Pertempuran Shiffin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pertempuran Shiffin
Bagian dari Perang Saudara Islam I
Tanggal26-28 Juli 657 M (8-10 Safar, 37 H)
LokasiShiffin, Suriah
Hasil

Tidak ada pihak yang menang

Arbitrasi[2]
Pihak terlibat
Pasukan Ali dari Irak[1] Pasukan Muawiyah dari Suriah[1]
Tokoh dan pemimpin
Ali bin Abi Thalib
Muhammad bin al-Hanafiyah[3]
Malik al-Asytar[4]
Abdullah bin Abbas[5]
Ammar bin Yasir[6] 
Hasyim bin Utbah[7] 
Abdullah bin Ja'far[8]
Kumail bin Ziyad[9]
Muawiyah bin Abu Sufyan
Amr bin al-Ash[10]
Abu al-A'war as-Sulami[11]
Busr bin Artha'ah[12]
Utbah bin Abi Sufyan[13]
Zufar bin al-Harits al-Kilabi[14]
Ubaidillah bin Umar bin Khattab[15] 
Kekuatan
100.000–150.000 laki-laki[1] 130.000–150.000 laki-laki[1]
Korban
25.000 terbunuh[1][16] 45.000 terbunuh[1][16]

Pertempuran Shiffin (Arab: معركة صفين) terjadi pada tahun 657 M (37 H) antara Ali bin Abi Thalib yang merupakan Khalifah ke-4 dari Khulafaur Rasyidin, melawan Muawiyah bin Abi Sufyan, yang merupakan gubernur Suriah. Pertempuran ini dinamai atas lokasinya yakni Shiffin, yang berada di tepi Sungai Efrat. Pertempuran berhenti setelah orang-orang Suriah, yang dihadapkan pada peluang kekalahan yang sangat besar, meminta arbitrase. Proses arbitrase berakhir secara tidak meyakinkan pada tahun 658 Masehi. Pertempuran ini dianggap sebagai bagian dari Perang Saudara Islam Pertama.

Lokasi[sunting | sunting sumber]

Medan perang berada di Shiffin, sebuah reruntuhan desa era Bizantium yang terletak beberapa ratus meter dari tepi kanan Sungai Efrat di sekitar Ar-Raqqah di daerah Suriah saat ini.[1][17] Desa ini berada dekat dengan desa modern Abu Hureyra di Kegubernuran Ar-Raqqah.[1]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin 'Affan, Ali bin Abi Thalib pun diangkat sebagai penerusnya. Akan tetapi penerimaan dari seluruh umat muslim sungguhlah sulit untuk didapat. Meski Ali akhirnya berhasil memperoleh gelar khalifah yang telah dia damba-dambakan semenjak awal kematian Muhammad,[18] namun dirinya merasa agak kurang senang, sebab, sebagian dari yang mengangkatannya adalah orang-orang yang membunuh Utsman.[19] Muawiyah, Gubernur dari Suriah yang merupakan kerabat dari khalifah yang terbunuh, sangat menginginkan pembunuh dari sang Khalifah diadili di muka hukum. Seperti yang diterangkan oleh tabiin terkenal, Abu Muslim Al-Khaulani. Dia datang bersama teman-temannya menanyai Muawiyah dan berkata mereka padanya, "Kamu menentang Ali dalam masalah khilafah atau kamu seperti dia?" Muawiyah menjawab, "Tidak. Aku tahu benar bahwa dia lebih baik dariku; tetapi kalian 'kan tahu, Utsman terbunuh dengan keji, sedang saya anak pamannya, dan juga keluarganya yang menuntut qisas kepada orang yang terlibat dalam pembunuhan itu. Maka kalian temuilah Ali dan katakan, '[Agar] segera menyerahi para pembunuh Utsman'." Maka mereka mendatangi Ali dan menyampaikan hal itu kepadanya, dan Ali menjawab, "Ia harus masuk baiat dan kemudian mereka tuntut hal ini kepadaku."[20]

Muawiyah berpendapat Ali bin Abi Talib tidak berniat untuk melakukan hal ini, sehingga Muawiyah memberontak terhadap Ali bin Abi Talib dan membuat Ali bin Abi Talib berniat memadamkan pemberontakan Muawiyah. Tapi walau demikian, yang benar menurut ulama adalah Ali hendak melihat kasus ini dari perspektif mashlahah (keuntungan) dan mafsadah (kerusakan). Sehingga, dia berpendapat, perlu menahan dulu kasus ini. Agar supaya umat Islam bersatu dulu, baru melakukan qisas. Apalagi pembunuhnya hanya 2-3 orang saja, dan salah satunya seorang budak yang diketahui dari Mesir.[21] Diketahui di belakang pembunuh-pembunuh yang sedikit itu, kalau sampai qisas ditegakkan pada hari itu jua, maka kabilah-kabilah pembela pembunuh itu akan segera melakukan kehancuran yang lebih besar. Al-Juaniy, Imam al-Haramain berpendapat bahwa Muawiyah memang memerangi Ali bin Abi Thalib, tetapi tidak mengingkari kepemimpinannya, dan tidak bermaksud merebutnya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, dia hanya menuntut agar terlaksananya qisas bagi para pembunuh Utsman, dengan asumsi dia benar, tetapi dia salah dalam hal ini.[22]

Hasil dari keadaan ini adalah pertempuran di Shiffin antara kedua belah pihak.

Jalannya perang[sunting | sunting sumber]

Peperangan ini berlangsung imbang sehingga kemudian kedua belah pihak setuju untuk berunding dengan ditengahi seorang juru runding. Pertempuran dan perundingan membuat posisi Ali bin Abi Thalib melemah tetapi tidak membuat ketegangan yang melanda kekhalifahan mereda. Oleh penganut aliran Syiah, Ali bin Abi Talib dianggap sebagai Imam pertama. Oleh penganut aliran Sunni, Ali bin Abi Thalib adalah khulafaur rasyidin yang ke empat dan Muawiyah adalah khalifah pertama dari Dinasti Umayyah. Kejadian kejadian disekitar pertempuran Shiffin sangatlah kontroversial untuk Sunni dan Syiah dan menjadi salah satu penyebab perpecahan di antara keduanya.

Awalnya, Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.

Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan dia mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan, ”Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”

Dinukil juga bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mengapa mereka tidak membaiat Ali. ”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendzalimi kami, sebagaimana mereka mendzalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan terhadap kami.[23]

Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain.

Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak.

Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram pada tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amirul Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujjah, akan tetapi kalian tidak menjawab.”

Pasukan Syam menyambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Disebutkan bahwa kedua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.[24]

Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja.[25]

Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang,[26] namun menurut Joesoef Sou'yb, pasukan Ali bin Abi Thalib berjumlah 95.000 Prajurit dan yang terbunuh 35.000,sedangkan dari Pasukan Syam berjumlah 85.000 dan yang terbunuh berjumlah 45.000 Prajurit.[27]

Terbunuhnya Ammar bin Yasir[sunting | sunting sumber]

Peristiwa terbunuhnya sahabat Ammar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah berkata kepada Ammar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin.[28]

Sedangkan Amr bin al-Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa Rasulullah bersabda mengenai Ammar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya, ”Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amr bin al-Ash menjawab, ”Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya”.[29]

Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing-masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.

Meninggikan Mushaf[sunting | sunting sumber]

Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak sahabat yang menyeru, dengan mengangkat Al Quran tinggi-tinggi, ”Jika kita tidak berhenti (bertempur) maka Arab akan sirna, dan hilanglah kehormatan.”

Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan, ”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan keturunan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.”

Maka saat itu, pasukan Syam menyeru, ”Wahai pasukan Iraq di antara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, di antara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.” Jawab dia.

Diriwayatkan bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka, ”Wahai Amirul Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama Rasulullah saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau seandainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”.[30]

Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.

Arbitrasi[sunting | sunting sumber]

Perwakilan dari dua pihak yang menyaksikan arbitrasi[sunting | sunting sumber]

Arbitrasi ini disaksikan oleh sepuluh orang dari masing-masing pihak. Dari pihak Ali bin Abi Thalib, arbitrasi tersebut disaksikan oleh: Abdullah bin Abbas, Al-Asy'ats bin Qais al-Kindi, Sa'id bin Qais al-Hamdani, Hujr bin Adi al-Kindi, dan Uqbah bin Ziyad al-Hadhrami.

Sementara dari perwakilan Muawiyah bin Abu Sufyan, arbitrasi tersebut disaksikan oleh: Abu al-A'war as-Sulami, Habib bin Maslamah al-Fihri, Abdurrahman bin Khalid al-Makhzumi, Yazid bin al-Hurr al-Absi, dan Hamzah bin Malik al-Hamdani.[31]


Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h Lecker 2012.
  2. ^ (Britannica 2016)
  3. ^ Gleave 2008.
  4. ^ Khairuddin Az-Zarkali. "Al-A'lam Az-Zarkali - Malik bin al-Harits". shamela.ws (dalam bahasa Arab). hlm. 259. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-10-27. Diakses tanggal 2023-12-29. 
  5. ^ Ibnu Katsir ad-Dimasyqi. "Al-Bidayah wan Nihayah - Abdullah bin Abbas". islamweb.net (dalam bahasa Arab). Mu'assasah ar-Risalah. hlm. 78: 105. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-30. Diakses tanggal 2020-03-30. 
  6. ^ Abu Nu'aim al-Isfahani (1998). Ma'rifat ash-Shahabah. 4 (edisi ke-1). Dar Al Watan. hlm. 2070. 
  7. ^ "Hās̲h̲im b. ʿUtba". referenceworks.brillonline.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-02-22. Diakses tanggal 2022-02-22. 
  8. ^ (Arab) Adz-Dzahabi, Siyar A'lam an-Nubala - Abdullah bin Ja'far Diarsipkan 19 Juni 2017 di Wayback Machine.
  9. ^ Khairuddin Az-Zarkali. "Kitab Al-A'lam Az-Zarkali - Kumail bin Ziyad - Al-Maktaba al-Shamela al-Haditha". shamela.ws (dalam bahasa Arab). hlm. 234. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-10-25. Diakses tanggal 2024-01-20. 
  10. ^ Madelung 1997, hlm. 237.
  11. ^ Blankinship 1993, hlm. 91, catatan 502.
  12. ^ Hasson, Isaac (2019) [2011]. "Busr b. Abī Arṭāt". Dalam Fleet, Kate; Krämer, Gudrun; Matringe, Denis; Nawas, John; Rowson, Everett. Salinan arsip. Encyclopaedia of Islam. 3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-15. Diakses tanggal 2020-11-14. 
  13. ^ Madelung 1997, hlm. 236–237.
  14. ^ Hagler 2011, hlm. 60–61.
  15. ^ Madelung 1997, hlm. 231.
  16. ^ a b Gibbon 1906, hlm. 98-9.
  17. ^ Rahman 1989, hlm. 58.
  18. ^ al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. The History of al-Tabari, vol. 16. hlm. 51. 
  19. ^ Riwayat Hakim dalam "Mustadrak".
  20. ^ Ibnu Hajar Al-'Asqalani, "Fath al-Bari", 13/92, sanadnya shahih."
  21. ^ Ibnu 'Asakir, Tarikh Dimasyq.
  22. ^ Imam al-Haramain Al-Juaini, Lam' al-Adillah fi 'Aqa'idi Ahlissunnah, halaman 115.
  23. ^ Minhaj as-Sunnah (4/384)
  24. ^ Al Aqdu Al Farid (4/3140)
  25. ^ Minhaj as-Sunnah (6/237)
  26. ^ Al-Bidayah wan Nihayah (7/288)
  27. ^ Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin Karangan Joesoef Sou'yb
  28. ^ Al Bukhari. Tarikh As Saghir (1/104)
  29. ^ Al Majma’ Az Zawaid (7/244)
  30. ^ Ibnu Abi Syaibah. Al Mushannaf (8/336)
  31. ^ Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Tarikh ath-Thabari), hlm 861

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]