Salat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kaum Muslimin di Indonesia sedang menunaikan salat di sebuah masjid di Tulehu, kira-kira tahun 1980.

Salat (pelafalan dalam bahasa Indonesia: [salat]; Arab: ٱلصَّلَاة aṣ-ṣalāh, jamak Arab: ٱلصَّلَوَات aṣ-ṣalawāt, ejaan tidak baku: shalat, sholat atau solat) atau namaz (Persia: نماز) adalah salah satu jenis ibadah di dalam agama Islam yang dilakukan oleh Muslim. Kegiatan salat meliputi perkataan dan perbuatan yang diawali dengan gerakan takbir dan diakhiri dengan gerakan salam.[1] Kedudukan salat di dalam Islam ialah sebagai rukun Islam yang kedua.[2] Salat merupakan suatu ibadah yang istimewa di dalam Islam karena perintah pelaksanaannya diterima oleh Nabi Muhammad dari Allah secara langsung.[3] Salat dijadikan sebagai penanda utama dalam status keimanan seorang muslim. Mengerjakan salat merupakan tanda awal keislaman sedangkan meninggalkan salat merupakan tanda awal kekafiran.[4]

Menurut syariat Islam, praktik salat harus sesuai dengan segala petunjuk tata cara yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad sebagai figur pengejawantahan perintah Allah.[5] Dalil mengenai kewajiban pelaksanaan salat terdapat di dalam Al-Qur'an, hadis, maupun ijmak para ulama.[6] Persyaratan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan salat ada sembilan, yaitu Islam, berakal, mumayyiz, bersuci, menutup aurat, bersih dari najis, mengetahui waktu pelaksanaan salat, menghadap ke kiblat, dan memiliki niat. Selain itu terdapat rukun salat yang jumlahnya sebanyak empat belas macam gerakan dan ucapan, serta delapan hal yang membatalkan salat.[7]

Salat secara umum terbagi menjadi dua jenis yaitu salat fardu dan salat sunah. Salat fardu terbagi menjadi 5 waktu tertentu yang dikerjakan setiap hari dan bersifat wajib. Sementara itu, salat sunah bersifat dianjurkan untuk dikerjakan pada waktu tertentu, khususnya pada hari raya Islam.[8]

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Kata salat merupakan kata serapan dalam bahasa Arab yaitu ṣalla. Kata ini merupakan turunan dari kata yuṣalli - ṣalātan.[9] Secara bahasa, kata salat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti sebagai "doa". Dalam Surah At-Taubah ayat 103 menjadi landasan pemaknaan ini. Dalam ayat ini, kata salat dimaknai sebagai "doa". Pemaknaan salat sebagai "doa" juga diperoleh dari perbuatan dan ucapan yang diadakan selama kegiatan salat merupakan serangkaian doa.[10]

Sementara itu, secara istilah salat diartikan oleh para ulama sebagai serangkaian ucapan dan gerakan tertentu yang diawal dengan takbir dan diakhiri dengan gerakan salam. Gerakan takbir perlu didahului dengan niat dan memiliki persyaratan tertentu sebelum dilaksanakan.[11] Abu Hanifah menambahkan makna salat ini dengan memberikan ciri umum gerakannya yaitu berdiri, rukuk, dan sujud.[12]

Hakikat[sunting | sunting sumber]

Salat termasuk dalam ibadah yang tujuan pelaksanaannya hanya untuk menghambakan diri kepada Allah. Dalam pelaksanaan salat timbul suatu hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, dan Allah sebagai pencipta makhluk yaitu manusia. Hubungan ini disebutkan di dalam Al-Qur'an pada Surah Az-Zariyat ayat 56, Surah Yasin ayat 22, dan Surah Al-'An'am ayat 162. Pada Surah Az-Zariyat ayat 56 disebutkan bahwa manusia dan jin diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah. Surah Yasin ayat 22 merupakan perenungan bahwa manusia akan kembali kepada Tuhannya sehingga tidak ada alasan untuk tidak beribadah kepada-Nya. Sementara itu, Surah Al-'An'am ayat 162 menjelaskan bahwa salat seorang muslim hanya dipersembahkan kepada Allah yang merupakan tuhan bagi seluruh alam.[13]

Dalil[sunting | sunting sumber]

Dalil di dalam Al-Qur'an[sunting | sunting sumber]

Kata salat hanya disebutkan 83 kali di dalam Al-Qur'an.[14] Perintah mengerjakan salat terdapat dalam beberapa ayat yaitu Surah Al-Hajj ayat 77, Surah Al-Baqarah ayat 43 dan 238, Surah An-Nisa' ayat 103 serta Surah Al-'Ankabut ayat 45. Surah Al-Hajj ayat 77 tidak secara langsung memberikan perintah salat, tetapi menyebutkan dua gerakan salat yaitu rukuk dan sujud. Surah Al-Baqarah ayat 43 secara langsung memerintahkan salat dengan menyebutkan salah satu gerakan salat yaitu rukuk. Ayat ini juga disertai dengan perintah untuk melaksanakan ibadah lain yaitu zakat. Surah An-Nisa' ayat 103 menjelaskan bahwa salat merupakan kewajiban bagi orang yang beriman dengan waktu pelaksanaannya telah ditentukan. Manfaat salat kemudian disebutkan dalam Surah Al-'Ankabut ayat 45 yaitu untuk mencegah manusia melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Setelah perintah dan manfaat salat disampaikan, maka dalam Surah Al-Baqarah ayat 238, Allah memerintahkan untuk memelihara salat dan melaksanakannya dengan khusyuk hanya untuk Allah.[15]

Berikut ini adalah ayat-ayat lain yang membahas tentang salat di dalam Al-Quran, kitab suci agama Islam:

  • Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: Hendaklah mereka mendirikan salat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan (Ibrahim 14:31).
  • Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji (zina) dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-‘Ankabut 29:45).
  • Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan (Maryam 19:59).
  • Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya (al-Ma’arij 70:19-23).

Dalil di dalam hadis[sunting | sunting sumber]

Perintah salat juga disampaikan di dalam hadis. Dalam periwayatan hadis dari Abdullah bin Umar, Nabi Muhammad mengatakan bahwa salah satu rukun islam adalah salat. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ahmad. Terdapat pula sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, nabi Muhammad mengatakan bahwa salat merupakan ibadah pertama yang dihitung dalam pengadilan hari kiamat. Keberuntungan akan diperoleh oleh manusia yang melaksanakan salat dengan baik, sedangkan yang melaksanakan kerugian akan memperoleh kerugian dan kekecewaan.[16]

Nabi Muhammad juga memberikan analogi mengenai pentingnya salat bagi agama Islam dan umat muslim. Salat diumpamakan sebagai tiang yang menopang bangunan. Dalam analogi ini, bangunannya adalah Islam yang dibangun atas dasar jihad. Salat dijadikan sebagai pengokoh dasar keislaman dan penopang jalan mencapai jihad kepada Allah.[17]

Pensyariatan[sunting | sunting sumber]

Allah memerintahkan pelaksanaan salat pada para nabi yang diutusnya antara lain Ibrahim, Ismail, Musa, Isa, dan Muhammad.[14] Setiap nabi dan rasul yang diutus oleh Allah telah diberi perintah untuk mengerjakan salat dengan hukum wajib untuk dilaksanakan. Tata cara dan aturan dalam pelaksanaan salat oleh tiap nabi dan rasul kemungkinan berbeda-beda sesuai dengan perintah Allah. Salat telah dilaksanakan sejak masa kenabian Adam hingga masa kenabian Muhammad. Penyempurnaan aturan, bacaan dan gerakan salat diadakan ketika Nabi Muhammad mengalami peristiwa Isra Mikraj menuju ke Sidratulmuntaha.[18] Perintah salat juga diberikan kepada Bani Israil,[19] dan seluruh Ahli Kitab.[20]

Nabi Adam dan keturunannya[sunting | sunting sumber]

Keterangan mengenai perintah dan pelaksanaan salat oleh Adam dan keturunannya tertera pada Surah Maryam ayat 59. Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa adam dan keturunannya bersujud dan menangis ketika dibacakan ayat-ayat Allah.[21]

Nabi Ibrahim[sunting | sunting sumber]

Keterangan mengenai pelaksanaan salat oleh Nabi Ibrahim terdapat dalam Surah Ibrahim ayat 37. Dalam ayat ini, diketahui bahwa nabi Ibrahim memindahkan anak dan keturunannya ke sebuah lembah yang tandus dan tidak ditumbuhi oleh tumbuhan. Di tempat tersebut, Ibrahim membangun Ka'bah sebagai tempat pelaksanaan salat bagi dirinya dan anak keturunannya.[22]

Nabi Ishaq dan Ya'kub[sunting | sunting sumber]

Di dalam Al-Qur'an juga disiratkan akan salat yang dilakukan oleh nabi Ishak dan Yakub:[23]

"...dan Kami telah memberikan kepada-nya (Ibrahim) lshaq dan Ya'qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami), dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah."

Nabi Muhammad[sunting | sunting sumber]

Sejak awal diutusnya Nabi Muhammad, umat muslim telah diperintahkan oleh Allah untuk melaksanakan salat. Perintah ini disampaikan langsung di dalam Al-Qur'an. Salat lima waktu baru diwajibkan setelah terjadinya peristiwa Isra Mikraj. Dalam Isra Mikraj tersebut disebutkan bahwa Nabi Muhammad salat terlebih dahulu di Al-Jami' Al-Aqsha sebelum naik ke langit dan berjumpa dengan para nabi yang lainnya. Nabi Muhammad juga bertemu dengan Nabi Musa dan dia menceritakan bahwa umatnya yaitu Bani Israil, tidak mampu melakukan salat lima puluh waktu dalam sehari.

Kiblat[sunting | sunting sumber]

"Seorang pria sedang berdoa dengan mengadahkan telapak tangan menghadap Ka'bah"
Seorang Muslim berdoa ke arah Ka'bah, kiblat umat Islam, di Masjidil Haram.

Kiblat merupakan salah satu ciri utama ibadah di dalam Islam yang tidak ditemukan pada agama lain. Ibadah pada agama lain tidak menetapkan satu lokasi tertentu yang menjadi pusat peribadatan. Sementara dalam Islam, setiap muslim hanya dibolehkan melaksanakan salat menghadap suatu tempat yang sama dan berlaku secara universal.[24] Kiblat tidak menandakan tempat yang menjadi keberadaan Allah. Dalam konsep Islam, Allah selalu berada di tempat manapun. Tujuan penetapan kiblat hanya sebagai simbol persatuan umat muslim di seluruh dunia.[25] Kiblat tidak dikenal oleh agama Abrahamik lainnya, yaitu Yahudi dan Kristen.[26]

Makkah, Madinah, dan Yerusalem

Pada awal mulanya salat umat muslim berkiblat ke Al-Jami' al-Aqsha di Yerusalem sebelum akhirnya diperintah Allah untuk berpindah kiblat ke bangunan yang didirikan Nabi Ibrahim dan Ismail yaitu Ka'bah yang berada di dalam Masjidil Haram.[27] Pengalihan arah kiblat ini terjadi ketika Nabi Muhammad dan para pengikutnya sedang melaksanakan salat di Madinah. Posisi salat pada saat itu menghadap ke utara sesuai dengan posisi dari Al-Jami' al-Aqsha. Setelah perubahan arah kiblat diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, maka kiblat salat berikutnya dialihkan ke arah selatan menghadap ke Ka'bah di Makkah. Proses pengalihan ini mulai dilakukan di penghujung hari, sehingga di permulaan hari, arah kiblat masih menghadap ke Al-Jami' al-Aqsha.[28]

Ayat Al-Qur'an yang memperjelas status Ka'bah sebagai kiblat umat Islam adalah Surah Al-Baqarah ayat 144, 149, dan 150. Ketiga ayat ini berisi perintah untuk memalingkan wajah ke arah Masjidil Haram.[29] Pewahyuan ketiga ayat ini berlangsung pada bulan Rajab atau Syakban tahun ke-2 Hijriyah (624 Masehi).[30]

Posisi menghadap kiblat memiliki tiga tingkatan yang menjadi syarat penunaian salat secara benar. Masing-masing ialah ketetapan hati, perasaan diawasi oleh Allah, dan pemaknaan terhadap kalam Allah. Ketetapan hati berkaitan dengan penjagaan hati dan pikiran yang dapat mengurangi pahala salat. Pikiran dan hati selama salat dijaga dari hawa nafsu dan keraguan berlebihan. Perasaan diawasi oleh Allah ialah melaksanakan salat dengan pikiran selalu meyakini bahwa Allah mengetahui, mengamati dan mengawasi ibadah salat. Sedangkan pemaknaan terhadap kalam Allah berarti bahwa salat dilaksanakan dengan mengetahui makna bacaannya, serta makna ubudiahnya.[31]

Hukum[sunting | sunting sumber]

Dalam Islam, salat merupakan suatu kewajiban yang dihukumi fardu ain bagi muslim yang telah baligh. Tiap muslim wajib melaksanakan salat selama ia masih hidup. Dalil mengenai kewajiban salat terdapat di dalam Al-Qur'an maupun hadis.[32] Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad telah memberikan peringatan keras kepada orang yang suka meninggalkan salat wajib, mereka akan dihukumi menjadi kafir[33] dan mereka yang meninggalkan salat maka pada hari kiamat akan disandingkan bersama dengan orang-orang, seperti Qarun, Fir'aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.[34]

Hukum salat secara umum terbagi menjadi dua yaitu wajib dan sunah. Salat yang wajib dikerjakan disebut salat fardu, sedangkan yang sunah untuk dikerjakan disebut salat sunah.[35]

Kondisi khusus[sunting | sunting sumber]

Dalam situasi dan kondisi tertentu kewajiban melakukan salat diberi keringanan tertentu. Misalkan saat seseorang sakit dan saat berada dalam perjalanan. Bila seseorang dalam kondisi sakit hingga tidak bisa berdiri maka ia dibolehkan melakukan salat dengan posisi duduk, sedangkan bila ia tidak mampu untuk duduk maka ia diperbolehkan salat dengan berbaring. Bila dengan berbaring ia tidak mampu melakukan gerakan tertentu ia dapat melakukannya dengan isyarat. Sedangkan bila seseorang sedang dalam perjalanan, ia diperkenankan menggabungkan (jamak) atau meringkas (qashar) salatnya. Menjamak salat berarti menggabungkan dua salat pada satu waktu yakni salat zuhur dengan salat asar atau salat magrib dengan salat isya. Mengqasar salat berarti meringkas salat yang tadinya 4 rakaat (zuhur, asar, isya) menjadi 2 rakaat.

Persyaratan[sunting | sunting sumber]

Syarat-syarat salat adalah hal-hal yang harus dipenuhi sebelum salat ditunaikan. Jenis syarat dalam salat dibagi berdasarkan kemampuan dari dalam diri individu maupun pengamatan dari luar diri individu. Syarat yang harus dimiliki di dalam diri individu meliputi beragama Islam, baligh, berakal sehat, dan mengetahui rukun salat. Sementara syarat yang berasal dari luar individu ialah kebersihan dan kesucian dari hadas dan najis, ketepatan waktu pelaksanaan salat serta posisi salat menghadap kiblat.[36]

Beragama Islam[sunting | sunting sumber]

Syarat sahnya salat yang paling pertama adalah pelaksananya harus meyakini kebenaran agama Islam. Salat seseorang dianggap tidak sah ketika dirinya menjadi kafir. Orang kafir yang kembali beragama Islam wajib mengqada salat-salatnya agar dapat kembali menjadi sah. Keterangan ini diperoleh dari Surah Al-Baqarah ayat 217.[37] Sebaliknya, mualaf tidak diwajibkan mengqada salat yang ditinggalkannya selama masih menjadi kafir. Dosa-dosa selama masih menjadi kafir diampuni oleh Allah sesuai keterangan pada Surah Al-Anfal ayat 38.[38]

Balig[sunting | sunting sumber]

Tanda balig bagi manusia adalah sama dengan tanda memasuki masa pubertas. Bagi laki-laki, tanda ini berupa terjadinya mimpi basah. Sementara bagi wanita, tanda balig adalah terjadinya menstruasi. Sebelum mencapai usia balig, salat belum berstatus sebagai kewajiban, tetapi setelah mencapai usia balig maka status salat menjadi wajib.[39] Anak yang belum mencapai masa pubertas dibebaskan dari kewajiban melaksanakan salat. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Muhammad bin Isa at-Tirmidzi dan Muhammad bin Ismail al-Bukhari.[40]

Wudhu[sunting | sunting sumber]

Tiga orang yang sedang berwudu di tempat wudhu.

Sebelum melaksanakan salat, tiap muslim wajib melakukan wudu. Caranya adalah dengan membersihkan bagian tubuh tertentu menggunakan air. Wudu mejadi syarat wajib sebelum melaksanakan salat wajib maupun salat sunah. Syarat pelaksanaan wudu adalah berislam, berakal sehat, menggunakan air suci, dan tidak berpenghalang. Makna berakal sehat ialah mampu membedakan antara hal yang baik dengan hal yang buruk. Sementara itu, air suci adalah air yang belum pernah digunakan untuk kegunaan lain, misalnya air hujan, air laut, air sungai, salju yang mencair, dan air dari tangki atau kolam besar. Penghalang di dalam wudu adalah najis atau hadas. Penghalang ini terbagi menjadi dua yaitu penghalang lahir dan penghalang biologis. Penghalang lahir misalnya kotoran yang menempel di sela-sela kuku, sedangkan penghalang biologis misalnya haid dan nifas bagi wanita. Syarat tambahan diberikan kepada orang dengan penyakit yang membuatnya selalu berhadas. Bagi penderita penyakit selalu berhadas, wudu dilakukan setiap memasuki waktu salat. Penyakit berhadas ini misalnya keputihan dan tidak mampu menahan buang air kecil.[41]

Wudu dimulai dengan niat dan kemudian dilanjutkan dengan membasuh kedua telapak tangan. Selanjutnya yang dibasuh adalah bagian muka, kedua telapa tangan hingga mencapai siku, mengusap bagian kepala dan membasuh kedua telapak kaki hingga tumit. Pelaksanaan wudu ini dilakukan secara berurutan.[42]

Wudu dapat menjadi batal akibat beberapa hal. Penyebab paling umum adalah keluarnya kotoran dari anus atau alat kelamin. Penyebab berikutnya adalah tidur dengan posisi tubuh tengkurap atau kaki terangkat. Wudu juga dapat batal akibat orang yang berwudu kehilangan akal sehat akibat mabuk, sakit, epilepsi, atau gila. Batalnya wudu juga disebabkan karena bersentuhan langsung antara kulit dengan kulit pada orang yang bukan mahram. Keberadaan atau ketidakberadaan hawa nafsu tidak mempengaruhi pembatalan wudu. Kondisi terakhir yang dapat membatalkan wudu adalah menyentuh lubang anus sendiri maupun orang lain baik dalam keadaan hidup atau telah meninggal.[43]

Rukun shalat[sunting | sunting sumber]

Rukun salat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat salat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka salat pun tidak sah berdasarkan syariat Islam dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.[44]

  1. Berdiri bagi yang mampu.[45]
  2. Niat dalam hati.
  3. Takbiratul ihram.[46]
  4. Membaca surat Al Fatihah pada tiap rakaat.[47]
  5. Rukuk dan thuma’ninah.[48][49]
  6. I'tidal setelah rukuk dan thuma'ninah.[49][50]
  7. Sujud dua kali dengan tumakninah.[49][51]
  8. Duduk antara dua sujud dengan tumakninah.[49][52]
  9. Duduk tasyahud akhir
  10. membaca tasyahud akhir.[53]
  11. Membaca salawat nabi pada tasyahud akhir.[54]
  12. Membaca salam yang pertama.[55]
  13. Tertib melakukan rukun secara berurutan.[56]

Takbir[sunting | sunting sumber]

Pengucapan kata "akbaaar" atau di panjangkan di dalam takbir ketika salat tidaklah diperbolehkan. Larangan ini berlaku secara mutlak serta berlaku pula di dalam azan. Pemanjangan ucapan "akbaaar" dapat mengubah arti dari kata tersebut. Kata akbar ketika dipanjangkan menjadi akbâr akan berarti sejenis tanaman atau bedug yang hanya punya satu sisi pukul. Selain itu, imam salat yang memanjangkan kata "akbar" dapat membuat makmum mendahuluinya dalam rukun salat. Makmum dalam artian ini menyelesaikan pengucapan takbir sebelum imam, sehingga melanggar rukun salat.[57]

Jenis[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan hukumnya[sunting | sunting sumber]

Salat nawafil[sunting | sunting sumber]

Salat nawafil adalah salat tambahan selain salat fardu. Salat nawafil ini terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu salat sunah, salat mustahab dan salat tathawwu'. Ketiga tingkatan ini sering disatukan menjadi satu yaitu salat sunah, tetapi ketiganya tetap memiliki perbedaan.[58] Salat sunah merupakan salat tambahan yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad semasa hidupnya secara terus-menerus. Salat mustahab adalah salat yang diketahui pelaksanaanya di dalam hadis, tetapi pelaksanaannya secara terus-menerus tidak terdapat di dalam hadis. Sementara itu, salat tathawwu' merupakan salat yang tidak terdapat dalam hadis maupun dicontohkan oleh para sahabat, tabiin dan tabi'ut tabi'in. Salat tathawwu' hanya dikerjakan sebagai bentuk pendekatkan diri seorang hamba kepada Allah. Kesalahan dalam penyebutan ketiga jenis salat nawafil ini tidak membuat seorang muslim berdosa selama mereka memahami makna dari ketiganya.[59]

Salat sunah adalah salat-salat yang dianjurkan untuk dikerjakan, akan tetapi tidak diwajibkan. Seorang muslim tidak berdosa ketika tidak melaksanakan salat sunah, sedangkan melaksanakannya berarti memperoleh pahala. Salat sunah terbagi lagi menjadi dua, yaitu salah sunah muakkad dan salat sunah ghairu muakkad. Salat sunah muakkad adalah salat sunah yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti salat dua hari raya dan salat tarawih. Sedangkan salat sunah ghairu muakkad adalah salat sunah yang dianjurkan tanpa anjuran dengan penekanan yang kuat.[60] Contoh salat sunah ghairu muakkad yaitu salat rawatib dan salat sunah yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti salat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).

Salat fardu[sunting | sunting sumber]

  • Fardu, Salat fardhu ialah salat yang diwajibkan untuk mengerjakannya. Salat fardhu terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
    • Fardu ain adalah kewajiban yang diwajibkan kepada mukalaf langsung berkaitan dengan dirinya dan tidak boleh ditinggalkan ataupun dilaksanakan oleh orang lain, seperti salat lima waktu dan salat Jumat (fardu 'ain untuk pria).
    • Fardu kifayah adalah kewajiban yang diwajibkan kepada mukalaf tidak langsung berkaitan dengan dirinya. Kewajiban itu menjadi sunnah setelah ada sebagian orang yang mengerjakannya. Akan tetapi bila tidak ada orang yang mengerjakannya maka kita wajib mengerjakannya dan menjadi berdosa bila tidak dikerjakan, seperti salat jenazah.

Salat berjamaah[sunting | sunting sumber]

Salat berjamaah
Sebuah infografik mengenai posisi salat berjamaah sesuai sunnah dari Nabi Muhammad.

Salat tertentu dianjurkan untuk dilakukan secara bersama-sama (berjamaah). Dalam pelaksanaannya setiap Muslim diharuskan mengikuti apa yang telah Nabi Muhammad ajarkan, yaitu dengan meluruskan dan merapatkan barisan, antara bahu, lutut dan tumit saling bertemu.[61][62][63][64]

Pada salat berjamaah seseorang yang dianggap paling kompeten akan ditunjuk sebagai imam salat, dan yang lain akan berlaku sebagai makmum.

Berikut ini adalah jenis-jenis hukum salat berjamaah:[65][66][catatan 1]

Salat fardu[sunting | sunting sumber]

Salat yang mula-mula diwajibkan bagi Nabi Muhammad dan para pengikutnya adalah salat malam, yaitu sejak diturunkannya Surat al-Muzzammil (73) ayat 1-19. Setelah beberapa lama kemudian, turunlah ayat berikutnya, yaitu ayat 20:

"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu, dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alquran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik, dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya, dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Dengan turunnya ayat ini, hukum salat malam hukumnya menjadi sunnah. Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya berkata mengenai ayat 20 ini, "Sesungguhnya ayat ini menghapus kewajiban salat malam yang mula-mula Allah wajibkan bagi umat Islam.

Kemakruhan dan keharaman[sunting | sunting sumber]

Waktu dan tempat[sunting | sunting sumber]

mWaktu-waktu salat dalam sehari

Waktu salat yang diberi hukum terlarang adalah pada salat sunnah, dengan pengecualian. Larangan salat ini dikarenakan meniru perbuatan orang munafik. Waktu pelaksanaannya ada beberapa yaitu:[67]

  1. Setelah salat subuh hingga matahari terbit
  2. Saat matahari terbit hingga baru mencapai sepenggalah
  3. Posisi matahari tepat berada di atas tubuh, sehingga bayang-bayang tepat berada di bawah tubuh. Kemakruhan ini dikecualikan untuk hari Jumat.
  4. Setelah shalat asar hingga matahari terbenam.
  5. Saat matahari terbenam hingga langit gelap sempurna.

Pengecualian terhadap waktu terlarang cukup banyak. Beberapa salat yang boleh didirikan dalam waktu terlarang tersebut antara lain ketika seseorang lupa, salat dua rakaat tawaf, salat jenazah, salat tahiyat masjid, salat gerhana, atau saat akan mengganti salat fardu yang terlewat (qadha).[67]

Keharaman juga berlaku pada tempat salat. Terdapat beberapa tempat salat yang membuat hukum salat menjadi haram. Berdasarkan kelayakannya sebagai tempat ibadah, haram melaksanakan salat berlaku di pemandian,[68] tempat berganti pakaian,[69] dan peternakan.[70] Salat haram didirikan di tempat yang memiliki banyak najis seperti tempat penyembelihan hewan, kakus, dan tempat pembuangan akhir.[70][68] Ada pula tempat yang juga dimakruhkan atau bahkan diharamkan untuk salat karena mengganggu publik atau dimurkai oleh Allah. Tempat salat yang haram akibat mengganggu publik adalah di jalan raya yang masih digunakan, lembah yang rawan banjir, pasar, atau di muka publik.[69][68] Adapun tempat salat yang dimurkai Allah adalah di tempat ibadah umat nonmuslim atau di tempat maksiat.[69]

Salat haram dilakukan di pemakaman karena menurut tradisi Islam, salat di atasnya dianggap menyembah kubur. Pengecualian haramnya salat di pemakaman berlaku untuk salat jenazah, jika jenazah akan segera dikuburkan setelahnya.[71][72] Salat juga haram dilakukan di bagian atap Ka'bah, karena bagian tersebut dianggap tanpa arah. Akan tetapi salat dianggap sah jika dilakukan di dalamnya.[68]

Tempat salat yang dianggap makruh adalah tempat yang banyak dipajang gambar atau lukisan. Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, seorang ulama klasik Islam, menganggap bahwa tempat yang seperti ini layak dimakruhkan daripada kamar mandi. Bahkan gambar-gambar diyakini, menurut tradisi Islam, adalah sumber perbuatan syirik.[73]

Pakaian[sunting | sunting sumber]

Dalam salat, baik laki-laki maupun perempuan diharamkan menggunakan pakaian yang ketat. Pelarangan ini dikarenakan pakaian ketat membuat aurat terlihat melalui lekuk tubuh.[74]

Manfaat[sunting | sunting sumber]

Memelihara kesehatan tubuh manusia[sunting | sunting sumber]

Salat merupakan sebuah ibadah yang memiliki gerakan-gerakan tertentu. Setiap gerakan salat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia. Gerakan wudu sebelum salat serta pelaksanaan salat membuat akupunktur dan pemijatan alami bagi tubuh manusia melalui sentuhan. Daerah akupunktur ini terbagi menjadi 12 titik di telapak tangan, 24 titik pada wajah, 8 titik pada lengan, 24 titik pada kepala, dan 13 titik pada kaki. Gerakan-gerakan salat juga mencegah beberapa penyakit timbul pada manusia. Gerakan berdiri setelah sujud atau rukuk membuat saraf pada bagian otak dan punggung manusia terkendurkan. Hal ini membuat tubuh manusia lebih sulit terkena penyakit yang berkaitan dengan ruas tulang punggung. Pada posisi sujud, terjadi kontraksi pada otot-otot dan terjadi pemijatan pada bagian pembuluh darah dan saraf di bagian kelenjar getah bening serta mencegah pengerutan pada bagian pembuluh darah. Sementara itu, pada gerakan duduk tasyahud, terjadi pemijatan pada bagian pusat otak ruas tulang punggung, bahu, mata, dan jari kaki. Sedangkan pada gerakan salam, terjadi penguatan otot leher dan kepala selama kepala menoleh ke kanan dan ke kiri.[75]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Setiap madzhab berbeda pendapat tentang hukum salat berjamaah. Selebihnya bisa membaca artikel Hukum Shalat Berjamaah Adalah Bervariasi, Fardu Ain, Mubah, Sunah? oleh Abdul Hadi.

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ar-Rahbawi 2017, hlm. 175.
  2. ^ Hambali, Muh. (2017). Rusdianto, ed. Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari: Dari Kandungan hingga Kematian. Yogyakarta: Laksana. hlm. 19. ISBN 978-602-407-185-1. 
  3. ^ Al-Mahfani dan Hamdi 2016, hlm. 81.
  4. ^ al-Basuruwani 2018, hlm. 58.
  5. ^ Rasulullah ﷺ bersabda, Salatlah kalian sesuai dengan apa yang kalian lihat aku mempraktikkannya. Hadits riwayat Imam Bukhari no. 628, 7246 dan Imam Muslim no. 1533.
  6. ^ Sarwat 2019, hlm. 9.
  7. ^ Adil 2018, hlm. 75.
  8. ^ Ar-Rahbawi 2017, hlm. 177.
  9. ^ Al-Mahfani dan Hamdi 2016, hlm. 80.
  10. ^ Syarbini 2011, hlm. 2.
  11. ^ Sarwat 2019, hlm. 4.
  12. ^ Sarwat 2019, hlm. 4-5.
  13. ^ al-Basuruwani 2018, hlm. 53.
  14. ^ a b Syarbini 2011, hlm. 4.
  15. ^ Al-Mahfani dan Hamdi 2016, hlm. 82-83.
  16. ^ Al-Mahfani dan Hamdi 2016, hlm. 84.
  17. ^ Sarwat 2019, hlm. 7.
  18. ^ Sarwat 2019, hlm. 9-10.
  19. ^ "Surah Al-Baqarah - 83". quran.com. Diakses tanggal 10 Februari 2024. 
  20. ^ "Surah Al-Baqarah - 3-4". quran.com. Diakses tanggal 10 Februari 2024. 
  21. ^ Sarwat 2019, hlm. 10.
  22. ^ Sarwat 2019, hlm. 10-11.
  23. ^ "Surah Al-Anbya - 72-73". quran.com. Diakses tanggal 10 Februari 2024. 
  24. ^ Usmani 2015, hlm. 23.
  25. ^ Usmani 2015, hlm. 26.
  26. ^ Usmani 2015, hlm. 25.
  27. ^ "Surah Al-Baqarah - 144". quran.com. Diakses tanggal 2021-09-27. 
  28. ^ Usmani 2015, hlm. 22.
  29. ^ Bashori 2015, hlm. 97–98.
  30. ^ Bashori 2015, hlm. 104.
  31. ^ bin Sa'ad, Abu Abdirrahman Adil (2018). Ensiklopedi Shalat. Diterjemahkan oleh Mujtahid, Umar. Jakarta Timur: Ummul Qura. hlm. 58. ISBN 978-602-7637-03-0. 
  32. ^ Al-Mahfani dan Hamdi 2016, hlm. 82.
  33. ^ Muhammad ﷺ bersabda: "Perjanjian yang memisahkan kita dengan mereka adalah salat. Barangsiapa yang meninggalkan salat, maka berarti dia telah kafir." Hadis riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi.
  34. ^ Muhammad ﷺ bersabda: "Barangsiapa yang menjaga salat maka ia menjadi cahaya, bukti dan keselamatan baginya pada hari kiamat dan barangsiapa yang tidak menjaganya maka ia tidak mendapatkan cahaya, bukti dan keselamatan dan pada hari kiamat ia akan bersama Qarun, Fir'aun, Haman dan Ubay bin Khalaf." Hadis shahih riwayat Imam Ahmad, Ath-Thabrani dan Ibnu Hibban.
  35. ^ Watiniyah 2019, hlm. 19.
  36. ^ Sya'roni, M., dan Mathroni, M. (2006). Risalah Bimbingan Salat. Semarang: Aneka Ilmu. hlm. 25-26. ISBN 978-979-7361-43-3. 
  37. ^ Maulana dan Jinaan 2017, hlm. 2-3.
  38. ^ Maulana dan Jinaan 2017, hlm. 3.
  39. ^ Maulana dan Jinaan 2017, hlm. 3-4.
  40. ^ Maulana dan Jinaan 2017, hlm. 4.
  41. ^ Syafril 2018, hlm. 2.
  42. ^ Syafril 2018, hlm. 3-4.
  43. ^ Syafril 2018, hlm. 9.
  44. ^ https://rumaysho.com/1723-rukun-rukun-shalat-1.html
  45. ^ “Salatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.” HR Bukhari no. 1117, dari ‘Imron bin Hushain.
  46. ^ “Pembuka salat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar salat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam.” HR Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301.
  47. ^ “Tidak ada salat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.” HR Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394, dari ‘Ubadah bin Ash Shomit.
  48. ^ “Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’.” HR Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397.
  49. ^ a b c d “Salat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, … kemudian bertakbir, lalu melakukan ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai persendian yang ada dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.” HR Ad-Darimi no. 1329. Syaikh Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
  50. ^ “Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan thuma’ninalah.”
  51. ^ “Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud.”
  52. ^ “Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan thuma’ninalah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.”
  53. ^ “Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam salat, maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah …”.” HR Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402, dari Ibnu Mas’ud.
  54. ^ “Jika salah seorang di antara kalian hendak salat, maka mulailah dengan menyanjung dan memuji Allah, lalu bershalawatlah kepada Nabi ﷺ, lalu berdo’a setelah itu semau kalian.” Riwayat ini disebutkan oleh Syaikh Al Albani dalam Fadh-lu Salat ‘alan Nabi, hal. 86, Al Maktabah Al Islamiy, Beirut, cetakan ketiga 1977.
  55. ^ “Yang mengharamkan dari hal-hal di luar salat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam.” HR Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301.
  56. ^ Pembahasan rukun salat ini banyak disarikan dari penjelasan Syaikh Abu Malik dalam kitab Shahih Fiqh Sunnah terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
  57. ^ bin Sa'ad, Abu Abdirrahman Adil (2018). Ensiklopedi Shalat. Diterjemahkan oleh Mujtahid, Umar. Jakarta Timur: Ummul Qura. hlm. 553. ISBN 978-602-7637-03-0. 
  58. ^ Watiniyah 2019, hlm. 20.
  59. ^ Watiniyah 2019, hlm. 21.
  60. ^ Watiniyah 2019, hlm. 19-20.
  61. ^ Rasulallah ﷺ bersabda, “Luruskan shaf-shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan salat.” (Hadits riwayat Bukhari, dalam Fath al-Bari’ No.723)
  62. ^ Rasulallah ﷺ bersabda, “Benar-benarlah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan membuat berselisih di antara wajah-wajah kalian.” (Hadits riwayat Bukhari 717, Imam Muslim 127, Lafadz ini dari Imam Muslim). Berkata Al-Imam An-Nawawi, “Makna hadits ini adalah akan terjadi di antara kalian permusuhan, kebencian dan perselisihan di hati.”
  63. ^ Rasulallah ﷺ bersabda, “Luruskan shaf kalian, jadikan setentang di antara bahu-bahu, dan tutuplah celah-celah yang kosong, lunaklah terhadap tangan saudara kalian dan jangan kalian meninggalkan celah-celah bagi setan. Barangsiapa menyambung shaf maka Allah menyambungkannya dan barangsiapa yang memutuskannya maka Allah akan memutuskannya.” (Hadits riwayat Bukhari, Abu Dawud 666. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
  64. ^ Dari Abu Qosim Al-Jadali berkata, “Saya mendengar Nu’man bin Basyir berkata, ‘Rasulallah ﷺ menghadapkan wajahnya kepada manusia dan bersabda, ‘Luruskan shaf-shaf kalian! Luruskan shaf-shaf kalian! Luruskan shaf-shaf kalian! Demi Allah benar-benar kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menjadikan hati kalian berselisih.’ Nu’man berkata, ‘Maka saya melihat seseorang melekatkan bahunya dengan bahu kawannya, lututnya dengan lutut kawannya, mata kaki dengan mata kaki kawannya.’’” (Hadits riwayat Abu Dawud 662, Ibnu Hibban 396, Ahmad 4272. Dishahihkan Syaikh Al-Albany dalam As-Shahihah no.32)
  65. ^ Hadi, Abdul. "Hukum Shalat Berjamaah Adalah Bervariasi, Fardu Ain, Mubah, Sunah?". tirto.id. Diakses tanggal 2023-04-03. 
  66. ^ Faizin, Muhammad. "Keutamaan dan Hukum Shalat Berjamaah". nu.or.id. Diakses tanggal 2023-04-03. 
  67. ^ a b al-Fauzan 2019, hlm. 186-190.
  68. ^ a b c d Sabiq 2015, hlm. 449.
  69. ^ a b c Watiniyah 2019, hlm. 28.
  70. ^ a b al-Fauzan 2019, hlm. 43.
  71. ^ al-Fauzan 2019, hlm. 41.
  72. ^ Sabiq 2015, hlm. 446.
  73. ^ al-Fauzan 2019, hlm. 44.
  74. ^ Salman, Masyhur Hasan (2016). Ensiklopedi Kesalahan dalam Shalat. Jakarta: Pustaka Imam Syafi'i. hlm. 27. ISBN 978-602-9183-46-7. 
  75. ^ Usmani 2015, hlm. 21.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]