Batara Guru: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Okkisafire (bicara | kontrib)
Okkisafire (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Bathara_Guru.jpg|thumb|240px|right|Batara Guru.]]
[[Berkas:Bathara_Guru.jpg|thumb|240px|right|Wayang kulit Batara Guru.]]
'''Batara Guru''' (juga disebut '''Bathara Guru''' dan '''Debata Batara Guru''') adalah nama sesosok mahadewa dalam beberapa mitologi Indonesia. Namanya berasal dari [[bahasa Sanskrit]] ''Bhattara'' yang berarti "tuan terhormat" dan ''Guru'', epitet dari [[Bṛhaspati]], seorang Dewa Hindu yang tinggal dan diidentifikasikan dengan planet [[Jupiter]].<ref>{{cite book|url=http://books.google.com/books?id=Wnc7AAAAMAAJ |page=383 |language=Indonesian, French |title=Cariosan Prabu Silihwangi |volume=4 |series=Naskah dan dokumen Nusantara |editors=Sunarto H., Viviane Sukanda-Tessier |publisher=Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh |year=1983 |quote=Statuette tricéphale assise, cuivre rouge moulé d'une beauté rarement égalée. C'est Batara Guru, un super dieu équivalent au Jupiter des Romains et au Brahma des Hindous.}}</ref>
Menurut [[mitologi]] [[Jawa]], '''Batara Guru''' merupakan [[Batara-Batari dalam pewayangan|Dewa]] yang merajai [[kahyangan]]. Ia merupakan perwujudan dari dewa [[Siwa]] yang mengatur [[wahyu]], hadiah, dan berbagai ilmu kepada para [[wayang|tokoh wayang]] lainnya. Batara Guru mempunyai [[sakti]] (istri) [[Uma (dewi)|Dewi Uma]], dan mempunyai beberapa anak. Betara Guru merupakan satu-satunya wayang kulit yang digambarkan dalam posisi menghadap ke depan, ke arah manusia. Hal ini dapat dilihat dari posisi kakinya. Hanya saja karena berbentuk wayang, maka ia menghadap ke samping.

[[Wahana]] (hewan kendaraan) Batara Guru adalah sang [[lembu]] [[Nandini]].
==Batara Guru dalam mitologi Jawa==
Menurut [[mitologi]] [[Jawa]], Batara Guru merupakan [[Batara-Batari dalam pewayangan|Dewa]] yang merajai [[kahyangan]]. Ia merupakan perwujudan dari dewa [[Siwa]] yang mengatur [[wahyu]], hadiah, dan berbagai ilmu kepada para [[wayang|tokoh wayang]] lainnya. Batara Guru mempunyai [[sakti]] (istri) [[Uma (dewi)|Dewi Uma]], dan mempunyai beberapa anak. Betara Guru merupakan satu-satunya wayang kulit yang digambarkan dalam posisi menghadap ke depan, ke arah manusia. Hal ini dapat dilihat dari posisi kakinya. Hanya saja karena berbentuk wayang, maka ia menghadap ke samping. [[Wahana]] (hewan kendaraan) Batara Guru adalah sang [[lembu]] [[Nandini]].


== Mitologi ==
Betara Guru (Manikmaya) diciptakan dari cahaya yang gemerlapan oleh [[Sang Hyang Tunggal]], bersamaan dengan cahaya yang berwarna kehitam-hitaman yang merupakan asal jadinya Ismaya ([[Semar]]). Oleh Hyang Tunggal, diputuskanlah bahwa Manikmaya yang berkuasa di Suryalaya, sedangkan Ismaya turun ke bumi untuk mengasuh para [[Pandawa]].
Betara Guru (Manikmaya) diciptakan dari cahaya yang gemerlapan oleh [[Sang Hyang Tunggal]], bersamaan dengan cahaya yang berwarna kehitam-hitaman yang merupakan asal jadinya Ismaya ([[Semar]]). Oleh Hyang Tunggal, diputuskanlah bahwa Manikmaya yang berkuasa di Suryalaya, sedangkan Ismaya turun ke bumi untuk mengasuh para [[Pandawa]].


Adapun saat Batara Guru diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Hyang Tunggal mengetahui perasaan Manikmaya, lalu Hyang Tunggal bersabda bahwa Manikmaya akan memiliki cacad berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal, dan sabda beliau betul-betul terjadi.
Saat diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Hyang Tunggal mengetahui perasaan Manikmaya, lalu Hyang Tunggal bersabda bahwa Manikmaya akan memiliki cacad berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal, dan sabda beliau betul-betul terjadi.


Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu—yang tidak diketahuinya bahwa air tersebut beracun—lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacad belang di leher. Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemahlah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti [[rakshasa|raksasa]], maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya. Hal ini adalah salah satu upaya de-Hinduisasi wayang dari budaya Jawa yang dilakukan [[Walisongo]] dalam upayanya menggunakan wayang sebagai sarana penyebaran [[Islam]] di [[Jawa]]. Contoh lain adalah penyebutan [[Drona]] menjadi Durna (nista), adanya kisah [[Yudistira]] harus menyebut kalimat [[syahadat]] sebelum masuk [[surga]], dan lain-lain.
Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu—yang tidak diketahuinya bahwa air tersebut beracun—lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacad belang di leher. Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemahlah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti [[rakshasa|raksasa]], maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya. Hal ini adalah salah satu upaya de-Hinduisasi wayang dari budaya Jawa yang dilakukan [[Walisongo]] dalam upayanya menggunakan wayang sebagai sarana penyebaran [[Islam]] di [[Jawa]]. Contoh lain adalah penyebutan [[Drona]] menjadi Durna (nista), adanya kisah [[Yudistira]] harus menyebut kalimat [[syahadat]] sebelum masuk [[surga]], dan lain-lain.


== Keturunan ==
===Keturunan==
Berikut adalah urutan anak-anak Batara Guru, dimulai dari yang paling sulung (menurut tradisi wayang Jawa):
Berikut adalah urutan anak-anak Batara Guru, dimulai dari yang paling sulung (menurut tradisi wayang Jawa):
# [[Batara Sambu]]
# [[Batara Sambu]]
Baris 21: Baris 22:
# [[Hanoman]]
# [[Hanoman]]


==Agama Konghucu==
===Manikmaya dalam Agama Konghucu===
Daftar [[Kelenteng]] yang memiliki altar untuk Manikmaya:
Daftar [[Kelenteng]] yang memiliki altar untuk Manikmaya:
*[[Kelenteng Hong San Ko Tee]], Jl. HOS Cokroaminoto No. 12, [[Surabaya]].
*[[Kelenteng Hong San Koo Tee]], Jl. HOS Cokroaminoto No. 12, [[Surabaya]]

==Batara Guru dalam mitologi Batak=
Batara Guru adalah salah satu dari [[Debata na Tolu]] (Dewata Tritunggal) yang menguasai [[Banua Ginjang]] (dunia atas, kediaman para dewa). Ia dan saudara-saudaranya -Debata Sori Pada dan Debata Mangala Bulan- terlahir dari tiga butir telur yang dierami seekor ayam betina raksasa, Manuk Patia Raja, sesosok [[avatar]] dari Debata Asi Asi. Ia menikahi seorang dewi bernama Siboru Porti Bulan dan memiliki dua putra (Mula Songta dan Mula Songti) serta dua putri (Siboru Sorba Jati dan Siboru Deak Parujar). Siboru Deak Parujar selanjutnya menikahi Siraja Odap Odap dan melahirkan keturunan yang menjadi leluhur umat manusia yang tinggal di [[Banua Tonga]] (dunia tengah, yaitu Bumi).<ref name=Doniger>{{cite book|url=http://books.google.com/books?id=r4I-FsZCzJEC&pg=PA163&lpg=PA163 |pages=161–170, 179 |chapter=Divine Totality and Its Components: The Supreme Deity, the Divine Couple, and the Trinity in Indonesian Religions |title=Asian Mythologies |editors=Wendy Doniger, Yves Bonnefoy |edition=2d |publisher=University of Chicago Press |year=1993 |isbn=0226064565}}</ref>

[[Mulajadi na Bolon]] yang maha kuasa memberi Batara Guru kebijaksanaan, hukum peradilan, hukum kerajaan, pengetahuan, dan kemampuan untuk mengontrol takdir serta nasib umat manusia. Wilayahnya meluas dari Bukit Siunggas ke Bukit Parsambilan, termasuk surga bertingkat tujuh dimana pohon suci Hari Ara tumbuh. Batara Guru digambarkan mengenakan jubah hitam serta [[turban]] berbentuk kapal besar dengan tiga warna yang disebut "Talungkup". Ia mengendarai kuda hitam dan di tangannya membawa timbangan yang disebut "Gantang Tarajuan". Ia memiliki seekor [[gagak]] berwarna hitam dan burung Nanggar Jati. Ia juga memiliki kemampuan untuk memberi kehidupan pada umat manusia serta membuka telinga mereka sehingga mereka dapat membedakan kata-kata baik dan jahat.(source: [http://batakone.wordpress.com/perjalanan-spiritual-ke-tanah-batak/cerita-dulu/ Mythology of Batak (Indonesian pages)])

Berdasarkan sumber di atas, anak-anak Batara Guru didaftarkan sebagai berikut (diluar hukum Dalihan na Tolu):
# Mula Songta menikahi Nan Bauraja, putri Debata Sori Pada dan Siboru Malimbim
# Mula Songti menikahi Narudang Ulubegu, putri Debata Sori Pada dan Siboru Malimbim
# Siboru Sorba Jati menikahi Naga Padoha, putra Debata Mangala Bulan dan Siboru Anggarana
# Siboru Deak Parujar menikahi Siraja Odap Odap, putra Debata Mangala Bulan dan Siboru Anggarana


== Lihat pula ==
==Lihat pula==
* [[Batara-Batari dalam pewayangan]]
* [[Batara-Batari dalam pewayangan]]


==Referensi==
{{reflist}}


{{wayang-stub}}
{{wayang-stub}}

Revisi per 20 Januari 2014 05.40

Wayang kulit Batara Guru.

Batara Guru (juga disebut Bathara Guru dan Debata Batara Guru) adalah nama sesosok mahadewa dalam beberapa mitologi Indonesia. Namanya berasal dari bahasa Sanskrit Bhattara yang berarti "tuan terhormat" dan Guru, epitet dari Bṛhaspati, seorang Dewa Hindu yang tinggal dan diidentifikasikan dengan planet Jupiter.[1]

Batara Guru dalam mitologi Jawa

Menurut mitologi Jawa, Batara Guru merupakan Dewa yang merajai kahyangan. Ia merupakan perwujudan dari dewa Siwa yang mengatur wahyu, hadiah, dan berbagai ilmu kepada para tokoh wayang lainnya. Batara Guru mempunyai sakti (istri) Dewi Uma, dan mempunyai beberapa anak. Betara Guru merupakan satu-satunya wayang kulit yang digambarkan dalam posisi menghadap ke depan, ke arah manusia. Hal ini dapat dilihat dari posisi kakinya. Hanya saja karena berbentuk wayang, maka ia menghadap ke samping. Wahana (hewan kendaraan) Batara Guru adalah sang lembu Nandini.

Betara Guru (Manikmaya) diciptakan dari cahaya yang gemerlapan oleh Sang Hyang Tunggal, bersamaan dengan cahaya yang berwarna kehitam-hitaman yang merupakan asal jadinya Ismaya (Semar). Oleh Hyang Tunggal, diputuskanlah bahwa Manikmaya yang berkuasa di Suryalaya, sedangkan Ismaya turun ke bumi untuk mengasuh para Pandawa.

Saat diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Hyang Tunggal mengetahui perasaan Manikmaya, lalu Hyang Tunggal bersabda bahwa Manikmaya akan memiliki cacad berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal, dan sabda beliau betul-betul terjadi.

Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu—yang tidak diketahuinya bahwa air tersebut beracun—lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacad belang di leher. Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemahlah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti raksasa, maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya. Hal ini adalah salah satu upaya de-Hinduisasi wayang dari budaya Jawa yang dilakukan Walisongo dalam upayanya menggunakan wayang sebagai sarana penyebaran Islam di Jawa. Contoh lain adalah penyebutan Drona menjadi Durna (nista), adanya kisah Yudistira harus menyebut kalimat syahadat sebelum masuk surga, dan lain-lain.

=Keturunan

Berikut adalah urutan anak-anak Batara Guru, dimulai dari yang paling sulung (menurut tradisi wayang Jawa):

  1. Batara Sambu
  2. Batara Brahma
  3. Batara Indra
  4. Batara Bayu
  5. Batara Wisnu
  6. Batara Ganesha
  7. Batara Kala
  8. Hanoman

Manikmaya dalam Agama Konghucu

Daftar Kelenteng yang memiliki altar untuk Manikmaya:

=Batara Guru dalam mitologi Batak

Batara Guru adalah salah satu dari Debata na Tolu (Dewata Tritunggal) yang menguasai Banua Ginjang (dunia atas, kediaman para dewa). Ia dan saudara-saudaranya -Debata Sori Pada dan Debata Mangala Bulan- terlahir dari tiga butir telur yang dierami seekor ayam betina raksasa, Manuk Patia Raja, sesosok avatar dari Debata Asi Asi. Ia menikahi seorang dewi bernama Siboru Porti Bulan dan memiliki dua putra (Mula Songta dan Mula Songti) serta dua putri (Siboru Sorba Jati dan Siboru Deak Parujar). Siboru Deak Parujar selanjutnya menikahi Siraja Odap Odap dan melahirkan keturunan yang menjadi leluhur umat manusia yang tinggal di Banua Tonga (dunia tengah, yaitu Bumi).[2]

Mulajadi na Bolon yang maha kuasa memberi Batara Guru kebijaksanaan, hukum peradilan, hukum kerajaan, pengetahuan, dan kemampuan untuk mengontrol takdir serta nasib umat manusia. Wilayahnya meluas dari Bukit Siunggas ke Bukit Parsambilan, termasuk surga bertingkat tujuh dimana pohon suci Hari Ara tumbuh. Batara Guru digambarkan mengenakan jubah hitam serta turban berbentuk kapal besar dengan tiga warna yang disebut "Talungkup". Ia mengendarai kuda hitam dan di tangannya membawa timbangan yang disebut "Gantang Tarajuan". Ia memiliki seekor gagak berwarna hitam dan burung Nanggar Jati. Ia juga memiliki kemampuan untuk memberi kehidupan pada umat manusia serta membuka telinga mereka sehingga mereka dapat membedakan kata-kata baik dan jahat.(source: Mythology of Batak (Indonesian pages))

Berdasarkan sumber di atas, anak-anak Batara Guru didaftarkan sebagai berikut (diluar hukum Dalihan na Tolu):

  1. Mula Songta menikahi Nan Bauraja, putri Debata Sori Pada dan Siboru Malimbim
  2. Mula Songti menikahi Narudang Ulubegu, putri Debata Sori Pada dan Siboru Malimbim
  3. Siboru Sorba Jati menikahi Naga Padoha, putra Debata Mangala Bulan dan Siboru Anggarana
  4. Siboru Deak Parujar menikahi Siraja Odap Odap, putra Debata Mangala Bulan dan Siboru Anggarana

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Sunarto H., Viviane Sukanda-Tessier, ed. (1983). Cariosan Prabu Silihwangi. Naskah dan dokumen Nusantara (dalam bahasa Indonesian and French). 4. Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh. hlm. 383. Statuette tricéphale assise, cuivre rouge moulé d'une beauté rarement égalée. C'est Batara Guru, un super dieu équivalent au Jupiter des Romains et au Brahma des Hindous. 
  2. ^ Wendy Doniger, Yves Bonnefoy, ed. (1993). "Divine Totality and Its Components: The Supreme Deity, the Divine Couple, and the Trinity in Indonesian Religions". Asian Mythologies (edisi ke-2d). University of Chicago Press. hlm. 161–170, 179. ISBN 0226064565.