Suku Dayak Ngaju: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Dekagerzon (bicara | kontrib)
k edit referensi
Dekagerzon (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
{{ethnic group|
{{ethnic group|
|group=Suku Dayak Ngaju
|group=Suku Dayak Ngaju
|image=[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Studioportret van twee Dajak vrouwen uit Borneo met trommels TMnr 60042543.jpg|200px|Dua wanita Dayak dengan alat musik ketambung]]
|image=[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gewapende Dajaks bezig met een gesnelde schedel in de buurt van Toembanganoi Midden-Borneo. TMnr 60010386.jpg|200px|Sekelompok pasukan Dayak Ngaju menjaga perbatasan Toembanganoi pada saat berlangsungnya Perjanjian Toembanganoi]]
|poptime=kurang lebih '''400.000'''.
|poptime=kurang lebih '''400.000'''.
|popplace=[[Kalimantan Tengah]]: '''324.504'''.<ref>Sumber: Badan Pusat Statistik - Sensus Penduduk Tahun 2000</ref>
|popplace=[[Kalimantan Tengah]]: '''324.504'''.<ref>Sumber: Badan Pusat Statistik - Sensus Penduduk Tahun 2000</ref>

Revisi per 1 Februari 2014 08.15

Suku Dayak Ngaju
Sekelompok pasukan Dayak Ngaju menjaga perbatasan Toembanganoi pada saat berlangsungnya Perjanjian Toembanganoi
Daerah dengan populasi signifikan
Kalimantan Tengah: 324.504.[1]
Bahasa
Ngaju, Bakumpai, Banjar, Indonesia
Agama
Kristen (Katolik dan Protestan), Islam, Kaharingan
Kelompok etnik terkait
Dayak (Ot Danum, Bakumpai, Maanyan, Lawangan, Dusun)

Suku Dayak Ngaju (Biaju) adalah suku asli di Kalimantan Tengah. Suku Ngaju merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 18,02% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Ngaju tergabung ke dalam suku Dayak dalam sensus 1930.[2]

Etimologis

Ngaju berarti udik.[3] Suku Ngaju kebanyakan mendiami daerah aliran sungai Kapuas, Kahayan, Rungan Manuhing, Barito dan Katingan bahkan ada pula yang mendiami daerah Kalimantan Selatan.

Orang Dayak Ngaju yang kita kenal sekarang, dalam literatur-literatur pada masa-masa awal disebut dengan Biaju. Terminologi Biaju tidaklah berasal dari orang Dayak Ngaju tetapi berasal dari bahasa orang Bakumpai yang secara ontologis merupakan bentuk kolokial dari bi dan aju, yang artinya ”dari hulu” atau ”dari udik”. Karena itu, di wilayah aliran sungai Barito, dimana banyak orang Bakumpai, orang Dayak Ngaju disebut dengan Biaju, yang artinya orang yang berdiam di dan dari bagian hulu sungai.[4]

Menurut Afdeeling Dajaklandeen (Afdeling Tanah-tanah Dayak 1898-1902)[5][6] atau Tanah Biaju (sebelum 1826) adalah bekas sebuah afdeling dalam Karesidenan Selatan dan Timur Borneo yang ditetapkan dalam Staatblad tahun 1898 no.178. Pada tahun 1855, daerah ini dinamakan De afdeeling groote en kleine Dayak.[7][8] Sesuai Staatblad tahun 1898 no. 178 bahwa Afdeeling Dajaklandeen, dengan ibukota Kwala Kapoeas (Kuala Kapuas) terdiri ditrik-distrik :

Rumpun Suku Dayak Ngaju

Berdasarkan daerah aliran sungai, Biaju terbagi menjadi:

Berdasarkan rumpun bahasa, suku Dayak Ngaju (Biaju) terbagi menjadi[9]

Asal Mula[11]

Tentang leluhur asal usul Dayak Ngaju dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan sejarah tentang orang Dayak Ngaju. Dalam sejarahnya leluhur Dayak Ngaju diyakini berasal dari kerajaan yang terletak di lembah pegunungan Yunan bagian Selatan, tepatnya di Cina Barat Laut berbatasan dengan Vietnam sekarang. Mereka bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia (Provinsi Yunan, Cina Selatan) sekitar 3000-1500 SM.

Menurut Tetek Tatum leluhur orang Dayak Ngaju merupakan ciptaan langsung Ranying Hatalla Langit yang sempurna, yang ditugaskan untuk menjaga bumi dan isinya agar tidak rusak. Leluhur Dayak Ngaju diturunkan melalui Palangka Bulau dalam tiga bentuk, yaitu Tantan Puruk Pamatuan, Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting, dan Puruk Kambang Tanah Siang. Pendapat lain menyatakan sebanyak empat bentuk, yaitu Di Tantan Puruk Pamatuan, hulu sungai Kahayan dan Barito, Di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting, Di Tatah Takasiang, hulu Rakaui Malahui, Di Pueruk Kambang, dan Tanah Siang.

Kepercayaan & Kebudayaan[12]

Kaharingan adalah kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan Tengah, ketika agama lain belum memasuki Kalimantan.[13] [14] Istilah Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan),[15] maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab itu, kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April 1980,[16], mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying.

Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.

Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.

Dewasa ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu Tanda Penduduk.[butuh rujukan] Dengan demikian, suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh negara. Hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik Kalteng mencatat ada 223.349 orang penganut Kaharingan di Indonesia.[butuh rujukan]

Tetapi di Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah), nampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun. Pada tanggal 20 April 1980 Kaharingan dimasukan ke dalam agama Hindu Kaharingan.[17] Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang pusatnya di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Kemampuan spiritual. Orang Dayak Ngaju terkenal dengan kemampuan spiritualnya yang luar biasa. Salah satu kemampuan spiritual itu adalah apa yang mereka sebut Manajah Antang (burung Elang), yaitu memanggil burung Elang agar dapat memberi petunjuk untuk berperang atau ingin mengetahui keadaan seseorang. Mereka meyakini burung yang datang adalah suruhan leluhur mereka, dan mereka meyakini petunjuk apapun yang diberikan oleh burung Elang adalah benar.

Upacara tiwah, yaitu proses mengantarkan arwah (liau) sanak kerabat atau leluhur yang sudah meninggal ke surga atau Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang, yaitu sebuah tempat yang kekal atau abadi. Orang Dayak Ngaju meyakini leluhur akan senang dan bahagia jika arwah mereka sudah diantarkan. Mereka juga meyakini bahwa sebelum dilaksanakan upacara tiwah, roh leluhur dianggap belum masuk surga.

Tradisi ber-Tato/Tutang/Cacah, yaitu menato tubuh. Orang Dayak terkenal dengan seni tatonya. Baik kaum laki-laki maupun perempuan, menato bagian-bagian tertentu dari tubuhnya, seperti pergelangan tangan, punggung, perut atau leher. Bahkan terdapat orang yang menato seluruh tubuhnya (biasanya seorang pemimpin). Tato selain sebagai simbol status juga merupakan identitas. Mentato didasari oleh kayakinan bahwa kelak setelah meninggal dan sampai ke surga, tato itu akan bersinar kemilau dan berubah menjadi emas, sehingga dapat dikenali oleh leluhur mereka nanti di surga.

Pelaksanaan hukum-hukum adat. Sejak dahulu hingga sekarang orang Dayak terkenal dengan hukum adat mereka, khususnya berkaitan dengan bagaimana cara mereka hidup berdampingan dengan alam (hutan). Hukum adat merupakan aturan yang telah digariskan oleh Ranying Hatalla dan diwariskan oleh leluhur mereka untuk ditaati. Orang Dayak Ngaju meyakini jika tidak melaksanakan hukum adat, maka leluhur mereka akan marah dengan mengirimkan berbagai bencana alam, seperti banjir dan kesulitan mencari makan.

Tarian burung Enggang. Burung Enggang adalah burung yang sangat disakralkan dalam kepercayaan orang Dayak Ngaju. Burung ini dianggap sebagai burung indah dan dari gerak geriknya tercipta sebuah tarian, yang diyakini sebagai tarian leluhur mereka pada saat awal penciptaan. Maka dari itu hingga sekarang tarian burung Enggang masih ditampilkan dalam upacara adat Dayak Ngaju, sebagai penghormatan terhadap leluhur mereka.

Pengetahuan dan keyakinan mereka terhadap Pohon Batang Garing (pohon kehidupan) sebagai petunjuk memahami kehidupan. Pohon Batang Garing adalah pohon simbolis yang diciptakan berbarengan dengan diciptakannya leluhur Dayak Ngaju. Pohon ini dianggap menjadi pohon petunjuk untuk mengatur kehidupan yang harus diajarkan pada orang Dayak Ngaju kelak.

Susunan Dan Tingkatan Masyarakat[18][19]

Pada masa lampau masyarakat Dayak Ngaju memiliki susunan dan tingkatan strata sosial dalam masyarakatnya yaitu:

  • Kepala Kampung, yang dimasa kolonial tugasnya hanya melaksanakan perintah pegawai kolonial, dengan tugas utama menarik pajak dan mendayung perahu bagi para pegawai kolonial, apabila mengunjungi kampung lain, mengakibatkan terjadinya perbedaan kelas dalam masyarakat. Ada kaum bangsawan dan ada orang-orang pantan.
  • Orang-orang Pantan, adalah penduduk asli yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari diusahakan sendiri. Kewajiban mereka mematuhi perintah pimpinan, serta wajib menyediakan tenaga sukarela apabila dibutuhkan pimpinan. Disini jelas nasib mereka banyak tergantung kepada kepribadian pimpinan mereka.
  • Orang-orang Merdeka adalah keluarga jauh para Kepala Kampung. Mereka dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun tetap harus menyediakan tenaga secara sukarela apabila dibutuhkan oleh pimpinan demi kepentingan umum.
  • Orang-orang Jipen, adalah golongan budak. Para Jipen sama sekali tidak memiliki harta benda, seluruh kebutuhan hidupnya disediakan oleh majikannya. Para Kepala Kampung, orang-orang merdeka, orang-orang pantan diizinkan mempunyai jipen. Jipen berasal dari orang-orang yang kalah perang dan tak sanggup melunasi hutang-hutangnya. Apabila para jipen telah sanggup melunasi utangnya, maka kemerdekaan akan mereka peroleh. Akan tetapi bila hingga akhir hayat utang belum mampu mereka lunasi, maka anak keturunannya akan tetap menjadi jipen, yang biasa disebut "utus jipen", sampai utang yang ada dilunasi.
  • Orang-orang Abdi adalah orang-orang yang dibeli.
  • Orang-orang Tangkapan atau Tawanan.
  • Orang-orang Tamuei atau Orang Asing, mereka bukan penduduk asli.


Lagu Daerah Dayak Ngaju

Catatan kaki

  1. ^ Sumber: Badan Pusat Statistik - Sensus Penduduk Tahun 2000
  2. ^ (Indonesia) Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia: demografi-politik pasca-Soeharto, Yayasan Obor Indonesia, 2007, ISBN 979-799-083-4, 9789797990831
  3. ^ Nila Riwut. 2003 Tjilik Riwut. Manaser Panatau Tatu Hiang.
  4. ^ Biaju, Ngaju dan Dayak Ngaju, Marko Mahin
  5. ^ (Inggris) (2009)"Administrative divisions in Dutch Borneo, 1902". Digital Atlas of Indonesian History. Robert Cribb. Diakses tanggal 1 August 2011. 
  6. ^ (Inggris) (2007)"Administrative divisions in Dutch and British Borneo, 1902". Digital Atlas of Indonesian History. Robert Cribb. Diakses tanggal 1 August 2011. 
  7. ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz. 1. J. D. Sybrandi. hlm. 241. 
  8. ^ Administrative sub-divisions in Dutch Borneo, ca 1879
  9. ^ (Inggris) Chapter 4. Borneo as a Cross-Roads for Comparative Austronesian Linguistics
  10. ^ (Indonesia) Melalatoa, M. J. (1995). Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia. 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 
  11. ^ Nila Riwut. 2003 Tjilik Riwut. Manaser Panatau Tatu Hiang.
  12. ^ Nila Riwut. 2003 Tjilik Riwut. Manaser Panatau Tatu Hiang.
  13. ^ (Inggris)Susanto, A. Budi (2003). Politik dan postkolonialitas di Indonesia. Kanisius. ISBN 9789792108507.  horizontal tab character di |title= pada posisi 120 (bantuan); Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)ISBN 979-21-0850-5
  14. ^ (Indonesia) Fr. Wahono Nitiprawiro, Moh. Sholeh Isre, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), Teologi pembebasan: sejarah, metode, praksis, dan isinya, PT LKiS Pelangi Aksara, 2000 ISBN 979-8966-85-6, 9789798966859
  15. ^ (Indonesia) Fridolin Ukur, Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835, BPK Gunung Mulia, 2000 ISBN 979-9290-58-9, 9789799290588
  16. ^ (Indonesia) A. Budi Susanto, Masihkah Indonesia, Kanisius, 2007 ISBN 979-21-1657-5, 9789792116571
  17. ^ (Indonesia)Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. ISBN 9792116575. ISBN 978-979-21-1657-1
  18. ^ (Indonesia) Susunan dan Tingkatan Masyarakat Dayak Ngaju pada masa lampau
  19. ^ Nila Riwut. 2003 Tjilik Riwut. Manaser Panatau Tatu Hiang

Pranala luar