Abu Bakar Aceh: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 7: Baris 7:


== Pendidikan dan Pengalaman ==
== Pendidikan dan Pengalaman ==
Sejak kecil belajar di beberapa dayah terkenal di Aceh. Di antaranya di dayah Teungku Haji Abdussalam Meuraxa, dan pada dayah Manyang Tuanku Raja Keumala di Peulanggahan di Kutaraja (Banda Aceh). Juga belajar di Volkschool di Meulaboh, dan di Kweekschool Islamiyah di Sumatera Barat. Kemudian pindah ke Yogyakarta, dan Jakarta. Menguasai sejumlah bahasa asing, seperti Jepang, Belanda, Inggris, Arab, dan sebagian Perancis dan Jerman.
Sejak kecil belajar di beberapa dayah terkenal di Aceh. Di antaranya di dayah Teungku Haji Abdussalam Meuraxa, dan pada dayah Manyang Tuanku Raja Keumala di Peulanggahan di Kutaraja (Banda Aceh). Juga belajar di ''Volkschool'' di Meulaboh, dan di ''Kweekschool Islamiyah'' di Sumatera Barat. Kemudian pindah ke Yogyakarta, dan Jakarta. Menguasai sejumlah bahasa asing, seperti Jepang, Belanda, Inggris, Arab, dan sebagian Perancis dan Jerman.


Di masa-masa mudanya aktif di sjeumlah ormas dan partai. Pada 1923 aktif di [[Sarekat Islam]] di Aceh Barat, pada 1924 di [[Muhammadiyah]], dan di [[Partai Masyumi]] sejak 1946. Di masa kepemimpinan Menteri Agama[[Wahid Hasjim| KH. Wahid Hasyim]], Abu Bakar Aceh bekerja di Departemen Agama, membantu menteri dalam urusan penataan pelayanan haji.
Di masa-masa mudanya aktif di sejumlah ormas dan partai. Pada 1923 aktif di [[Sarekat Islam]] di Aceh Barat, pada 1924 di [[Muhammadiyah]], dan di [[Partai Masyumi]] sejak 1946. Di masa kepemimpinan Menteri Agama[[Wahid Hasjim| KH. Wahid Hasyim]], Abu Bakar Aceh bekerja di Departemen Agama RI, membantu menteri dalam urusan penataan pelayanan haji.


Selanjutnya, dipercaya oleh Kiai Wahid memimpin jamaah haji ke Mekah pada 1953. Karena keluasan ilmu dan kacakapannya dalam tulis-menulis, ia dipercaya mengomandani bidang publikasi Departemen Agama, sebelum kemudian menjadi staf ahli Menteri Agama.
Selanjutnya, dipercaya oleh Kiai Wahid memimpin jamaah haji ke Mekah pada 1953. Karena keluasan ilmu dan kacakapannya dalam tulis-menulis, ia dipercaya mengomandani bidang publikasi Departemen Agama RI, sebelum kemudian menjadi staf ahli Menteri Agama RI.


Setelah Pemilu 1955, ia yang dikenal tawadlu dan tidak suka menonjolkan diri itu masuk menjadi anggota Konstituante mewakili Partai NU.
Setelah Pemilu 1955, ia yang dikenal tawadlu dan tidak suka menonjolkan diri itu masuk menjadi anggota Konstituante mewakili Partai NU.
Baris 17: Baris 17:
Setelah Kiai Wahid wafat pada 18 April 1953, Abu Bakar Aceh langsung mengambil inisiatif untuk menulis biografi dan pemikiran Kiai Wahid, sebagai penghormatan kepada tokoh NU itu. Empat tahun kemudian, buku itu terbit di Jakarta (kini sudah dicetak ulang pada 2011 oleh Panitia 1 Abad KH Wahid Hasyim).
Setelah Kiai Wahid wafat pada 18 April 1953, Abu Bakar Aceh langsung mengambil inisiatif untuk menulis biografi dan pemikiran Kiai Wahid, sebagai penghormatan kepada tokoh NU itu. Empat tahun kemudian, buku itu terbit di Jakarta (kini sudah dicetak ulang pada 2011 oleh Panitia 1 Abad KH Wahid Hasyim).


Pengalamannya dalam menulis buku tentang Kiai Wahid ini dimulai pada waktu Menteri Agama KH Masjkur, pengganti Kiai Wahid, menggelar acara peringatan setahun wafatnya Kiai Wahid dengan menyerahkan lukisan tentang Kiai Wahid kepada Nyonya Solehah, sang isteri dan juga ibu [[Abdurrahman Wahid]]. Kemudian dibentuklah panitia peringatan, yang salah satunya berbentuk penerbitan biografi beliau. Dan Abu Bakar, selaku Kepala bagian Penerbitan Kementerian Agama, ditunjuk sebagai penulis.
Pengalamannya dalam menulis buku tentang Kiai Wahid ini dimulai pada waktu Menteri Agama KH Masjkur, pengganti Kiai Wahid, menggelar acara peringatan setahun wafatnya Kiai Wahid dengan menyerahkan lukisan tentang Kiai Wahid kepada Nyonya Solehah, sang isteri dan juga ibu [[Abdurrahman Wahid]]. Kemudian dibentuklah panitia peringatan, yang salah satunya berbentuk penerbitan biografi beliau. Dan Abu Bakar, selaku Kepala bagian Penerbitan Kementerian Agama RI, ditunjuk sebagai penulis.


Abu Bakar dikenal tekun menggarap penulisan biografi tersebut. Ia bekerja siang dan malam, menghubungi para keluarag Kiai Wahid, hingga mengumpulkan foto-foto dan tulisan-tulisan yang pernah dimuat media. Salah seorang yang dihubungi untuk memperkaya bahan-bahan tersebut Kiai Abdul Karim Hasyim (dikenal Akarhanaf), adik Kiai Wahid.
Abu Bakar dikenal tekun menggarap penulisan biografi tersebut. Ia bekerja siang dan malam, menghubungi para keluarag Kiai Wahid, hingga mengumpulkan foto-foto dan tulisan-tulisan yang pernah dimuat media. Salah seorang yang dihubungi untuk memperkaya bahan-bahan tersebut Kiai Abdul Karim Hasyim (dikenal Akarhanaf), adik Kiai Wahid.
Baris 27: Baris 27:
Dalam satu tulisannya, “Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia”, untuk satu bab buku terjemahan Stoddard, Dunia Baru Islam (1966), ia menunjukkan kontribusi masing-masing, yang reformis-modernis-tradisi maupun Kaum Tua-Kaum Muda, bagi kemerdekaan Indonesia. Semua tulisan diarahkan pada pendekatan rekonsiliasi, titik temu dan pencarian sintesa-sintesa baru bagi kemajuan dan pengumpulan kekuatan bangsa ini. Isi tulisan macam ini tidak kita temukan pada sejumlah sarjana Indonesia didikan Amerika, Eropa maupun Australia, yang selalu mencari titik lemah pada komunitas pesantren, pengumpulan titik kelemahan bangsa ini, serta penonjolan titik-titik tengkar di antara berbagai komponen bangsa ini.
Dalam satu tulisannya, “Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia”, untuk satu bab buku terjemahan Stoddard, Dunia Baru Islam (1966), ia menunjukkan kontribusi masing-masing, yang reformis-modernis-tradisi maupun Kaum Tua-Kaum Muda, bagi kemerdekaan Indonesia. Semua tulisan diarahkan pada pendekatan rekonsiliasi, titik temu dan pencarian sintesa-sintesa baru bagi kemajuan dan pengumpulan kekuatan bangsa ini. Isi tulisan macam ini tidak kita temukan pada sejumlah sarjana Indonesia didikan Amerika, Eropa maupun Australia, yang selalu mencari titik lemah pada komunitas pesantren, pengumpulan titik kelemahan bangsa ini, serta penonjolan titik-titik tengkar di antara berbagai komponen bangsa ini.


Abu Bakar Atjeh juga tercatat sebagai anggota pengurus penulisan sejarah untuk Monumen Nasional; menjadi salah seorang anggota paniatia pembangunan Masjid Istiqlal Jakarta; seorang pencetus berdirinya Masjid Agung al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan; turut mendirikan Perpustakaan Kutub Khannah Iskanar Muda di Banda Aceh (1949 – 1950); dan mendirikan serta menjadi pengurus Perpustakaan Islam di Jakarta yang kemudian dipindahkan di Yogyakarta.

Sebagai ulama dan cendekiawan, ia aktif memberikan pengajian agama di masjid-masjid dan menjadi penceramah agama Islam pada Pusroh (Pusat Rohani) Angkatan Bersenjata RI Jakarta, dan menjadi dosen pada beberapa perguruan tinggi di Jakarta seperti IAIN, Universitas Ibnu Khladun, dan Universitas Islam Jakarta. Pada tanggal 30 Januari 1967 ia menerima gelar doktor honoris causa dalam bidang Ilmu Agama Islam dari Universitas Islam Jakarta.

Sebagai pejabat tinggi Departeman Agama RI ia berkesempatan mengunjungi beberapa negara, seperti Filipina, Pakistan, Jepang (dalam rangka urusan mencetak Al-Qur’an), Arab Saudi (dalam rangka anggota delegasi Indonesia ke konggres Islam), dan Mesir (sebagai anggota rombongan menteri luar negeri). Pada hari tua sampai wafatnya, ia menjadi ikhwan Tarekat Kadiriah-Naqsyabandiyah yang berpusat di Suralaya.
== Hasil karya ==
== Hasil karya ==
Beberapa karya Abu Bakar Aceh lainnya: Sejarah Al-Qur'an; Aliran Syiah di Nusantara; Tekhnik Khutbah; Sejarah Ka’bah; Perjuangan Wanita Islam; Islam dan Kemerdekaan Beragama; Sejarah Mesjid; Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf; Pengantar Ilmu Tarekat; Ibn Arabi Tokoh Tasauw dan Filsafat Agama; Ilmu Fiqih Islam dalam Lima Mahzab; Ahlussunnah Waljamaah; Ilmu Ketuhanan; Islam Sumber Djihad dan Idjtihad; Pendidikan Sufi; Sejarah Hidup Nabi Muhammad; Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia; Syariah; Syiah Rasionalisme dalam Islam; Tarikat dalam Tasauw; Toleransi Nabi Muhammad dan Para Sahabatnya; Wasiat Ibn Arabi; dan lain-lain.
Beberapa karya Abu Bakar Aceh lainnya: Sejarah Al-Qur'an; Aliran Syiah di Nusantara; Tekhnik Khutbah; Sejarah Ka’bah; Perjuangan Wanita Islam; Islam dan Kemerdekaan Beragama; Sejarah Mesjid; Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf; Pengantar Ilmu Tarekat; Ibn Arabi Tokoh Tasauw dan Filsafat Agama; Ilmu Fiqih Islam dalam Lima Mahzab; Ahlussunnah Waljamaah; Ilmu Ketuhanan; Islam Sumber Djihad dan Idjtihad; Pendidikan Sufi; Sejarah Hidup Nabi Muhammad; Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia; Syariah; Syiah Rasionalisme dalam Islam; Tarikat dalam Tasauw; Toleransi Nabi Muhammad dan Para Sahabatnya; Wasiat Ibn Arabi; dan lain-lain.
Baris 44: Baris 49:
* {{cite web | url = http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,39619-lang,id-c,tokoh-t,Haji+Abu+Bakar+Aceh-.phpx | title = Haji Abu Bakar Aceh | date = 10 | month = September | year = 2012 | language = Indonesia | accessdate = 1 Oktober 2014
* {{cite web | url = http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,39619-lang,id-c,tokoh-t,Haji+Abu+Bakar+Aceh-.phpx | title = Haji Abu Bakar Aceh | date = 10 | month = September | year = 2012 | language = Indonesia | accessdate = 1 Oktober 2014
}}
}}
* [http://kabunvillage.blogspot.com/2011/11/abu-bakar-atjeh-h.html "ABU BAKAR ATJEH H"] Diakses 6 Desember 2014
* [http://acehbooks.org/search/detail/4396?language=en Islam Sumber Djihad dan Idjtihad]
* 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia


{{lifetime|1909|1979}}
{{lifetime|1909|1979}}

Revisi per 6 Desember 2014 07.47

Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh (atau Abubakar Aceh atau Abu Bakar Aceh atau Hadji Aboebakar) adalah cendekiawan terkenal dari Aceh sekaligus penulis buku-buku keagamaan, filsafat dan kebudayaan. Lahir dengan nama Aboebakar pada 18 April 1909 di Peureumeu, Kabupaten Aceh Barat, dari pasangan ulama. Ayahnya adalah Teungku Haji Syekh Abdurahman, imam Masjid Raya Kutaradja (sekarang lebih sering disebut sebagai Masjid Raya Baiturrahman). Ibunya bernama Teungku Hajjah Naim. Aboebakar Atjeh meninggal pada 18 Desember 1979 di Jakarta, dan dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta.

Tambahan “Atjeh” di belakang namanya merupakan pemberian Presiden Soekarno yang kagum akan keluasan ilmu putra Aceh ini. “Ensiklopedia Berjalan” adalah sebutan teman-temannya tentang hakikat ilmu pengetahuannya.

Nama Aboebakar Atjeh masuk dalam buku Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia yang ditulis oleh Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza.

Pendidikan dan Pengalaman

Sejak kecil belajar di beberapa dayah terkenal di Aceh. Di antaranya di dayah Teungku Haji Abdussalam Meuraxa, dan pada dayah Manyang Tuanku Raja Keumala di Peulanggahan di Kutaraja (Banda Aceh). Juga belajar di Volkschool di Meulaboh, dan di Kweekschool Islamiyah di Sumatera Barat. Kemudian pindah ke Yogyakarta, dan Jakarta. Menguasai sejumlah bahasa asing, seperti Jepang, Belanda, Inggris, Arab, dan sebagian Perancis dan Jerman.

Di masa-masa mudanya aktif di sejumlah ormas dan partai. Pada 1923 aktif di Sarekat Islam di Aceh Barat, pada 1924 di Muhammadiyah, dan di Partai Masyumi sejak 1946. Di masa kepemimpinan Menteri Agama KH. Wahid Hasyim, Abu Bakar Aceh bekerja di Departemen Agama RI, membantu menteri dalam urusan penataan pelayanan haji.

Selanjutnya, dipercaya oleh Kiai Wahid memimpin jamaah haji ke Mekah pada 1953. Karena keluasan ilmu dan kacakapannya dalam tulis-menulis, ia dipercaya mengomandani bidang publikasi Departemen Agama RI, sebelum kemudian menjadi staf ahli Menteri Agama RI.

Setelah Pemilu 1955, ia yang dikenal tawadlu dan tidak suka menonjolkan diri itu masuk menjadi anggota Konstituante mewakili Partai NU.

Setelah Kiai Wahid wafat pada 18 April 1953, Abu Bakar Aceh langsung mengambil inisiatif untuk menulis biografi dan pemikiran Kiai Wahid, sebagai penghormatan kepada tokoh NU itu. Empat tahun kemudian, buku itu terbit di Jakarta (kini sudah dicetak ulang pada 2011 oleh Panitia 1 Abad KH Wahid Hasyim).

Pengalamannya dalam menulis buku tentang Kiai Wahid ini dimulai pada waktu Menteri Agama KH Masjkur, pengganti Kiai Wahid, menggelar acara peringatan setahun wafatnya Kiai Wahid dengan menyerahkan lukisan tentang Kiai Wahid kepada Nyonya Solehah, sang isteri dan juga ibu Abdurrahman Wahid. Kemudian dibentuklah panitia peringatan, yang salah satunya berbentuk penerbitan biografi beliau. Dan Abu Bakar, selaku Kepala bagian Penerbitan Kementerian Agama RI, ditunjuk sebagai penulis.

Abu Bakar dikenal tekun menggarap penulisan biografi tersebut. Ia bekerja siang dan malam, menghubungi para keluarag Kiai Wahid, hingga mengumpulkan foto-foto dan tulisan-tulisan yang pernah dimuat media. Salah seorang yang dihubungi untuk memperkaya bahan-bahan tersebut Kiai Abdul Karim Hasyim (dikenal Akarhanaf), adik Kiai Wahid.

Setelah setahun mengumpulkan semuanya, ia mulai menulis, hingga menjadi buku seperti sekarang. Buku ini menunjukkan keluasan dan kedalaman pengetahuan Abu Bakar tentang pesantren dan dunia ulama.

Kedekatan dan keakrabannya dengan kalangan reformis-modernis selama di Yogyakarta, tidak menghalanginya juga untuk membangun suasana harmonis dengan komunitas pesantren. Dalam sejumlah tulisannya, Abu Bakar menunjukkan kekagumannya dan bahkan menimba banyak dari tradisi keilmuan pesantren.

Dalam satu tulisannya, “Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia”, untuk satu bab buku terjemahan Stoddard, Dunia Baru Islam (1966), ia menunjukkan kontribusi masing-masing, yang reformis-modernis-tradisi maupun Kaum Tua-Kaum Muda, bagi kemerdekaan Indonesia. Semua tulisan diarahkan pada pendekatan rekonsiliasi, titik temu dan pencarian sintesa-sintesa baru bagi kemajuan dan pengumpulan kekuatan bangsa ini. Isi tulisan macam ini tidak kita temukan pada sejumlah sarjana Indonesia didikan Amerika, Eropa maupun Australia, yang selalu mencari titik lemah pada komunitas pesantren, pengumpulan titik kelemahan bangsa ini, serta penonjolan titik-titik tengkar di antara berbagai komponen bangsa ini.

Abu Bakar Atjeh juga tercatat sebagai anggota pengurus penulisan sejarah untuk Monumen Nasional; menjadi salah seorang anggota paniatia pembangunan Masjid Istiqlal Jakarta; seorang pencetus berdirinya Masjid Agung al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan; turut mendirikan Perpustakaan Kutub Khannah Iskanar Muda di Banda Aceh (1949 – 1950); dan mendirikan serta menjadi pengurus Perpustakaan Islam di Jakarta yang kemudian dipindahkan di Yogyakarta.

Sebagai ulama dan cendekiawan, ia aktif memberikan pengajian agama di masjid-masjid dan menjadi penceramah agama Islam pada Pusroh (Pusat Rohani) Angkatan Bersenjata RI Jakarta, dan menjadi dosen pada beberapa perguruan tinggi di Jakarta seperti IAIN, Universitas Ibnu Khladun, dan Universitas Islam Jakarta. Pada tanggal 30 Januari 1967 ia menerima gelar doktor honoris causa dalam bidang Ilmu Agama Islam dari Universitas Islam Jakarta.

Sebagai pejabat tinggi Departeman Agama RI ia berkesempatan mengunjungi beberapa negara, seperti Filipina, Pakistan, Jepang (dalam rangka urusan mencetak Al-Qur’an), Arab Saudi (dalam rangka anggota delegasi Indonesia ke konggres Islam), dan Mesir (sebagai anggota rombongan menteri luar negeri). Pada hari tua sampai wafatnya, ia menjadi ikhwan Tarekat Kadiriah-Naqsyabandiyah yang berpusat di Suralaya.

Hasil karya

Beberapa karya Abu Bakar Aceh lainnya: Sejarah Al-Qur'an; Aliran Syiah di Nusantara; Tekhnik Khutbah; Sejarah Ka’bah; Perjuangan Wanita Islam; Islam dan Kemerdekaan Beragama; Sejarah Mesjid; Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf; Pengantar Ilmu Tarekat; Ibn Arabi Tokoh Tasauw dan Filsafat Agama; Ilmu Fiqih Islam dalam Lima Mahzab; Ahlussunnah Waljamaah; Ilmu Ketuhanan; Islam Sumber Djihad dan Idjtihad; Pendidikan Sufi; Sejarah Hidup Nabi Muhammad; Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia; Syariah; Syiah Rasionalisme dalam Islam; Tarikat dalam Tasauw; Toleransi Nabi Muhammad dan Para Sahabatnya; Wasiat Ibn Arabi; dan lain-lain.

Selain itu juga menerjemahkan beberapa karya para penulis Eropa dan orientalis tentang sejarah Aceh ke dalam bahasa Indonesia. Menulis dalam bahasa Aceh buku pelajaran untuk sekolah-sekolah Aceh masa kolonial, seperti Meutia dan Lhee Saboh Nang. Ia juga turut membantu penyusunan kamus Aceh, Groot Atjehsch Woordenboek, yang dibuat oleh Husein Djajadiningrat.

Keluarga

Aboebakar Atjeh memiliki dua orang istri, yaitu Soewami dan Soekarti. Pernikahannya dengan Soewami tidak dikaruniai anak, sedangkan pernikahannya dengan Soekarti dikaruniai 6 (enam) orang anak. Keenam anak tersebut adalah:

  1. Hj. Umarah Sri Angsani (menikah dengan H. Teuku Iskandar bin Teuku Akbar)
  2. Hj. Inayah Sri Soewami
  3. Muhammad Furqan (meninggal 2006)
  4. Maisarah Sri Widari
  5. Rahmah Sri Wardani (meninggal)
  6. Farhan A. (meninggal 2004)

Referensi