Dampak lingkungan dari pertanian: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 26: Baris 26:


* Berkurangnya [[akuifer]] [[air tanah]] secara drastis karena [[pengambilan air tanah berlebihan]]
* Berkurangnya [[akuifer]] [[air tanah]] secara drastis karena [[pengambilan air tanah berlebihan]]
* [[Subsiden]] tanah karena ruang di antara bebatuan di bawah tanah yang seharusnya diisi air tanah, menjadi kosong sehingga berpotensi runtuh
* [[Subsiden]] tanah
* Ground [[subsidence]] karena ruang di antara bebatuan di bawah tanah yang seharusnya diisi air tanah, menjadi kosong sehingga berpotensi runtuh
* Tanah yang tidak diirigasi secara cukup dapat menyebabkan meningkatnya kadar garam tanah yang mengakibatkan [[salinisasi tanah]]. Tanah dengan kadar garam yang tinggi sulit untuk ditanami kembali.
* Tanah yang tidak diirigasi secara cukup dapat menyebabkan meningkatnya kadar garam tanah yang mengakibatkan [[salinisasi tanah]]. Tanah dengan kadar garam yang tinggi sulit untuk ditanami kembali.
* Irigasi dengan [[air asin]] akan menyebabkan tanah rusak
* Irigasi dengan [[air asin]] akan menyebabkan tanah rusak

Revisi per 24 Oktober 2013 06.07

Aliran permukaan dari lahan pertanian mengandung pupuk dan tanah yang mampu menyebabkan eutrofikasi dan pendangkalan sungai

Dampak aktivitas pertanian terhadap lingkungan sifatnya sangat bervariasi dari pencemaran air, perubahan iklim, hingga pencemaran genetika. Solusi untuk menghindari dampak ini beragam muali dari penerapan pertanian berkelanjutan hingga kembali ke sistem pertanian subsisten.

Perubahan iklim

Perubahan iklim dan pertanian merupakan proses yang saling terkait di mana keduanya terjadi pada skala global. Pertanian mempengaruhi perubahan iklim, dan perubahan iklim mempengaruhi pertanian. Pemanasan global diketahui dapat mempengaruhi pertanian karena peningkatan temperatur, perubahan pola iklim dan presipitasi, dan pelelehan gletser. Hal ini mempengaruhi kapasitas biosfer dalam memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan populasi manusia yang terus meningkat. Peningkatan level karbon dioksida akan memiliki efek baik maupun buruk terhadap hasil pertanian. Penilaian efek perubahan iklim pada pertanian akan membantu antisipasi dan adaptasi usaha pertanian.

Di saat yang sama pertanian diketahui memberikan pengaruh terhadap perubahan iklim karena menyumbang gas rumah kaca seperti karbon dioksida dari mesin pertanian dan pembakaran hutan, metan dari pelapukan sampah pertanian dan kotoran ternak, dan NO2. Selain itu, pertanian juga memberikan pengaruh dari aktivitas pengubahan fungsi lahan.[1]

Deforestasi

Salah satu penyebab deforestasi adalah sistem tebang habis untuk mengubah hutan menjadi lahan pertanian. Berdasarkan Norman Myers, diketahui bahwa 5% lahan hutan yang mengalami deforestasi digunakan sebagai lahan peternakan, 19% diakibatkan oleh penebangan hutan berlebih, 22% karena perluasan lahan perkebunan kelapa sawit, dan 54% karena parktek tebang dan bakar.[2]

Di tahun 2000, PBB melalui FAO menemukan bahwa deforestasi mampu menyebabkan tekanan terhadap populasi dan stagnasi ekonomi, sosial, dan teknologi."[3]

Pencemaran genetik

Protes anti GMO di Washington

Kontroversi dari bahan pangan termodifikasi secara genetika (genetically modified, GM) melibatkan berbagai pihak dari konsumen, perusahaan bioteknologi, pembuat kebijakan, organisasi nirlaba, dan ilmuwan. Bidang yang diperdebatkan diantaranya apakah makanan GM harus diberikan label, peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan, dampak makanan GM pada kesehatan dan lingkungan, efek resistansi pestisida, dampak tanaman pertanian GM terhadap petani, dan peran tanaman pertanian GM sebagai penghasil bahan pangan bagi populasi dunia.

Organisme termodifikasi secara genetik juga mengundang risiko terjadinya pencemaran genetika akibat penyerbukan antara tanaman GM dan tanaman non GM di lokasi pertanian. Selain itu, benih tanaman GM yang tersebar ke alam liar juga mengundang keresahan serupa. Fenomena ini disebut dengan kontaminasi benih. Sebagian besar proses penyerbukan terjadi oleh angin dan serangga yang tidak mampu dikendalikan secara penuh oleh manusia.

Irigasi

Irigasi dapat memicu berbagai masalah, diantaranya:[4]

  • Berkurangnya akuifer air tanah secara drastis karena pengambilan air tanah berlebihan
  • Subsiden tanah karena ruang di antara bebatuan di bawah tanah yang seharusnya diisi air tanah, menjadi kosong sehingga berpotensi runtuh
  • Tanah yang tidak diirigasi secara cukup dapat menyebabkan meningkatnya kadar garam tanah yang mengakibatkan salinisasi tanah. Tanah dengan kadar garam yang tinggi sulit untuk ditanami kembali.
  • Irigasi dengan air asin akan menyebabkan tanah rusak
  • Irigasi berlebihan menyebabkan polusi air karena tercucinya pupuk dan pestisida dari tanah pertanian ke ekosistem sekitar
  • Aliran permukaan yang tidak ditata dengan baik mampu menyebabkan pencemaran air tanah dan air permukaan

Polutan

Sejumlah besar penggunaan bahan kimia pertanian mampu menjadi polutan bagi lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Pupuk dan pestisida mampu terbawa air hujan dan mengendap di sungai dan badan air lainnya hingga terserap menuju ke air tanah. Pestisida kimia juga mampu mengakibatkan gangguan kesehatan bagi manusia, terutama pestisida organoklorida. Kontaminasi tanah juga bisa terjadi akibat penggunaan bahan kimia pertanian yang berlebihan.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ UN Report on Climate Change. Retrieved 25 June 2007.
  2. ^ Hance, Jeremy (May 15, 2008). "Tropical deforestation is 'one of the worst crises since we came out of our caves'". Mongabay.com / A Place Out of Time: Tropical Rainforests and the Perils They Face. 
  3. ^ Alain Marcoux (August 2000). "Population and deforestation". SD Dimensions. Sustainable Development Department, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). 
  4. ^ ILRI, 1989, Effectiveness and Social/Environmental Impacts of Irrigation Projects: a Review. In: Annual Report 1988, International Institute for Land Reclamation and Improvement (ILRI), Wageningen, The Netherlands, pp. 18 - 34 . On line: [1]

Pranala luar