Seminari Petrus Kanisius Mertoyudan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
{{refimprove}}
{{refimprove}}
{{Kotak info sekolah
{{Kotak info sekolah
| nama = Seminari Menengah Petrus Kanisius Mertoyudan
| nama = Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan
| nama_asli =
| nama_asli =
| nama_latin =
| nama_latin =
| gambar = [[Berkas:Seminari_Petrus_Kanisius_Mertoyudan_logo.jpg|200px]]
| gambar = [[Berkas:Seminari_Petrus_Canisius_Mertoyudan_logo.jpg|200px]]
| didirikan = [[27 April]] [[1912]]
| didirikan = [[27 April]] [[1912]]
| tipe = [[Seminari]]
| tipe = [[Seminari]]
Baris 35: Baris 35:
}}
}}


'''Seminari Petrus Kanisius Mertoyudan''' atau akrab disebut '''Seminari Mertoyudan''' adalah seminari menengah atau sekolah untuk para calon pastor setingkat SMA. Terletak di [[Martoyudan, Magelang|Mertoyudan]], di pinggir jalan raya [[Magelang]]-[[Yogyakarta]].
'''Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan''' atau akrab disebut '''Seminari Mertoyudan''' adalah suatu seminari menengah atau tempat pendidikan untuk para calon imam/pastor yang masih belajar pada tingkat SMA. Terletak di [[Martoyudan, Magelang|Mertoyudan]], di pinggir jalan raya [[Magelang]]-[[Yogyakarta]].


== Sejarah ==
== Sejarah ==
Berdirinya Seminari Menengah Mertoyudan berawal darikeinginan dua orang pemuda Jawa lulusan [[Kweekschool]] [[Muntilan]] pada tahun 1911 untuk menjadi imam atau pastor, yakni Petrus Darmaseputra dan F.X. Satiman. Pada bulan November [[1911]] mereka menghadap Romo [[Van Lith]] dan Romo Mertens SJ dan mohon agar diperkenankan belajar menyiapkan diri menjadi imam atau pastor. Niat kedua pemuda ini, sejalan dengan adanya kebutuhan akan imam bumi-putera di Indonesia, memicu munculnya gagasan untuk menyelenggarakan suatu lembaga pendidikan bagi para calon imam. Proses perijinan dari [[Tahta Suci]] [[Vatikan]] pun diurus, dan pada [[30 Mei]] [[1912]] izin resmi dari Vatikan didapatkan untuk memulai lembaga pendidikan calon imam di Indonesia. Dan lembaga pendidikan Seminari Menengah yang diselenggarakan ini merupakan yang pertama di Indonesia. Pendidikan tersebut pada mulanya dilaksanakan sebagai kursus bagi para lulusan sekolah guru, dan diselenggarakan di Kolese Xaverius Muntilan. Selain kedua pemuda pemula dari tahun 1912 itu, pada tahun 1913 bergabung satu orang lagi, dan selanjutnya pada tahun 1914 dua murid tambahan. Namun karena sistem dan pelaksana pendidikan calon imam di Muntilan saat itu belum memadai, para seminaris dari Muntilan atas suatu kerjasama kemudian dititipkan ke [[Uden]] - [[Belanda]].
Awal berdirinya Seminari Menengah Mertoyudan tidak dapat dilepaskan dari 2 pemuda lulusan [[Kweekschool]] [[Muntilan]] yang berkeinginan menjadi imam, yakni Petrus Darmaseputra dan F.X. Satiman.


Antara tahun [[1916]]-[[1920]] 10 siswa seminari dari Muntilan dikirim ke sekolah Latin yang diselenggarakan para pastor [[Ordo Salib Suci]] di [[Uden]], [[Belanda]]. Di antara mereka itu dua siswa meninggal, dan seorang lagi terganggu kesehatannya, mungkin karena tidak cocok dengan iklim di sana; maka kemudian diambil kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan seminari kembali lagi di Indonesia. Untuk itu sistem dan kurikulum Kursus di Muntilan pun disempurnakan.
November [[1911]] mereka menghadap Romo [[Van Lith]] dan Romo Mertens SJ dan mohon agar diperkenankan belajar menyiapkan diri menjadi imam.


Tanggal [[7 September]] [[1922]], dua lulusan Seminari Menengah ini menjadi novis pertama pada [[Novisiat]] [[Serikat Yesus]] yang baru dibuka di [[Yogyakarta]] dengan rektor dan pimpinan novisiatnya Romo Strater SJ.
Niatan kedua pemuda ini, yang juga dengan mempertimbangkan kebutuhan imam di Indonesia, ternyata mampu mendorong munculnya gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi para calon imam. Proses perijinan dari Roma pun diurus, dan [[30 Mei]] [[1912]] izin resmi dari Roma keluar untuk memulai lembaga pendidikan calon imam di Indonesia. Kursus pendidikan tersebut diselenggarakan di Kolese Xaverius Muntilan.


Pada bulan Mei [[1925]] dimulailah Seminari Kecil (''Klein Seminarie''), menempati gedung yang dibangun di sebelah barat [[Kolese St. Ignatius]] Yogyakarta tanggal [[19 Desember]] [[1927]] dan diberkati oleh [Vikaris Apostolik] [Batavia] Mgr APF van Velsen SJ. Kursus diadakan bagi mereka yang baru tamat [[Sekolah Dasar]] ''[[Hollands Inlandse School]]'' (HIS) dan ''[[Europese Lagere School]]'' (ELS). Sejalan dengan itu kursus di Muntilan, bagi mereka yang sudah memiliki ijasah guru [[Kweekschool]] juga tetap berlangsung. Sekitar tahun [[1927]] kedua kursus ini digabungkan menjadi Seminari Kecil di Yogyakarta, dengan tujuh jenjang kelas. Yang terendah adalah kelas yang disebut ''Candidatus Probatus'' (CP) setara kelas VII dalam sistem pendidikan sekarang, kemudian kelas ''Figura Minor'' (setara kelas VIII), kelas ''Figura Maior'' (setara kelas IX), kelas ''Grammatica'' (setara kelas X), kelas ''Sintaxis'' (setara kelas XI), kelas ''Poesis'' (setara kelas XII) dan kelas ''Rhetorica''. Lulusan sekolah lanjutan tingkat pertama diterima dan dimasukkan dalam kelas khusus yang diberi nama ''By Cursus'' (BC), yang jika lulus, melanjutkan pendidikan dalam kelas Grammatica. Begitu juga lulusan sekolah lanjutan tingkat atas, yang selanjutnya bergabung dengan kelas ''Rhetorica''. Karena jumlah siswa meningkat hingga 100 orang lebih, seminari ini kemudian dipindah ke [[Mertoyudan]] [[Magelang]]. Pelajaran pertama di tempat baru ini dimulai pada 13 Januari 1941.
Antara tahun [[1916]]-[[1920]] sudah ada 10 siswa Muntilan yang dikirim ke sekolah Latin yang diselenggarakan para pastor [[Ordo Salib Suci]] di [[Uden]], [[Belanda]]. Dua siswa meninggal dan seorang lagi terganggu kesehatannya, kemudian diambil kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Kursus di Muntilan pun disempurnakan.


Dalam Perang Dunia II, pada [[8 Maret]] [[1942]] tentara Belanda yang menduduki Indonesia menyerah kepada tentara Jepang. Gedung Seminari Mertoyudan diduduki Jepang dan digunakan untuk sekolah Pertanian Nogako. Sistem pendidikan kolonial barat dilarang oleh pemerintah pendudukan Jepang. Maka pada tanggal [[5 April]] [[1942]] para seminaris terpaksa pulang ke rumah masing-masing. Meski demikian, pendidikan calon imam tetap dilangsungkan tersebar di berbagai pastoran, di antaranya di [[Boro]], [[Yogyakarta]], [[Ganjuran]], Muntilan, [[Girisonta]], [[Ungaran]], [[Semarang]] dan [[Solo]]. Pelajaran diberikan secara sembunyi-sembunyi. Selama masa sulit ini, seminari lazim disebut Seminari ''dalam diaspora''. Situasi ini berlangsung hingga [[Republik Indonesia]] merdeka pada tahun [[1945]].
Tanggal [[7 September]] [[1922]], dua seminaris menjadi novis pertama pada [[Novisiat]] [[Serikat Yesus]] yang baru dibuka di [[Yogyakarta]] dengan rektor dan pimpinan novisiatnya Romo Strater SJ.


Dalam masa Revolusi Fisik, gedung Seminari Mertoyudan sempat dibumihanguskan. Sisa-sisa bangunan menjadi jarahan. Setelah situasi tenang, gedung Seminari dibangun kembali oleh [[Vikariat Apostolik]] Semarang dan berakhir Agustus [[1952]]. Bangunan tersebut sekarang merupakan bagian dari gedung ''Domus Patrum'' dan ''Medan Madya'' dalam kompleks Seminari Menengah Mertoyudan. Setelah pembangunan selesai, para seminaris yang tersebar dikumpulkan kembali ke Mertoyudan.
Mei [[1925]] dimulai Seminari Kecil (''Klein Seminarie''), yang gedungnya dibangun di sebelah barat kolese St. Ignatius Yogyakarta tanggal [[19 Desember]] [[1927]] dan diberkati Mgr APF van Velsen SJ. Kursus diadakan bagi mereka yang baru tamat [[Sekolah Dasar]] ''[[Hollands Inlandse School]]'' (HIS) dan ''[[Europese Lagere School]]'' (ELS). Bersamaan dengan itu kursus di Muntilan, bagi mereka yang sudah memiliki ijasah guru tetap, juga tetap berlangsung.


Tanggal [[3 Desember]] [[1952]] gedung Seminari Menengah Mertoyudan diberkati Mgr [[Albertus Soegijapranata]] SJ. Lima tahun kemudian dibangun gedung tambahan yang dipergunakan untuk seminari, yaitu ''Medan Utama'' dan ''Medan Pratama''. Sejak saat itu semakin banyak murid tamatan SD yang diterima di Seminari Mertoyudan. Namun selang dua puluh lima tahun kemudian, berdasar pertimbangan lain, tamatan SD tidak diterima lagi sejak tahun [[1968]]. Yang diterima hanya tamatan SLTP dan SLTA. Nama-nama kelas juga berubah, disesuaikan dengan tiga kelas SMA pada waktu itu (kelas I SMA atau kelas X sekarang, kelas II SMA atau kelas XI, dan kelas III SMA atau kelas XII), dan juga dikenal penjurusan Sosial-Ekonomi (Sos-Ek, atau IPS sekarang) dan Pasti-Alam (IPA). Setelah itu ada kelas ''Propadeuse''. Lulusan SLTP ditampung dalam kelas BC (bij cursus) Pertama lebih dahulu sebelum kemudian mengikuti sistem dan kurikulum SMA. Sedang lulusan SLTA ditampung dalam kelas BC (bij cursus) Atas.
Sekitar tahun [[1927]] kursus ini digabung dengan Seminari Kecil di Yogyakarta. Karena jumlah siswnya meningkat hingga 100 siswa lebih, seminari dipindah ke [[Mertoyudan]] Magelang. Pelajaran pertama dimulai 13 Januari 1941.


Tahun [[1971]] siswa lulusan SLTA yang diterima Seminari tinggal di Yogyakarta, dan mengikuti kuliah di [[IKIP]] [[Sanata Dharma]] hingga menyelesaikan pendidikan sarjana muda. Namun pada tahun [[1972]] siswa tamatan SLTA juga ditampung di Seminari Menengah Mertoyudan. Pada tahun 1973 kelas ''Propadeuse'' dihapuskan, sehingga siswa kelas III SMA waktu itu atau kelas XII dalam sistem sekarang setelah lulus diperkenankan melanjutkan ke Novisiat atau Seminari Tinggi. Karena berbagai alasan, tahun [[1974]] di [[Wisma Realino]] Yogyakarta dibangun cabang Seminari Menengah Mertoyudan khusus untuk menampung siswa tamatan SLTA. Istilah BC (bij cursus) pada tahun ini diganti menjadi Kelas Persiapan. Maka ada Kelas Persiapan Pertama (KPP) untuk lulusan SLTP dan Kelas Persiapan Atas (KPA) untuk lulusan SLTA.
[[8 Maret]] [[1942]] tentara Belanda menyerah kepada Jepang. Gedung Seminari Mertoyudan diduduki Jepang dan digunakan untuk sekolah Pertanian Nogako. Tanggal [[5 April]] [[1942]] para seminaris terpaksa pulang ke rumah masing-masing. Meski demikian pendidikan calon imam tetap dilangsungkan di berbagai pastoran, diantaranya di [[Boro]], [[Yogyakarta]], [[Ganjuran]], Muntilan, [[Girisonta]], [[Ungaran]], [[Semarang]] dan [[Solo]]. Pelajaran diberikan dengan sembunyi-sembunyi. Selama masa sulit ini, seminari lazim disebut Seminari ''in diaspora''. Situasi ini berlangsung hingga [[1945]].


Di kompleks Seminari Menengah Mertoyudan sementara itu dilakukan penambahan gedung. Tahun [[1976]] dilakukan penambahan gedung, yang diresmikan dan mulai dihuni oleh Seminaris Medan Utama. Tahun itu juga Seminari Cabang Yogyakarta digabung lagi dengan Seminari Mertoyudan hingga sekarang.
Dalam masa Revolusi Fisik, gedung Seminari Mertoyudan sempat dibumihanguskan. Sisa-sisa bangunan menjadi jarahan. Setelah situasi tenang, Seminari dibangun kembali oleh Vikariat Semarang dan berakhir Agustus [[1952]]. Bangunan tersebut sekarang merupakan bagian dari gedung ''Domus Patrum'' dan ''Medan Madya''. Setelah pembangunan selesai, selama liburan para seminaris pindah ke Mertoyudan.

Tanggal [[3 Desember]] [[1952]] gedung Seminari Mertoyudan diberkati Mgr [[Albertus Soegijapranata]] SJ. Lima tahun kemudian dibangun gedung tambahan yang dipergunakan untuk seminari, yaitu ''Medan Utama'' dan ''Medan Pratama''. Sejak saat itu semakin banyak murid tamatan SD yang diterima di Seminari Mertoyudan. Namun berdasar pertimbangan lain, tamatan SD tidak diterima lagi sejak tahun [[1968]]. Yang diterima hanya tamatan SLTP dan SLTA.

Tahun [[1971]] siswa seminari lulusan SLTA tinggal di Yogyakarta dan mengikuti kuliah di IKIP Sanata Dharma hingga menyelesaikan pendidikan sarjana muda. Tahun [[1972]] siswa tamatan SLTA juga ditampung di Seminari Mertoyudan. Karena berbagai alasan, tahun [[1974]] di [[Wisma Realino]] Yogyakarta dibangun cabang Seminari untuk menampung siswa tamatan SLTA.

Di Mertoyudan dilakukan penambahan gedung. Tahun [[1976]] dilakukan penambahan gedung, yang diresmikan dan mulai dihuni oleh Seminaris Medan Utama. Tahun itu juga Seminari Cabang Yogyakarta digabung lagi dengan Seminari Mertoyudan hingga sekarang.


== Peringatan ==
== Peringatan ==
Peringatan HUT ke-90 Seminari Mertoyudan St Petrus Canisius Mertoyudan ([[1912]]-[[2002]]) Magelang ditandai dengan pertunjukan [[barongsai]], [[jatilan]], teater, musik, [[wayang kulit]], dan bazar.
Pada tahun 2012 diselenggarakan Peringatan 100 Tahun Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan ([[1912]]-[[2012]]) Magelang dengan tema "Setia Menyemai: memersiapkan bibit imam yang multi-kultural dan berwawasan lingkungan sebagai kader pemimpin Gereja dan bangsa".


Perayaan diwujudkan dalam pelbagai kegiatan mulai dari sosialisasi pada awal Januari 2011, novena dengan Misa bulanan yang dipersembahkan oleh Uskup-uskup alumni Seminari Menengah Mertoyudan dengan tema yang berbeda-beda sejak Mei 2011 (Misa Novena I, Mei 2011, oleh Bpk [[Kardinal Julius Darmaatmadja SJ]] bertajuk ''Keluargaku Seminari Kecil''; Misa Novena II, Juni 2011, oleh Mgr [[Herman Joseph Sahadat Pandayaputra O.Carm]], Uskup [[Keuskupan Malang]], bertajuk ''Keluarga Bahagia, Keluarga Misioner''; Misa Novena III, Agustus 2011, oleh Mgr. [[Yustinus Hardjosusanto MSF]], Uskup [[Keuskupan Tanjung Selor]], bertajuk ''Remaja Masa Kini: Cerdas, Sehat, Suci''; Misa Novena IV, September 2011, oleh Mgr. [[Aloysius Sutrisnaatmaka MSF]], Uskup [[Keuskupan Palangkaraya]], bertajuk ''Beriman Dengan Berakar pada Budaya Setempat'';Misa Novena V, Oktober 2011, oleh Mgr. [[J. Sunarka SJ]], Uskup [[Keuskupan Purwokerto]] bertajuk ''Berbagi Kekayaan Iman, Berbagi Kelimpahan Hidup''; Misa Novena VI, November 2011, oleh Mgr. [[Nicolaus Adi Seputra MSC]] Uskup Agung [[Keuskupan Agung Merauke]] bertajuk ''Menjadi Green Priest, Mengapa Tidak?''; Misa Novena VII, Februari 2012, oleh Mgr [[Ignatius Suharyo]], Uskup Agung [[Keuskupan Agung Jakarta]] bertajuk ''Beriman Untuk Bertindak Adil''; Misa Novena VIII, Maret 2012, oleh Mgr. [[Blasius Pujaraharja]], Uskup [[Keuskupan Ketapang]] bertajuk ''Beriman: Tangguh dan Mendalam''; dan akhirnya ditutup dengan Misa Novena IX, April 2012, oleh Mgr. [[Johannes Pujasumarta]], Uskup Agung [[Keuskupan Agung Semarang]] bertajuk ''Pastor Pelayan dan Motivator Kharisma'').
''Open house'' diselingi pentas seni "campur jatilan" (kesenian tradisional ritual berkolaborasi kreasi baru) dari Muntilan. Kemudian, kesenian persembahan SMU Van Lith Yogyakarta, siswa, dan para guru setempat. Pada [[27 April]] 2002, acara berlangsung hingga malam hari karena ada wayang kulit dengan dalang Bruder St Pius Lima Kirjo Utomo dari [[Kentungan]], Yogyakarta.


Juga dilakukan "Pertemuan Akbar Seminari Regio Jawa-Bali pada bulan Juni 2011; berbagai lomba-lomba menulis, membuat karikatur, melukis; Training for Trainers untuk pembimbing iman anak dan remaja; bakti sosial pengobatan gratis dan seminar kesehatan; serta Misa Syukur 100 Tahun Seminari Menengah Mertoyudan pada 2 Juni 2012, dilanjut dengan aneka pentas seni dan malamnya ditutup dengan pagelaran wayang kulit dengan dhalang Ki Radya Harsono, dengan lakon ''Dewa Ruci''.
Puncak acara, Minggu sore, [[28 April]] 2002, berupa Misa Agung di gereja setempat. Upacara suci dipimpin empat [[Uskup]] alumni Seminari Mertoyudan.

Peringatan ulang tahun juga diisi "Safari Panggilan" lewat konser musik [[orkestra]] yang melibatkan 100 siswa seminari. Berlangsung di Jakarta (23-28 Januari 2002), Yogyakarta (2-3 Februari), Kedu (9-10 Maret), Semarang (16-17 Maret), dan di Surakarta (20-21 April). Konser dengan dirigen Paulus Umbu Tali, bimbingan Romo J Kristanto Pr, dan FX Sukendar PR, disertai para pembimbing. Antara lain, Romo Rektor FX Adi Susanto SY, Romo Alb Sadhyoko Rahardjo SY, dan Romo A Budi Wihandono Pr.

Orkestra Seminari Mertoyudan ini juga tampil pada acara pembukaan [[MTQ]] Pelajar Jawa Tengah, pada September 2002, yang berlangsung di [[Magelang]].


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==
* {{id}} [http://mertoyudan.org Situs web resmi]
* {{id}} [http://mertoyudan.org Situs web resmi]
* {{id}} [http://www.sesawi.net/2012/05/30/100-tahun-seminari-menengah-st-petrus-canisius-mertoyudan-pioner-pembinaan-imam-pribumi-1/]
* {{id}} [http://www.purwokerto.indo.net.id/data/artikel_2002_04_27_1414.html HUT Ke-90 Seminari Mertoyudan]
* {{id}} [http://indonesia.ucanews.com/2012/06/04/seminari-mertoyudan-merayakan-100-tahun/]
* {{id}} [http://www.suaramerdeka.com/harian/0204/10/dar22.htm Hari ini, Seminari Mertoyudan Berusia 90 Tahun]


{{Kolese di Indonesia}}
{{Kolese di Indonesia}}

{{DEFAULTSORT:Petrus Kanisius Mertoyudan, Seminari}}


[[Kategori:Kolese]]
[[Kategori:Kolese]]

Revisi per 24 Januari 2015 18.45

Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan
Berkas:Seminari Petrus Canisius Mertoyudan logo.jpg
Informasi
Didirikan27 April 1912
JenisSeminari
AkreditasiA+
MaskotCanis
Rektor / Ketua(alm) Rm. Ign. Sumarya, SJ
Kepala SekolahRm. T.B Gandhi Hartono, SJ
KurikulumKTSP
Alamat
LokasiJalan Raya Magelang, Magelang, Yogyakarta, Indonesia
Moto
MotoSanctitas, Sanitas, Scientia

Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan atau akrab disebut Seminari Mertoyudan adalah suatu seminari menengah atau tempat pendidikan untuk para calon imam/pastor yang masih belajar pada tingkat SMA. Terletak di Mertoyudan, di pinggir jalan raya Magelang-Yogyakarta.

Sejarah

Berdirinya Seminari Menengah Mertoyudan berawal darikeinginan dua orang pemuda Jawa lulusan Kweekschool Muntilan pada tahun 1911 untuk menjadi imam atau pastor, yakni Petrus Darmaseputra dan F.X. Satiman. Pada bulan November 1911 mereka menghadap Romo Van Lith dan Romo Mertens SJ dan mohon agar diperkenankan belajar menyiapkan diri menjadi imam atau pastor. Niat kedua pemuda ini, sejalan dengan adanya kebutuhan akan imam bumi-putera di Indonesia, memicu munculnya gagasan untuk menyelenggarakan suatu lembaga pendidikan bagi para calon imam. Proses perijinan dari Tahta Suci Vatikan pun diurus, dan pada 30 Mei 1912 izin resmi dari Vatikan didapatkan untuk memulai lembaga pendidikan calon imam di Indonesia. Dan lembaga pendidikan Seminari Menengah yang diselenggarakan ini merupakan yang pertama di Indonesia. Pendidikan tersebut pada mulanya dilaksanakan sebagai kursus bagi para lulusan sekolah guru, dan diselenggarakan di Kolese Xaverius Muntilan. Selain kedua pemuda pemula dari tahun 1912 itu, pada tahun 1913 bergabung satu orang lagi, dan selanjutnya pada tahun 1914 dua murid tambahan. Namun karena sistem dan pelaksana pendidikan calon imam di Muntilan saat itu belum memadai, para seminaris dari Muntilan atas suatu kerjasama kemudian dititipkan ke Uden - Belanda.

Antara tahun 1916-1920 10 siswa seminari dari Muntilan dikirim ke sekolah Latin yang diselenggarakan para pastor Ordo Salib Suci di Uden, Belanda. Di antara mereka itu dua siswa meninggal, dan seorang lagi terganggu kesehatannya, mungkin karena tidak cocok dengan iklim di sana; maka kemudian diambil kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan seminari kembali lagi di Indonesia. Untuk itu sistem dan kurikulum Kursus di Muntilan pun disempurnakan.

Tanggal 7 September 1922, dua lulusan Seminari Menengah ini menjadi novis pertama pada Novisiat Serikat Yesus yang baru dibuka di Yogyakarta dengan rektor dan pimpinan novisiatnya Romo Strater SJ.

Pada bulan Mei 1925 dimulailah Seminari Kecil (Klein Seminarie), menempati gedung yang dibangun di sebelah barat Kolese St. Ignatius Yogyakarta tanggal 19 Desember 1927 dan diberkati oleh [Vikaris Apostolik] [Batavia] Mgr APF van Velsen SJ. Kursus diadakan bagi mereka yang baru tamat Sekolah Dasar Hollands Inlandse School (HIS) dan Europese Lagere School (ELS). Sejalan dengan itu kursus di Muntilan, bagi mereka yang sudah memiliki ijasah guru Kweekschool juga tetap berlangsung. Sekitar tahun 1927 kedua kursus ini digabungkan menjadi Seminari Kecil di Yogyakarta, dengan tujuh jenjang kelas. Yang terendah adalah kelas yang disebut Candidatus Probatus (CP) setara kelas VII dalam sistem pendidikan sekarang, kemudian kelas Figura Minor (setara kelas VIII), kelas Figura Maior (setara kelas IX), kelas Grammatica (setara kelas X), kelas Sintaxis (setara kelas XI), kelas Poesis (setara kelas XII) dan kelas Rhetorica. Lulusan sekolah lanjutan tingkat pertama diterima dan dimasukkan dalam kelas khusus yang diberi nama By Cursus (BC), yang jika lulus, melanjutkan pendidikan dalam kelas Grammatica. Begitu juga lulusan sekolah lanjutan tingkat atas, yang selanjutnya bergabung dengan kelas Rhetorica. Karena jumlah siswa meningkat hingga 100 orang lebih, seminari ini kemudian dipindah ke Mertoyudan Magelang. Pelajaran pertama di tempat baru ini dimulai pada 13 Januari 1941.

Dalam Perang Dunia II, pada 8 Maret 1942 tentara Belanda yang menduduki Indonesia menyerah kepada tentara Jepang. Gedung Seminari Mertoyudan diduduki Jepang dan digunakan untuk sekolah Pertanian Nogako. Sistem pendidikan kolonial barat dilarang oleh pemerintah pendudukan Jepang. Maka pada tanggal 5 April 1942 para seminaris terpaksa pulang ke rumah masing-masing. Meski demikian, pendidikan calon imam tetap dilangsungkan tersebar di berbagai pastoran, di antaranya di Boro, Yogyakarta, Ganjuran, Muntilan, Girisonta, Ungaran, Semarang dan Solo. Pelajaran diberikan secara sembunyi-sembunyi. Selama masa sulit ini, seminari lazim disebut Seminari dalam diaspora. Situasi ini berlangsung hingga Republik Indonesia merdeka pada tahun 1945.

Dalam masa Revolusi Fisik, gedung Seminari Mertoyudan sempat dibumihanguskan. Sisa-sisa bangunan menjadi jarahan. Setelah situasi tenang, gedung Seminari dibangun kembali oleh Vikariat Apostolik Semarang dan berakhir Agustus 1952. Bangunan tersebut sekarang merupakan bagian dari gedung Domus Patrum dan Medan Madya dalam kompleks Seminari Menengah Mertoyudan. Setelah pembangunan selesai, para seminaris yang tersebar dikumpulkan kembali ke Mertoyudan.

Tanggal 3 Desember 1952 gedung Seminari Menengah Mertoyudan diberkati Mgr Albertus Soegijapranata SJ. Lima tahun kemudian dibangun gedung tambahan yang dipergunakan untuk seminari, yaitu Medan Utama dan Medan Pratama. Sejak saat itu semakin banyak murid tamatan SD yang diterima di Seminari Mertoyudan. Namun selang dua puluh lima tahun kemudian, berdasar pertimbangan lain, tamatan SD tidak diterima lagi sejak tahun 1968. Yang diterima hanya tamatan SLTP dan SLTA. Nama-nama kelas juga berubah, disesuaikan dengan tiga kelas SMA pada waktu itu (kelas I SMA atau kelas X sekarang, kelas II SMA atau kelas XI, dan kelas III SMA atau kelas XII), dan juga dikenal penjurusan Sosial-Ekonomi (Sos-Ek, atau IPS sekarang) dan Pasti-Alam (IPA). Setelah itu ada kelas Propadeuse. Lulusan SLTP ditampung dalam kelas BC (bij cursus) Pertama lebih dahulu sebelum kemudian mengikuti sistem dan kurikulum SMA. Sedang lulusan SLTA ditampung dalam kelas BC (bij cursus) Atas.

Tahun 1971 siswa lulusan SLTA yang diterima Seminari tinggal di Yogyakarta, dan mengikuti kuliah di IKIP Sanata Dharma hingga menyelesaikan pendidikan sarjana muda. Namun pada tahun 1972 siswa tamatan SLTA juga ditampung di Seminari Menengah Mertoyudan. Pada tahun 1973 kelas Propadeuse dihapuskan, sehingga siswa kelas III SMA waktu itu atau kelas XII dalam sistem sekarang setelah lulus diperkenankan melanjutkan ke Novisiat atau Seminari Tinggi. Karena berbagai alasan, tahun 1974 di Wisma Realino Yogyakarta dibangun cabang Seminari Menengah Mertoyudan khusus untuk menampung siswa tamatan SLTA. Istilah BC (bij cursus) pada tahun ini diganti menjadi Kelas Persiapan. Maka ada Kelas Persiapan Pertama (KPP) untuk lulusan SLTP dan Kelas Persiapan Atas (KPA) untuk lulusan SLTA.

Di kompleks Seminari Menengah Mertoyudan sementara itu dilakukan penambahan gedung. Tahun 1976 dilakukan penambahan gedung, yang diresmikan dan mulai dihuni oleh Seminaris Medan Utama. Tahun itu juga Seminari Cabang Yogyakarta digabung lagi dengan Seminari Mertoyudan hingga sekarang.

Peringatan

Pada tahun 2012 diselenggarakan Peringatan 100 Tahun Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan (1912-2012) Magelang dengan tema "Setia Menyemai: memersiapkan bibit imam yang multi-kultural dan berwawasan lingkungan sebagai kader pemimpin Gereja dan bangsa".

Perayaan diwujudkan dalam pelbagai kegiatan mulai dari sosialisasi pada awal Januari 2011, novena dengan Misa bulanan yang dipersembahkan oleh Uskup-uskup alumni Seminari Menengah Mertoyudan dengan tema yang berbeda-beda sejak Mei 2011 (Misa Novena I, Mei 2011, oleh Bpk Kardinal Julius Darmaatmadja SJ bertajuk Keluargaku Seminari Kecil; Misa Novena II, Juni 2011, oleh Mgr Herman Joseph Sahadat Pandayaputra O.Carm, Uskup Keuskupan Malang, bertajuk Keluarga Bahagia, Keluarga Misioner; Misa Novena III, Agustus 2011, oleh Mgr. Yustinus Hardjosusanto MSF, Uskup Keuskupan Tanjung Selor, bertajuk Remaja Masa Kini: Cerdas, Sehat, Suci; Misa Novena IV, September 2011, oleh Mgr. Aloysius Sutrisnaatmaka MSF, Uskup Keuskupan Palangkaraya, bertajuk Beriman Dengan Berakar pada Budaya Setempat;Misa Novena V, Oktober 2011, oleh Mgr. J. Sunarka SJ, Uskup Keuskupan Purwokerto bertajuk Berbagi Kekayaan Iman, Berbagi Kelimpahan Hidup; Misa Novena VI, November 2011, oleh Mgr. Nicolaus Adi Seputra MSC Uskup Agung Keuskupan Agung Merauke bertajuk Menjadi Green Priest, Mengapa Tidak?; Misa Novena VII, Februari 2012, oleh Mgr Ignatius Suharyo, Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta bertajuk Beriman Untuk Bertindak Adil; Misa Novena VIII, Maret 2012, oleh Mgr. Blasius Pujaraharja, Uskup Keuskupan Ketapang bertajuk Beriman: Tangguh dan Mendalam; dan akhirnya ditutup dengan Misa Novena IX, April 2012, oleh Mgr. Johannes Pujasumarta, Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang bertajuk Pastor Pelayan dan Motivator Kharisma).

Juga dilakukan "Pertemuan Akbar Seminari Regio Jawa-Bali pada bulan Juni 2011; berbagai lomba-lomba menulis, membuat karikatur, melukis; Training for Trainers untuk pembimbing iman anak dan remaja; bakti sosial pengobatan gratis dan seminar kesehatan; serta Misa Syukur 100 Tahun Seminari Menengah Mertoyudan pada 2 Juni 2012, dilanjut dengan aneka pentas seni dan malamnya ditutup dengan pagelaran wayang kulit dengan dhalang Ki Radya Harsono, dengan lakon Dewa Ruci.

Pranala luar