops elengi), sejenis bunga yang beraroma wangi.

Dilihat dari alur ceritanya, Sri Tanjung merupakan kembangan/sempalan (spin-off) dari cerita Sudamala. Sama seperti Sudamala, cerita ini juga biasa dibawakan dalam pertunjukan sebagai bagian upacara ruwatan ("pembersihan dari kutukan/bahaya/ sukerta ") dalam adat Jawa.

Asal mula[sunting | sunting sumber]

Asal mula ataupun pencipta kisah ini tidak diketahui, tetapi diduga mengambil tempat di Banyuwangi, Jawa Timur, karena dikaitkan dengan legenda asal mula nama Banyuwangi. Kisah ini diperkirakan berasal dari zaman awal kerajaan Majapahit sekitar awal abad ke-14 Masehi. Pendapat ini didukung oleh temuan arkeologi; selain dalam bentuk tembang, kisah Sri Tanjung juga diabadikan dalam bentuk bas-relief yang terukir di pendapa teras Candi Penataran, dinding Gapura Bajang Ratu, Candi Surawana, dan Candi Jabung; semua di Jawa Timur.

Cerita[sunting | sunting sumber]

Berikut ini adalah salah satu versi cerita.[1] Kisah diawali dengan menceritakan tentang seorang ksatria yang tampan dan gagah perkasa bernama Raden Sidapaksa yang merupakan keturunan keluarga Pandawa (Sadewa atau Sudamala). Ia mengabdi kepada Raja Sulakrama yang berkuasa di Negeri Sindurejo. Sidapaksa diutus mencari obat oleh raja kepada kakeknya, Bhagawan Tamba Petra, yang bertapa di pegunungan. Di sana ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat ayu bernama Sri Tanjung. Sri Tanjung bukanlah gadis biasa, karena ibunya adalah bidadari yang turun ke bumi dan diperistri seorang manusia. Karena itulah Sri Tanjung memiliki paras yang luar biasa cantik jelita. Raden Sidapaksa jatuh hati dan menjalin cinta dengan Sri Tanjung yang kemudian dinikahinya. Setelah menjadi istrinya, Sri Tanjung diboyong ke Kerajaan Sindurejo.

Raja Sulakrama diam-diam terpesona akan kecantikan Sri Tanjung. Sang Raja menyimpan hasrat untuk merebut Sri Tanjung dari tangan suaminya, sehingga ia mencari siasat agar dapat memisahkan Sri Tanjung dari Sidapaksa. Lantas Raja Sulakrama mengutus Sidapaksa untuk pergi ke Swargaloka dengan membawa surat yang isinya "Pembawa surat ini akan menyerang Swargaloka". Atas bantuan Sri Tanjung yang menerima warisan selendang ajaib peninggalan ibunya , Sidapaksa dapat terbang ke Swargaloka. Setibanya di Swargaloka, Sidapaksa yang tidak mengetahui apa isi surat itu menyerahkan surat itu kepada para dewa. Akibatnya, dia dihajar dan dipukuli oleh para dewa. Namun akhirnya, dengan menyebut leluhurnya adalah Pandawa, maka jelaslah kesalahpahaman itu. Raden Sidapaksa kemudian dibebaskan dan diberi berkah oleh para dewa.

Sementara itu di marcapada (bumi), sepeninggal Sidapaksa, Sri Tanjung digoda oleh Raja Sulakrama. Sri Tanjung menolak, tetapi Sulakrama memaksa, memeluk Sri Tanjung, dan hendak memperkosanya. Mendadak datang Sidapaksa yang menyaksikan istrinya berpelukan dengan sang Raja. Raja Sulakrama yang jahat dan licik, malah balik memfitnah Sri Tanjung dengan menuduhnya sebagai wanita sundal penggoda yang mengajaknya untuk berbuat zina. Sidapaksa termakan hasutan sang Raja dan mengira istrinya telah berselingkuh, sehingga ia terbakar amarah dan kecemburuan. Sri Tanjung memohon kepada suaminya agar percaya bahwa ia tak berdosa dan selalu setia. Dengan penuh kesedihan Sri Tanjung bersumpah apabila dirinya sampai dibunuh, jika yang keluar bukan darah, melainkan air yang harum, maka itu merupakan bukti bahwa dia tak bersalah. Akhirnya dengan garang Sidapaksa yang sudah gelap mata menikam Sri Tanjung dengan keris hingga tewas. Maka keajaiban pun terjadi, benarlah persumpahan Sri Tanjung, dari luka tikaman yang mengalir bukan darah segar melainkan air yang beraroma wangi harum semerbak. Konon air yang harum mewangi itu menjadi asal mula nama tempat tersebut yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Blambangan, dinamakan Banyuwangi yang bermakna "air yang wangi". Melihat hal tersebut, Raden Sidapaksa menyadari kekeliruannya dan menyesali perbuatannya.

Sukma Sri Tanjung menuju ke Swargaloka dan bertemu Dewi Durga. Setelah mengetahui kisah ketidakadilan yang menimpa Sri Tanjung, Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh Dewi Durga dan para dewa. Sri Tanjung pun dipersatukan kembali dengan suaminya. Para dewa memerintahkan Sidapaksa untuk menghukum kejahatan Raja Sulakrama. Ia pun membalas dendam dan berhasil membunuh Raja Sulakrama dalam suatu peperangan.

Panil cerita di Candi Penataran[sunting | sunting sumber]

Panil-panil di sisi barat bagian selatan dan sisi selatan dari Pendapa Teras 2 di kompleks Candi Penataran memuat rangkaian cerita Sri Tanjung. Bentuk penyajiannya mengingatkan pada wayang beber, berupa panil panjang dengan gambar-gambar yang menggabungkan beberapa adegan sekaligus, dibaca dari kiri (prasawya). Tokoh Sri Tanjung digambarkan sebagai sosok perempuan bermahkota samping, mengenakan kemben. Tokoh Sidapaksa digambarkan bertelanjang dada, di kepalanya mengenakan tutup kepala khas, serta mengenakan kain semacam sarung yang diikat atau mengenakan celana yang dibalut kain sedengkul.

Versi cerita di sini tidak menyiratkan kaitan dengan legenda nama Banyuwangi. Tafsir dari panil-panil ini sedikit banyak mengikuti versi yang diungkapkan dalam Pratiwi (2016).[2]

Nomor adegan Gambar Rincian cerita
1 - 3
Adegan 1: Tersebutlah seorang kesatria putera salah seorang Pandawa (Sadewa atau Sudamala) bernama Raden Sidapaksa.

Adegan 2: Ia hidup bersama Sri Tanjung, yang dijumpainya ketika bertugas ke pertapaan kakeknya yang tuna netra, bernama Begawan Tambapetra.
Adegan 3: Sidapaksa memohon izin pada isterinya untuk meninggalkannya, karena harus pergi diutus oleh, raja yang dia abdi, Raja Sulakrama.

4 - 5
Adegan 4: Sepeninggal Sidapaksa, ternyata Sulakrama malah menggoda Sri Tanjung, yang ditolak mentah-mentah.

Adegan 5: Disaksikan oleh salah seorang abdinya, Sri Tanjung mengucapkan sumpah untuk menjaga kesetiaannya, dan menghindari fitnah yang dilakukan Sulakrama. Catatan: Menurut versi yang diceritakan dalam Pratiwi (2016), adegan 5 menggambarkan sumpah yang dilontarkan oleh Sri Tanjung, yang disaksikan oleh Raja Sulakrama

6
Adegan 6: Sri Tanjung pergi meninggalkan alam marcapada dan memasuki alam lain, disimbolkan dengan gambaran ia menaiki seekor ikan. Di tepian, tampak Sidapaksa menyaksikan dengan masygul dan menyesal.

Pada banyak versi, dikatakan bahwa Sri Tanjung meninggalkan dunia karena ia dibunuh oleh suaminya, Sidapaksa, yang menyangka Sri Tanjung telah berkhianat karena berhubungan dengan Sulakrama. Relief di Candi Penataran tidak memberikan tanda apa pun mengenai pembunuhan.

Catatan tentang relief: Adegan Sri Tanjung meninggalkan marcapada dengan menaiki ikan ini merupakan ciri khas dari cerita Sri Tanjung pada berbagai relief yang dijumpai pada candi-candi lain. Inskripsi pendek di atas panil terbaca mahisa putah.

7 - 8
Adegan 7: Menyesali apa yang telah terjadi, Sidapaksa dengan ditemani abdinya pergi mengembara mencari keberadaan Sri Tanjung

Adegan 8: Mereka kemudian ditemui oleh Batari Durga (Dewi Uma), yang ternyata menempatkan Sri Tanjung di pertapaan Begawan Tambapetra. Dewi Uma memberi tahu Sidapaksa tentang keberadaan Sri Tanjung
Panil ini adalah bagian terakhir relief Sri Tanjung yang berada di dinding sisi barat Pendapa Teras 2.

9
Adegan 9: Dengan ditemani abdi-abdinya, Sidapaksa bergegas pergi ke pertapaan Tambapetra.

Ini adalah panel pertama sisi selatan.

10 - 12
Adegan 10: Sidapaksa menemui Sri Tanjung (yang masih dalam bentuk roh di alam lain) dan meminta Sri Tanjung untuk kembali ke alam marcapada. Sri Tanjung bersedia namun meminta syarat.

Adegan 11: Sri Tanjung berjalan menuju batas alam roh dan kemudian menembus kembali ke alam kasar, dengan adegan simbolik diantar seekor ikan (hanya tampak ekornya).
Adegan 12: Dengan didampingi oleh Begawan Tambapetra dan isterinya, Sri Tanjung meminta syarat kepada Sidapaksa untuk menghukum Sulakrama

Tulisan di atas terbaca turigaluh

13
Adegan 13: Sidapaksa, didampingi dua abdinya, menghadap Sri Tanjung dan menyerahkan mahkota Sulakrama di atas meja, sebagai tanda bahwa ia telah menghukum Sulakrama
14
Adegan 14: Sambil disaksikan para pengawal, Sri Tanjung melakukan sungkem tanda bakti kepada Sidapaksa sebagai tanda ia telah menerima kembali Sidapaksa. Begawan Tambapetra dan isterinya menyaksikan dengan bahagia. Panil ini adalah yang terakhir di sisi selatan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Candi Penataran, Tri Bhuwana Tungga Dewi dan Megawati". Bali Post. 10 August 2002. Diakses tanggal 6 May 2012. [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ Pratiwi, Prihani (2016). Makna Visual Cerita Relief Sri Tanjung Candi Penataran. Skripsi. Program Studi Seni Rupa Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta. 

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]