Abjeksi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Abjeksi (Inggris: abjection) adalah terminologi psikoanalisis yang digunakan untuk menjelaskan keterpurukan atau degradasi individu dari rasa kebanggaan, kekuasaan, atau kedaulatan ke dalam rasa kehinaan, kenistaan, ketidakberdayaan dan kerendahan derajat.[1] Julia Kristeva menggambarkan abjeksi pada suatu kondisi di mana individu atau masyarakat tenggelam ke dalam jurang (moralitas) yang paling rendah ketika batas-batas moral itu sendiri lenyap (baik-buruk, benar-salah).[2] Konsep abjeksi Kristeva digunakan secara umum dalam menjelaskan narasi budaya populer mengenai horor dan misogini yang dibangun berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud dan Jacques Lacan.[3]

Abjeksi adalah konsekuensi proses subjeksi dalam psikoanalisis Lacanian. Julia Kristeva, dan Judith Butler, membawa khazanah abjeksi ke dalam diskusi seputar proses-proses formasi Subjek melalui imposisi atas otoritas kultural simbolik. Bagi Kristeva dan Butler, subjeksi dan abjeksi merupakan hal yang tak terpisahkan. Subjeksi selalu mensyaratkan abjeksi, dan sebaliknya, abjeksi merupakan konsekuensi dari subjeksi. Subjeksi merupakan proses penggambaran batas-batas demarkasi diri Subjek oleh otoritas simbolik, yaitu proses yang dialami diri dalam menjadi Subjek.[4] Otoritas simbolik, dengan demikian, menentukan yang mana subjek dan yang mana bukan subjek; yang mana aku dan bukan aku. Jadi, otoritas simbolik yang memberikan kriteria kejelasan yang menghasilkan dan menundukkan tubuh.[5] Karena mengualifikasi dan mendiskualifikasi tubuh, proses penggambaran kriteria demarkasi Subjek ini mensyaratkan mekanisme inklusi/eksklusi; menginklusi elemen-elemen yang "sah" sebagai subjek dan mengeksklusi elemen-elemen yang "tidak sah" sebagai non-subjek. Eksklusi inilah yang disebut Kristeva sebagai abjeksi, yaitu peoses penyingkiran, penolakan, pembuangan, atau deteriorialisasi secara permanen.[6]

Sejarah abjek[sunting | sunting sumber]

Abjek adalah apa yang mengganggu identitas, sistem, tatanan, atau apa yang tidak menghargai batas, posisi, atau aturan. Peminggiran atau pengeluaran abjek adalah peminggiran atau pengeluaran (ekslusi) yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup Subjek.[7] Dalam konteks Subjek Lacanian, abjek berasal dari tatanan riil, dalam formulasi simtom;[a] di mana abjek disingkirkan dan disangkal dari tatanan simbolik, karena keberadaannya mengancam stabilitas, normalitas, dan keberlangsungan simtom itu sendiri. Alhasil, abjek terdesak masuk ke dalam wilayah tidak-sadar. Kemudian, simtom menggunakan penanda (signifier) untuk menguncinya, menormalisasinya, dan berusaha menganalisis ekses-eksesnya ke muara-muara yang dapat “ditolerir” secara kultural.[9] Abjek mengkonfrontasi kita di satu sisi, dengan keadaan yang sangat rentan ketika manusia berada di dalam teritori binatang, dan di sisi lain, mengkonfrontasi kita di dalam wilayah arkeologis pribadi kita sendiri, dalam hal ini adalah usaha kita untuk melepaskan entitas maternal.[10] Ketika sang ibu berusaha untuk mempertahankan keterikatan dengan anaknya, ia dianggap menghalangi anaknya dalam menempati tempat pada tahap kedewasaannya pada tatanan simbolik.[11] Abjek juga berhubungan dengan penyimpangan, karena abjek dipusatkan pada super ego. Abjek menyimpang karena abjek tidak tunduk pada larangan, aturan atau hukum. Abjek menyingkirkan dan mengabaikan kesemua itu. Segala tindak kriminal di masyarakat, bahkan tindakan berbohong juga merupakan abjek.[12]

Abjeksi selanjutnya menimbulkan juga kenikmatan yang menyimpang. Di satu sisi, ada keinginan untuk meminggirkan dan mengabaikan suatu abjek, di sisi lain, ada kenikmatan sebagai Subjek yang melakukan atau berada di dalam proses abjeksi untuk mengkonfrontasi abjek dan kemudian meminggigirkannya.[13] Karena abjek bersifat sebagai polutan, ritual keagamaan (misalnya segala sesuatu yang secara religius disebut "tabu", atau dalam ritus pemurnian diri seperti puasa, pengakuan dosa, permohonan ampunan, dan pertobatan); sering kali ditujukan untuk memurnikan atau membersihkan abjek.[14] Ritual itu mewujud dalam berbagai katarsis dengan bentuk paling utamanya berupa seni. Seni, atau pengalaman seni, menurut Kristeva berakar dalam pada abjek yang disampaikannya, juga pada saat yang sama membersihkannya. Dengan demikian, abjeksi di satu sisi menunjukkan batas antara yang murni dan tidak murni, luar dan dalam, manusia dan binatang, bersih dan tidak bersih, pantas dan tidak pantas. Namun di sisi lain menunjukkan bahwa ada suatu titik ketika batasan itu menjadi kabur dan hancurnya makna. Lebih dari itu, pengalaman abjeksi sebagai suatu kenikmatan bukanlah semata-mata timbul karena hasrat, karena yang satu tidak tahu, yang satu tidak menghendakinya, dan yang satu mendapati kebahagiaan di dalamnya. Baik dengan keras dan menyakitkan.[15] Barbara Creed membahas bagaimana kenikmatan yang menyimpang ini merupakan bagian penting ketika kita menonton film horor. Keinginan untuk mengkonfrontasi dan kemudian mengabjeksi juga terlihat, misalnya, dalam ketertarikan sekaligus kengerian kita ketika menyaksikan berita kriminal, atau pada level yang lebih ’lunak' ketika kita menonton infotainment.[13]

Selain berhubungan dengan batas dan hubungan ibu-anak, di mana pada satu sisi menempatkan tubuh maternal sebagai abjek. Di sisi lain, hubungan ini menempatkan ibu sebagai otoritas maternal yang menguasai "semesta tanpa rasa malu" yaitu ketika kotoran tubuh diterima tanpa adanya rasa malu karena aturan, norma dan lain sebagainya yang hadir sebelum adanya bahasa. Abjek, dalam hal ini, terutama berhubungan dengan tubuh perempuan karena adalah otoritas maternal yang mengenalkan pemetaan tubuh 'yang bersih dan pantas' di mana pada saat yang sama pula tubuh perempuan sendiri dimaknai sebagai 'kotor' yang semiotik.[16] Semesta tersebut harus ditinggalkan ketika anak mengakuisisi bahasa dan menjadi objek dari "Hukum-Ayah" yang menguasai "semesta tanpa rasa malu" tersebut.[17] Dalam pemikiran yang menempatkan integritas tubuh sebagai suatu norma, tubuh perempuan yang tidak terintegrasi adalah abjek. Karena untuk menjadi Subjek pada tatanan simbolik, tubuh manusia harus dapat dikuasai sepenuhnya. Sementara tubuh perempuan, terutama sehubungan dengan fungsi reproduksinya, sering kali merepresentasi tubuh yang "kacau", yang dalam dirinya sendiri mengalir abjek.[16]

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Simtom adalah istilah teknis psikoanalisis yang merupakan oknum yang menata dan mengunci simpul borromean Jacques Lacan dari ketercerai-beraian, sehingga harmoni ketiga tatanan tersebut berdampak pada totalitas, stabilitas, dan konsistensi realitas.[8]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Piliang (2003), hlm. 134-135.
  2. ^ Piliang (2003), hlm. 274.
  3. ^ Fletcher & Benjamin (2012), hlm. 92.
  4. ^ Polimpung (2014), hlm. 70-71.
  5. ^ Polimpung (2014), hlm. 71.
  6. ^ Kristeva (1982), hlm. 2.
  7. ^ Kristeva (1982), hlm. 4.
  8. ^ Polimpung (2014), hlm. 63.
  9. ^ Polimpung (2014), hlm. 72.
  10. ^ Kristeva (1982), hlm. 13.
  11. ^ Creed (1993), hlm. 12.
  12. ^ Kristeva (1982), hlm. 16.
  13. ^ a b Priyatna (2006), hlm. 247.
  14. ^ Kristeva (1982), hlm. 17.
  15. ^ Kristeva (1982), hlm. 9.
  16. ^ a b Priyatna (2006), hlm. 248.
  17. ^ Creed (1993), hlm. 13.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]