Rumah adat Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rumoh Aceh milik bangsawan Aceh, Cut Nyak Dhien di Gampong Lampisang, Kabupaten Aceh Besar.

Rumoh Acèh (dalam bahasa Aceh) merupakan rumah adat khas suku Aceh. Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagan utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka keluarga.[1]

Bagi suku bangsa Aceh, segala sesuatu yang akan mereka lakukan, selalu berlandaskan kitab adat. Kitab adat tersebut dikenal dengan Meukeuta Alam. Salah satu isi di dalam terdapat tentang pendirian rumah. Di dalam kitab adat menyebutkan: ”Tiap-tiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tiang di atas itu hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit”. Kain merah putih yang dibuat khusus di saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tamèh raja dan tamèh putroë”. Oleh karenanya terlihat bahwa Suku Aceh bukanlah suatu suku yang melupakan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Dalam kitab tersebut juga dipaparkan bahwa; dalam Rumoh Aceh, bagian rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya. Menurut adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh di pra-é, atau dibelokkan dari hukum waris. Jika seorang suami meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau menjadi milik isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan.Untuk itu, dalam Rumah Adat Aceh, istilah yang dinamakan peurumoh, atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah orang yang memiliki rumah.

Material[sunting | sunting sumber]

Rumoh Aceh di Lam Baro, Glumpang Tiga, Pidie

Rumoh Aceh bermaterial kayu pilihan. Kayu tersebut digunakan sebagai tiang-tiang penyangga rumah yang berjumlah 16, 24 atau 32 tiang. 16 tiang untuk rumah bertipe 3 ruangan, 24 tiang untuk rumah bertipe 5 ruangan dan 32 tiang untuk rumah bertipe 7 ruangan. Sedangkan dinding rumah bermaterial papan keras yang dilengkapi ukiran khas Aceh. Begitu juga dengan alas rumah yang terbuat dari papan, papan-papan tersebut hanya disematkan begitu saja tanpa dipaku sehingga mudah dilepas dan memudahkan ketika pemandian jenazah karena air tumpah langsung ke tanah. Adapun atap bermaterial daun rumbia. Daun rumbia bersifat ringan dan memberikan efek sejuk kepada rumah, selain itu struktur anyaman yang ditali dapat dipotong dengan mudah jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran[2]. Dalam memperkuat bangunan rumah aceh tidak menggunakan paku, melainkan memakai pasak atau pengikat dari tali rotan.[3]

Fungsi dan Filosofi[sunting | sunting sumber]

Rumah Aceh tidak hanya berfungsi sebagai hunian. Tetapi juga mencerminkan keyakinan kepada Tuhan. Hal tersebut terlihat dari bangunan rumah yang berbentuk segi empat dan memanjang dari timur ke barat membentuk garis imajiner ke Ka'bah. Bagian sisi rumah yang menghadap barat dan timur pun berfungsi mengantisipasi badai. Hal ini karena angin badai di Aceh jika tidak bertiup dari barat, maka akan bertiup dari Timur.[2]

Fungsi lainnya rumah aceh adalah menunjukan status sosial pemiliknya. Semakin banyak hiasan maka semakin kaya pemiliknya. Sedangkan untuk pemilik yang sederhana hiasannya relatif sedikit bahkan tidak ada sama sekali.[3]

Rumah yang berbentuk panggung menyebabkan terdapat jarak antara permukaan tanah dengan lantai dasar. Biasanya jarak lantai dasar dari permukaan tanah terpisah 9 kaki atau lebih. Desain ini memiliki fungsi keselamatan dari gangguan binatang buas dan bencana banjir. Maksudnya, jika terjadi banjir maka penghuni rumah tidak ikut kebasahan atau pun terbawa arus banjir. Sedangkan bagian pintu dibangun setinggi 120–150 cm, hal tersebut membuat orang yang masuk harus sedikit menunduk ketika memasuki rumah. Filosofi menunduk ini adalah sebuah bentuk penghormatan kepada pemilik rumah tanpa melihat status sosial atau derajat sang tamu. Konsekuensi dari bentuk rumah yang panggung menyebabkan rumah aceh mempunyai tangga, anak-anak tangganya sengaja berjumlah ganjil. Menurut adat Aceh, angka ganjil bersifat unik dan sulit ditebak.[2]

Bagian-bagian rumah[sunting | sunting sumber]

Rumoh Aceh di Piyeung Datu, Montasik, Aceh Besar

Bagian bawah[sunting | sunting sumber]

Bagian bawah rumah aceh disebut meuyup rumoh. Bagian meuyup rumoh merupakan bagian kosong diantara lantai rumah dengan permukaan tanah. Ruang kosong ini dimanfaatkan berbagai keperluan, seperti arena bermain anak, tempat kadang hewan peliharaan, tempat membuat ija sungkét (kain songket) khas Aceh dan tempat berjualan. Selain itu ruang kosong ini bisa dijadikan tempat penyimpanan penumbuk padi yang bernama jeungki dan sebuah krong pade(tempat menyimpan padi berbentuk bulat dengan tinggi dan diameter mencapai dua meter)[3]

Bagian tengah[sunting | sunting sumber]

Bagian tengah rumah aceh merupakan tempat utama penghuni, di mana didalamnya tempat dilakukan segala aktivitas. Bagian ini terbagi menjadi tiga, yakni seuramoe reungeun(serambi depan), sueramoe teungoh(serambi tengah) dan seuramoe likot(serambi belakang)

Pertama serambi depan, ruangan ini tidak bersekat dan pintunya berada di ujung lantai sebelah kanan. Ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur anak laki-laki dan tempat mengaji. Sesekali ruangan ini difungsikan untuk menjamu tamu penting seperti makan bersama dan acara keduri.

Kedua serambi tengah, ruangan ini merupakan bagian inti dari rumah biasa disebut juga sebagai rumoh inong(rumah induk). Ruangan ini terletak lebih tinggi karena dianggap suci dan bersifat pribadi. Di dalam ruangan ini terdapat dua kamar yang menghadap utara atau selatan dengan pintu menghadap ke belakang. Kamar untuk kepala keluarga disebut rumoh inong, sedangkan untuk anak perempuan disebut rumoh anjung. Ketika anak perempuan menikah maka pengantin akan menempati rumoh inong sedangkan kepala keluarga di rumah anjong. Jika anak perempuan kedua menikah, rumoh inong difungsikan untuk pengantin dan kepala keluarga pindah ke rumoh likot sampai sang anak memiliki rumah sendiri. Selain itu rumoh inong difungsikan juga sebagai tempat memandikan mayat ketika ada peristiwa kematian keluarga.

Ketiga, serambi belakang. Serambi ini tingginya sama dengan serambi depan. Ruangnnya tidak bersekat dan tidak ada kamar. Ruangan ini difungsikan sebagai ruang keluarga, tempat makan bersama keluarga atau bahkan dapur maupun tempat menenun-menyulam.[3]

Bagian atas[sunting | sunting sumber]

Bagian atas rumah berbentuk loteng segitiga yang mengerucut kebagian atas sehingga tampak lancip. Bagian atas ini disebut bubong. Bubong yang menyatukan bubong bagian kiri dengan bagian kanan disebut perabung. Letak bagian atas terletak tepat di atas serambi tengah. Fungsinya sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga keluarga.

Kontruksi dan Elemen Rumah[sunting | sunting sumber]

Rumah Aceh peninggalan Sayid Muhammad Yasin di Nagan Raya

Konstruksi rumoh Aceh terbilang kokoh dan mempunya fungsi antisipasi bencana seperti gempa dan banjir. Terbukti, ketika peristiwa tsunami tahun 2004, rumoh aceh tidak bergeser sedikit pun dan tidak mengalami kerusakan berarti. Kekokohan rumoh aceh ini ditopang oleh konstruksi tiang-tiang penyangga. Ukuran tiap tiangnya berkisar 20–35 cm, di mana disetiap ujung bawah tiang dilengkapi batu landasan yang berguna mengantisipasi kayu masuk ke tanah ketika banjir/tanahnya lembab. Di bagian lantai terdapat balok penyangga. Balok-balok tersebut disusun rapat-rapat, sehingga kemungkinan roboh menjadi kecil.

Selain konstruksi, rumoh Aceh pun mempunyai elemen-elemen yang berguna sebagai penyangga dan penguat di setiap elemennya pun terdapat filosofinya. Berikut pemaparannya:

  • Tamèh merupakan tiang yang digunakan sebagai penyangga badan rumah. Dalam peribahasa Aceh, ada ungkapan “Kreueh beu beutoi kreueh, beu lagee kreueh kayèe jeuet keu tamèh rumoh; Leumoh beu beutoi leumoh, beu lagèe taloe seunikat bubông rumoh” yang artinya, jika keras, haruslah sekeras kayu tiang penyangga rumah; jika lentur, mesti selentur tali pengikat atap rumah. Hal ini bermakna hidup orang Aceh adalah teguh pendirian, tetapi tetap berhati lembut.
  • Tamèh raja atau tiang raja, merupakan tiang utama yang berada di sisi kanan pintu masuk. Disebut tiang raja karena ukurannya lebih besar dan posisinya berada di sebelah kanan. Tamsil terhadap tiang raja: “Kong titi saweueb seukukuh titi, kareuna adat adé raja” yang artinya jembatan kukuh karena ada tempat berpegang, kukuh adat karena adil raja.[2]
  • Tamèh putroe atau tiang putri, merupakan tiang utama yang berada sisi kiri pintu masuk. Disebut tiang putri karena merupakan pasangan tiang raja dan posisinya berdampingan dengan tiang raja.
  • Keunaleueng tameh atau gaki tameh atau kaki tiang, merupakan alas tiang yang biasanya berasal dari batu sungai. Alas tiang ini berfungsi menyangga tiang kayu agar tidak masuk ke dalam tanah.
  • Rôk atau balok pengunci biasa. Sifatnya untuk menguatkan hubungan antar ujung setiap balok.
  • Tôi atau balok pengunci yang arahnya tegak lurus dengan rôk.
  • Bajoe atau pasak yang berfungsi menguatkan hubungan antara rôk dan tôi dalam pahatan pada batang taméh.
  • Peulangan yaitu tempat bertumpu dinding dalam (interior).
  • Kindang yaitu elemen tempat bertumpunya dinding luar (eksterior).
  • Aleue yaitu lantai yang terbuat dari papan berbilah kecil.
  • Ranté aleue yaitu elemen pengikat lantai yang biasanya terbuat dari rotan atau tali.
  • Lhue yaitu balok rangka untuk penyangga lantai.
  • Neuduek lhue, tempat bertumpu lhue
  • Bintéh disebut juga dinding.
  • Bintéh catô yaitu dinding catur, salah satu bentuk jalinan dinding.
  • Boh pisang yaitu papan kecil di atas kindang.
  • Tingkap disebut juga jendela. Jendela rumah Aceh dibuat ukuran kecil. Jendela utama ada pada sisi rumah.
  • Pintô disebut juga pintu.
  • Rungkha disebut juga rangka atap.
  • Diri merupakan tiang tegak kuda-kuda atap.
  • Bara panyang merupakan balok pengunci memanjang pada ujung taméh atas.
  • Bara linteueng merupakan balok pengunci melintang pada ujung taméh atas.
  • Geumulang atau geunulông merupakan balok gording atap.
  • Tuleueng rueng atau balok wuwung adalah tempat bersandar kaso pada ujung atas. Balok ini terbuat dari kayu ringan agar tidak memberatkan beban atap
  • Gaseue gantong disebut juga kaki kuda-kuda.
  • Puténg tamèh yaitu bagian ujung tiang yang dipahat, gunanya untuk menyambung balok.
  • Taloe pawai yaitu tali pengikat atap yang diikatkan pada ujung bui teungeut.
  • Bui teungeut yaitu potongan kayu sebagai penahan neudhuek gaseue.
  • Tulak angèn atau tulak angin, merupakan rongga tempat berlalu angin pada dinding sisi rumah yang berbentuk segitiga pada dinding sisi rumah yang berbentuk segitiga.

Dalam proses pengukuran, seluruh elemen rumah Aceh pengukurannya menggunakan alat ukur tradisional masyarakat Aceh, yaitu ukuran dengan anggota tubuhuh. Alat ukur tersebut antara lain jaroe (jari), hah (hasta), jingkai (jengkal , deupa (depa), dan lain-lain.

Misalnya, untuk mengukur puting balok dilakukan beberapa jari, sijaroe, dua jaroe, dan seterusnya; untuk mengukur panjang balok bisa dengan hasta seperti sihah, dua hah, dan seterusnya; untuk mengukur sesuatu yang pendek bisa dengan jengkal atau depa. Meengukur panjang balok bisa dengan hasta seperti sihah, dua hah, dan seterusnya; untuk mengukur sesuatu yang pendek bisa dengan jengkal atau depa.

Filosofi warna[sunting | sunting sumber]

Rumoh Aceh tidak sembarang dalam menggunakan warna, dalam setiap warnanya terdapat filosofi tersendiri, yaitu:

  • Warna kuning : Warna kuning digunakan di sisi segitiga perabung. Bagi adat aceh kuning bermakna kuat, hangat sekaligus memberikan kesan cerah. Selain itu, warna kuning tidak memantulkan sinar matahari.
  • Merah : Warna merah dipilih untuk melengkapi garis ukiran rumoh aceh. Warna merah bermaknakan emosi yang berubah-ubah dan naik turun. Sifat tersebut mencerminkan gairah, senang dan semangat. Hal tersebut menunjukan emosi orang Aceh naik turun sekaligus dipenuhi gairah dan semangat mengerjakan sesuatu. Emosi sejenis ini selaras dengan hadih maja/paribahasa Aceh yang berbunyi: "ureueng Aceh h'an jeuet teupèh, meunyo teupèh bu leubèh h'an jipeutaba, meunyo hana teupèh bak marèh jeuet taraba". Artinya orang Aceh tidak boleh tersinggung, jika tersinggung, nasi lebih pun tidak mau ia tawarkan, jika tidak tersinggung, nyawa ia berikan’.
  • Putih : Warna putih yang digunakan adalah putih netral yang bermaknakan suci dan bersih.
  • Jingga : Penggunaan orangnye dimaksudkan memberi makna kehangatan, kesehatan pikiran dan kegembiraan.
  • Hijau : Penggunakan warna hijau bermaknakan kesejukan, kesuburan dan kehangatan. Hal tersebut berkaitan dengan hijau itu tumbuhan dan warna padi sebelum matang.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ ""Mengenal Rumah Adat Aceh"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-26. Diakses tanggal 2018-09-26. 
  2. ^ a b c d e Herman, R.N (2018). Arsitektur Rumah Tradisional Aceh. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. hlm. 22. ISBN 978-602-437-503-4. 
  3. ^ a b c d Utami, Rizky (2021). Ensiklopedia Rumah-Rumah Adat Nusantara. Bandung: CV. Angkasa. hlm. 2–3. ISBN 978-623-340-133-3.