Pancakumara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Pancawala)

Pancakumara (Dewanagari: पञ्चकुमार; ,IASTPañcakumāra, पञ्चकुमार), dalam wiracarita Mahabharata, adalah sebutan untuk lima orang putra Dropadi dari hasil perkawinannya dengan Pancapandawa. Pancakumara terdiri dari: Pratiwindya, Sutasoma, Srutakarma, Satanika, dan Srutasena.[1][2] Saat berperang di Kurukshetra, mereka berada di pihak Pandawa, dan semuanya tergolong Atirathi, sebagaimana yang dinarasikan oleh Bisma.

Menurut Mahabharata, mereka juga memiliki saudara lain ibu; tiga di antaranya ikut serta dalam perang Kurukshetra, yaitu: Abhimanyu, Gatotkaca, dan Irawan. Bersama Abimanyu, Pancakumara melawan raksasa Alambusa pada pertempuran pada hari ke-9. Pada hari ke-11, mereka berhadapan dengan Wresasena, putra Karna, dan mengalahkannya.

Mahabharata mengisahkan bahwa Pancakumara dan saudara-saudaranya gugur akibat perang tersebut. Namun, Pancakumara tidak gugur di medan laga, melainkan di tenda peristirahatan. Mereka dibunuh oleh Aswatama, yang diangkat sebagai pemimpin serangan malam setelah Duryodana (pemimpin para Korawa) dikalahkan oleh Bima.

Nama dan urutan kelahiran[sunting | sunting sumber]

Istilah "Pancakumara" berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata pañca yang bermakna "lima" dan kumara yang bermakna "putra" atau "anak lelaki". Dalam Mahabharata, mereka disebut pula dengan beberapa nama: Upapandawa (Dewanagari: उपपाण्डव; ,IASTUpapāṇḍava, उपपाण्डव) yang berarti "Pandawa kecil"; Pandawaputra (Dewanagari: पाण्डपुत्र; ,IASTPāṇḍavaputra, पाण्डपुत्र), yang secara harfiah berarti "Putra [para] Pandawa"; Dropadeya (Dewanagari: द्रौपदेय; ,IASTDraupadéya, द्रौपदेय), sebuah matronim yang secara harfiah berarti "Keturunan Dropadi".

Nama kelima orang Pancakumara yang dilahirkan oleh Dropadi tersebut (sesuai urutan kelahiran) adalah:

  1. Pratiwindya (Dewanagari: प्रतविन्ध्य; ,IASTPrativindhya, प्रतविन्ध्य) atau Srutawindya (Dewanagari: श्रुतविन्ध्य; ,IASTŚrutavindhya, श्रुतविन्ध्य), putra Yudistira
  2. Sutasoma (Dewanagari: सुतसोम; ,IASTSutasoma, सुतसोम), putra Bima
  3. Satanika (Dewanagari: शतानीक; ,IASTŚatānīka, शतानीक), putra Nakula
  4. Srutasena (Dewanagari: श्रुतसेन; ,IASTŚrutaséna, श्रुतसेन) atau Srutakerti (Dewanagari: श्रुतकृति; ,IASTŚrutakṛti, श्रुतकृति), putra Sadewa
  5. Srutakarma (Dewanagari: श्रुतकर्म; ,IASTŚrutakarma, श्रुतकर्म), putra Arjuna

Urutan kelahiran Pancakumara memiliki sedikit perbedaan dengan para ayahnya, terutama mulai dari Satanika sampai Srutakarma. Jika mengikuti urutan kelahiran ayahnya (begitu pula giliran untuk berhubungan dengan Dropadi), maka urutannya adalah: putra Yudistira, putra Bima, putra Arjuna, putra Nakula, putra Sadewa. Menurut Mahabharata, perbedaan itu terjadi karena Arjuna menjalani masa pembuangan setelah putra Yudistira dan putra Bima lahir. Maka dari itu, Nakula mendahuluinya, disusul oleh Sadewa. Setelah Arjuna kembali, akhirnya Dropadi melahirkan putra kelimanya.

Anggota[sunting | sunting sumber]

Pratiwindya[sunting | sunting sumber]

Pratiwindya alias Srutawindya[3] merupakan putra Yudistira dan Dropadi, serta merupakan yang sulung di antara saudaranya. Mahabharata menguraikannya sebagai petarung yang cekatan, masyhur karena menghadapi pasukan bagaikan "Batara Indra yang bersenjata bajra".[4]

Dalam kisah perang besar di Kurukshetra, Pratiwindya bertempur melawan Sangkuni, ahli siasat pihak Korawa.[5] Pada pertempuran pada hari ke-9, ia berhasil melumpuhkan raksasa Alambusa. Pada hari ke-15, ia menghadang Aswatama yang menuju ke arah Drona. Ia berhasil memunuh Citra, raja Abhisara, pada hari ke-16.[6]

Sutasoma[sunting | sunting sumber]

Sutasoma bermakna "yang berwajah tampan bagai rembulan";[7] ia merupakan putra Bima dan Dropadi. Sebagaimana ayahnya, ia mahir memakai senjata gada, demikian pula dalam panahan. Pada hari pertama perang Kurukshetra, ia berhadapan dengan pangeran Wikarna, salah satu putra Dretarastra. Ia juga hampir berhasil membunuh Sangkuni. Pada hari ke-12, ia menghadang Wiwingsati. Ia berperan penting bersama Yudistira dan Pancakumara lainnya dalam menghadang Dursasana dan para Korawa lainnya pada hari ke-15.[8]

Satanika[sunting | sunting sumber]

Satanika merupakan putra Nakula dan Dropadi. Ia diberi nama yang sama dengan Rajaresi masyhur di kalangan Dinasti Kuru, dan diyakini sebagai penitisan Wiswadewa. Dalam kisah perang Kurukshetra, ia diangkat sebagai wakil panglima Drestadyumna—yang merupakan paman sekaligus gurunya——dalam merencanakan formasi tempur.[9] Ia membantai pasukan sekutu Korawa yang dipimpin Butakarma.[10] Satanika juga mengalahkan pangeran Duskarna pada pertempuran pada hari ke-6;.[11] demikian pula Jayatsena dan Srutakarman, dua Korawa. Satanika membunuh pangeran Kalinga. Pada hari ke-17, ia menghancurkan sebagian besar tentara Korawa.[12]

Srutasena[sunting | sunting sumber]

Srutasena merupakan putra Sadewa dan Dropadi. Seperti ayahnya, ia berwatak cerdas dan cermat. Dalam kisah perang Kurukshetra, ia membunuh Sala, adik Burisrawa pada hari ke-14.[13] Ia juga mengalahkan kesatria pihak Korawa seperti Dusmanara, Durmuka, dan Dewawrada.[14]

Srutakarma[sunting | sunting sumber]

Srutakarma (namanya bermakna "[orang] yang berniat baik")[15] adalah putra Arjuna dan Dropadi. Ia merupakan yang bungsu di antara saudaranya. Ia memiliki kuda yang bulunya bagaikan burung pekakak.[16] Seperti ayahnya, ia mahir dalam panahan. Ketika perang Kurukshetra berlangsung, ia mengalahkan Raja Sudaksina dari Kamboja pada hari pertama. Ia juga bertarung dengan Jayatsena, salah satu Korawa pada hari ke-6.[11] Ia bertarung melawan Dursasana dan Aswatama dengan teknik panahan dan pertarungan berlangsung sportif. Srutakarma juga membunuh Citrasena, pemimpin Abhisara, pada hari ke-16.

Kisah kematian[sunting | sunting sumber]

Peran Pancakumara tidak begitu banyak tercatat dalam cerita Mahabharata jika dibandingkan dengan putra Pandawa lainnya, terutama Abimanyu dan Gatotkaca. Dalam kitab Mahabharata ke-10, yaitu Sauptikaparwa dikisahkan bahwa setelah perang berakhir, Duryodana sang pemimpin Korawa dalam keadaan sekarat; meskipun begitu, ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima untuk meneruskan pertempuran. Aswatama disertai dua orang rekannya yang masih hidup, yaitu Krepa dan Kretawarma menyusup ke dalam perkemahan pihak Pandawa.

Di dalam kemah tersebut, Aswatama membunuh Drestadyumna, pangeran dari Kerajaan Panchala. Ia kemudian menemukan lima orang pria dalam keadaan tertidur. Mengira kelimanya adalah Pandawa, Aswatama pun langsung membunuh mereka. Ternyata lima orang yang tewas dibunuh Aswatama sewaktu tidur bukan para Pandawa, melainkan Pancakumara.

Versi pewayangan[sunting | sunting sumber]

Dalam tradisi pewayangan di Jawa, putra Dropadi bukan terdiri dari lima orang, tetapi hanya seorang saja, yang disebut Pancawala. Pancawala versi ini adalah putra Yudistira dan Dropadi.

Perbedaan cerita antara kitab Mahabharata dari India dengan cerita pewayangan Jawa disebabkan oleh pengaruh perkembangan agama Islam terhadap kesusastraan Hindu di Jawa.[17] Dalam sejarah Nusantara, setelah Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu runtuh, di Jawa muncul Kerajaan Demak yang bercorak Islam. Pada masa itu, segala sesuatu harus disesuaikan dengan hukum agama Islam. Pertunjukan wayang yang pada saat itu sangat digemari oleh masyarakat, tidak diberantas ataupun dilarang, melainkan disesuaikan dengan ajaran Islam.[17]

Dalam kitab asli Mahabharata berbahasa Sanskerta, diceritakan bahwa Dropadi menikah dengan kelima Pandawa karena perintah ibu mereka (Kunti) yang bermula dari sebuah kesalapahaman. Meskipun cerita aslinya demikian, para pujangga Islam tetap saja memandang poliandri (memiliki suami lebih dari satu) sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu, Dropadi versi Jawa pun dikisahkan hanya menikah dengan Yudistira saja, dan berputra satu orang bernama Pancawala.[17]

Dalam versi pewayangan Jawa, dikisahkan bahwa Pancawala menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwati putri Arjuna. Pregiwati memiliki kakak bernama Pregiwa yang menjadi istri Gatotkaca putra Bimasena.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Menon, Ramesh (2006). The Mahabharata : a modern rendering. New York: iUniverse, Inc. ISBN 9780595401888. 
  2. ^ van Buitenen, J.A.B., ed. (1981). The MahābhārataPerlu mendaftar (gratis). Diterjemahkan oleh van Buitenen (edisi ke-Phoenix). Chicago: University of Chicago Press. ISBN 9780226846644. 
  3. ^ N.V., Thadani. The Mystery of the Mahabharata: Vol.4. 
  4. ^ http://ancientvoice.wikidot.com/mbh:prativindhya
  5. ^ https://books.google.co.in/books?id=BjP7CwAAQBAJ&pg=PA349&lpg=PA349&dq=subala+prativindhya+mahabharata&source=bl&ots=aRIbzE6zwn&sig=ACfU3U0a8k-sBVa8dL-iP72SA5koSx1frA&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiT_tffvJ_qAhX_4zgGHcm9CCkQ6AEwBnoECAwQAQ#v=onepage&q=subala%20prativindhya%20mahabharata&f=false
  6. ^ https://www.facebook.com/MahabharatKiGalatiyan/posts/chitrasena-chitrasena-who-art-thou-chitrasenathe-other-son-of-dhritrashtrachitra/663235267122692/
  7. ^ N.V., Thadani. The Mystery of the Mahabharata: Vol.4. 
  8. ^ The Mahabharata. ISBN 9781451015799. 
  9. ^ Parmeshwaranand, Swami (2001). Encyclopaedic dictionary of Purāṇas (edisi ke-1st). New Delhi: Sarup & Sons. ISBN 9788176252263. 
  10. ^ Parmeshwaranand, Swami (2001). Encyclopaedic dictionary of Purāṇas (edisi ke-1st). New Delhi: Sarup & Sons. ISBN 9788176252263. 
  11. ^ a b https://www.wisdomlib.org/hinduism/book/mahabharata/d/doc118436.html
  12. ^ https://books.google.co.in/books?id=RWQ-AAAAQBAJ&pg=PT295&lpg=PT295&dq=shatanika+bhojas&source=bl&ots=rxgiUgTFrX&sig=ACfU3U0EnJ3vkiXjsHroNYWD_bvRciYTDQ&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjHtJeQmojrAhULxzgGHRS0BbwQ6AEwBHoECAsQAQ#v=onepage&q=shatanika%20bhojas&f=false
  13. ^ Parmeshwaranand, Swami (2001). Encyclopaedic dictionary of Purāṇas (edisi ke-1st). New Delhi: Sarup & Sons. ISBN 9788176252263. ,
  14. ^ https://www.wisdomlib.org/definition/shrutakarma
  15. ^ John Dececco, Devdutt Pattanaik (2014). The Man Who Was a Woman and Other Queer Tales from Hindu Lore. Routledge. ISBN 9781317766308. 
  16. ^ . ISBN 9781451018264.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  17. ^ a b c ”Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”. Artikel dalam Warta Hindu Dharma No.290 edisi Juli 1991

Pranala luar[sunting | sunting sumber]