Pasca-Islamisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pasca-Islamisme (Inggris: Post-Islamism) adalah neologisme dalam ilmu politik. Definisi dan penerapannya memancing perdebatan intelektual. Asef Bayat dan Olivier Roy adalah salah satu penggagas utama konsep ini.[1]

Istilah dan definisi[sunting | sunting sumber]

Istilah ini diciptakan oleh sosiolog politik asal Iran, Asef Bayat, lektor kepala sosiologi di The American University in Cairo, dalam sebuah esai di jurnal Middle East Critique tahun 1996.[2][3]

Menurut definisi Bayat, pasca-Islamisme adalah "kondisi lenyapnya daya tarik, semangat, simbol, dan sumber legitimasi Islamisme, bahkan di kalangan pendukung utamanya, setelah melewati satu tahap uji coba. Karena itu, pasca-Islamisme bukan anti-Islam, tetapi justru mencerminkan keinginan agar agama disekulerkan kembali." Istilah pasca-Islamisme awalnya digunakan untuk menyebut Iran. Di sana, "pasca-Islamisme tercerminkan dalam gagasan penggabungan Islam (sebagai keyakinan pribadi) dengan kebebasan dan pilihan individu; dan pasca-Islamisme berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi dan aspek modernitas".[4] Dalam konteks ini, awalan pasca- tidak memiliki makna historis, tetapi mengacu pada peralihan kritis dari diskursus Islamis.[5] Bayat mengatakan pada tahun 2007 bahwa pasca-Islamisme adalah "kondisi" sekaligus "proyek".[1]

Istilah "Islamisme Pascamodern" dan "Islamisme Zaman Baru" juga sering dipakai.[6]

Politikus Prancis, Olivier Carré, mengangkat istilah ini pada tahun 1991 dengan sudut pandang yang berbeda. Istilah ini digunakan Carré untuk menyebut periode antara abad ke-10 dan abad ke-19, ketika aliran Syiah dan Sunni "memisahkan politik-militer dari ranah agama, baik secara teori maupun secara praktik".[1]

Sejarah perkembangan[sunting | sunting sumber]

Pasca-Islamisme merupakan wacana yang muncul sebagai reaksi terhadap Islamisme. Menurut Asef Bayat,[7] pasca-Islamisme merepresentasikan suatu kondisi sekaligus suatu proyek yang merujuk pada kondisi sosial dan politik sebagai fase percobaan yang bertempat di mana para penganut Islam mulai menganggap Islamisme tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan memobilisasi keinginan mereka untuk lebih maju. Islamisme mulai mengalami kemunduran pada 1980-an akibat kegagalan ide revolusioner terhadap perubahan arus politik Islam khas dunia ketiga, terutama di Timur Tengah,[8] sehingga ia tidak lagi dianggap relevan terhadap struktur kehidupan akibat sikapnya yang anti-Barat dan anti-pemikiran Barat, tetapi pada praktiknya kebutuhan kelompok-kelompok penganut Islamisme banyak disokong oleh Barat dan mengusung pola pemikiran Barat.

Pasca-Islamisme di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, perkembangan pasca-Islamisme bisa ditelusuri sejak perjuangan melawan penjajahan. Pada saat itu, semangat perjuangan Islam bercampur baur dengan nasionalisme, seperti yang tampak pada rancangan pertama Jakarta Charter tentang sila pertama yang berbunyi: “Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sila ini kemudian direvisi menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” untuk menghilangkan bias agama sebagai bentuk dari perwujudan intisari Eka Sila, yakni gotong royong. Sehingga dapat dikatakan bahwa perjuangan masyarakat Islam di Nusantara saat itu juga membawa semangat-semangat perjuangan memerdekakan diri dan membentuk bangsa yang berdaulat untuk menaungi mereka sebagai umat beragama[9].

“…the ‘bitter history’ of Islamist politics in Indonesia, the belief that, among others, the former colonial power, more recent secularists, Western-educated intellectuals, and all those under the power of an American–Christian–Zionist international conspiracy have stood in the way of Indonesians accepting their fundamentally Muslim identity and wish for an Islamic state. ‘A recurrent pattern of Masyumi legatees was thus the exaggerated depiction of their potency and support in society, with the claim that the aspiration of the majority of Muslims was for the state to become active in enforcing shari‘ah’.”[10] (Platzdasch, 2009:116)

Dalam bukunya, Platzdasch mengemukakan bahwa dalam sejarahnya, politik Islamisme di Indonesia cenderung percaya bahwa intelektual lulusan Barat dan konspirasi global tentang KristenZionisAmerika adalah penyebab gagalnya pembentukan identitas muslim bagi masyarakat Indonesia yang secara langsung berefek negatif pada upaya mereka membentuk negara Islam. Hal ini terejawantahkan dalam pola politik di mana pengikut Masyumi berpendapat bahwa banyak masyarakat Indonesia yang aktif mendukung berdirinya hukum syariat. Dengan demikian, pergerakan rakyat terpolarisasi melalui berbagai ekspresi sosial politiknya; terbentuknya partai dan mahzab.

Hal ini menunjukkan gelora untuk berserikat dan berdemokrasi sehingga panggung politik tidak dapat dihindari. Polarisasi ini terlihat dalam aspek agama yang dilapisi berbagai isu sosial masyarakat di Indonesia. Seperti di antaranya adalah Aksi 212 dengan agenda 'bersama-sama menghancurkan musuh Islam'. Fenomena ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang ekstremis agama yang akibat meningkatnya radikalisme Islam. Pada titik ini, pasca-Islamisme hadir sebagai representasi suatu kondisi sekaligus suatu proyek[11] (Bayat, 2013:8) yang merujuk pada kondisi sosial dan politik sebagai fase percobaan ketika para penganut Islam mulai menganggap Islamisme tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan memobilisasi keinginan mereka untuk lebih maju.

Contoh[sunting | sunting sumber]

Di Iran, kelompok Reformis[12][13] Melli-Mazhabi (yang ideolognya lebih dekat dengan Gerakan Kebebasan Iran)[14] disebut sebagai kaum pasca-Islamis.

Berdirinya partai moderat Partai Al-Wasat di Mesir serta Partai Keadilan dan Pembangunan di Maroko menyerupai bangkitnya pasca-Islamisme. Namun, beberapa ilmuwan politik mengatakan bahwa kedua partai ini tidak pasca-Islamis.[15][16] Istilah ini juga disematkan untuk Partai Islam Se-Malaysia.[17]

Penelitian Lowy Institute for International Policy tahun 2008 menunjukkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera di Indonesia dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki tergolong pasca-Islamis.[18] Menurut Ahmet T. Kuru dan Alfred Stepan (2012), berbagai analis mempertimbangkan AKP Turki sebagai contoh pasca-Islamis, sama seperti partai-partai demokrasi Kristen, tetapi berhaluan Islam.[19] Namun, sejumlah ilmuwan politik seperti Bassam Tibi masih ragu.[20] İhsan Yılmaz berpendapat bahwa ideologi AKP setelah tahun 2011 berbeda dengan tahun 2001 sampai 2011.[21]

Sejumlah pihak menggunakan "pasca-Islamisme" untuk menyebut perubahan ideologi dalam Gerakan Ennahda di Tunisia.[22]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Gómez García 2012.
  2. ^ Mojahedi 2016, hlm. 52.
  3. ^ Badamchi 2017, hlm. 1.
  4. ^ Bayat 1996, hlm. 45.
  5. ^ Badamchi 2017, hlm. 4.
  6. ^ Ismail 2008, hlm. 626.
  7. ^ Bayat, Asef (2013-08-01). Post-Islamism: The Many Faces of Political Islam (dalam bahasa Inggris). OUP USA. ISBN 978-0-19-976606-2. 
  8. ^ Roy, Olivier (1994). The Failure of Political Islam (dalam bahasa Inggris). Harvard University Press. ISBN 978-0-674-29141-6. 
  9. ^ "ACADSTAFF UGM". acadstaff.ugm.ac.id. Diakses tanggal 2021-12-24. 
  10. ^ Platzdasch, Bernhard (2009). Islamism in Indonesia: Politics in the Emerging Democracy (dalam bahasa Inggris). Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-4279-09-3. 
  11. ^ Bayat, Asef (2013-08-01). Post-Islamism: The Many Faces of Political Islam (dalam bahasa Inggris). OUP USA. ISBN 978-0-19-976606-2. 
  12. ^ Fazeli 2006, hlm. 169.
  13. ^ Badamchi 2017, hlm. 3.
  14. ^ Shahibzadeh 2016, hlm. 103.
  15. ^ Stacher 2002, hlm. 432.
  16. ^ Lauzi`ere 2005, hlm. 242.
  17. ^ Muller 2013.
  18. ^ Bubalo, Fealy & Mason 2002, hlm. 51, 76.
  19. ^ Kuru & Stepan 2012, hlm. 172.
  20. ^ Hale & Ozbudun 2009, hlm. 148.
  21. ^ Yılmaz 2016, hlm. 115.
  22. ^ Cavatorta & Merone 2015.

Sumber[sunting | sunting sumber]