Hariscandra

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hariscandra
हरिस्चन्द्र
Tokoh dalam mitologi Hindu
NamaHariscandra
Ejaan Dewanagariहरिस्चन्द्र
Ejaan IASTHariścandra
Kitab referensiPurana, Ramayana
AsalAyodhya, Kerajaan Kosala
KediamanAyodhya, lalu pindah ke Benares
Kasta
Profesi
  • raja
  • tukang kremasi saat menjalani masa pembuangan
DinastiSurya
AyahTrisangku
IstriTaramati
AnakRohita

Hariscandra (Dewanagari: हरिस्चन्द्र ; ,IASTHariścandra, हरिस्चन्द्र ), dalam legenda dan mitologi Hindu, merupakan raja dari trah Suryawangsa atau Dinasti Surya. Ia merupakan putra Trisangku, keturunan Ikswaku, sehingga Hariscandra juga termasuk Dinasti Ikswaku. Ia menikah dengan Taramati dan memiliki seorang putra bernama Rohita. Menurut legenda, ia amat dikenal sebagai raja yang adil, tabah dan taat pada kebenaran. Karena hal ini, ia sering mendapat ujian berat selama memerintah.[1]

Arti nama[sunting | sunting sumber]

Dalam bahasa Sanskerta, kata Hari bisa berarti "bulan"; "cahaya"; "Wisnu", sedangkan kata Candra bisa berarti "terang benderang"; "bercahaya". Kata Hariścandra secara harfiah bisa berarti "memiliki kemuliaan seperti emas", atau "murah hati bak sinar bulan".

Legenda[sunting | sunting sumber]

Sebagai keturunan Ikswaku, Raja Hariscandra memerintah Kerajaan Kosala dengan pusat pemerintahan di Ayodhya. Karena berada di garis keturunan Ikswaku, maka Hariscandra merupakan leluhur Ramacandra. Ramacandra atau Sri Rama merupakan raja dalam legenda India yang perjalanan hidupnya dicatat dalam kitab Ramayana.

Kaul dengan Baruna[sunting | sunting sumber]

Legenda tentang Hariscandra termuat dalam kitab Bhagawatapurana dan Aitareyabrahmana agama Hindu. Dalam kitab Bhagawatapurana dikisahkan bahwa pada mulanya Hariscandra tidak memiliki keturunan. Menurut Aitareyabrahmana, ia memiliki seratus istri tetapi tidak memiliki anak seorang pun.[2] Atas saran seorang resi pengelana bernama Narada, ia melakukan upacara memuja Baruna, dewa air dan lautan. Dalam upacara tersebut Hariscandra berkaul bahwa apabila ia memiliki putra, ia akan mengorbankannya kepada Baruna. Beberapa waktu kemudian, permaisuri Hariscandra yang bernama Taramati melahirkan Rohita.[1] Putra ini amat disayangi oleh kedua orangtuanya.

Teringat dengan kaul yang diucapkan Hariscandra, Dewa Baruna datang untuk menjemput Rohita. Dengan berat hati, Hariscandra berjanji bahwa ia akan mengorbankan Rohita bila anak tersebut sudah berusia sepuluh hari. Pada hari yang kesepuluh, Baruna datang untuk menjemput Rohita. Hariscandra yang berat hati berjanji untuk memberikan Rohita apabila anak tersebut apabila memiliki gigi. Ketika gigi Rohita sudah tumbuh, Baruna datang kembali untuk menjemput Rohita. Kali ini Hariscandra berjanji bahwa ia akan meyerahkan anak tersebut apabila Rohita sudah cukup dewasa.

Karena Hariscandra berat hati untuk melepaskan kepergian Rohita, maka Baruna meminta kepada Hariscandra agar mau menyerahkan seorang anak laki-laki untuk menggantikan Rohita. Permintaan tersebut disetujui oleh Hariscandra. Ia membeli Sunahsepa, putra brahmana miskin bernama Ajigarta. Ketika Sunahsepa dikorbankan ke hadapan Baruna, ia menyanyikan lagu pujian ke hadapan Wisnu, Indra, dan Baruna. Karena berkenan dengan pemujaan yang dilakukan oleh Sunahsepa, maka para dewa memutuskan untuk melepaskannya. Lalu Sunahsepa dipelihara oleh Maharesi Wiswamitra.[2] Kisah yang serupa juga terdapat dalam kitab Ramayana, tetapi nama raja dalam cerita tersebut adalah Ambarisa, bukan Hariscandra.[3][4]

Pengasingan[sunting | sunting sumber]

Ilustrasi pertemuan antara Wiswamitra dengan Hariscandra, karya Evelyn Paul, 1911.

Dalam kitab Markandeyapurana dikisahkan bahwa Raja Hariscandra mengalami pengasingan setelah mengganggu tapa Resi Wiswamitra. Hal itu bermula saat ia berburu ke tengah hutan. Di sana ia mendengarkan suara jeritan wanita. Tanpa ia ketahui, suara tersebut dibuat oleh Wignaraja, penguasa rintangan dan pemberi cobaan, yang sedang menguji keteguhan tapa Resi Wiswamitra. Saat Hariscandra berada di dekat sang resi, Wignaraja merasukinya lalu menggoda sang resi. Hal itu membuat pencapaian dan ilmu yang diperoleh sang resi menjadi runtuh dalam sekejap. Saat Hariscandra sadar kembali, ia segera memohon ampun, tetapi sang resi hanya bersedia memaafkan apabila Hariscandra menyerahkan segala yang ia miliki selain istri, anak, dan dirinya sendiri.

Pada hari yang ditentukan, Maharesi Wiswamitra datang menemui Hariscandra dan mengingatkannya untuk menyerahkan kerajaannya kepada Wiswamitra, seperti yang telah dijanjikan sebelumnya oleh Hariscandra. Oleh sebab Hariscandra harus menepati janjinya daripada menerima kutukan sang resi, maka ia menyerahkan kerajaannya lalu pergi bersama istrinya yang bernama Taramati, dan putranya yang bernama Rohita.

Mereka pergi ke Benares, kota yang berada di luar wilayah kerajaannya. Karena sang resi ingin agar penyerahan kerajaan tersebut lengkap, ia meminta Hariscandra menyerahkan sebuah daksina (upeti). Oleh sebab tidak memiliki uang, Hariscandra menjual istri dan anaknya kepada seorang brahmana. Untuk mencukupi uang untuk memberikan sebuah daksina, maka Hariscandra menjual dirinya sendiri sebagai seorang pemungut ongkos yang membantu tukang kremasi di sebuah krematorium.

Lukisan Hariscandra di tempat kremasi, dengan istrinya bersimpuh meratapi kematian anak mereka. Lukisan karya Raja Ravi Varma.

Hariscandra membantu tukang kremasi membakar mayat-mayat, sementara istri dan anaknya bekerja sebagai pembantu di rumah seorang brahmana. Pada suatu ketika, Rohita dipatuk ular sehingga tewas seketika. Kemudian Taramati membawa jenazah anaknya ke krematorium. Hariscandra yang bekerja di sana tidak mengenali istri dan jenazah anakya. Untuk melakukan upacara pembakaran jenazah, Taramati harus memberikan ongkos kepada Hariscandra. Pada saat itu Taramati tidak memiliki uang, selain manggalasutra yang bersinar keemasan. Akhirnya, Hariscandra meminta Taramati untuk menyerahkan manggalasutra sebagai pengganti ongkos pembakaran jenazah. Seketika itu juga, Taramati sadar bahwa Hariscandra adalah tukang pembakar jenazah yang meminta ongkos kepadanya, sebab hanya Hariscandra saja yang bisa melihat manggalasutra milik Taramati. Kemudian Hariscandra kembali mengenali istrinya sendiri.

Karena terikat dengan kewajibannya, Hariscandra tidak mau menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah selama Taramati tidak memberikan ongkos. Taramati hanya memiliki sarī, kain yang melekat di tubuhnya, yang sebagian lagi dipakai untuk menutupi jenazah anaknya. Akhirnya Taramati memutuskan untuk mempersembahkan sebagian kain sarī-nya kepada Hariscandra. Ketika ia hendak melakukannya, keajaiban muncul.

Dewa Wisnu, Indra, para dewa dan Maharesi Wiswamitra menampakkan diri sambil memuji-muji Hariscandra karena ketabahan hatinya. Para dewa menghidupkan Rohita kembali. Mereka juga menawarkan tempat di surga bagi Hariscandra dan istrinya. Hariscandra menolak untuk terbang ke sorga meninggalkan rakyatnya karena terikat dharma seorang kesatria. Ia meminta agar sorga juga menyediakan tempat bagi rakyatnya. Para dewa menolak, sebab setiap orang terikat dengan karma-nya masing-masing, dan mereka juga harus menanggung hasilnya sendiri. Kemudian sang raja merelakan agar segala perbuatan baiknya diserahkan kepada rakyatnya, sehingga mereka bisa terbang dengan damai ke sorga, meninggalkan sang raja. Karena permintaan Hariscandra membuat para dewa merasa senang, mereka menawarkan tempat di sorga bagi Hariscandra, istrinya dan rakyatnya.

Maharesi Wiswamitra membantu memulihkan kerajaan Dinasti Surya. Ia mengangkat Rohita, putra Hariscandra, sebagai raja.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Indian Mythology: Tales, Symbols, and Rituals from the Heart of the Subcontinent. Inner Traditions / Bear & Co. 24 April 2003. ISBN 9780892818709. 
  2. ^ a b David Gordon White (1991). Myths of the Dog-Man. University of Chicago Press. hlm. 81–82. ISBN 9780226895093. 
  3. ^ David Shulman (1993). "Sunahsepa: The Riddle of Fathers and Sons". The Hungry God: Hindu Tales of Filicide and Devotion. University of Chicago Press. hlm. 87–105. ISBN 9780226755717. 
  4. ^ Yves Bonnefoy; Wendy Doniger (1993). Asian Mythologies. University of Chicago Press. ISBN 9780226064567. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Didahului oleh:
Trisangku (Satyabrata)
Raja Ayodhya Diteruskan oleh:
Rohita