Perbandingan antara Buddhisme dan Kekristenan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menghilangkan referensi [ * ]
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Christ et Buddha by Paul Ranson 1880.JPG|right|thumb|280px|''Christ et Buddha'' (1880) karya [[Paul Ranson]]]]
[[Berkas:Christ et Buddha by Paul Ranson 1880.JPG|right|thumb|280px|''Christ et Buddha'' (1880) karya [[Paul Ranson]]]]
Sejumlah orang{{siapa}} melihat '''persamaan antara [[Buddha]] dan [[Yesus]]''' baik dalam riwayat hidup maupun pengajaran agama masing-masing. Hal ini menimbulkan munculnya pernyataan bahwa ajaran Kristen berasal dari ajaran Buddha serta Yesus pernah mempelajari Buddha Dharma bahkan pernah tinggal di Wihara Buddha.{{cn}} Namun sejarah kehidupan Buddha tidak pernah mulai ditulis sampai lama setelah zaman Yesus, sehingga para pendeta Buddha pun pasti dapat menjelaskan perihal Buddha apa pun yang mereka sukai, sedangkan rujukan mengenai kehidupan Buddha tidak ada yang berasal dari zamannya sendiri.
Sejumlah orang{{siapa}} melihat '''persamaan antara [[Buddha]] dan [[Yesus]]''' baik dalam riwayat hidup maupun pengajaran agama masing-masing. Hal ini menimbulkan munculnya pernyataan bahwa ajaran Kristen berasal dari ajaran Buddha serta Yesus pernah mempelajari Buddha Dharma bahkan pernah tinggal di Wihara Buddha.{{cn}}

== Latar Belakang ==
== Latar Belakang ==
Pada [[abad ke-19]], sebuah tema yang mengundang perhatian besar sejumlah pemikir. Mereka membicarakan tahun-tahun yang hilang dari Yesus, yaitu masa yang tidak disebutkan dalam kitab-kitab [[Injil]], ketika Ia berusia antara 12 sampai 30 tahun. Ada yang berspekulasi bahwa saat itu Dia pergi ke India, mengambil ide-ide Buddhisme.<ref>[http://www.tempointeraktif.com/hg/oops/2010/04/30/brk,20100430-244493,id.html Yesus Pernah Tinggal di Wihara Buddha, Benarkah? - Tempointeraktif.com]</ref>
Pada [[abad ke-19]], sebuah tema yang mengundang perhatian besar sejumlah pemikir. Mereka membicarakan tahun-tahun yang hilang dari Yesus, yaitu masa yang tidak disebutkan dalam kitab-kitab [[Injil]], ketika Ia berusia antara 12 sampai 30 tahun. Ada yang berspekulasi bahwa saat itu Dia pergi ke India, mengambil ide-ide Buddhisme.<ref>[http://www.tempointeraktif.com/hg/oops/2010/04/30/brk,20100430-244493,id.html Yesus Pernah Tinggal di Wihara Buddha, Benarkah? - Tempointeraktif.com]</ref>
Baris 9: Baris 8:
==Buddha==
==Buddha==
{{main|Buddha}}
{{main|Buddha}}
Ratu Mahāmāyā, ratu utama dari Raja Suddhodana – raja dari kerajaan suku Sākya, yang sedang mengandung dengan usia kehamilannya sudah mencapai sepuluh bulan, melakukan perjalanan dari Kapilavatthu (Sanskerta: Kapilavastu) menuju Devadaha, kota tempat tinggal ayahnya, Raja Añjana – raja dari kerajaan suku Koliyā, untuk melakukan persalinan di sana.
Siddhārtha Gautama (563SM - 483 SM) yang disebut "Buddha" oleh para pengikut agamanya dianggap sebagai penjelmaan Tuhan. Dia digambarkan dan dilahirkan dalam keadaan yang luar biasa di daerah utara [[India]] (sekarang di wilayah [[Nepal]]. Berita akan kelahirannya telah diumumkan; dewa-dewa dan raja-raja menyembah si jabang bayi dan memberinya hadiah-hadiah; seorang Brahmin tua segera mengenal sang bayi itu sebagai salah seorang yang pasti akan terbukti menjadi penyelamat dari segala kejahatan, dan dengan perantaraan orang itu kedamaian dan kebahagiaan akan muncul di muka bumi; yang pada masa mudanya dia akan terkena ancaman hukuman mati, dan kemudian dia selamat dengan cara yang ajaib dan berkhidmat hadir di kuil, yang ketika pada usia duabelas tahun kedua orang tuanya mencari-carinya dengan cemas dan mendapatkannya di antara para pendeta; yang kecerdasannya menonjol dan melebihi para gurunya dalam hal kebijaksanaan; dan yang berpuasa dan tergoda; bahwa dia mensucikan dirinya dengan mandi di sungai suci; dan beberapa muridnya dari seorang Brahmin yang bijaksana menjadi pengikutnya ketika dia memberitahukan kepadanya: "Ikutilah aku", yang di antara para pengikutnya ada tiga model yang menyatu dan satu menindas yang lain; yang asal nama para pengikutnya setelahnya berubah; dan yang setelah mengajar mereka, dia mengutus para muridnya berdua-dua untuk mengajar ke seluruh dunia.{{cn}}


Saat itu, hari bulan purnama, di bulan Vesākha (baca: Wesakha)[1], tahun 563 Sebelum Era Umum (secara tradisional tahun 623 S.E.U) atau tahun 80 Sebelum Era Buddhis (S.E.B).
Lebih dari itu, didapati bahwa Buddha muncul dengan membawa kabar gembira dan ajarannya sangat menyerupai ajaran Yesus. Dia menyukai perkataan kalam-ibarat, bekerja keras, menyingkiri kekayaan duniawi, dan membela rasa kemanusiaan dan perdamaian, mengampuni salah seorang musuhnya, hidup membujang dan bertapa. Miskin dan tak berwarga-negara, dia mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sebagai tabib, penyelamat, penolong, para musuhnya mendekatinya seperti lebih menyukai menemani orang-orang berdosa. Ketika dia menghadapi sakaratul-maut, dia berkata bahwa dia akan pulang ke rumah, ke langit, dan dalam ucapan selamat tinggalnya, dia menasihati para muridnya untuk mengumumkan akan kehancuran dunia ini. Kematiannya ditandai oleh tanda-tanda ajaib: bumi berguncang, di penjuru dunia yang jauh berkelebatan kilat, matahari menjadi gelap, dan meteor pun jatuh dari langit.{{cn}}
==Ajaran Buddha==
Sejarah kehidupan Buddha tidak pernah mulai ditulis hingga zaman Yesus, maka menurut teori, para pendeta pun pasti dapat menjelaskan perihal Buddha apa pun yang mereka sukai. Sudah tentu banyak sekali ajaran akhlak agama Buddha sebelum periode ini; tetapi kata mereka yang mengakui pengaruh Kristen pada agama Budhha, aspek-aspek kehidupan sang Buddha dan ajarannya, sebagaimana dikisahkan dalam Injil, pokok utamanya pasti berasal dari masa tinggalnya Yesus di India. Semua itu, kata mereka{{cn}}: Kepergian Buddha ke Benares, di sana dia mengamalkan mukjizat-mukjizat, khutbah di gunung menyerupai Yesus. Ada berbagai perumpamaan, di mana pokok pembicaraan masalah rohani diuraikan setiap hari, dan bahkan pernah membicarakan sepuluh perintah, yang ini mengingatkan kembali akan [[Sepuluh Perintah Allah]] yang dicatat oleh Nabi [[Musa]] (hidup pada abad ke-15 SM, sekitar 10 abad sebelum kelahiran Buddha).<ref name="Kel20">{{Alkitab|Keluaran 20}}</ref>


Dalam perjalanan tersebut, Ratu Mahāmāyā yang juga dikenal dengan nama Māyādevī, bersama rombongan kerajaan melewati Taman Limbini, sebuah hutan pohon sāla (Latin: Shorea robusta) – tempat wisata yang terletak di antara Kapilavatthu dan Devadaha, di India Utara (sekarang Nepal Selatan). Saat itu semua pohon sāla di hutan tersebut sedang berbunga dari bawah pohon hingga pucuknya. Melihat keindahan taman tersebut Ratu Mahāmāyā memutuskan untuk beristirahat dan berjalan-jalan di dalamnya.
Sepuluh ''Sīla'' (lihat ''Dasasīla'', ''Paritta Suci'', hal 52, "Yayasan Dhammadīpa Ārāma'' <ref name="Paritta Suci">[http://samaggi-phala.or.id/download/paritta/Paritta_Suci.pdf], paritta suci. </ref>) seperti berikut:
# ''Pāṇātipātā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi'' (Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup).
# ''Adinnādānā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi'' (Aku bertekad akan melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan).
# ''Abrahma-cariyā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi'' (Aku bertekad akan melatih diri menghindari perbuatan tidak suci).
# ''Musāvādā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi'' (Aku bertekad akan melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar).
# ''Surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi'' (Aku bertekad akan melatih diri menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran).
# ''Vikāla-bhojanā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi'' (Aku bertekad akan melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari).
# ''Nacca-gīta-vādita-visūka-dassanā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi'' (Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak menari, menyanyi, bermain musik serta pergi melihat tontonan-tontonan).
# ''Mālā-gandha-vilepana-dhāraṇa-maṇḍana-vibhūsanaṭṭhānā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi'' (Aku bertekad akan melatih diri menghindari pemakaian bunga-bungaan, wangi-wangian dan alat-alat kosmetik untuk tujuan menghias dan mempercantik diri).
# ''Uccāsayana-mahāsayanā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi'' (Aku bertekad akan melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah).
# ''Jataruparajata pattiggahana veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi'' (Aku bertekad akan melatih diri menghindari menerima emas dan perak, uang).


Ketika Sang Ratu berjalan-jalan melihat Taman Lumbini, ia menghampiri sebatang dahan pohon sāla yang merunduk dengan bunga yang sedang merekah. Pada saat berdiri dan memegang dahan pohon sāla ia merasakan tanda-tanda kelahiran dan para pelayannya segera membentuk lingkaran dan menutupi area tersebut dengan tirai. Demikianlah, dengan posisi berdiri dan berpegangan pada dahan pohon sāla tersebut Ratu Mahāmāyā melahirkan seorang pangeran, Sang Bodhisatta (Calon Buddha).


Pada hari yang sama, lahir pula: Putri Yasodharā yang kelak menjadi isteri Sang Pangeran, Pangeran Ānanda yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha, Channa (Sanskerta: Chandaka) yang kelak menjadi kusir Sang Pangeran, Kanthaka yang kelak menjadi kuda Sang Pangeran, Menteri Kaludayi yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Pohon Pippala atau disebut Pohon Bodhi (Latin: Ficus Religiosa), dan munculnya empat jambangan harta (Pali: Nidhikumbhi).
sedangkan 10 perintah Allah yang diberikan kepada Musa secara ringkas adalah:<ref name="Kel20"/>
# Jangan menyembah ilah lain
# Jangan membuat patung
# Jangan menyebut nama Tuhan dengan sia-sia
# Ingat dan kuduskanlah hari [[Sabat]]
# Hormatilah ayahmu dan ibumu
# Jangan membunuh
# Jangan berzinah
# Jangan mencuri
# Jangan memberi saksi dusta
# Jangan mengingini milik sesamamu


Setelah melahirkan, Ratu Mahāmāyā dengan membawa Sang Pangeran kembali ke Kota Kapilavatthu diiringi oleh para penduduk dari kedua kota, Kapilavatthu dan Devadaha.Kelahiran Sang Pangeran membawa kebahagiaan bagi seluruh kerajaan termasuk seorang petapa bernama Asita yang dikenal juga sebagai Kāladevala yang merupakan guru pribadi raja. Petapa Asita segera berkunjung ke istana Raja Suddhodana di ibu kota Kapilavatthu untuk melihat pangeran kecil tersebut.
Naskah-naskah Buddha mengatakan, bahwa Buddha Gautama meramalkan bahwa dia menjadi pengganti Maitreya{{cn}}. Banyak sekali ramalan-ramalan yang mengarah kepada Maitreya (nama orang yang terdiri dari “mitra” yang artinya “kawan”) tempat tibanya di bagian jauh pada masa depan, tetapi itu menunjukkan, bahwa dia telah menanti sekitar 500 tahun setelah kematian Gautama{{cn}}. Ini pasti telah membawa kepada waktu kita ketika, sebagaimana telah kami lukiskan, Yesus sampai di Kashmir setelah pengembaraan ke Timur yang kedua kali{{cn}}. Ramalan-ramalan mengenai Maitreya yang terdapat di dalamnya, di antara karya-karya lainnya, “Langgawati Sutatta”, “Pitakkatayan” dan “Atha Katha”. Dia membicarakan seperti “Bagwa Maitreya” – “Maitreya Putih”, yang menunjukkan bahwa dia berkulit bersih, seperti Yesus{{cn}}. Dikatakan juga bahwa dia akan datang dari luar negeri{{cn}}.


Ketika Petapa Asita telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang Manusia Agung (Mahāpurisa) pada bayi tersebut, ia memberikan penghormatan kepada-Nya. Melihat sang guru kerajaan yang seharusnya mendapatkan penghormatan dari seluruh rakyat kerajaan termasuk raja, tetapi justru memberi penghormatan kepada Sang Pangeran, Raja pun turut memberi penghormatan kepada putranya.
Nama Maitreya mungkin asal-usulnya berhubungan dengan bahasa Ibrani Mashiahh (“Messiah” – “Masih” artinya “meminyaki” atau “mengurapi”).{{cn}} Dalam hubungan ini, penting sekali untuk dicatat, bahwa dalam buku-buku agama Buddha berbahasa Tibet yang sudah tujuh abad lamanya berisi nama Mi-Shi-Hu, nampaknya ini menunjukkan pada Yesus.{{cn}} Data yang lebih konkrit lagi mengenai teks-teks buku atau kitab tersebut bisa didapati di dalam “A Record of the Buddhist Religion”, oleh I. Tsing.


Setelah itu Petapa Asita tertawa gembira karena bahagia sebab Pangeran kelak akan menjadi seorang Buddha. Tetapi kemudian ia menangis karena bersedih sebab usianya yang sudah tua membuat ia tidak bisa menunggu bayi tersebut dewasa hingga menjadi seorang Buddha dan membabarkan ajaran-Nya.
Di dalam bukunya: “Buddhism”, Sir Monier Williams menulis (halaman 45), dikatakan bahwa enam murid Buddha ada seorang yang dinamakan Yasa – satu nama yang muncul dengan kata lain dari “Yasu” (Yesus){{cn}}. Begitu pula, Doktor Hermann Oldenberg di dalam bukunya: “Buddha”, mengatakan, bahwa di dalam bab pertamanya buku “Mahawaga” dikatakan bahwa pengganti Buddha pasti seorang yang bernama Rahula, yang juga dilukiskan sebagai seorang pengikut{{cn}}. “Rahula” serumpun dengan “Ruhullah” yang di dalam bahasa Ibrani adalah salah satu gelar Yesus.{{cn}}
Lima hari setelah Sang Pangeran lahir, Raja Suddhodana mengadakan upacara pembasuhan kepala dan pemberian nama, sesuai dengan tradisi India kuno, dengan mengundang para brahmana (brahmin) terpelajar dan terkemuka. Di antara 108 brahmana yang diundang terdapat delapan brahmana yang terkemuka.
===Penelaahan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad===
Pada tahun [[1899]], muncullah penelaahan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang luar biasa: “Masih Hindustan Mein”, yang mengemukakan secara terperinci persamaan atara Buddha dan Yesus. Semua itu bagaikan dihakimi oleh pernyataan kehidupan mereka, banyak sekali didapati, dan penulis itu menggambarkan perhatian yang sangat serupa antara nama-nama yang berhubungan dengan Buddha dan yang berhubungan dengan Yesus. “Buddha” (nama aslinya ialah Sidharta Gautama) artinya “seseorang yang menerangi”{{cn}}, dan begitu pula Yesus memanggil dirinya sendiri “Terang Dunia” (Yohanes 8:12). Yesus dipanggil “Guru” oleh para pengikutnya, dan Buddha pun dipanggil “Sasata” yang artinya sama. Kedua-duanya sama-sama dipanggil “pangeran dan “raja”. Yesus dipanggil “pelindung si lemah”. Buddha “pelindung orang yang tak mempunyai perlindungan” (Asarn Sarn). Masih banyak lagi corak yang saling berhubungan seperti itu.


Setelah melihat tanda-tanda kebesaran pada tubuh Pangeran, tujuh di antara mereka yaitu Rāma, Dhaja, Lakkhanā, Jotimanta (Jotimantī), Subhoja (Bhoja), Suyāma, dan Sudatta memprediksikan dua kemungkinan yaitu bahwa Pangeran akan menjadi seorang Raja Dunia atau akan menjadi seorang Buddha jika Ia meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi petapa.
Rhys David, di dalam buku ''Buddhism'', mencatat bahwa ibunya Buddha dikatakan seorang perawan ketika dia melahirkannya{{cn}}, dan perempuan yang memiliki keluhuran dan kesucian. Di dalam Injil tertulis mengenai kemuliaan yang sama pada diri Maria, bunda Yesus.


Tetapi Kondañña (Yañña), salah satu dari kedelapan brahmana itu, dan yang paling muda, menyatakan dengan memastikan bahwa hanya ada satu kemungkinan yaitu Pangeran akan menjadi seorang Buddha. Pernyataan Kondañña ini akhirnya diterima oleh semua brahmana.
Ia rupanya sama, kata Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, karena orang-orang Buddha di dalam kitab-kitabnya memproduksi kembali apa-apa yang terkandung di dalam keempat kitab Injil. Jelas sekali, bahwa persamaan antara apa yang dikemukakan Buddha dan apa yang dikemukakan Yesus adalah berlipat ganda. Secara alami pendapat itu bisa berbeda; sedangkan beberapa orang melihat Yesus telah dipengaruhi oleh agama Buddha (selama pengembarannya yang pertama ke India), sementara lainnya melihatnya seperti dialah yang mempengaruhinya.

Para brahmana terpelajar tersebut juga memberitahu raja bahwa sang pangeran akan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi petapa setelah ia melihat empat penampakan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan petapa.

Setelah itu, para brahmana memberi-Nya nama Siddhattha (Sanskerta: Siddhartha) yang berarti “yang akan mencapai tujuannya”, dan dengan nama keluarga Gotama (Sanskerta: Gautama).

Pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhattha , Ratu Mahāmāyā wafat, dan adiknya Mahāpajāpatī Gotamī yang juga isteri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Mahāmāyā sebagai ratu sekaligus ibu bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Mahāpajāpatī Gotamī melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari Nanda (Rupananda).

Mahāpajāpatī Gotamī merawat Pangeran Siddhattha seperti merawat putranya sendiri, Pangeran Nanda. Pangeran Nanda sendiri lahir beberapa hari setelah Pangeran Siddhattha lahir.

Setelah Ratu Mahāmāyā wafat, ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Māyādevaputta (Santusita) di surga Tusita .

Tiba waktunya bagi Kota Kapilavatthu mengadakan perayaan musim tahunan yang disebut dengan Perayaan Bajak Tanah. Raja Suddhodana mengajak pergi Pangeran Siddhattha yang telah berusia beberapa tahun ke perayaan tersebut. Dan Raja pun turut membajak bersama-sama dengan para petani.

Pada saat perayaan yang berlangsung meriah, para pengasuh yang ditugaskan untuk menjaga Pangeran merasa sangat tertarik dengan jalannya perayaan tersebut. Mereka ingin menyaksikannya dan akhirnya meninggalkan Pangeran di bawah bayangan pohon jambul (Latin: Eugenia Jambolana). Dan pada saat itu suasana di sekitar pohon jambul tesebut menjadi tenang dan sepi sehingga sesuai untuk meditasi. Pangeran kecil pun duduk bersila dan melakukan meditasi dengan konsentrasi memperhatikan masuk-keluarnya nafas (Pali: ānāpāna bhāvanā).

Ketika para pengasuh kembali, mereka merasa heran sekali melihat Pangeran sedang bermeditasi, dan dengan cepat mereka melaporkannya kepada Raja. Raja dengan diiringi oleh para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Dan mereka pun menemukan Pangeran sedang duduk bermeditasi dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang yang datang memperhatikannya. Hal itu terjadi karena pada saat itu Pangeran berada dalam keadaan Jhāna, yaitu keadaan dimana kesadaran sedang berkonsentrasi secara penuh. Melihat hal itu Raja memberi hormat untuk kedua kalinya kepada putranya tersebut.

Semasa kecil, Pangeran Siddhattha hidup dalam kemewahan dan dirawat oleh para pengasuh sebaik mungkin. Seluruh pengiring-Nya muda-muda, berpenampilan menarik, cantik, tampan, dan berbadan lengkap. Jika ada yang sakit, maka orang itu tidak diijinkan tinggal di istana dan akan digantikan oleh orang lain. Sang pangeran di kenakan beraneka ragam perhiasan, kalung bunga, minyak wangi dan pernak-pernik yang semerbak. Tutup kepala, jubah, dan mantel-Nya seluruhnya didatangkan dari Negara Kasi. Untuk menyenangkan hati Pangeran Siddhattha, Raja Suddhodana membuatkannya tiga kolam teratai di istananya, yaitu Kolam Uppala dengan teratai birunya, Kolam Paduma dengan teratai merahnya, dan Kolam Puṇḍarīka dengan teratai putihnya.

Ketika Pangeran Siddhattha berusia tujuh tahun, Ia mulai menjalani pendidikan-Nya. Kedelapan brahmana terkemuka, yang dahulu diundang raja untuk meramalkan masa depan pangeran, menjadi guru-guru-Nya yang pertama. Setelah guru-guru tersebut mengajarkan semua pengetahuannya kepada pangeran, Raja Suddhodana mengutus-Nya untuk berguru kepada guru lain bernama Sabbamitta. Brahmana Sabbamitta yang tinggal di daerah Udicca, berasal dari keturunan terkemuka dan ahli dalam bahasa dan tata bahasa, serta fasih dalam Kitab Veda dan keenam Vedāṅga yang terdiri dari ilmu fonetik (śikṣā), upacara keagamaan (kalpa), tata bahasa (vyākaraṇa), ilmu tafsir kata (nirukta), ilmu metrum persajakan (chandas), dan ilmu perbintangan (jyotiṣa).

Sang Pangeran mampu mempelajari semua mata pelajaran yang Ia terima dari guru-Nya, termasuk ilmu kemiliteran, bela diri seperti tinju, gulat, anggar, dan berkuda. Ia adalah siswa yang terpandai dan terbaik dalam segala hal bahkan menjadi lebih pandai dari guru-guru-Nya. Ia adalah siswa yang paling bijak dan satu-satunya yang banyak bertanya kepada para guru dan kakak seperguruan-Nya. Ia juga anak yang terkuat, tertinggi, dan tertampan di kelas. Meskipun Pangeran Siddhattha adalah siswa yang terpandai, Ia tidak pernah lalai dalam bersikap santun dan memberikan penghormatan yang sepantasnya terhadap guru-guru-Nya.

Sang Pangeran tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Ketika Ia sedang tidak ada pekerjaan, Ia akan menyendiri di tempat yang tenang dan berlatih meditasi. Dan meskipun Ia juga terlatih dalam seni memanah dan dalam pemakaian senjata, tetapi Ia tidak suka melukai makhluk lain. Ia juga menghindari pembunuhan atau penganiayaan hewan jinak sekalipun, seperti kelinci dan kijang.

Sifat welas asih Pangeran Siddhattha tercermin dalam kehidupan sehari-hari-Nya seperti menghentikan dan menasihati seorang pelayan-Nya yang sedang memukuli seekor ular dengan tongkat.

Pada kesempatan lainnya, ketika pangeran sedang beristirahat di bawah pohon dalam waktu bermainnya bersama sahabat-sahabat-Nya dan juga sepupunya, Pangeran Devadatta, Ia tiba-tiba melihat seekor angsa jatuh dari angkasa. Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa tersebut. Dengan segera Pangeran Siddhattha menolong angsa tersebut. Pangeran Devadatta juga mengejar angsa itu, namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.

Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut. Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke mahkamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa tersebut.

Setelah diajukan ke mahkamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru, “Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!

Kekhawatiran Raja Suddhodana terhadap apa yang dikatakan oleh Petapa Asita dan terhadap ramalan Brahmana Kondanna mengenai Pangeran Siddhattha, berusaha membuat putranya tersebut merasa nyaman dan bahagia. Segala hal-hal yang buruk dijauhkan dari diri putranya termasuk hal-hal mengenai sakit, tua, mati, dan petapa. Selain itu raja juga membangun tiga buah istana untuk putranya pada setiap musimnya, yaitu Istana Ramma untuk musim dingin, Istana Suramma untuk musim panas, Istana Subha untuk musim hujan.

Pada saat itu tahun 547 S.E.U (607 S.E.U) atau tahun 64 S.E.B, Pangeran Siddhattha berusia enam belas tahun, Ia tumbuh sebagai seorang pria muda yang tampan dan perkasa. Dan perangai-Nya yang suka merenung serta welas asih-Nya yang tanpa batas semakin jelas. Hal ini sangat membuat raja khawatir dan memanggil para penasihat istana untuk menemukan jawaban agar sang pangeran tetap mewarisi singgahsananya daripada menjadi seorang Buddha. Dan akhirnya diputuskan untuk mencari gadis tercantik dan menikahkannya dengan pangeran. Kemudian Raja Suddhodana memerintahkan untuk mengirim berita kepada delapan puluh ribu kerabat Sakya-nya dan meminta mereka untuk memperkenankan putri-putri mereka untuk datang ke istana agar pangeran dapat memilih salah satunya sebagai isteri.

Berita pemilihan isteri tersebut ditanggapi negatif oleh para pangeran Sakya yang beranggapan bahwa Pangeran Siddhattha tidak memiliki kemampuan sebagai seorang ksatria dan seorang pengecut yang tidak memiliki kemampuan seni bela diri dan seni berburu untuk melindungi dan mencari nafkah keluarganya kelak. Menanggapi hal ini Raja Suddhodana merasa sangat tersinggung dan menemui putranya serta menceritakan permasalahannya. Pangeran lalu berkata bahwa Ia akan mempertunjukkan kemahiran-Nya dalam pertandingan apapun, termasuk panahan dihadapan semua pangeran dan putri Sakya.

Dalam pertandingan, Pangeran Siddhattha akhirnya dapat mengalahkan semua lawannya dalam segala pertandingan. Dengan ini para pangeran dan putri Sakya akhirnya bergembira mengetahui hasilnya, sekaligus merasa tegang siapa yang akan dipilih pangeran untuk menjadi isteri-Nya. Akhirnya pilihan Pangeran Siddhattha jatuh pada Putri Yasodharā, sepupu-Nya yang cantik, putri dari Raja Suppabuddha dari kerajaan Koliya dan Ratu Amita, saudara perempuan Raja Suddhodana.

Pada tahun 535 S.E.U (595 S.E.U) atau tahun 52 S.E.B, memasuki usia-Nya yang kedua puluh delapan tahun, Pangeran Siddhattha tidak lagi merasa senang akan segala kemewahan dan hiburan di sekeliling-Nya. Ia menjadi jenuh dan ingin melihat dunia luar. Ia merasa penasaran untuk mengetahui kehidupan rakyat dan hal-hal di luar tembok istana. Setelah mendapatkan ijin dari ayah-Nya, Ia akhirnya keluar istana ditemani oleh Channa, kusir-Nya. Orang-orang ramai berdiri di kedua sisi jalan dan menyambut-Nya dengan hangat. Semuanya terasa semarak dan indah karena telah diperintahkan oleh raja untuk menyingkirkan hal-hal yang buruk dari tempat yang akan dilalui oleh pangeran.

Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki tua melintas di sepanjang jalan tanpa sempat dicegah. Sang pangeran sangat terkejut dengan apa yang tampak oleh-Nya. Ia sangat terkesima dan tidak mengetahui apa yang tengah dilihat-Nya, dan Ia bertanya kepada kusir-Nya, Channa, apa yang telah dilihatNya itu. Channa menjelaskan bahwa itu disebut dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama lagi, dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa dicegah. Pangeran Siddhattha segera memerintahkan Channa untuk kembali ke istana karena Ia menjadi tidak bergairah lagi untuk berkeliling kota . Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya oleh apa yang dilihat-Nya. Ia berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya, ibu angkat-Nya, dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin tahu apakah ada yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.

Mendengar apa yang terjadi pada putranya, raja menjadi khawatir dan sedih. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk menambah penjaga di sekitar tempat itu dan untuk menambah pelayan wanita dan gadis penari untuk menghibur sang pangeran sepanjang waktu.

Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha sekali lagi memohon kepada ayah-Nya untuk keluar istana. Namun Ia tidak ingin kunjungannya diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk kehidupan sehari-hari rakyat-Nya. Raja Suddhodana mengijinkan-Nya dengan berat hati karena masih merasa gundah terhadap apa yang terjadi selama kunjungan pertama pangeran. Namun, karena cinta dan kasihnya kepada putranya, ia mengijinkan pangeran melakukan kunjungan untuk kedua kalinya.

Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki melihat-lihat kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan, panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya sendiri untuk mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan. Pangeran mencari sumber suara itu dan menemukan seorang lelaki yang sedang berbaring di tanah sambil memegang perutnya dan berguling-guling kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-noda hitam. Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa. Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu. Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.

Setelah mengetahui apa yang telah terjadi selama kunjungan pangeran dari Channa, Raja Suddhodana kembali menjadi sedih dan memerintahkan kembali untuk memperbanyak penjaga dan jumlah pelayan dan gadis penari.

Dengan menikmati kesenangan dan kemewahan hidup istana setelah kunjungan kedua, perasaan desakan spiritual yang dirasakan-Nya menjadi sedikit berkurang. Tetapi sekitar empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha kembali memohon untuk keluar dari istana untuk melihat kotanya kembali lebih dekat. Dengan berat hati raja pun mengijinkannya.

Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga berpakaian berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan, tampak oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai orang yang terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan bahwa orang itu telah mati, semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.

Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi tanpa seorang pun mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh hati pangeran selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha tidak lagi bergairah meneruskan kunjungan-Nya. Diiringi oleh Channa, dengan diam Ia kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk dan merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia berkata: “Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak seorang pun mampu mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini. Akan Kucari cara agar ayah, ibu, Yasodharā, dan semua kerabat-Ku yang tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan mati.”

Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa pangeran buru-buru pulang setelah melihat mayat. Mendengar hal ini raja kembali menjadi sedih. Walaupun ia telah berusaha sekuatnya untuk mencegah putranya agar tidak melihat hal-hal yang tidak menyenangkan, penampakan yang tak terduga terjadi untuk ketiga kalinya sebagaimana yang diramalkan oleh kedelapan brahmana.

Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga pemandangan yang telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke kota . Namun, karena merasa belum puas dengan apa yang telah Ia ketahui sekarang, Ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya. Sementara itu Raja Suddhodana senantiasa berusaha menyenangkan dan mengalihkan pikiran pangeran dari ketiga peristiwa tersebut. Untuk beberapa bulan, usaha raja nampak berhasil. Tetapi sifat ingin tahu dan suka merenung dari pangeran tidak mudah tergoyahkan oleh sumua hiburan yang ada dalam istana. Dan Empat bulan kemudian, Ia kembali memohon kepada ayah-Nya untuk diperkenankan keluar istana lagi untuk berwisata ke taman kerajaan dan melihat sisi lain dari kehidupan. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun putranya itu.

Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana melalui Kota Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika pangeran tengah duduk dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeran pun bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab bahwa oran itu adalah seorang petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa petapa itu. Bagi-Nya, petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal dirinya.

Setelah pangeran mendengar penjelasan prihal diri petapa tersebut, bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia menemukan jalan kebahagiaan atas dirinya, pangeran merasa bahagia dan menyadari bahwa adanya jalan sejati untuk mengatasi penderitaan hidup.

Ketika Pangeran Siddhattha masih di dalam taman dan benak-Nya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang diutus oleh Raja Suddhodana mengabarkan bahwa Putri Yasodharā telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Mendengar kabar ini, pangeran justru bersedih hati dan berujar: “Rāhu jāto, bandhanam jātam”[3] (“Sebuah ikatan telah lahir, sebuah belenggu telah muncul!”). Kelahiran putra-Nya tersebut dianggap merupakan halangan karena kecintaan-Nya kepada keluarga dan anak-Nya yang baru lahir tersebut akan menimbulkan kemelekatan yang akan merintangi niat-Nya untuk menjadi petapa, seperti yang Ia inginkan. Mengetahui apa yang diutarakan pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama cucunya tersebut dengan nama “Rāhula”, yang berarti “ikatan”.

Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja menyelenggarakan satu pesta yang besar dan meriah. Tetapi Pangeran kelihatan tidak gembira. Pangeran dengan hati-hati mendekati Raja dan mohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit, dan mati. Hal ini menimbulkan amarah Raja.
Izin tidak diberikan seperti dapat kita ikuti dalam percakapan di bawah ini (dikutip dari buku Mahavastu II, halaman 141/2).
“Ayah, kalau tidak diberi izin saya mohon Ayah berkenan memberikan kepadaku delapan macam anugerah.”
“Tentu saja, anakku, aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan permintaanmu.”
“Kalau begitu, mohon Ayah memberikan kepadaku:

Anugerah supaya tidak menjadi tua.
Anugerah supaya tidak sakit.
Anugerah supaya tidak mati.
Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku.
Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama sama dengan kerabat lain tetap hidup.
Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang.
Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, dan mati.”
Mendengar pernyataan di atas, Raja Suddhodana menjadi kaget dan kecewa. Raja menjawab bahwa hal-hal di atas itu berada di luar kemampuannya dan masih mencoba untuk membujuknya dengan mengatakan, “Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut. Tunggu saja dan tangguhkan kepergianmu sampai aku sudah mangkat.”
“Ayah, relakan kepergianku justru sewaktu Ayah masih hidup. Aku berjanji bila sudah berhasil, akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat yang telah kutemukan ke hadapan Ayah.”
Raja tetap tidak memberikan izinnya dan Pangeran tetap bersikeras untuk terus melaksanakan cita-citanya.
Pangeran kemudian memasuki kamar Yasodhara dan memandangi anaknya dengan gembira dan terharu karena tidak lama lagi Beliau akan meninggalkannya berhubung tekadnya yang sudah bulat untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati.
Selanjutnya Pangeran masuk ke ruangan tempat para penari sedang menari diiringi musik yang merdu. Pangeran merebahkan diri di atas bantal yang dibuat dari benang-benang emas dan karena letih, tidak lama kemudian Pangeran tertidur. Para penari menghentikan tariannya dan mereka pun ikut tidur di ruangan yang sama sambil menunggui Pangeran.
Pada tengah malam, Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang siur di lantai dalam sikap yang beraneka ragam, ada yang terlentang, ada yang tengkurap, ada yang mulutnya menganga lebar, ada yang air liurnya meleleh keluar, ada yang menggulung tubuhnya sambil kepalanya terantuk-antuk di dadanya, ada yang mengigau, dan lain-lain. Pangeran merasa seperti di pekuburan dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Pemandangan ini membuat Pangeran jijik dan muak sekali, sehingga Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan istana pada malam itu juga.
Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Kanthaka, kuda kesayangannya. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutupi muka Sang bayi, sehingga muka bayi tidak dapat terlihat.
Pangeran semula ingin menggeser sedikit tangan istrinya tetapi hal itu diurungkan karena takut kalau hal ini menyebabkan Yasodhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran hanya berkata dalam hati, “Tidak, biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari, aku akan datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan istriku.”
Setelah itu Pangeran meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka yang berbulu putih diikuti oleh Channa yang memegang buntut kuda. Seolah-olah sudah diatur terlebih dulu oleh para dewa, Pangeran Siddhattha tidak mendapat kesukaran sewaktu hendak keluar dari pintu gerbang istana dan waktu hendak keluar dari pintu tembok kota.
Para pengawalnya semua sedang tidur nyenyak dan Channa dengan mudah dapat membuka pintu agar Pangeran dapat keluar dari istana dan keluar kota.
Ketika itu Pangeran dicegat oleh Dewa Mara yang jahat dan membujuknya untuk kembali ke istana dan ia berjanji bahwa dalam waktu satu minggu, Pangeran akan menjadi Raja negara Sakya. Pangeran tidak menggubris bujukan Dewa Mara, yang membuat Dewa Mara menjadi marah dan mengancam akan terus membuntutinya.
Setelah sampai di luar kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya). Saat itu terang bulan di bulan Asalha dan Pangeran berusia 29 tahun.
Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, dan Malla, kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi Sungai Anoma. Pangeran turun dari kuda, melepas semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh Dewa Sakka dan membawanya ke surga Tavatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya). Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli (± dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi.
Selanjutnya, Brahma Chatikara mempersembahkan keperluan seorang bhikkhu kepada Pangeran yang terdiri dari delapan jenis barang, yaitu: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air. Setelah menukar pakaiannya dengan jubah bhikkhu, Pangeran memerintahkan Channa untuk kembali ke istana.
“Tidak ada gunanya hamba diam terus di istana tanpa Tuanku. Perkenankanlah hamba ikut Tuanku berkelana.”
“Jangan Channa, bawa pakaian dan perhiasan ini kembali, berikan kepada Ayahku dan sampaikan pesanku untuk Ayah, Ibu, dan Yasodhara untuk jangan terlalu bersusah hati.
Aku akan mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Segera setelah aku memperolehnya, aku kembali ke istana untuk memberikannya kepada Ayah, Ibu, Yasodhara, Rahula, dan kepada semua orang yang ada di dunia ini.”
Channa memberi hormat kepada Pangeran dan bersiap-siap untuk kembali. Tetapi Kanthaka tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka, mengusap-usap dan menepuk-nepuk lehernya dengan penuh kasih sayang sambil berkata, “Ayolah, Kanthaka, ikutlah pulang dengan Channa dan jangan menunggu aku lagi.”
Kanthaka ikut dengan Channa tetapi belum seberapa jauh berjalan, kuda itu berhenti dan menengok lagi ke belakang agar dapat melihat wajah Pangeran untuk terakhir kali. Kuda itu nampaknya sedih sekali dan matanya basah dengan air mata.
Kembalinya Channa bersama Kanthaka (tanpa Pangeran) ke Kapilavatthu disambut oleh Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Yasodhara memeluk leher Kanthaka dan bertanya, “Oh, Kanthaka, kesalahan apakah yang telah kuperbuat terhadapmu dan Channa, sehingga engkau berdua membawa pergi Tuanku Pangeran sewaktu aku sedang tidur nyenyak?” Hal ini membuat Kanthaka sedih dan patah hati.
Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Baginda Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran sekarang berada di tepi Sungai Anoma di negara Malla.
Meskipun menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondañña dan mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan dimana Beliau berada.

Bertapa di Hutan Uruvela

Dari tepi Sungai Anoma, Pangeran pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari berdiam di Anupiya, Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Rajagaha ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran beristirahat untuk makan dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja Bimbisara dilaporkan tentang kedatangan seorang pertapa yang paras mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di Pandavapabbata.
Raja Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa.
“Mengapa Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan ayah Anda? Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan Anda setengah dari kerajaanku.”
“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orang tuaku, istriku, anakku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Karena itulah aku menjadi seorang pertapa.”
“Kalau tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda berjanji untuk terlebih dulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak berhasil menemukan obat tersebut.”
“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”
Dari Rajagaha, pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat tempat pertapaan Alara Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha (juga disebut Pertapa Gotama) berguru kepada Alara Kalama dan dalam waktu singkat sudah dapat menyamai kepandaian gurunya.
Di tempat ini Pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal lahir.
Karena merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab-musabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka Pertapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang yang dapat mengajar tentang hal tersebut.
Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta, yang pada zaman itu terkenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai.
Dari Uddaka-Ramaputta, Pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga mencapai keadaan “Bukan-Pencerapan Pun Bukan Bukan-Pencerapan”. Karena dalam waktu singkat Pertapa Gotama sudah memahami semua pelajaran Uddaka-Ramaputta, maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat tersebut untuk bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali.
Tetapi Pertapa Gotama masih belum puas sebab ia masih belum mendapat jawaban tentang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit, dan mati.
Pertapa Gotama kemudian pergi ke Senanigama di Uruvela dan di tempat inilah Pertapa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain (Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji, dan Kondañña) berlatih dalam berbagai cara penyiksaan diri. Mereka melatih diri dengan menjemur diri di terik matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam berendam di sungai untuk waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasil, maka Pertapa Gotama lalu melakukan latihan yang lebih berat lagi.
Ia merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga keringat mengucur keluar dari ketiaknya. Demikian hebat sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat yang gagah perkasa memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya dan menekan dengan sekuat tenaga.
Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.
Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian sedikit demi sediki menahan nafasnya sampai nafasnya tidak lagi keluar melalu hidung atau mulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis yang mengerikan keluar melalui lubang telinga. Kemudian timbul sakit yang hebat di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke seluruh tubuh.
Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.
Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain.
Selanjutnya ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengurangi makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi satu hari. Tentu saja, kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali. Kala perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna kulitnya beruba menjadi hitam dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakinya gemetaran.
Seperti cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.

Pertama:
Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.

Kedua:
Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria tetapi batinnya masih ingin menikmatinya pasti juga tidak akan berhasil.

Ketiga:
Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini pasti dapat membuat api dari kayu kering itu.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.

Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut maka Pertapa Gotama mengambil keputusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke gubuknya, Pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai. Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenaga Pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu Pertapa Gotama diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan tidak lama kemudian Pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain, sehingga dengan demikian kesehatannya pulih kembali.
Namun lima orang kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali karena dengan berhenti berpuasa, Pertapa Gotama dianggap telah gagal dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Agung. Mereka meninggalkannya dan pergi ke Taman Rusa di Benares.
Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk Pertapa Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang diantaranya menyanyi dengan syair sebagai berikut:
“Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik terlalu kendur ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira.”
Mendengar nyanyian itu, Pertapa Gotama mengangkat kepalanya dan memandang dengan heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia berkata,
“Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) harus menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendur.”
Di dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon dimana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon.
Ia agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan, “Oh, Nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari khayangan untuk menerima langsung persembahan Nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan Nyonya.”
Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah Pertapa Gotama. Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada Pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa pohon.
Pertapa Gotama menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percakapan antara Pertapa Gotama dengan Sujata seperti di bawah ini.
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah ucapan terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.”
Kemudian Pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah:
“Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu dengan persembahanmu ini, engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia dan apakah kehidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?”
“Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak, maka hatiku dengan mudah mendapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi persembahan kepada para dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pekerjaan, apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya harus mati?”
Mendengar penjelasan Sujata maka Pertapa Gotama menjawab,
“Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan yang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan cita-citaku.”
“Semoga Tuanku berhasil mencapai cita-cita Tuan sebagaimana aku berhasil mencapai cita-citaku.”
Pertapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi Sungai Nerañjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai Pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dan berkata, “Kalau memang waktunya sudah tiba, mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus.” Suatu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.

Penerangan Agung

Pertapa Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Latin : Ficus Religiosa), kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah Timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah Pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur. Dengan tekad yang bulat, ia kemudian berkata dalam hati,
“Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana.”
Kemudian Pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan obyek keluar dan masuknya nafas. Tidak berapa lama pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai kehidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa, keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa, takut terhadap jin-jin, hantu-hantu jahat, keragu-raguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal, tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.
Perjuangan hebat dalam batin Pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan Dewa Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran berikut ini.
Pada saat itu muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi Pertapa Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri, lebarnya 12 league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling Pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan Pertapa Gotama ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti Pertapa Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala Pertapa Gotama.
Bumi telah menjadi saksi bahwa Pertapa Gotama lulus dari semua percobaan-percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan Pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari bersama-sama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan Pertapa Gotama.
Setelah berhasil mengalahkan Mara, Pertapa Gotama memperoleh Pubbenivasanussatiñana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kelahiran-kelahiranNya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00-22.00.
Pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00-02.00, Pertapa Gotama memperoleh Cutupapatañana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk sesuai dengan tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang berlainan inilah yang membuat satu makhluk berbeda dari makhluk lain. Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkhuñana, yaitu kebijaksanaan dari Mata Dewa.
Pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00-04.00 pagi, Pertapa Gotama memperoleh Asavakkhayañana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara menyeluruh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali).
Dengan demikian Ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara untuk menghilangkannya. Dengan ini Ia telah menjadi orang yang paling bijaksana dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadaNya. Sekarang Ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidakbahagiaan, usia tua dan kematian. Batin-Nya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian karena sekarang Ia mengerti semua persoalan hidup dan Ia telah menjadi Buddha.
Dengan muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, Pertapa Gotama dengan suara lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut:

“Anekajati samsaram
Sandhavissam anibbissam
Gahakarakam gavesanto
Dukkha jati punappunam
Gahakaraka! dittho’si
Punageham na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutam visamkhitam
Visamkharagatam cittam
Tanhanam khayamajjhaga.”
Artinya :

“Dengan sia-sia Aku mencari Pembuat Rumah ini
Berlari berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habis-habisnya
Oh, Pembuat Rumah, sekarang telah Kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah Kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah Kubongkar
Batin-Ku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.”
Dikisahkan bahwa pada saat itu bumi bergetar karena gembira dan di udara sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu, seluruh tempat itu penuh dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha, pohon-pohon mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru, binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan damai.

Demikianlah Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 S.M, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia 29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada usia 35 tahun.

Tujuh Minggu Setelah Penerangan Agung

Selama minggu pertama, Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh kedamaian.
Selama minggu kedua, Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandanginya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu berjuang untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon Bodhi.
Selama minggu ketiga, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara karena melalui mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa ada dewa-dewa di surga yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Agung.
Selama minggu keempat, Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih, jingga dan campuran kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai bendera umat Buddha.
Selama minggu kelima, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah tiga orang anak Mara yaitu Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu meninggalkan Sang Buddha.
Selama minggu keenam, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda. Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata kata sebagai berikut:

“Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya ‘Sang Aku’ merupakan berkah yang tertinggi.”

Selama minggu ketujuh, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam (Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) datang menolong dengan membawa seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan satu mangkuk.
Dengan demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika. Setelah Sang Buddha selesai makan kedua pedagang itu memohon agar diterima sebagai pengikut.
Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan Dhamma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang dapat mereka bawa pulang, Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beberapa helai rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini.
Setelah makan, Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya, Sang Buddha merenung apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak.
Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti sehingga timbul perasaan enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajar Dhamma.
Tiba-tiba Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri di hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati berkata kepada Sang Buddha,
“Semoga Sang Tathagata, demi belas kasih-Nya kepada para manusia, berkenan mengajar Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit dihinggapi kekotoran batin dan mudah mengerti Dhamma yang akan diajarkan.”
Hingga kini permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati dengan permohonan kepada seorang bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi sebagai berikut:

“Brahma ca lokadhipati Sahampati
Katañjali andhivaram ayacatha
Santidha sattapparajakkhajatika
Desetu Dhammam anukampimam pajam.”
Artinya:

“Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini
Merangkap kedua tangannya dan memohon,
Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin
Ajarkanlah Dhamma demi kasih sayang kepada mereka. “
Dengan mata dewa, Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak lagi terikat kepada hal-hal duniawi dan mudah mengerti Dhamma.
Karena itu Sang Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dhamma demi belas kasih-Nya kepada umat manusia. Kesediaan-Nya itu diutarakan dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:

“Aparuta tesam amatassa dvara
Ye sotavanto pamucantu saddhami.”
Artinya:

“Terbukalah pintu Kehidupan Abadi
Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan.”
Perhatian-Nya kemudian ditujukan kepada Alara Kalama, tetapi para dewa segera memberitahukan bahwa Alara seminggu yang lalu telah meninggal dunia. Kemudian perhatian-Nya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun para dewa juga mengatakan bahwa kemarin malam Uddaka meninggal dunia.
Selanjutnya Sang Buddha mengalihkan perhatian-Nya kepada lima orang pertapa yang pernah bersama-sama melakukan pertapaan. Kelima orang itu sekarang berada di Taman Rusa di kota Benares ibukota negara Kasi.
Sang Buddha segera berangkat menuju ke Taman Rusa Benares. Dalam perjalanan ke Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona melihat Sang Buddha yang wajah-Nya demikian cemerlang, Upaka bertanya siapakah guru Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau adalah orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan. Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares

Setelah tiba di Benares, kelima orang pertapa melihat Sang Buddha sedang memasuki Taman Rusa. Seorang dari lima pertapa itu mengatakan, “Kawan-kawan, lihat, Pertapa Gotama sedang memasuki taman, ia adalah orang yang senang dengan kenikmatan dunia. Ia tergelincir dari kehidupan suci dan kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Sebaiknya kita tidak usah menyapanya. Lagipula kita jangan memberi hormat kepadanya. Kita sebaiknya juga jangan menawarkan diri untuk menyambut mangkuk dan jubahnya. Kita hanya menyediakan tikar untuk tempat duduknya. Ia boleh menggunakannya kalau mau dan kalau tidak mau, ia boleh berdiri saja. Siapakah yang mau mengurus seorang pertapa yang telah gagal?”
Waktu Sang Buddha datang lebih dekat, mereka melihat bahwa ada sesuatu yang berubah dan Sang Buddha tidak sama dengan Pertapa Gotama yang dulu mereka kenal. Ia sekarang kelihatannya lebih mulia dan agung, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Meskipun mereka semula sudah sepakat untuk tidak menghormat kepada Sang Buddha, namun sewaktu Sang Buddha mendekat, mereka seolah-olah lupa kepada apa yang mereka sepakati.
Seorang diantara mereka maju ke depan dan dengan hormat menyambut mangkuk dan jubah-Nya, sedangkan yang lain sibuk menyiapkan tempat duduk dan yang lain lagi bergegas mengambil air untuk membasuh kaki Sang Buddha.
Setelah mengambil tempat duduk, Sang Buddha lalu berkata “Dengarlah, oh Pertapa. Aku telah menemukan jalan yang menuju ke keadaan terbebas dari kematian. Akan kuberitahukan kepadamu. Akan kuajarkan. kepadamu. Kalau engkau ingin mendengar, belajar, dan melatih diri seperti yang akan kuajarkan dalam waktu singkat engkau pun dapat mengerti, bukan nanti kelak kemudian hari, tetapi sekarang juga dalam kehidupan ini bahwa apa yang kukatakan itu adalah benar. Engkau dapat menyelami sendiri keadaan itu yang berada di atas hidup dan mati.”
Tentu saja kelima pertapa merasa heran sekali mendengar ucapan Sang Buddha. Sebab mereka melihat sendiri Beliau berhenti berpuasa, mereka melihat sendiri Beliau menghentikan semua usaha untuk menemukan Penerangan Agung dan sekarang Beliau datang kepada mereka untuk memberitahukan bahwa Beliau telah menemukan Penerangan Agung itu. Karena itu mereka tidak percaya akan apa yang Sang Buddha katakan. Mereka menjawab,
“Sahabat (avuso) Gotama, sewaktu kami masih berdiam bersama-sama Anda, Anda telah berlatih dan menyiksa diri Anda seperti yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun juga di seluruh Jambudipa. Karena itulah kami menganggap Anda sebagai pemimpin dan guru kami. Tetapi dengan segala cara penyiksaan diri itu ternyata Anda tidak berhasil menemukan apa yang Anda cari, yaitu Penerangan Agung. Setelah sekarang Anda kembali kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan dan berhenti berusaha dan melatih diri, mana mungkin Anda sekarang telah menemukannya?”
“Kamu keliru, Pertapa. Aku tidak pernah berhenti berusaha. Aku tidak kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Dengarlah apa yang kukatakan. Aku sesungguhnya telah memperoleh Kebijaksanaan yang Tertinggi. Dan dapat mengajar kamu untuk juga memperoleh Kebijaksanaan tersebut untuk dirimu sendiri.”
Setelah itu kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbah-Nya. Maka Sang Buddha memberikan khotbah-Nya yang pertama yang kelak dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah pertama diucapkan oleh Sang Buddha tepat pada saat purnama sidhi di bulan asalha.

Dhammacakkappavattana Sutta

Di bawah ini diuraikan singkatan dari khotbah tersebut.
“Dua pinggiran yang ekstrim, oh Bhikkhu, yang harus dihindari oleh seorang bhikkhu. Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar nafsu-nafsu yang bersifat rendah, hanya dilakukan oleh orang yang masih berkeluarga, sifat khas dari orang yang terikat kepada hal-hal duniawi, tidak mulia dan tidak berfaedah.
Pinggiran ekstrim kedua ialah menyiksa diri, yang menimbulkan kesakitan yang hebat, tidak mulia dan tidak berfaedah. Jalan Tengah dengan menghindari kedua pinggiran yang ekstrim telah kuselami, sehingga kuperoleh Pandangan Terang, Kebijaksanaan, Ketenangan, Pengetahuan Tertinggi, Penerangan agung, dan Nibbana.
Selanjutnya oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Dukkha: dilahirkan, usia tua, sakit, mati, sedih, ratap tangis, gelisah, berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, terpisah dari sesuatu yang disukai dan tidak memperoleh sesuatu yang didambakan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Lima Khanda (Lima Kelompok Kehidupan/Kegemaran) itu adalah penderitaan.
Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha: nafsu keinginan yang tidak habis-habisnya (tanha), melekat kepada kenikmatan dan nafsu-nafsu yang minta diberi kepuasan, keinginan untuk menikmati nafsu-nafsu indria, keinginan untuk hidup terus-menerus secara abadi dan keinginan untuk memusnahkan diri.
Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha: nafsu-nafsu keinginan (tanha) yang secara menyeluruh dapat disingkirkan, dilenyapkan, ditinggalkan, diatasi, dan dilepaskan.
Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha: Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar.
Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.
Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.
Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.
Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.
Selama pandangan-Ku terhadap Kesunyataan Mulia yang disebut di atas masih belum jelas benar mengenai tiga seginya dan dua belas jalannya, Aku belum dapat menuntut dan menyatakan dengan pasti bahwa Aku telah memperoleh Penerangan Agung yang tiada bandingnya di alam-alam para dewa, mara, brahma, pertapa, brahmana dan manusia.
Dengan demikian timbul dalam diriaKu Pandangan Terang dan Pengetahuan bahwa Aku sekarang telah terbebas sama sekali dari keharusan untuk terlahir kembali di dunia ini dan kehidupanKu yang sekarang ini merupakan kehidupan-Ku yang terakhir.”
Setelah Sang Buddha selesai berkhotbah, Kondañña memperoleh Mata Dhamma karena dapat mengerti (añña) dengan jelas makna khotbah tersebut dan menjadi seorang Sotapanna (makhluk suci tingkat kesatu).
Añña Kondañña yang sekarang tidak meragu-ragukan lagi ajaran Sang Buddha mohon untuk dapat diterima sebagai murid. Sang Buddha meluluskan permohonan ini dan mentahbiskannya dengan kata-kata, “Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan.”
Dengan demikian Añña Kondañña menjadi bhikkhu pertama yang ditahbiskan dengan ucapan “ehi bhikkhu”.
Sejak hari itu Sang Buddha tinggal di Taman Rusa dan tiap hari Beliau memberikan uraian Dhamma kepada lima orang pertapa tersebut.
Dua hari setelah itu, pertapa Vappa dan Bhaddiya memperoleh Mata Dhamma dan kemudian ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”.
Dan dua hari kemudian, pertapa Mahanama dan Assaji memperoleh Mata Dhamma dan ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”.
Lima hari setelah memberikan khotbah pertama, Sang Buddha memberikan khotbah kedua dengan judul Anattalakkhanasutta.

Anattalakkhanasutta

Singkatan dari khotbah ini adalah sebagai berikut:
Rupa (badan jasmani), oh Bhikkhu, Vedana (perasaan), Sañña (pencerapan), Sankhara (pikiran) dan Viññana (kesadaran) adalah Lima Khandha (lima kelompok kehidupan/kegemaran) yang semuanya tidak memiliki Atta (roh). Kalau sekiranya Khandha itu memiliki Atta (roh), maka ia dapat berubah sekehendak hatinya dan tidak akan menderita karena semua kehendak dan keinginannya dapat dipenuhi, misalnya ‘Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.’
Tetapi karena Khandha itu Anatta (tanpa roh), maka ia tidak dapat berubah sekehendak hatinya dan karena itu menderita sebab semua kehendak dan keinginannya tidak dapat dipenuhi, misalnya ‘Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.’
Setelah mengajar kelima orang bhikkhu itu untuk menganalisa badan jasmani dan batin menjadi lima khandha, Sang Buddha lalu menanyakan pendapat mereka mengenai hal yang di bawah ini:

“Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapatmu, apakah Khandha itu kekal atau tidak kekal?”
“Mereka tidak kekal, Bhante.”
“Di dalam sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderitaan?”
“Di sana terdapat penderitaan, Bhante.”
“Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan penderitaan, ditakdirkan untuk musnah, apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu adalah ‘milikku’, ‘aku’ dan ‘diriku’ ?”
“Tidak tepat, Bhante.”
Selanjutnya Sang Buddha mengajar untuk jangan melekat kepada lima khandha tersebut dengan melakukan perenungan sebagai berikut:
Karena kenyataannya memang demikian, oh Bhikkhu, maka lima khandha yang lampau atau yang ada sekarang ini, kasar atau halus, menyenangkan atau tidak menyenangkan, jauh atau dekat, harus diketahui sebagai Khandha (Kelompok Kchidupan/Kegemaran) semata-mata.
Selanjutnya engkau harus melakukan perenungan dengan memakai Kebijaksanaan bahwa semua itu bukanlah ‘milikmu’ atau ‘kamu’ atau ‘dirimu’.
Siswa Yang Ariya yang mendengar uraian ini, oh Bhikkhu, akan melihatnya dari segi itu. Setelah melihat dengan jelas dari segi itu, ia akan merasa jemu terhadap lima khandha tersebut. Setelah merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan batinnya, ia tidak melekat lagi kepada sesuatu.
Karena tidak melekat lagi kepada sesuatu maka akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ia sekarang sudah terbebas dari tumimbal lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung.
Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Sang Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin (Asava) dan terbebas seluruhnya dari kemelekatan (Upadana) dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.

Yasa

Waktu itu di Benares, bertempat tinggal seorang anak muda bernama Yasa. Yasa adalah anak seorang pedagang kaya raya dan sebagaimana juga halnya dengan Pangeran Siddhattha, Yasa pun memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Kehidupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan, Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya.
Malam itu ia terbangun pada larut malam dan dari sinar lampu di kamarnya, Yasa melihat pelayan-pelayannya sedang tidur dalam berbagai macam sikap yang membuatnya jemu dan muak sekali. Ia merasa seperti berada di tempat pekuburan dengan dikelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan. Karena tidak tahan lagi melihat keadaan itu, maka dengan mengucapkan, “Alangkah menakutkan tempat ini! Alangkah mengerikan tempat ini!” Yasa memakai sandalnya dan meninggalkan istananya dalam keadaan pikiran kalut dan penuh kecemasan. Ia berjalan menuju ke Taman Rusa di Isipatana. Waktu itu menjelang pagi hari dan Sang Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu berpapasan dengan Yasa, Sang Buddha menegur, “Tempat ini tidak menakutkan. Tempat ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini, Aku akan mengajarmu.”
Mendengar sapaan Sang Buddha, Yasa berpikir, “Kalau begitu baik juga kalau tempat ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan.”
Yasa membuka sandalnya, menghampiri Sang Buddha, memberi hormat dan kemudian duduk di sisi Sang Buddha.
Sang Buddha kemudian memberikan uraian yang disebut Anupubbikatha, yaitu uraian mengenai pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi.
Selanjutnya Sang Buddha memberikan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dhamma sewaktu masih duduk di tempat itu. Yasa kemudian mencapai tingkat Arahat sewaktu Sang Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya.
Keesokan hari seluruh penghuni istana Yasa menjadi ribut karena Yasa tidak ada di kamarnya dan juga tidak diketemukan di bagian lain dari istananya. Ayahnya memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencari ke segenap penjuru dan ia sendiri pergi mencari ke Isipatana. Di Taman Rusa ia melihat sandal anaknya. Tidak jauh dari tempat itu, ia bertemu dengan Sang Buddha dan bertanya apakah Sang Buddha melihat Yasa. Yasa sebenarnya sedang duduk di sisi Sang Buddha, tetapi karena Sang Buddha menggunakan kekuatan gaib maka Yasa tidak melihat ayahnya dan ayahnya tidak melihat Yasa. Sebelum menjawab pertanyaan ayah Yasa, terlebih dulu Sang Buddha memberikan uraian tentang pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan.
Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, ayah Yasa memperoleh Mata Dhamma dan mohon untuk diterima sebagai pengikut dengan mengucapkan, “Aku berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka mulai hari ini sampai akhir hidupku.” Dengan demikian ayah Yasa menjadi upasaka pertama yang berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Seperti dijelaskan di halaman depan, Tapussa dan Bhallika adalah pengikut Sang Buddha yang pertama, tetapi mereka berlindung hanya kepada Buddha dan Dhamma karma pada waktu itu belum ada Sangha (Pesamuan Para Bhikkhu, yang sekurang-kurangnya terdiri dari lima orang bhikkhu). Yasa yang untuk kedua kalinya mendengarkan uraian Sang Buddha mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.
Pada waktu itulah Sang Buddha menarik kembali kekuatan gaibnya, sehingga Yasa dapat melihat ayahnya dan ayahnya dapat melihat Yasa.
Ayah Yasa menegur anaknya dan mendesak agar Yasa pulang kembali ke istananya dengan mengatakan, “Yasa, ibumu sangat sedih. Ayolah pulang demi menyelamatkan nyawa ibumu.”
Yasa menengok ke arah Sang Buddha dan Sang Buddha menjawab, “Kepala keluarga yang baik, beberapa waktu berselang, Yasa memperoleh Mata Dhamma sebagaimana juga Anda memperolehnya pada hari ini dan menjadi seorang Ariya yang masih membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi untuk mencapai Pembebasan Sempurna. Hari ini Yasa berhasil menyingkirkan semua kekotoran batin dan mencapai Pembebasan Sempurna. Cobalah pikir, apakah mungkin Yasa kembali ke kehidupan biasa dan menikmati kesenangan nafsu-nafsu indria?”
“Aku rasa memang tidak mungkin. Hal ini sudah menjadi rejekinya. Tetapi, bolehkah saya mengundang Sang Bhagava supaya besok siang berkenan mengambil dana (makanan) di rumahku disertai anakku sebagai bhikkhu pengiring?”
Sang Buddha menerima undangan ini dengan membisu (berdiam diri). Mengetahui permohonannya diterima, ayah Yasa berdiri, memberi hormat dan berjalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sisi kanannya dan kembali pulang ke istananya. Setelah ayahnya pulang, Yasa mohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Sang Buddha mentahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga digunakan untuk mentahbiskan lima murid-Nya yang pertama yaitu, “Ehi bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah kehidupan suci.” Perbedaannya bahwa Sang Buddha tidak mengucapkan “dan singkirkanlah penderitaan” karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada tujuh orang Arahat (Sang Buddha sendiri juga seorang Arahat, tetapi seorang Arahat istimewa karena mencapai Kebebasan dengan daya upaya sendiri).
Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Sang Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi hormat.
Sang Buddha kembali memberikan uraian tentang Anupubbikatha dan mereka berdua pun rnemperoleh Mata Dhamma. Mereka memuji keindahan uraian tersebut dan mohon dapat diterima sebagai Upasika dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk seumur hidup.
Mereka adalah pengikut-pengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga Mustika (Buddha, Dhamma, dan Sangha).
Setelah itu, makan siang disiapkan dan kedua wanita itu melayani sendiri Sang Buddha dan Yasa dengan hidangan yang lezat-lezat. Sehabis makan siang, Sang Buddha dan Yasa kembali ke Taman Rusa di Isipatana.
Di Benares, Yasa mempunyai empat orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa ajaran-ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan kehidupannya yang mewah.
Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa yang kemudian membawa keempat kawannya itu menghadap Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi bhikkhu.
Setelah mendapat penjelasan tambahan, keempat orang ini dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu sebelas orang.
Tetapi bhikkhu Yasa mempunyai banyak teman lagi yang berada di tempat-tempat jauh, semuanya berjumlah lima puluh orang. Mendengar sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat enam puluh satu orang Arahat.

Mulai Menyebarkan Dhamma

Pada suatu hari, Sang Buddha memanggil berkumpul murid-muridNya yang berjumlah enam puluh orang Arahat dan berkata, “Aku telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, oh Bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang bersifat badaniah, demikian pula kamu sekalian. Sekarang kamu harus mengembara guna kesejahteraan dan keselamatan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. Khotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awalnya, mulia pada pertengahannya, dan mulia pada akhirnya. Umumkanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma, mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh manfaat yang besar. Mereka adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku sendiri akan pergi ke Senanigama di Uruvela untuk mengajar Dhamma.”
Kemudian berangkatlah keenam puluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusan dan mengajar Dhamma kepada penduduk yang mereka jumpai. Sewaktu mengajar, mereka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi bhikkhu. Karena mereka sendiri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan melakukan perjalanan jauh dan melelahkan mereka membawa orang itu menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri.
“Aku perkenankan kamu, oh Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yang jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkapkan kedua tangannya dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki bhikkhu. Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan mereka harus mengulang ucapanmu, “Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha, dan seterusnya.”
Mulai saat itu terdapat dua cara pentahbisan, pertama yang diberikan Sang Buddha sendiri dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu” dan yang kedua diberikan oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan “Tisaranagamana”.
Dalam perjalanan dari Uruvela ke Benares, pada suatu hari Sang Buddha tiba di perkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Tidak jauh dari tempat itu, tiga puluh orang pemuda sedang bermain-main yang diberi nama Bhaddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah, hanya seorang belum. Ia rnembawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu.
Setelah tahu apa yang terjadi, mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang Buddha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah Sang Buddha melihat seorang wanita lewat di dekat situ. Atas pertanyaan Sang Buddha, mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Oh, Anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seorang pelacur?” Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbikatha dan Empat Kesunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setelah ditahbiskan, mereka dikirim ke tempat-tempat jauh untuk mengajarkan Dhamma.

Kassapa Bersaudara

Di tiga tempat sepanjang Sungai Neranjara, tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Yang tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sungai dan mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang. Yang kedua disebut Nadi Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Yang ketiga disebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang.
Pada suatu hari, Sang Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela Kassapa. Di tempat ini Sang Buddha harus memperlihatkan kekuatan gaib untuk menundukkan Uruvela Kassapa yang ternyata juga mahir dalam melakukan ilmu-ilmu gaib. Salah satu contoh dapat diceritakan sebagai berikut:
“Kalau Anda tidak keberatan, Kassapa, Aku ingin bermalam di pondokmu.”
“Tentu saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan Anda bermalam di pondokku. Tetapi Anda harus tahu bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku khawatir Anda akan celaka.” jawab Uruvela Kassapa.
“Oh, tidak apa-apa. Kalau Anda tidak keberatan, Aku akan bermalam di pondokmu.”
“Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga Anda selamat.”
Sang Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk ke dalam pondok. Sang Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya ular kobra tersebut.
Waktu tengah malam, benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri Sang Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Sang Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Sang Buddha ternyata sia-sia saja. Sang Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan gaya-gaya Metta (cinta kasih) dan badan-Nya seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang tidak dapat ditembus.
Esok paginya, Uruvela Kassapa datang menjenguk Sang Buddha dan mengira akan menemukan mayat-Nya. Ia terkejut melihat Sang Buddha sedang duduk bermeditasi.
Uruvela Kassapa bertanya apakah Sang Buddha tidak diganggu oleh ular kobra. “Tidak, ular itu ada di sini.” jawab Sang Buddha dan membuka tutup mangkuk yang biasa dipakai untuk menerima dana makanan.
Keluarlah seekor ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Sang Buddha menahannya dan berkata bahwa Beliau mempunyai kemampuan untuk menjinakkan ular kobra.
Pada kesempatan lain sewaktu turun hujan lebat dan semua tempat di daerah itu digenangi air banjir, kembali Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Di tempat Sang Buddha berdiri atau berjalan, air “membelah” membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Sang Buddha tidak basah kena air.
Akhirnya Uruvela Kassapa dapat diyakinkan bahwa ia bukanlah tandingan Sang Buddha dan ia juga tahu bahwa ia belum mencapai tingkat Arahat sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Dengan lima ratus orang pengikutnya, ia kemudian membuang semua peralatan yang dipakainya dalam pemujaan api ke dalam sungai dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu.
Pada suatu hari, Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai menjadi terkejut melihat banyak peralatan sembahyang terapung di sungai. Ia mengira bahwa suatu bencana hebat telah menimpa diri kakaknya.
Dengan tergesa-gesa, diikuti tiga ratus orang pengikutnya, Nadi Kassapa pergi ke tempat Uruvela Kassapa.
Setelah tiba, Nadi Kassapa melihat bahwa kakaknya sudah menjadi bhikkhu. Selanjutnya Nadi Kassapa diberi penjelasan tentang sia-sianya memuja api, sehingga akhirnya ia bersama-sama pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada diri Gaya Kassapa beserta para pengikutnya. Dengan demikian tiga kelompok kaum Jatila yang berjumlah 1.003 orang telah menjadi pengikut Sang Buddha.
Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanan-Nya menuju Gayasisa di tepi Sungai Gaya.
Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah yang kemudian dikenal sebagai Adittapariyaya Sutta.
Ringkasan dari khotbah itu adalah sebagai berikut:
“Oh, Bhikkhu, semuanya menyala. Apakah itu yang menyala? Mata, penglihatan, kesadaran mata, kesan-kesan mata dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan mata (Ini adalah kelompok pertama).
Telinga, suara, kesadaran telinga, kesan-kesan telinga dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan telinga (Ini adalah kelompok kedua).
Hidung, bebauan, kesadaran hidung, kesan-kesan hidung dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan hidung (Ini adalah kelompok ketiga).
Lidah, rasa, kesadaran lidah, kesan-kesan lidah dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan lidah (Ini adalah kelompok keempat).
Tubuh, sentuhan, kesadaran tubuh, kesan-kesan tubuh dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan tubuh (Ini adalah kelompok kelima).
Batin, pikiran, kesadaran batin, kesan-kesan batin dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan batin (Ini adalah kelompok keenam).
Semua itu menyala-nyala. Menyala dengan apa? Menyala dengan api dari keserakahan, kebencian dan khayalan yang menyesatkan, menyala dengan api dari kelahiran, usia tua dan kematian, menyala dengan api dari kesedihan, ratap tangis, sakit, duka cita, dan putus asa.
Seorang siswa Yang Ariya, yang melihat keadaan ini akan merasa jemu. Karena merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Karena melepaskan nafsu-nafsu keinginan, batinnya tidak melekat lagi kepada segala sesuatu.
Karena tidak melekat lagi kepada segala sesuatu akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Ia tahu bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung.”
Setelah Sang Buddha selesai memberikan khotbah, batin bhikkhu-bhikkhu tersebut terbebas seluruhnya dari kemelekatan dan bersih dari kekotoran batin. Mereka semua mencapai tingkat yang tertinggi, yaitu menjadi Arahat.

Maha Kassapa

Dalam perjalanan ke Rajagaha, Sang Buddha tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rajagaha dan Nalanda dan beristirahat di bawah pohon beringin Bahuputtaka.
Pada waktu itu, seorang pertapa bernama Pipphali lewat di tempat itu. Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama Kapila dengan istrinya yang bernama Sumanadevi dari Desa Mahatittha di negara Magadha.
Ia menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara adalah seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid.
Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat, “Oh, Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda, dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi.”
Setelah ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan perjalanan-Nya menuju Rajagaha.
Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang Buddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga. Pada hari kedelapan, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat), sudah puas dengan pemberian yang sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali.
Menjawab pertanyaan, mengapa Beliau menuntut kehidupan yang demikian keras, Maha Kassapa mengatakan bahwa Beliau berbuat semuanya itu bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri tetapi juga demi kebahagiaan orang lain di kelak kemudian hari. Maha Kassapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali untuk orang-orang yang benar-benar ingin melaksanakan hidup suci. Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung).
Tiga bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia, Maha Kassapa mengetuai Sidang Agung (Sangha-Samaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa Sattapanni, kota Rajagaha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun.
Maha Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun.

Raja Bimbisara

Di sebelah Tenggara Jambudipa terdapat sebuah negara besar dan berpengaruh, yaitu negara Magadha yang berpenduduk padat dan kaya raya dan di sebelah Timurnya terletak negara Anga. Raja Bimbisara adalah Maha raja negara Magadha dan Anga tersebut dengan ibukota Rajagaha.
Setelah beberapa lama diam di Gayasisa, Sang Buddha melanjutkan perjalanannya menuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana.
Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa Pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang berada di Rajagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Beliau adalah seorang Arahat, seorang yang telah memperoleh Penerangan Agung, dan mengajar Dhamma yang mulia di awalnya, mulia di pertengahannya, dan mulia di akhirnya, yang telah mengumumkan kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Melihat seorang Arahat yang demikian itu bermanfaat sekali agar keinginan orang dapat terkabul.
Mendengar berita itu, Raja Bimbisara datang mengunjungi Sang Buddha dengan diikuti pengiringnya. Setelah memberi hormat, Raja kemudian duduk di satu sisi. Tetapi para pengiringnya bersikap macam-macam dan ada yang bersikap acuh tak acuh. Ada yang berlutut, ada yang hanya memberi hormat dengan ucapan, ada yang menyembah, ada yang memberitahukan namanya dan juga nama keluarganya, dan ada yang duduk diam saja.
Sang Buddha, yang melihat sikap acuh tak acuh dan kurang hormat dari pengiring Raja, tahu bahwa mereka masih belum siap untuk menerima ajaran. Karena itu Sang Buddha memandang perlu agar Uruvela Kassapa terlebih dulu memberikan keterangan tentang sia-sianya pemujaan yang dulu ia lakukan. Hal ini perlu untuk menyingkirkan keragu-raguan sebelum mereka siap untuk mendengarkan Dhamma. Karena itu Sang Buddha berkata kepada Uruvela Kassapa, “Oh, Kassapa, kamu sudah lama berdiam di Uruvela dan menjadi pemimpin kaum Jatila yang pandai dalam upacara keagamaan. Apakah sebabnya sehingga kamu berhenti melakukan pemujaan api yang biasa kamu lakukan? Aku bertanya padamu, oh Kassapa, mengapa kamu meninggalkan kebiasaan memuja api?”
Uruvela Kassapa menjawab, “Semua Yañña atau upacara dengan mempersembahkan sesajen bertujuan untuk memperoleh penglihatan, suara, rasa dan wanita yang menggiurkan, yang didambakan manusia. Persembahan sesajen itu menimbulkan harapan bahwa setelah melakukan persembahan tersebut orang akan dapat memperoleh hasil yang diinginkan. Telah kuketahui sekarang bahwa kesenangan-kesenangan indria tersebut merupakan kekotoran batin yang membuat orang dicengkeram oleh nafsu-nafsu. Karena itu aku tidak lagi tertarik melakukan praktek pemujaan api.”
Kemudian Sang Buddha bertanya lagi, “Setelah kini kamu tidak lagi tertarik kepada penglihatan, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indria, oh Kassapa, apa sebenarnya yang kamu cari di alam manusia dan alam dewa ini? Coba kamu ceritakan.”
Kassapa menjawab, “Aku telah berhasil mencapai keadaan yang penuh damai, tanpa dikotori oleh nafsu-nafsu yang dapat menimbulkan penderitaan, tanpa keinginan untuk melekat, tanpa kemelekatan kepada alam kesenangan indria, tanpa perubahan, tanpa tergantung pada kekuatan luar dan hanya dapat dipahami oleh pribadi masing-masing. Karena hal-hal yang di atas itulah aku tidak lagi tertarik untuk melakukan praktek pemujaan api yang dulu kulakukan.”
Selesai memberi jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menutupi satu pundaknya (sebagai sikap menghormat) ia berlutut tiga kali di bawah kaki Sang Buddha dan mengaku bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah murid-Nya.
Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan batin mereka sudah siap untuk menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anupubbikatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia.
Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, sebelas dari dua belas orang yang hadir memperoleh Mata Dhamma dan yang lain memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semenjak kecil.
“Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan, aku mempunyai lima macam keinginan, yaitu pertama, semoga aku kelak naik di tahta kerajaan Magadha. Kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Agung datang di negeriku sewaktu aku masih memerintah. Ketiga, semoga aku memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Arahat tersebut. Keempat, semoga Arahat tersebut memberikan khotbah kepadaku. Kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku yang berjumlah lima itu telah terpenuhi.” .
Selanjutnya Raja Bimbisara memuji khotbah Sang Buddha dan menyatakan dirinya sebagai upasaka untuk seumur hidup dan mengundang Sang Buddha beserta para pengikut-Nya untuk datang besok siang mengambil dana (makanan) di istana. Kemudian bangun dari tempat duduknya, jalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sebelah kanan dan pulang ke istana. Tiba di istana, Raja memerintahkan untuk menyiapkan hidangan yang lezat-lezat. Keesokan hari, Raja memerintahkan pengawalnya untuk mengundang Sang Buddha dengan pengiring-Nya datang ke istana. Setelah Sang Buddha tiba di istana dan mengambil tempat duduk yang disediakan, Raja sendiri turut melayani memberikan hidangan. Kemudian Raja memikirkan tempat yang layak yang dapat digunakan oleh Sang Buddha sebagai tempat tinggal. Raja teringat kepada Veluvanarama (hutan pohon bambu) yang letaknya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan desa di sekelilingnya. Tempat itu mudah untuk dicapai dan menyenangkan, tidak berisik waktu siang hari dan tenang di malam hari, cocok sekali untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang ingin berlatih untuk mendapatkan Pandangan Terang.
Dengan batin yang dipenuhi pikiran tersebut, Raja Bimbisara kemudian menuang air ke lantai dari kendi emas dan menerangkan bahwa Beliau berhasrat menyerahkan Veluvanarama untuk dipakai oleh Sang Buddha beserta pengiring-Nya, sebagai tempat tinggal. Sang Buddha menerima pemberian tersebut dan menggembirakan hati Raja dengan menerangkan tentang keuntungan besar yang dapat diperoleh dari dana tersebut.
Sang Buddha beserta pengiring-Nya pulang dan pindah ke tempat yang baru. Ini merupakan sumbangan tempat tinggal untuk pata bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu.

Sariputta Dan Moggallana

Di Rajagaha, waktu itu hidup dua orang pemuda dari kasta brahmana yang kaya raya, yang sejak kecil bersahabat. Yang satu bernama Upatissa, anak seorang wanita bernama Rupasari, yang lain bernama Kolita, anak seorang wanita bernama Moggalli.
Mereka berdua berguru kepada Sanjaya, seorang pertapa dari golongan Paribbajaka, yang mempunyai dua ratus lima puluh orang murid. Upatissa dan Kolita termasuk dua orang murid yang pandai dan sering mewakili gurunya memberi bimbingan kepada murid-murid yang lain. Meskipun sudah belajar lama dan memiliki seluruh kepandaian gurunya, tetapi mereka berdua masih belum puas. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka kelak yang lebih dulu memperoleh ajaran sempurna akan memberitahukan hal itu kepada yang lain.
Pada suatu hari Ayasma Assaji, seorang dari lima orang bhikkhu pertama, kembali ke Rajagaha untuk memberi laporan kepada Sang Buddha tentang perjalanannya ke berbagai tempat untuk mengajar Dhamma.
Sebagaimana biasa, Ayasma Assaji tiap pagi mengumpulkan makanan dan waktu itulah Beliau terlihat oleh Upatissa. Upatissa terkesan sekali melihat sikap Ayasma Assaji yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa dan menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya. Baik berjalan ke depan atau bertindak ke belakang, atau membentangkan, atau menekuk tangannya, ia selalu kelihatan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan
Pemandangan ini membuat Upatissa terpesona dan membangkitkan perasaan ingin tahu. Seketika itu ia ingin menegur, tetapi kemudian membatalkannya karena ia menganggap waktunya kurang tepat berhubung waktu itu Ayasma Assaji sedang mengumpulkan makanan. Ia menunggu sampai Ayasma Assaji selesai makan dan kemudian mendekati serta memberi hormat, “Saudara, pembawaan Anda luar biasa dan wajah Anda terang sekali. Dengan menjalankan kehidupan suci ini kepada siapakah Anda mengabdi? Siapakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda ikuti?”
Ayasma Assaji menjawab, “Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini aku mengabdi kepada seorang Pertapa Agung, anak dari suku Sakya, yang telah menjadi bhikkhu dari keluarga Sakya. Pertapa Agung itulah yang menjadi guruku. Dan ajaran-Nya yang aku ikuti.”
“Apakah yang diajar guru Anda, Saudara?”
“Aku seorang pendatang baru. Aku baru saja ditahbiskan. Aku belum berapa lama mengikuti ajaran ini, sehingga aku tidak dapat memberikan pelajaran itu secara terperinci. Tetapi aku akan memberitahukan Anda garis besarnya.”
“Baik sekali, Saudara. Bagi saya sama saja apakah Anda memberitahukan garis besarnya atau secara terperinci. Aku ingin mendengar intisari dari ajaran tersebut, yang lain tidak dapat membantu apa-apa.”
Ayasma Assaji kemudian mengucapkan syair di bawah ini:

“Ye dhamma hetuppabhava,
Tessam hetum Tathagato,
Tesañca yo nirodho ca,
Evam vadi mahasamano.”
Artinya :

“Semua benda yang timbul karena satu ‘sebab’
‘Sebabnya’ telah diberitahukan oleh Sang Tathagata,
Dan juga lenyapnya kembali,
Itulah yang diajarkan Sang Pertapa Agung. “
Mendengar syair tersebut, Upatissa seketika memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan berkata dalam hatinya,

“Yankiñci samudayadhammam
Sabbantam nirodha dhammam.”
Artinya:

“Segala sesuatu yang timbul karena satu ‘sebab’
Di dalamnya pun terdapat ‘sebab’ yang membuat ia musnah kembali. “
Kemudian Upatissa menanyakan tempat tinggal Sang Buddha. Setelah diberitahukan bahwa Sang Buddha pada saat itu berdiam di Veluvanarama, Upatissa kemudian mohon diri dari Ayasma Assaji dan berjanji akan datang mengunjungi Sang Buddha bersama sahabatnya yang bernama Kolita.
Upatissa kembali ke tempat gurunya, Sanjaya, dan memberitahukan Kolita peristiwa apa yang baru saja ia alami. Ia mengulang syair yang diucapkan Ayasma Assaji dan seketika itu pula Kolita memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka berdua melaporkan berita ini kepada Sanjaya dan mohon diperkenankan untuk mengunjungi Sang Buddha. Tetapi Sanjaya menolak untuk memberi izin. Akhirnya, tanpa izin, mereka berdua dengan diikuti dua ratus lima puluh orang muridnya pergi juga berkunjung kepada Sang Buddha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dari kelompok ini dapat diceritakan bahwa mereka semua mencapai tingkat Arahat, bahkan para muridnya terlebih dulu mencapai tingkat kesucian tersebut, kemudian disusul oleh Kolita dan yang terakhir Upatissa.
Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Kolita menyepi di Desa Kallavalamuttagama di kota Magadha. Di tempat itu Kolita giat melatih meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang. Pada suatu ketika ia merasa ngantuk sekali. Sang Buddha menghampirinya dan memberikan petunjuk untuk menanggulangi perasaan ngantuk,
“Apa pun pencerapanmu pada waktu kamu diserang perasaan mengantuk, Moggallana (Kolita di kemudian hari terkenal dengan nama ini yang berarti : anak Moggalli), kamu harus terus menyadari pencerapan tersebut. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini tidak menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus mengulang dengan suara keras Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus menggosok-gosok kupingmu dengan jeriji dan mengusap-usap tubuhmu dengan tangan. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus bangun dan mencuci matamu dengan air, kemudian memandang ke sekelilingmu dan mengamat-amati bintang di langit. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada pencerapan dari cahaya terang, dan pikiranmu selalu membayangkan ‘cahaya siang hari’ baik pada waktu siang hari maupun pada waktu malam hari, membuka batinmu dari selubung yang menutupinya dan mengembangkan batinmu bermandi cahaya terang. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus berbaring dengan ‘sikap seekor singa’, yaitu miring ke kanan dengan kaki kiri di atas kaki kanan, batin dalam keadaan ‘sadar’ dan pikiran terpusat kepada saat kamu ingin bangun. Setelah bangun kamu harus segera bangkit sambil merenung ‘Aku tidak ingin memanjakan diriku dengan berbaring, menyender atau tidur’. Ini Moggallana, yang kamu harus selalu ingat.”
“Selanjutnya, Moggallana, kamu harus selalu ingat ‘aku tidak boleh merasa ingin terlalu dihormat kalau masuk ke rumah seorang umat biasa’. Sebab kalau seorang bhikkhu masuk ke rumah seorang umat biasa dengan perasaan ingin terlalu dihormat dan pada waktu itu mungkin ada urusan rumah tangga yang sangat penting yang harus diselesaikan terlebih dulu sehingga bhikkhu itu ‘terlupakan’, maka akan timbul pikiran dalam batin bhikkhu tersebut, “Siapakah yang menghasut orang ini terhadap diriku? Orang ini kelihatannya sekarang ‘acuh tak acuh’. Karena merasa tak diacuhkan lagi timbul perasaan malu, karena malu pikirannya kacau, karena pikirannya kacau ia tidak dapat mengendalikan dirinya dengan baik, karena tidak dapat mengendalikan diri dengan baik, ia gagal melakukan meditasi.”
“Selain dari itu, Moggallana, kamu harus selalu ingat, ‘aku tidak ingin mengucapkan sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain’. Sebab kalau orang berbicara tentang sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain, maka hal itu mengakibatkan perdebatan yang panjang. Dengan adanya perdebatan yang panjang, ia tak dapat memusatkan pikirannya. Karena tak dapat memusatkan pikirannya, ia tak dapat mengendalikan diri, karena ia tak dapat mengendalikan diri, ia gagal melakukan meditasi.”
“Sekarang, Moggallana, aku tidak selalu memujikan orang berkumpul dan juga aku tidak selalu menolaknya. Aku tidak memujikan berkumpul dengan orang banyak, baik itu bhikkhu atau orang biasa. Tetapi kalau ada tempat sunyi dan tidak terganggu oleh suara berisik dari orang yang lalu lalang, cocok sekali untuk seorang pertapa yang menyukai kesunyian, cocok untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang lebih menyukai hidup menyendiri, maka berdiam di tempat demikian itu selalu aku pujikan.”
Setelah diberikan petunjuk di atas, Moggallana menanyakan tentang kesimpulan terakhir bagi orang yang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginan dan sudah siap untuk memperoleh hasil ‘di luar duniawi’. Sang Buddha menjawab,
“Moggallana, seorang bhikkhu yang melaksanakan Dhamma ini, tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang berharga untuk dilekati. Setelah tahu hal tersebut, ia kemudian mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, setelah mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, ia dapat menyelami hakekat benda-benda tersebut, maka sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan atau netral ia memandangnya sebagai sesuatu yang tidak kekal. Jadi, ia memandangnya dengan perasaan jemu untuk kemudian menyingkir dan melepaskan diri dari perasaan tersebut.
Dengan merenung seperti itu, ia tidak melekat lagi kepada apa pun dalam dunia ini, karena tidak lagi melekat, ia tidak dapat lagi diganggu, karena tidak dapat lagi diganggu, ia dapat rnenyingkirkan semua kekotoran batin dan mengetahui bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Dengan kesimpulan terakhir inilah, Moggallana, seorang bhikkhu dapat dipandang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginannya dan sudah siap untuk memperoleh hasil ‘di luar duniawi’.”
Dengan melaksanakan petunjuk tesebut, Moggallana berhasil mencapai tingkat Arahat hari itu juga.
Lima belas hari setelah ditahbiskan, Upatissa (yang kemudian terkenal sebagai Sariputta, anak Sari), berdiam bersama-sama Sang Buddha di Goa Sukarakhata dari Gunung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha.
Seorang pertapa golongan Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan setelah saling mengucapkan kata-kata menghormat, ia berdiri di satu sisi. Ia kemudian memberikan pandangannya dengan mengatakan, “Yang Mulia Gotama, semua benda tidak menyenangkan hatiku. Aku tidak merasa tertarik kepadanya.”
“Kalau begitu, Aggivesana, pandangan yang demikian itu pasti tidak menyenangkan hatimu dan sudah semestinya kamu tidak tertarik lagi kepadanya.”
Setelah itu Sang Buddha menguraikan tentang adanya tiga pandangan mengenai hal tersebut.
“Ada kelompok pertapa dan Brahmana, Aggivesana, yang mempunyai pandangan bahwa semua benda menyenangkan hati mereka, mereka tertarik kepada semua benda.
Ada kelompok lain berpegang teguh kepada pandangan bahwa semua benda tidak menyenangkan hati mereka, mereka tidak tertarik kepada apa pun juga. Kelompok ketiga mempunyai pandangan bahwa ada benda-benda yang menyenangkan hati dan mereka tertarik kepada benda-benda tersebut.
Terhadap benda-benda lain yang tidak menyenangkan hati, mereka tidak tertarik. Pandangan kelompok pertama ialah condong ingin memiliki benda-benda tersebut. Pandangan kelompok kedua condong untuk membenci atau mempunyai pikiran buruk terhadap benda-benda. Pandangan kelompok ketiga ialah condong ingin memiliki beberapa benda-benda dan membenci benda-benda yang lain.
Seorang bijaksana melihat bahwa kalau ia mengambil sikap dan mengatakan bahwa ini yang benar dan yang dua itu salah, ia akan bertentangan pendapat dengan mereka yang mempunyai kedua pandangan yang lain itu.
Dengan adanya pertentangan pendapat akan timbul pertengkaran.
Dengan adanya pertengkaran akan timbul perasaan benci. Dengan adanya perasaan benci akan timbul permusuhan.
Setelah menyelami keadaan ini, seorang bijaksana akan menyingkirkan pandangan itu dan juga tidak menganut pandangan pandangan yang lain. Dengan melakukan ini, ia telah melepaskan ketiga pandangan tersebut.”
Setelah menjelaskan tentang ketiga pandangan salah tersebut, Sang Buddha kemudian memberikan uraian tentang cara bagaimana orang dapat menyingkirkan kemelekatan.
“Tubuh ini, Aggivesana, terdiri atas empat unsur pokok (Mahabhutarupa), yaitu tanah, air, hawa udara, dan api. Ia berasal dari ayah dan ibu, dibesarkan dengan makanan nasi dan sayur-sayuran, selalu memerlukan wangi-wangian dan sabun untuk menutupi bau yang menyerang keluar, dan selalu harus dibersihkan dan digosok (untuk membersihkan kotoran yang melekat di kulit).”
Ia ditakdirkan untuk lapuk dan membusuk. Kamu harus melihatnya sebagai sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, sulit untuk dipertahankan, kamu harus melihatnya sebagai penyakit, sebagai bisul yang terkena anak panah dan menimbulkan kepedihan dan kesakitan, kamu harus melihatnya sebagai tanpa aku. Kalau melihat semua ini dengan terang, kamu dapat melepaskan keinginan terhadap kesenangan-kesenangan indria.
“Selain dari itu, perasaan terdiri atas tiga jenis, yaitu yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan yang netral. Kalau perasaan menyenangkan timbul, maka perasaan tidak menyenangkan dan netral tidak bisa muncul.
Kalau perasaan tidak menyenangkan timbul, maka perasaan menyenangkan dan netral tidak bisa muncul. Kalau perasaan netral timbul, maka perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan tidak bisa muncul.
Itulah tiga jenis perasaan yang tidak kekal dan timbul oleh sesuatu sebab dan dilahirkan oleh sebab. Perasaan itu ditakdirkan untuk mati kembali, menyusut, menciut, dan hilang sama sekali.
Siswa Yang Ariya, yang mengetahui hakekat yang sebenarnya, merasa jemu terhadap perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral.
Karena jemu, ia akan melepaskan diri dari nafsu-nafsu keinginan.
Tanpa nafsu-nafsu keinginan, ia akan bebas dari kemelekatan.
Dalam batin yang bebas dari kemelekatan akan timbul pengetahuan bahwa batinnya sekarang benar-benar telah bebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Bhikkhu yang demikian itu tidak mungkin akan bertengkar lagi mengenai sesuatu pandangan. Apa pun dalil keduniawian yang dikemukakan orang, ia dapat mengikutinya, tetapi ia tidak menganutnya dan juga tidak melekat kepada salah satu dalil.”
Selama itu Sariputta berdiri di sisi Sang Buddha dengan kipas di tangan dan mengipasi Sang Bhagava. Mendengar khotbah kepada Dighanakha ia berpikir, “Sang Bhagava menganjurkan untuk melepaskan ikatan kepada semua benda melalui Kebijaksanaan Tertinggi.”
Merenungkan arti yang terkandung dalam khotbah tersebut, batinnya terbebas dari semua kekotoran batin dengan jalan menyingkirkan kemelekatan.
Setelah khotbah selesai, Dighanakha memperoleh Mata Dhamma dan.terbebas dari keragu-raguan terhadap keampuhan dan keunggulan Dhamma. Ia memuji khotbah yang baru saja didengar dan menyatakan diri sebagai upasaka.
“Indah, sungguh indah Bhante. Dengan panjang lebar Bhante telah menguraikan Dhamma, menjelaskannya sebagai seorang yang telah menegakkan apa yang telah roboh, atau membuka apa yang tertutup, atau menunjukkan jalan kepada yang tersesat, atau menyalakan api sewaktu keadaan gelap gulita. Aku berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka yang berlindung kepada Sang Ti-Ratana untuk seumur hidup.”
Dengan cara-cara inilah Moggallana dan Sariputta memperoleh Penerangan Agung dan menjadi Arahat.
Sang Buddha sendiri pernah menerangkan di hadapan para bhikkhu dan bhikkhuni bahwa Sariputta adalah murid-Nya yang terpandai dalam kebijaksanaan dan Moggallana yang terpandai dalam kekuatan gaib.
Kalau Sang Buddha dinamakan Dhammaraja (Raja Dhamma) maka Sariputta diberi gelar Dhammasenapati (Jenderal Dhamma).

Pertemuan Besar Para Arahat

Ketika Sang Buddha berada di kota Rajagaha, seribu dua ratus lima puluh orang Arahat datang berkumpul.
Pertemuan para Arahat tersebut dinamakan Caturangasannipata atau Pertemuan Besar Yang Diberkahi dengan Empat Faktor, yaitu:

Mereka berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dulu.
Mereka semuanya Arahat dan memiliki 6 (enam) kekuatan gaib (abhiñña).
Semuanya ditahbiskan dengan memakai ucapan “Ehi bhikkhu”.
Waktu itu Sang Buddha mengucapkan Ovadda Patimokkha.
Tempat mereka berkumpul adalah di Veluvanarama (hutan pohon bambu) dan waktu itu tengah hari pada saat purnama sidhi di bulan Magha.
Ovada Patimokkha yang diucapkan Sang Buddha adalah sebagai berikut (Dhammapada 183;5) :

“Sabba papassa akaranam,
Kusalassa upasampada,
Sacittapariyo dapanam,
Etam Buddhana sasanam.
Khanti paramam tapo titikkha,
Nibbanam paramam vadanti Buddha,
Na hi pabbajjito parupaghati,
Samano hoti param vihethayanto.
Anupavado, anupaghato,
Patimokkhe ca samvaro,
Mattaññuta ca bhattasmim,
Pantham ca sayanasanam,
Adhicitte ca ayogo,
Etam Budhana sasanam. “
Artinya:

“Janganlah berbuat kejahatan,
Perbanyaklah perbuatan baik,
Sucikan hati dan pikiranmu,
Itulah ajaran semua Buddha.
Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik,
Sang Buddha bersabda; Nibbanalah yang tertinggi dari semuanya,
Beliau bukan pertapa yang menindas orang lain,
Beliau bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain.
Tidak menghina, tidak melukai,
Mengendalikan diri sesuai dengan tata tertib,
Makanlah secukupnya,
Hidup dengan menyepi,
Dan senantiasa berpikir luhur,
Itulah ajaran semua Buddha.”
Peristiwa yang bersejarah ini hingga kini masih tetap dirayakan sebagai Magha-Puja, terutama oleh para bhikkhu di Muangthai / Thailand.

Kembali Ke Kapilavatthu

Setelah Raja Suddhodana menerima berita bahwa Sang Buddha berada di Rajagaha, ibukota negara Magadha, maka Beliau mengirim berturut-turut sembilan orang utusan untuk mengundang Sang Buddha pulang ke Kapilavatthu. Namun utusan-utusan tersebut ‘lupa’ untuk menyampaikan undangan dari Raja Suddhodana, setelah mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat Arahat.
Akhirnya Raja Suddhodana mengutus Kaludayi untuk mengundang Sang Buddha. Kaludayi adalah kawan bermain Pangeran Siddhattha waktu kecil dan lahir pada hari, bulan, dan tahun yang sama. Kaludayi berangkat menuju Rajagaha. Waktu mendengar Sang Buddha memberikan khotbah, Kaludayi pun mencapai tingkat Arahat. Ia mohon untuk diterima sebagai bhikkhu dan Sang Buddha mentahbiskannya dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu”. Kemudian Kaludayi menyampaikan undangan Raja Suddhodana kepada Sang Buddha untuk berkunjung ke Kapilavatthu. Sang Buddha menerima baik undangan tersebut dan setelah Kaludayi berdiam tujuh hari di Rajagaha, berangkatlah Sang Bhagava beserta rombongan dua puluh ribu bhikkhu menuju Kapilavatthu. Perjalanan yang jauhnya enam puluh Yojana (1 Yojana = 16 Km) ditempuh dalam waktu enam puluh hari, yaitu tiap hari ditempuh satu Yojana.
Berita dengan cepat sampai kepada Raja Suddhodana bahwa Sang Buddha dan rombongan sedang menuju ke Kapilavatthu. Beliau memerintahkan agar disiapkan tempat untuk rombongan yang akan tiba. Tempat itu terletak di luar kota dan dikenal dengan nama Nigrodharama (hutan pohon beringin).
Waktu rombongan tiba, Raja Suddhodana berikut pengiring dengan disertai penduduk Kapilavatthu, berduyun-duyun datang ke Nigrodharama.
Mengenai peristiwa penting dan menarik ini, yaitu bertemunya kembali Raja Suddhodana dengan anaknya dapat dituturkan sebagai berikut (Mhvu. III, 114-121).
Waktu rombongan mendekati Nigrodharama, Sang Buddha merenung, “Bangsa Sakya terkenal sebagai bangsa yang tinggi hati. Kalau Aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat duduk-Ku, mereka mungkin akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, ‘Sungguh keterlaluan yang dilakukan Pangeran yang telah meninggalkan tahta, menjadi pertapa dan sekarang telah memperoleh Penerangan Agung dan mengaku sebagai Raja Dhamma, Ia duduk saja dan tidak berdiri untuk menyambut kedatangan ayah-Nya yang sudah tua dan sangat dihormati oleh seluruh rakyat Sakya.’ Tetapi tidak ada makhluk atau kelompok makhluk yang kepalanya tidak dibelah tujuh, kalau sekiranya Sang Tathagata bangun untuk menghormatnya. Lebih baik Aku terbang setinggi orang dewasa dan berjalan-jalan di udara.”
Kemudian Sang Buddha terbang ke udara dan berjalan-jalan setinggi orang dewasa. Dari kejauhan, Raja dapat melihat anaknya sedang berjalan-jalan di udara dan merasa sangat kagum. Tiba di pinggir hutan Nigrodharama, Raja turun dari keretanya dan bersama-sama dengan pengiringnya berjalan kaki menuju ke tempat tinggal Sang Buddha. Sang Buddha yang sedang berjalan-jalan di udara setinggi orang dewasa naik lebih tinggi sedikit dan berdiri setinggi pohon palem, sehingga dapat dilihat oleh segenap yang hadir.
Pada waktu itulah Sang Buddha mempertontonkan kekuatan gaib-Nya yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha, yaitu Yamakapatihariya atau Mukjizat Ganda. Api berkobar-kobar di badan sebelah atas dan air dingin melalui lima ratus pancaran turun dari badan sebelah bawah. Setelah itu air memancar dari sebelah atas badan dan api berkobar-kobar dari badan sebelah bawah.
Yang hadir bersorak-sorak gembira melihat kemukjizatan tersebut. Waktu itu hadir juga Yasodhara yang menuntun Mahapajapati. Mahapajapati matanya buta karena sedih dan terlalu banyak menangis sewaktu Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dan pergi bertapa di hutan Uruvela.
Mahapajapati mendengar hadirin bersorak-sorak, tetapi karena tidak dapat melihat, maka semua peristiwa yang terjadi harus diceritakan oleh Yasodhara. Yasodhara merasa terharu sekali melihat keadaan Mahapajapati. Dengan penuh kesujudan, Yasodhara menampung dengan kedua tangannya air yang keluar dari badan Sang Buddha sewaktu melakukan Mukjizat Ganda. Dengan air itu Yasodhara membasahi dan mencuci mata Mahapajapati berulang kali disertai doa semoga air itu dapat mengembalikan penglihatan Mahapajapati.
Satu mukjizat telah terjadi. Sedikit demi sedikit Mahapajapati dapat melihat kembali sehingga penglihatannya pulih seluruhnya. Sekarang Mahapajapati dapat menyaksikan sendiri peristiwa yang membuat para hadirin bersorak-sorak, sehingga membuat hatinya gembira sekali.
Setelah melakukan Mukjizat Ganda, Sang Buddha kemudian menghilang. Tiba-tiba di udara muncul seekor banteng besar dengan tengkuk yang bergetar-getar lari dari arah Timur dan lenyap disebelah Barat, kemudian lari dari arah Barat dan lenyap di sebelah Timur.
Kemudian muncul lagi dan lari dari arah Utara dan lenyap di sebelah Selatan, selanjutnya lari dari sebelah Selatan dan lenyap di sebelah Utara.
Setelah pemandangan yang di atas lenyap sama sekali, kemudian Sang Buddha terlihat duduk dengan tenang di tempat duduk-Nya.
Hilang sudah keragu-raguan dan sekarang semua hadirin yakin bahwa Pangeran Siddhattha sesungguhnya telah menjadi Buddha.
Kemudian mereka semua berlutut memberi hormat kepada Sang Buddha. Dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada, Raja Suddhodana menghampiri anaknya dan berkata, “Ini adalah untuk ketiga kalinya aku menundukkan kepalaku di bawah kakimu, oh Yang Maha Tahu, pertama kali waktu seorang pertapa meramalkan bahwa anakku kelak akan menjadi Buddha, kedua kali waktu aku lihat anakku bermeditasi di bawah Pohon jambu dan ini untuk yang ketiga kalinya.
Kemudian menuruti bisikan hatinya, Raja Suddhodana menanyakan apakah sekarang Sang Buddha baik-baik saja. “Dulu anakku selalu memakai sandal terbuat dari kain wol halus yang berjalan di atas permadani yang empuk dan dipayungi dengan payung putih. Tetapi sekarang kaki anakku yang halus dan berwarna tembaga serta penuh garis-garis ajaib itu harus berjalan di atas rumput kasar, duri, dan batu kerikil. Apakah kaki anakku tidak pernah merasa sakit?”
Sang Buddha menjawab,
“Aku adalah Sang Penakluk, Yang Maha Tahu, tak ternoda oleh kekotoran-kekotoran batin di dunia ini. Aku telah melepaskan diri dari semua benda dan telah terbebas dengan musnahnya nafsu-nafsu keinginan. Orang seperti Aku tak dapat lagi diganggu oleh perasaan enak dan tidak enak.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu para pelayan tiap hari memandikan dan menggosok-gosok badan anakku dengan minyak kayu cendana yang baunya harum semerbak. Tetapi sekarang anakku mengembara di waktu malam yang dingin dari satu hutan ke hutan yang lain. Sekarang siapakah yang memandikan anakku dengan air bersih dan menyegarkan apabila anakku merasa lelah?”
Sang Buddha menjawab,
“Oh, Baginda, murni adalah arus air yang datang dari pantai kebajikan yang tak ternoda dan dipujikan oleh para bijaksana. Dengan mandi dan menyelam dalam air dewata itulah Aku telah tiba di pantai seberang.
Raja Suddhodana berkata,
“Sewaktu anakku masih memakai kain buatan Benares dan memakai baju bersih yang berbau wangi bunga teratai dan cempaka, anakku adalah orang yang paling bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit. Tetapi sekarang anakku memakai pakaian dari kain kasar yang terbuat dari serat kayu merah. Sungguh aneh anakku berbuat seperti ini.”
Sang Buddha menjawab,
“Para Penakluk, oh Baginda, tidak menghiraukan pakaian, tempat tidur atau makanan, dan juga para Penakluk tidak menghiraukan apakah yang diterimanya menyenangkan atau tidak menyenangkan.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, kereta yang mahal dan bergemerlapan dengan emas dan tembaga selalu tersedia untuk dipakai dan kemana pun anakku pergi selalu ikut serta sebuah payung putih, sebuah pusaka, sebatang pedang, dan sebuah lambang kerajaan. Lagipula Kanthaka, kuda yang terkenal paling bagus dan paling cepat di seluruh negeri selalu menyertai anakku. Meskipun hingga kini masih tersedia kereta, kereta perang, kuda dan gajah, namun anakku lebih senang berjalan kaki dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Coba katakan, apakah anakku tidak lelah?”
Sang Buddha menjawab,
“Kekuatan gaib adalah kereta-Ku. Ketetapan hati, kebijaksanaan dan pikiran yang terpusat adalah sais-Ku. Padhana yang terdiri atas Sanvara (pengekangan diri dari nafsu-nafsu), Pahana (melenyapkan kekotoran batin), Bhavana. (melaksanakan meditasi) dan Anurakkhana (menjaga watak sendiri) adalah kuda-kuda-Ku. Seorang diri Aku mengembara ke tempat-tempat yang jauh.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu anakku makan dari piring perak dan minum dari mangkuk emas. Selalu tersedia makanan yang lezat-lezat dengan bumbu yang terpilih, sebagaimana layaknya disajikan kepada seorang raja. Tetapi sekarang anakku dengan tanpa perasaan muak, makan hidangan asin atau tidak asin, kasar atau lembut, dengan bumbu atau tanpa bumbu. Sungguh aneh anakku berbuat hal seperti itu.”
Sang Buddha menjawab,
“Seperti juga Buddha-Buddha dari zaman dulu dan Buddha-Buddha di zaman yang akan datang, maka Aku, Sang Tathagata, makan yang lembut dan kasar, yang pakai bumbu atau yang tidak pakai bumbu dengan pikiran yang terkendali guna kepentingan dunia ini.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, anakku tidur di dipan tinggi yang dilapisi kulit kambing hutan dengan bantal yang empuk dilapisi sutra halus. Kaki dipan terbuat dari emas dan dibalut dengan untaian bunga yang harum semerbak, sedang lantai ditutup dengan permadani yang terbuat dari bahan wol dan kapas. Sekarang anakku memakai rumput dan daun-daunan sebagai kasur dan tidur di atas tanah yang kasar dan berbatu. Dan rupanya anakku menyukainya. Apakah tubuh Yang Maha Bijaksana tidak merasa sakit?”
Sang Buddha menjawab,
“Oh, Baginda, orang seperti Aku tidak akan tidur dengan tidak nyenyak. Semua duka cita dan kesedihan telah Kutinggalkan. Dengan terbebas dari duka cita dan kesedihan, Aku selalu menjaga batin-Ku agar selalu berbelas-kasih kepada semua makhluk.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, anakku tinggal di istana yang kamarnya (di lantai atas) menyerupai tempat kediaman para dewa dan diterangi oleh sekumpulan kunang-kunang, dengan dilengkapi jendela putar yang serasi, dimana pelayan wanita yang memakai perhiasan dan kalungan bunga menunggu dengan sabar kata-kata yang akan keluar dari mulut Tuannya.”
Sang Buddha menjawab,
“Sekarang, oh Baginda, di tempat ini pun yang dihuni oleh manusia terdapat para Brahma dan Dewa Agung yang senantiasa mengikuti petunjuk-petunjuk-Ku dan lagi pula Aku dapat pergi kemana pun yang Kukehendaki.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, diiringi musik yang merdu, para penyanyi selalu menyanyikan lagu-lagu yang anakku senangi. Dan anakku adalah orang yang bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana Dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit.”
Sang Buddha menjawab,
“Aku sekarang menyanyikan lagu dengan khotbah dan pembabaran Dhamma dan terbebas karena memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi. Aku sekarang bercahaya di antara bhikkhu-bhikkhu seperti Brahma di antara dewa-dewa di langit.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, oh Yang Maha Kuat, di istana, kamar anakku yang menyerupai tempat kediaman para dewa, selalu dijaga oleh pengawal bersenjata yang mahir menggunakan pedang. Tetapi sekarang, di hutan anakku seorang diri berada di tengah-tengah teriakan burung hantu dan jeritan anjing-anjing hutan, dimana pada malam hari binatang buas berkeliaran mencari mangsa. Apakah anakku tidak takut? Coba terangkan hal ini kepadaku.”
Sang Buddha menjawab,
“Meskipun semua gerombolan Yakka datang bersama gajah-gajah liar yang mengarungi hutan belantara, tetapi makhluk-makhluk itu tidak akan mengganggu walaupun selembar rambut-Ku karena Aku telah menyingkirkan semua perasaan takut. Justru karena tanpa perasaan takut itulah Aku menang dan berhasil keluar dari lingkaran tumimbal lahir.
Seorang diri Aku berkelana, seorang pertapa yang selalu waspada dan tidak tergoyahkan oleh celaan atau pujian, seperti seekor singa tidak takut kepada suara, seperti angin tidak dapat dijerat oleh jala.
Karena itu, oh Baginda, bagaimana Anda dapat katakan bahwa Sang Penakluk, Pemimpin yang tidak dipimpin oleh siapa pun, dapat merasa takut?”
Raja Suddhodana kembali bertanya,
“Sebenarnya seluruh dunia bisa menjadi tanah milikmu dan seribu orang anak dapat pula menjadi milikmu, kalau saja anakku tidak melepaskan tujuh rupa pusaka (lambang seorang Raja) dan menjadi seorang pertapa.”
Sang Buddha menjawab,
“Sekarang pun seluruh dunia masih tetap menjadi milik-Ku dan Aku tetap masih memiliki ribuan orang anak. Lagipula sekarang Aku memiliki Delapan Mustika yang tidak ada bandingannya di dunia ini.”
Selesai percakapan ini, Raja Suddhodana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna.
Karena tidak mendapat undangan makan di istana, maka keesokan harinya Sang Buddha bersama-sama dengan pengikutNya memasuki kota Kapilavatthu untuk mengumpulkan makanan. Penduduk kota Kapilavatthu menjadi heboh sekali. Memang sering mereka lihat seorang pertapa atau Brahmana berjalan berkeliling mengumpulkan makanan dari penduduk, tetapi baru sekarang ini mereka menyaksikan seorang dari kasta Khattiya, putra dari seorang Raja yang masih memerintah, berjalan keliling mengumpulkan makanan.
Hal ini segera diberitahukan kepada Raja Suddhodana dan Raja menjadi terkejut dan malu sekali. Dengan tergesa-gesa Raja keluar dari istana dan pergi menemui Sang Buddha.
Raja Suddhodana kemudian menegur,
“Mengapakah anakku melakukan perbuatan yang sangat memalukan ini? Mengapa anakku tidak datang saja ke istana untuk mengambil makanan? Apakah pantas seorang putra Raja minta-minta makanan di kota, tempat dulu ia sering mondar-mandir dengan menggunakan kereta emas? Mengapa anakku membuat malu ayah seperti ini?”
“Aku tidak membuat ayah malu, oh Baginda. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan kami.” jawab Sang Buddha dengan tenang.
“Apa? kebiasaan kita? Bagaimana mungkin?! Tidak pernah seorang anggota keluarga kita minta-minta makanan seperti ini. Dan anakku mengatakan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan kita?”
“Oh, Baginda, memang ini bukan merupakann kebiasaan seorang anggota keluarga kerajaan, tetapi ini adalah kebiasaan para Buddha. Semua Buddha di zaman dulu hidup dengan jalan mengumpulkan makanan dari para penduduk.”
Setelah Raja Suddhodana tetap mendesak agar Sang Buddha beserta pengikut-Nya mengambil makanana di istana, maka pergilah Sang Buddha beserta rombongan menuju ke istana

HARI-HARI TERAKHIR

Maha Parinibbana Suttanta (D.II-16)

CULLAVAGGA XI
(Vin. II; B.D.V)

Ayasma Maha Kassapa bercerita kepada para bhikkhu :
“Pada suatu waktu aku bersama-sama dengan kira-kira lima ratus bhikkhu sedang berada dalam perjalanan dari Pava menuju Kusinara. Kemudian aku berhenti di pinggir jalan dan mencari tempat duduk di bawah pohon yang rindang.”
Pada waktu itu lewat di depanku seorang pertapa “tak berpakaian” dengan membawa bunga Pohon Karang, yaitu semacam bunga yang hanya dapat ditemukan, bila terjadi peristiwa penting. Lalu aku menyapa pertapa tersebut, “Apakah Anda kenal Guru kami?” Ia menjawab, “Benar, aku mengenal Guru Anda, tetapi Beliau telah mangkat seminggu yang lalu. Oleh karena itulah aku dapat memperoleh bunga Mandarava (Pohon Karang) ini.”
Mendengar berita tersebut, maka para bhikkhu yang masih belum terbebas dari hawa nafsu, mengangkat tangan mereka dan menangis tersedu-sedu; beberapa orang lagi berguling-gulingan di atas tanah dan menangis sambil meratap, “Terlalu cepat Sang Bhagava memasuki parinibbana! Terlalu cepat Yang Terbahagia memasuki parinibbana! Terlalu cepat Sang Mata Dunia lenyap dari pandangan kami!”
Tetapi para bhikkhu yang telah terbebas dari hawa nafsu, dengan penuh kesadaran dan pikiran terpusat, merenung, “Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Mana mungkin hal ini tak akan terjadi?”
Tetapi aku berkata, “Cukup, Avuso, janganlah bersedih, janganlah meratap! Bukankah sejak semula Sang Bhagava menerangkan bahwa segala sesuatu yang disenangi dan dicintai suatu ketika pasti akan berubah dan akan berpisah darimu? Apa yang timbul karena suatu sebab, menjadi seorang makhluk, terdiri dari paduan unsur-unsur dan dikodratkan akan lapuk, bagaimana engkau masih menginginkan, ‘Semoga itu tak akan berubah dan hancur kembali!”
Pada waktu itu hadir pula seorang bhikkhu bernama Subhadda, yang telah ditahbiskan pada usia lanjut. Subhadda kemudian turut bicara, “Cukup, Avuso, janganlah bersedih, janganlah meratap! Sekarang kita telah terbebas dari Pertapa Tua itu. Sudah terlalu lama, Avuso, kita telah dikekang oleh Beliau dengan mengatakan, ‘Ini boleh kamu lakukan, itu tidak boleh kamu lakukan!’ Sekarang kita dapat berbuat sesuka hati kita dan kita tidak usah melakukan hal-hal yang kita tidak senangi.”
Lalu aku berkata, “Mari, Avuso, kita akan membacakan Dhamma dan Vinaya, sebelum apa yang “bukan Dhamma” mendapat angin dan berkembang, dan Dhamma akan terdesak; sebelum apa yang “bukan Vinaya” mendapat angin dan berkembang, dan Vinaya akan terdesak; sebelum mereka yang berbicara tentang yang “bukan Dhamma” menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Dhamma menjadi lemah; sebelum mereka yang berbicara tentang yang “bukan Vinaya” menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Vinaya menjadi lemah.”
Kemudian dijawab, “Kalau demikian halnya, harap Bhante memilih bhikkhu-bhikkhu yang akan membacakannya.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa memilih 499 orang bhikkhu, yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat.
Setelah itu seorang bhikkhu berkata, “Bhante, meskipun Bhikkhu Ananda masih seorang siswa, tetapi ia sudah tidak mungkin lagi melakukan hal-hal yang salah karena dorongan keinginan rendah, kebencian, nafsu-nafsu yang menggelapkan batin dan ketakutan. Selain itu Bhikkhu Ananda memahami Dhamma dan Vinaya dengan seksama di bawah asuhan langsung Sang Bhagava. Karena itu aku mengusulkan agar Bhikkhu Ananda pun diikutsertakan.” Dengan demikian Bhikkhu Ananda pun terpilih.
Setelah itu timbul pertanyaan, “Di manakah akan diadakan pembacaan Dhamma dan Vinaya?”
Kemudian diusulkan oleh beberapa orang bhikkhu “Di Rajagaha terdapat banyak umat yang bersedia memberikan makanan dan tempat penginapan pun jumlahnya berlebih-lebihan. Bagaimana kalau waktu bervassa di Rajagaha kita membacakan Dhamma dan Vinaya, dan bhikkhu-bhikkhu lain selama vassa (musim hujan), tidak diperkenankan untuk berada di Rajagaha?”
Ayasma Maha Kassapa lalu berkata kepada Sangha, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik maka Sangha dapat memberi persetujuan agar kelima ratus bhikkhu ini membacakan Dhamma dan Vinaya pada waktu mereka bervassa di Rajagaha. Dan selama vassa itu jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha.
Inilah usulku. Para Bhante yang terhormat, Sangha sedang mempertimbangkan untuk menyetujui kelima ratus bhikkhu ini membicarakan Dhamma dan Vinaya sewaktu mereka bervassa di Rajagaha. Kalau sekiranya Sangha menyetujui, pada waktu kelima ratus bhikkhu tersebut membacakan Dhamma dan Vinaya di Rajagaha agar jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha. Kalau Sangha menyetujuinya, maka aku harap Sangha diam dan kepada mereka yang berkeberatan aku persilakan untuk bicara.
Kelima ratus bhikkhu tersebut, oleh Sangha telah disetujui untuk membacakan Dhamma dan Vinaya sewaktu mereka bervassa di Rajagaha dan juga telah disetujui agar jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha, karena tidak ada yang bicara.
Begitulah apa yang kumengerti.”
Kemudian kelima ratus bhikkhu tersebut berangkat menuju Rajagaha untuk membacakan Dhamma dan Vinaya.
Setibanya di Rajagaha mereka melihat banyak kayu-kayu yang patah serta lapuk di tempat mereka menginap. Mereka berpikir, “Memperbaiki bagian-bagian bangunan yang patah serta lapuk dipujikan oleh Sang Bhagava. Mari, selama bulan pertama kita akan memperbaiki bagian-bagian yang patah serta lapuk dan kemudian baru membacakan Dhamma dan Vinaya.
Kemudian di bulan pertama mereka sibuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak dan mengganti kayu-kayu yang patah serta lapuk dengan yang baik.
Besok akan dimulai pembacaan Dhamma dan Vinaya.
Bhikkhu Ananda sedang merenung, “Besok kita akan berkumpul. Sebenarnya, sebagai seorang siswa, aku tidak layak menghadiri pertemuan itu.” Setelah itu Bhikkhu Ananda giat melatih meditasi dengan obyek badan jasmaninya sampai larut malam. Dan setelah merasa amat letih, Bhikkhu Ananda ingin membaringkan dirinya di atas kasur. Ia lalu memiringkan tubuhnya, tetapi sebelum kepalanya menyentuh kasur dan kakinya sudah terangkat dari tanah, pada saat itu dengan tiba-tiba batinnya telah bersih dari kekotoran batin dan Bhikkhu Ananda mencapai tingkat Arahat. Kemudian pertemuan dibuka oleh Ayasma Maha Kassapa, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Upali mengenai Vinaya.”
Lalu dijawab oleh Bhikkhu Upali, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya,

“Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang pertama?”
“Di Vesali, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai Bhikkhu Sudinna dari Desa Kalandaka.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang hubungan kelamin.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat; selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran.

“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang kedua?”
“Di Rajagaha, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai Bhikkhu Dhaniya, anak seorang pembuat jambangan tanah.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang mengambil sesuatu yang tidak diberikan.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat, …

“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang ketiga?”
“Di Vesali, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai beberapa bhikkhu.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang manusia.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dam tentang orang-orangnya yang terlibat,…

“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang keempat?”
“Di Vesali, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai bhikkhu-bhikkhu dari tepi Sungai Vaggumuda.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang mereka yang menggunakan tipu muslihat dengan mengaku mencapai tingkat kesucian atau memiliki kekuatan-kekuatan gaib.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat, selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran.
Setelah itu ditanyakan tentang peraturan-peraturan yang lain baik yang berlaku untuk para bhikkhu maupun yang berlaku untuk para bhikkhuni. Semua pertanyaan dijawab oleh Bhikkhu Upali dengan terang dan jelas.
Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Ananda mengenai Dhamma.”
Lalu dijawab oleh Bhikkhu Ananda, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Dhamma yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya,
“Bhikkhu Ananda, di manakah Brahmajala-sutta disabdakan?”
“Bhante, di tempat peristirahatan Raja di Ambalatthika antara Rajagaha dan Nalanda.”
“Dengan siapa?”
“Dengan pertapa Suppiya dan seorang Brahmin muda bernama Brahmadatta.”
“Mengenai persoalan apa?”
“Mengenai apa yang terpuji dan apa yang tidak terpuji.”
Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya.
“Dan di manakah Samaññaphala-sutta disabdakan, Bhikkhu Ananda?”
“Di Rajagaha, Bhante, di taman mangga Jivaka.”
“Dengan siapa?”
“Dengan Ajatasattu, putra dari Videhi.”
Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya.
Setelah itu Bhikkhu Ananda ditanya tentang lima Nikaya yang semuanya dijawab dengan terang dan jelas.
Kemudian Bhikkhu Ananda memberitahukan para hadirin, “Para Bhante yang terhormat, pada waktu Sang Bhagava hendak mencapai parinibbana, Beliau telah meninggalkan pesan, “Setelah Aku mangkat, Ananda, kalau dikehendaki oleh Sangha, maka peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting dapat ditiadakan.”
“Tetapi apakah ditanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting?”
“Tidak, Bhante, aku tidak menanyakan apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting.”
Ada hadirin yang mengatakan,
“Selain 4 (empat) peraturan Parajika, semua yang lain termasuk peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada pula yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika dan 13 peraturan Sanghadisesa, semua peraturan yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada lagi yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa dan 2 peraturan Aniyata, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada pula yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa, 2 peraturan Aniyata dan 30 peraturan Nissagiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada lagi yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika …..dan 92 peraturan Pacittiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada juga yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika …..dan 4 peraturan Patidesaniya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata,
“Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku katakan. Tata tertib para bhikkhu ada juga yang berhubungan dengan umat dan umat pun mengetahui mengenai hal tersebut.
Mereka tahu bahwa ini “diperbolehkan” dan itu pasti “tidak diperbolehkan” untuk para pertapa, putra-putra Sakya.
Kalau kita menghapuskan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting, mungkin diantara mereka ada yang berkata, “Pada waktu Buddha Gotama masih hidup, Beliau telah menetapkan tata tertib untuk murid-murid-Nya. Sewaktu Buddha Gotama masih hidup, memang mereka melatih diri dalam tata tertib tersebut, tetapi setelah Buddha Gotama mencapai parinibbana mereka tidak lagi melatih diri dalam tata tertib tersebut.
Kalau Sangha menganggap baik, maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Inilah usulku.
Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan.
Kalau para Bhante setuju dengan tidak menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan dan segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan, maka Sangha harap diam. Kalau ada yang tidak setuju, diharap bicara.
Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan.
Karena Sangha diam, maka Sangha telah setuju.
Begitulah apa yang kumengerti.”
Kemudian para Thera berkata kepada Bhikkhu Ananda “Bhikkhu Ananda, ini merupakan suatu pelanggaran, karena Anda telah lalai untuk menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Para Bhante yang terhormat, karena kurang waspada aku tidak menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil yang kurang penting. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatan kepada para Bhante, aku mengaku melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah Anda menginjaknya terlebih dulu. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Para Bhante yang terhormat, bukan karena rasa kurang hormat aku telah menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah dengan tidak disengaja menginjaknya. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku kepada para Bhante, aku mengakui telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda mengizinkan para wanita memberi penghormat terlebih dulu terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingga air mata mereka mengotori jenazah Sang Bhagava. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Para Bhante yang terhormat, karena aku pikir, lebih baik aku memberikan waktu terlebih dulu kepada para wanita untuk memberi penghormatan terakhir terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingga mereka nanti tidak berada dalam waktu yang tidak tepat (kalau para Thera telah berkumpul).
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena meskipun diberi isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang jelas dapat diraba maksudnya, Anda telah lalai untuk memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan untuk hidup terus sampai satu kappa, semoga Sang Sugata berkenan untuk hidup terus demi kesejahteraan orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi welas asih-Nya terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.”
Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.
“Para Bhante yang terhormat, karena pada saat itu pikiranku tergoda oleh Mara, maka aku telah lalai tidak memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan ……demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.”
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni.
Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak baik.”
“Para Bhante yang terhormat, aku telah melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni oleh karena aku pikir, “Maha Pajapati adalah bibi Sang Bhagava, ibu tiri-Nya, yang merawat-Nya, yang memberikan air susunya sendiri kepada bayi Siddhattha setelah ibu-Nya meninggal dunia.
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak baik.”
Beberapa waktu setelah pembacaan Dhamma dan Vinaya selesai, Bhikkhu Ananda menghadap para Thera dan berkata : “Pada waktu Sang Bhagava hendak memasuki parinibbana, Beliau juga telah meninggalkan pesan, “Ananda, bila Sang Tathagata sudah tidak ada lagi, Sangha harus melaksanakan hukuman berat (brahmadanda) terhadap Bhikkhu Channa.”
“Tetapi, Bhikkhu Ananda, apakah Anda menanyakan apa yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”
“Aku telah menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan hukuman berat itu. Beliau mengatakan, “Ananda, Bhikkhu Channa boleh mengatakan apa saja yang ia suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak boleh bicara dengannya, tidak boleh menasehatinya dan tidak boleh memberi petunjuk kepadanya.”
“Kalau demikian halnya, laksanakanlah hukuman berat itu terhadap Bhikkhu Channa.”
“Tetapi para Bhante yang terhormat, bagaimana mungkin aku dapat melaksanakan hukuman berat tersebut kepada Bhikkhu Channa karena Bhikkhu Channa orangnya kuat dan kekar badannya.”
“Kalau begitu, Bhikkhu Ananda, pergilah bersama dengan lima ratus bhikkhu lain.”
“Baiklah, Bhante,” jawab Bhikkhu Ananda.
Kemudian berangkatlah Bhikkhu Ananda dengan lima ratus bhikkhu lain. Berselang beberapa hari tibalah mereka di Kosambi, tidak jauh dari taman hiburan Raja Udena.
Di taman itu Raja Udena sedang bersenang-senang dengan para selirnya. Kemudian para selir mendengar bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman tersebut dan sedang beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Mereka lalu memohon kepada Raja Udena, “Paduka Tuan, telah dikabarkan bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman dan sekarang sedang beristirahat di bawah sebuah pohon rindang.
“Perkenankanlah kami menemui Guru Ananda.”
“Pergilah kamu menemui Guru Ananda.”
Pergilah para selir Raja Udena menemui Bhikkhu Ananda. Setelah bertemu, mereka memberi hormat dan mengambil tempat duduk. Bhikkhu Ananda kemudian memberikan wejangan tentang Dhamma yang membuat hati para selir menjadi tenang, gembira dan bahagia. Para selir yang telah tenang hatinya, gembira dan bahagia lalu memberikan lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda dan kemudian mereka kembali ke taman Raja Udena.
Setelah tiba di sana, mereka ditanya oleh Raja Udena, “Apakah kamu telah bertemu dengan Guru Ananda?”
“Kami telah bertemu dengan Guru Ananda.”
“Apakah kamu memberikan sesuatu kepada Guru Ananda?”
“Kami telah memberikan lima ratus pakaian dalam kepada Guru Ananda.”
Mendengar itu, Raja Udena merasa kecewa dan mengecam Bhikkhu Ananda,
“Bagaimana mungkin pertapa Ananda menerima sekian banyak baju dalam.
Apakah pertapa Ananda ingin berdagang pakaian atau apakah ia ingin menawarkannya untuk dijual di toko?”
Setelah itu Raja Udena sendiri pergi menemui Bhikkhu Ananda dan setelah memberi hormat sebagaimana layaknya lalu mengambil tempat duduk.
Raja Udena kemudian bertanya,
“Bhante, apakah para selirku tadi telah datang kemari?”
“Benar, Paduka Tuan.”
“Apakah mereka memberikan sesuatu kepada Bhante?”
“Mereka memberikan lima ratus pakaian dalam kepadaku.”
“Tetapi, apakah yang Bhante ingin lakukan dengan lima ratus pakaian dalam itu?”
“Aku akan membagi-bagikannya kepada para bhikkhu yang jubahnya telah tipis.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah bekas dari para bhikkhu tersebut?”
“Kami akan memakainya sebagai jubah luar.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah luar yang bekas pakai itu?”
“Kami akan menggunakan jubah-jubah bekas itu untuk membuat penutup kasur.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan tutup kasur yang lama?”
“Kami akan memakainya untuk penutup lantai.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penutup lantai yang lama?”
“Kami akan membuat penyeka-penyeka kaki.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penyeka kaki yang lama?”
“Kami akan membuat kain-kain untuk menyeka debu.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan kain penyeka debu yang lama?”
“Setelah mencabik-cabiknya dan mengaduknya dengan tanah fiat, kami akan gunakan untuk memplester lantai.”
Setelah itu Raja Udena berpikir, “Pertapa-pertapa, putra-putra Sakya, memakai segala sesuatu dengan cara yang teratur, hemat dan tidak boros.”
Maka oleh karena itu, ia memberikan lagi lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda. Inilah untuk pertama kali Bhikkhu Ananda mendapat hadiah seribu potong baju dalam.
Setelah itu bhikkhu Ananda pergi ke Vihara Ghosita.
Di tempat itu Bhikkhu Channa, yang setelah memberi hormat sebagaimana layaknya, mempersilakan Bhikkhu Ananda mengambil tempat duduk.
Pada waktu itulah Bhikkhu Ananda memberitahukan Bhikkhu Channa, “Bhikkhu Channa, Sangha telah menjatuhkan hukuman berat terhadap diri Anda.”
“Tetapi, Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”
“Bhikkhu Channa, Anda boleh mengatakan apa saja yang Anda suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak diperkenankan untuk bicara kepada Anda, tidak diperkenankan untuk menasehati Anda dan tidak diperkenankan untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Anda.”
Bhikkhu Channa lalu menjawab,
“Bhante, hancurlah sudah aku ini, tidak ada bhikkhu yang boleh bicara kepadaku, tidak ada bhikkhu yang boleh memberi nasehat kepadaku dan tidak ada bhikkhu yang boleh memberi petunjuk kepadaku.”
Kemudian ia jatuh pingsan di tempat itu.
Setelah siuman, karena merasa malu, cemas dan muak dikenakan hukuman berat, Bhikkhu Channa lalu pergi mencari tempat yang sunyi. Di tempat itulah ia kemudian dengan giat, tekun dan dengan semangat yang menyala-nyala melatih diri, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama ia mencapai tingkat Arahat “Hancurlah tumimbal lahir, hidup suci telah dilaksanakan, telah dilakukan apa yang harus dilakukan dan tidak ada lagi yang tersisa.”
Dengan demikian Bhikkhu Channa menjadi Arahat.
Setelah itu Bhikkhu Channa mencari Bhikkhu Ananda dan setelah bertemu, Bhikkhu Channa lalu berkata, “Bhante yang terhormat, sekarang cabutlah kembali hukuman berat terhadap diriku.”
Dijawab oleh Bhikkhu Ananda,
“Bhikkhu Channa, pada saat Anda mencapai tingkat Arahat, pada saat itu pulalah hukuman berat terhadap diri Anda telah dicabut kembali.” (Bhikkhu Channa yang dimaksud di sini ialah bekas kusir dari Pangeran Siddhattha Gotama).

Tahun 543 SM, pada usia 80 tahun, setelah 45 tahun membabarkan Dharma, Buddha pun wafat (Parinibbana). Buddha wafat dengan berbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara pada hari purnama bulan Waisak. Guru para dewa dan manusia yang tiada taranya telah pergi. sebelum wafat, Buddha menyampaikan pesan terakhir-Nya kepada kita semua : ``Teruslah berjuang dengan penuh kesadaran ! ( Appamadena Sampadetha )


Di antara golongan yang belakangan ialah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Dia dan orang-orang yang sependapat mengakui, bahwa ketika Yesus tiba di India, mungkin pada waktu itu para pendeta Buddha mereka mengira al-Masih itu seperti kemunculan Buddha baru. Gelar Yesus dan ajarannya menyerupai Buddha, dan dia berkulit putih bersih, sebagaimana Buddha Gautama menyatakan bahwa penggantinya nanti pasti akan begitu.{{cn}}


==Yesus==
==Yesus==
Baris 66: Baris 805:
! Buddha || Yesus
! Buddha || Yesus
|-
|-
| Buddha diperanakkan dari anak dara Maya, yaitu yang mengandung tidak dengan bersuami{{cn}} (meskipun sudah menikah 20 tahun tanpa dapat mempunyai anak){{cn}}.|| Yesus diperanakkan dari anak dara [[Maria]], yaitu yang mengandung tidak dengan bersuami (dan belum pernah menikah).<ref name="Luk1">[[Lukas 1]]</ref>
| Pangeran Siddharta adalah anak sulung dari Raja Suddhodana dan Ratu Mahamaya {{cn}}.|| Yesus diperanakkan dari anak dara [[Maria]], yaitu yang mengandung tidak dengan bersuami (dan belum pernah menikah).<ref name="Luk1">[[Lukas 1]]</ref>
|-
| Buddha itu menjelma kepada anak dara Maya, sebab turun kekuasaan Tuhan yang disebut Roh Suci{{cn}}.|| Yesus itu menjelma ke dalam rahim anak dara Maria, sebab turun kekuasaan Tuhan yang disebut [[Roh Kudus]].<ref name="Luk1"/>
|-
| Berita tentang kelahiran Buddha itu disiarkan beritanya dari atas langit oleh suatu asterim nampak naik ditepi langit{{cn}}. Asterim itulah disebut Bintang Utusan{{cn}}.||[[Kelahiran Yesus]] itu ditandai dengan munculnya bintang yang nampak bergerak di langit. Bintang itu disebut [[Bintang Natal]].<ref name="Mat2">[[Matius 2]]</ref>
|-
| Buddha anak Maya{{cn}}, seorang anak dara yang dituruni Roh Suci{{cn}}, diperanakkan pada hari Natal{{cn}}.|| Yesus anak Maria, seorang anak dara yang dituruni [[Roh Kudus]], dianggap diperanakkan pada hari [[Natal]].<ref>[[Kelahiran Yesus]] diperingati pada hari [[Natal]], meskipun tidak diketahui jelas pada tanggal berapa Ia dilahirkan dan diduga bukan dalam bulan-bulan musim dingin ([[Desember]] maupun [[Januari]]).</ref>
|-
| Ketika Buddha diperanakkan, maka kemuliaan Tuhan kelihatan bercahaya berkeliling dia{{cn}}. Dewa-dewa dari surga dan di atas bumi bernyanyi dan memuji kepada ‘yang diberkati’, katanya: Ini hari Buddhisatwa datang di muka bumi, hendak memberi kesenangan{{cn}} dan keselamatan kepada manusia dan dewa, hendak melimpahkan terang pada tempat-tempat yang kegelapan{{cn}} dan memberi penerangan kepada siapa yang buta.||Ketika Yesus diperanakkan, maka kemuliaan Tuhan kelihatan bercahaya di luar tempat kelahiran-Nya. Beberapa Malaikat balatentara dari surga bernyanyi dan memuji kepada ‘yang diberkati’, katanya: Hormat bagi Allah di tempat tinggi, selamat di atas bumi! Manusia disenangi!<ref name="Luk2">[[Lukas 2]]</ref>
|-
| Buddha lahir sebagai seorang pangeran putra mahkota (di sebuah taman), pewaris tahta ayahnya||Yesus lahir sebagai seorang yang berhak menjadi raja Israel, karena catatan silsilahnya menunjukkan Ia berada dalam garis keturunan raja-raja Israel dari raja Daud,<ref name="Mat1">[[Matius 1]]</ref> meskipun Ia lahir di palungan (tempat makanan ternak).<ref name="Luk2"/>
|-
| Buddha didatangi oleh seorang alim, yaitu orang yang mengetahui beberapa sifat keTuhanan ada pada kanak-kanak itu{{cn}}, dan belum selang satu hari maka ia disambut sebagai Tuhan segala Tuhan{{cn}}.||Belum selang satu hari setelah lahir, Yesus disambut sebagai "Mesias, anak Daud".<ref name="Luk2"/> Yesus disunat menurut hukum Yahudi ketika berusia 8 tahun. Dan setelah berusia 40 hari, Yesus bertemu dengan 2 orang saleh yang mengetahui beberapa sifat ke-Tuhanan yang ada pada kanak-kanak itu.<ref name="Luk2"/> Setelah itu Yesus didatangi oleh orang-orang alim ([[orang-orang Majus dari Timur]]) yang menyembah-Nya sebagai raja.<ref name="Mat2"/>
|-
| Kanak-kanak Buddha itu diberi hadiah persembahan barang peremasan dan permata yang berharga{{cn}}.||Kanak-kanak Yesus itu diberi hadiah persembahan berupa emas, kemenyan, dan mur oleh orang-orang Majus dari Timur.<ref name="Mat2"/>
|-
| Ketika Buddha masih kanak-kanak ia berkata kepada ibunya{{cn}}: ‘Aku inilah yang terbesar di antara manusia semua’.||Ketika Yesus masih akan menjelma ke dalam rahim Maria, malaikat mengatakan kepada Maria bahwa "Namanya adalah Yesus dan Dia akan disebut anak Allah".<ref name="Luk1"/>
|-
| Setelah melahirkan, 7 hari kemudian, Maya ibunya, mati||Maria, yang melahirkan Yesus masih hidup setelah Yesus bangkit dari kematian dan naik ke langit.<ref>[[Kisah Para Rasul 1]]</ref>
|-
| Buddha adalah seorang anak yang ditakuti{{cn}}. Hidupnya terancam oleh raja Bimbasara yang diberitahukan supaya membunuh anak itu sebab ia dapat mengalahkan dia kelak{{cn}}.||Yesus adalah seorang anak yang ditakuti keberadaan-Nya oleh musuh-musuh-Nya. Hidupnya terancam oleh raja [[Herodes Agung|Herodes]], yang berdaya upaya membunuh anak itu sebab takut Yesus akan dapat mengalahkannya kelak.<ref name="Mat2"/>
|-
| Ketika Buddha pergi sekolah gurunya heran melihat dia. Dalam ujian ia melebihi segala temannya, baik dalam ilmu menulis, baik ilmu berhitung, ilmu wiskunde dan wijsger, astrologi, meetkunde dan lain-lain. Ilmu ilmu itu semuanya diperdapat dengan tidak dipelajari|| Ketika Yesus dibawa ke [[Bait Allah]], guru-guru-Nya heran melihat Dia.<ref name="Luk2"/> <!--"bukan dalam Injil: Zakheus gurunya berkata kepada Yusuf: Apa sebab kamu bawa anak ini kepadaku supaya aku ajar, sedang ia lebih pandai dari padaku.-->
|-
| Ketika Buddha berumur dua belas tahun ia hadir di dalam rumah tuhan{{cn}}. Ia menerangkan beberapa hal yang tegas dan mengemukakan beberapa pertanyaan yang sukar. Ia mengalahkan pembicaraan orang yang berlawanan dengan dia{{cn}}.|| Setelah umur Yesus dua belas tahun, Yusuf dan Maria membawa Yesus ke Bait Allah di Yerusalem. Ia duduk dalam rumah Allah di tengah-tengah para imam yang mendengarkan perkataan-Nya dan Ia bersoal jawab dengan mereka.<ref name="Luk2"/>
|-
| Maka sejarah Buddha Gautama itu jika diturunkan dari pihak Sadhodana, bapaknya, sampai kepada Maha Sammata{{cn}}, yaitu Raja yang pertama-tama di dunia, semuanya adaalah turunan raja-raja dan pihak yang berkemuliaan. Beberapa nama dalam daftar sejarah itu dan beberapa kejadian adalah tersurat dalam kitab-kitab Brahmana{{cn}}. Akan tetapi tidak mudah hendak disesuaikan antara satu dengan yang lain{{cn}}. Rupanya nampak bahwa golongan ahli riwayat Buddha telah memasukkan nama-nama dan suku bangsa dari pihak yang berkemuliaan kedalam sejarah Gurunya supaya menambah sifat keTuhanannya{{cn}}.||Maka sejarah Yesus itu jika diturut dari pihak Yusuf, bapaknya, sampai kepada nabi Adam, orang pertama di dunia. Sebagian leluhurnya, dari keturunan [[Daud]] adalah keturunan raja-raja dan pihak yang berkemuliaan. Beberapa nama dalam daftar sejarah itu dan beberapa kejadian adalah tersurat dalam [[Alkitab Ibrani]] yang dipakai orang [[Yahudi]] ([[Perjanjian Lama]]), dan [[silsilah Yesus]] dapat diperiksa oleh lawan-lawan-Nya.<ref name="Mat1"/><ref>[[Lukas 3]]</ref>
|-
| Buddha berkata: Sembunyikanlah pekerjaanmu yang baik dan patutlah kamu mengakui dan memperlihatkan dosamu kepada dunia{{cn}}.||Pengajaran Yesus kepada manusia, hendaklah manusia merahasiakan amalnya yang baik, sebaiknya patutlah manusia mengakui mengakui dosanya dan bertobat.<ref>[[Matius 6]]</ref>
|-
| Mara mencoba Buddha sambil katanya: Dangan kamu lanjutkan merasuk kehidupan secara agama, maka dalam tujuh hari kamu akan menjadi raja memerintah segala dunia{{cn}}.||Setan menunjukkan kepada Yesus segala kerajaan dunia sambil katanya: Sekalian ini kuberikan kepadamu kelak, jika engkau sujud menyembah aku.<ref name="Mat4">[[Matius 4]]; [[Lukas 4]]</ref>
|-
| Buddha tidak memperdulikan perkataan orang jahat itu sambil berkata kepadanya: Enyahlah kamu daripadaku{{cn}}.||Yesus tidak memperdulikan perkataan Iblis dan Ia berkata kepadanya: Enyahlah kamu, hai setan, dari pada-Ku.<ref name="Mat4"/>
|-
| Setelah Mara meninggalkan Buddha, maka turunlah hujan bunga dari langit dan bau yang harum ditiup angin{{cn}}.||Setelah setan mengundurkan diri dari padanya, maka datanglah beberapa malaikat melayani Yesus.<ref name="Mat4"/>
|-
| Buddha berpuasa dalam waktu lama{{cn}}.||Yesus berpuasa hingga empat puluh hari dan empat puluh malam lamanya sebelum dicobai Iblis.<ref name="Mat4"/>
|-
| Bayi Buddha (Juru Selamat){{cn}} dimandikan dan tersebutlah bahwa Roh Tuhan hadir dalam air mandi suci itu{{cn}}. Artinya, tidak hanya tuhan yang mahatinggi saja ada di situ, tetapi Roh Suci pun ada sertanya, yaitu Roh yang menyanyi sebab Buddha menjelma pada tubuh anak dara Maya{{cn}}.||[[Pembaptisan Yesus|Yesus dibaptiskan]] (dimasukkan ke dalam air) pada usia sekitar 30 tahun oleh [[Yohanes Pembaptis]] dalam [[sungai Yordan]]. Pada saat ke luar dari air [[Roh Allah]] turun ke atas Yesus dalam rupa burung merpati dan terdengar suara dari surga yang mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah.<ref>[[Matius 3]]</ref>
|-
| Pada suatu ketika, kira-kira dekat pada akhir hidupnya di dunia, tiba-tiba Buddha Gautama berubah rupa mukanya{{cn}}. Sementara ia di atas gunung di negeri Silon, datanglah terang jatuh kepadanya dan bernyala mengelilingi kepalanya{{cn}}. Rupanya seperti bulatan dari pada terang{{cn}}. Gunung itu disebut Pendawa, artinya ‘yang berupa putih-kuing’. Maka tersebutlah bahwa kemuliaan diri Gautama nampak dua kali ganda kuatnya dan dirinya terlihat sebagai arca keemasan yang gilang gemilang rupanya, sebagai terang matahari dan bulan. Pada waktu itu segala orang yang hadir berkata, bahwa Gautama itu bukan seorang manusia biasa atau seorang manusia belaka{{cn}}. Dan pada ketika itu diri Buddha terbagi menjadi tiga bagian, pada masing-masing bagian bernyala terang yang bercahaya{{cn}}.||Pada suatu ketika, [[Transfigurasi Kristus|Yesus berubah rupa muka dan pakaiannya]]: ‘Maka oleh Yesus dibawanya sertanya akan Petrus dan Yohanes dan Yakobus lalu naik ke atas sebuah gunung. Maka sementara ia meminta doa berubahlah rupa mukanya dan pakaiannya putihlah gilang-gemilang."<ref>[[Matius 17|Injil Matius 17:1-12]], atau di [[Markus 9|Injil Markus 9: 2-13]] atau di [[Lukas 9|Injil Lukas 9: 28-36]].</ref>
|-
| Buddha memperbuat beberapa mukjizat yang besar-besar untuk kebaikan manusia. Dongeng-dongeng yang berhubungan dengan kehidupannya penuh dengan mukjizat yang luar biasa dan mengherankan itu{{cn}}.||Yesus membuat [[Mukjizat Yesus|banyak mukjizat]] yang luarbiasa untuk kebaikan manusia (menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, memberi makan ribuan orang dan sebagainya). Catatan kehidupannya ([[Injil]]) berisi berbagai mukjizat yang luar biasa dan mengherankan itu.
|-
|-
| Ketika BODHISATTVA (Pangeran Siddharta) lahir bumi berguncang ringan dan BODHISATTVA ( Pangeran Siddharta )berjalan tujuh langkah dan teratai tumbuh di setiap jejak-Nya dan berkata `` Inilah kelahiran-Ku yang terakhir. Tak ada lagi kelahiran bagi-Ku`` .||[[Kelahiran Yesus]] itu ditandai dengan munculnya bintang yang nampak bergerak di langit. Bintang itu disebut [[Bintang Natal]].<ref name="Mat2">[[Matius 2]]</ref>
| Buddha berkata: Biarlah dosa dunia ini semua tertimpa atas diriku{{cn}}, supaya dunia dapat tertolong{{cn}}.|| Yesus adalah menjadi Juru selamat bagi manusia sedunia; segala dosa dunia biarlah tertimpa kiranya atas dirinya, supaya dunia mendapat keselamatan.
|-
|-
| Buddha anak Ratu Mahamaya{{cn}}, lahir pada hari purnama bulan Waisak {{cn}.|| Yesus anak Maria, seorang anak dara yang dituruni [[Roh Kudus]], dianggap diperanakkan pada hari [[Natal]].<ref>[[Kelahiran Yesus]] diperingati pada hari [[Natal]], meskipun tidak diketahui jelas pada tanggal berapa Ia dilahirkan dan diduga bukan dalam bulan-bulan musim dingin ([[Desember]] maupun [[Januari]]).</ref>
| Buddha dibayangkan sebagai sebuah badan dari pada terang{{cn}}, yang dimusuhi oleh Mara artau Naga{{cn}}, yaitu suatu kekuatan gelap{{cn}} atau ‘Ular yang berdosa’{{cn}}.||Yesus menyatakan diri "bintang fajar" yang mengalahkan ‘Ular tua’, yakni setan-setan atau musuh dan lawan.<ref>{{Alkitab|Wahyu 22}}</ref>
|-
|-
| Buddha lahir sebagai seorang pangeran putra mahkota (di taman Lumbini ), pewaris tahta ayahnya||Yesus lahir sebagai seorang yang berhak menjadi raja Israel, karena catatan silsilahnya menunjukkan Ia berada dalam garis keturunan raja-raja Israel dari raja Daud,<ref name="Mat1">[[Matius 1]]</ref> meskipun Ia lahir di palungan (tempat makanan ternak).<ref name="Luk2"/>
| Buddha datang tidak hendak merombak syariat{{cn}}, melainkan hendak menggenapinya{{cn}}. Ia suka mengumpamakan dirinya sendiri sebagai suatu mata rantai dalam suatu ikatan rantai panjang antara guru-guru yang mendapat ilham{{cn}}.||Yesus datang tidak hendak merombak syariat, melainkan hendak menggenapinya: ‘Aku datang tidak hendak merombak torat, melainkan akan menggenapinya', bahkan mati menanggung dosa manusia yang melanggar hukum Torat itu, dan merupakan penggenapan nubuat nabi-nabi.
|-
|-
| Petapa Asita meramal bahwa Pangeran Siddharta meninggalkan kerajaan, Ia akan menjadi Buddha. Jika Ia memerintah kerajaan maka Ia akan menjadi pemimpin dunia{{cn}}.||Belum selang satu hari setelah lahir, Yesus disambut sebagai "Mesias, anak Daud".<ref name="Luk2"/> Yesus disunat menurut hukum Yahudi ketika berusia 8 tahun. Dan setelah berusia 40 hari, Yesus bertemu dengan 2 orang saleh yang mengetahui beberapa sifat ke-Tuhanan yang ada pada kanak-kanak itu.<ref name="Luk2"/> Setelah itu Yesus didatangi oleh orang-orang alim ([[orang-orang Majus dari Timur]]) yang menyembah-Nya sebagai raja.<ref name="Mat2"/>
| Pada suatu hari berjumpalah Ananda, sahabat Buddha{{cn}} dengan Matangi, seorang perempuan yang berderajat rendah bangsa Candala pada sebuah telaga. Sementara itu iapun meminta sedikit air kepada perempuan itu. Maka perempuan itu menyatakan kepadanya bahwa ia dalah seorang perempuan dari derajat rendah, maka ia tidak boleh dekat-dekat dengan Ananda.||Pada suatu hari, setelah Yesus melakukan perjalanan jauh, datanglah Ia ke daerah Samaria. Maka karena Ia letih berjalan, duduklah ia di dekat sebuah sumur. Datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air, lalu Yesus berkata kepadanya: ‘Berilah aku minum’. Maka sahut perempuan Samaria itu kepadanya: ‘Bagaimana hal ini, tuan seorang Yahudi minta minum kepada saya seorang perempuan Samaria, karena orang Yahudi tidak beramah tamah dengan orang Samaria’.<ref>[[Yohanes 4]]</ref>
|-
|-
| Setelah melahirkan, 7 hari kemudian, Ratu Mahamaya ibunya Pangeran Siddharta, meninggal dan terlahir di Surga Tusita. Pangeran Siddharta di asuh oleh bibi nya Mahapajapati ||Maria, yang melahirkan Yesus masih hidup setelah Yesus bangkit dari kematian dan naik ke langit.<ref>[[Kisah Para Rasul 1]]</ref>
| Buddha berkata: Maka maksud segala perbuatanku adalah hendak melakukan belas kasihan kepada sesama manusia{{cn}}.||Yesus berkata: ‘Kasihlah akan seterumu dan mintakanlah berkat atas segala orang yang mengutuki kamu dan buatlah baik kepada segala orang yang benci kepadamu’.
|-
|-
| Pangeran Siddharta pada masa kanak-kanak dapat menguasai semua pelajaran yang di beri gurunya dalam waktu singkat || Ketika Yesus dibawa ke [[Bait Allah]], guru-guru-Nya heran melihat Dia.<ref name="Luk2"/> <!--"bukan dalam Injil: Zakheus gurunya berkata kepada Yusuf: Apa sebab kamu bawa anak ini kepadaku supaya aku ajar, sedang ia lebih pandai dari padaku.-->
| Pada ketika Buddha mula-mula menjadi Guru, pergilah ia kenegeri Benares dan diucapkannya suatu kotbah. Oleh karena kotbahnya itu, datanglah Kedanaya dan empat orang yang lain yang kemudian diajaknya menjadi sahabat{{cn}}. Maka sejak itu banyaklah orang mengikut dia dan dimana saja Buddha membuka pengajaran{{cn}}.||Pada ketika Yesus mula-mula menjadi Guru, pergilah ia ke Kapernaum dan diucapkannya di sana suatu kotbah. Pada saat itu sejumlah nelayan diajaknya masuk menjadi pengikut-pengikut-Nya. Maka sejak itu, di tempat mana Yesus mengajar orang banyak datang percaya kepada-Nya.
|-
|-
| Petapa Gautama bermeditasi di bawah pohon Bodhi di tepi sungai Nerajara. Ia bertekat: ``Walaupun tubuh, daging dan darah-Ku mengering Aku tak akan bangkit dari tempat ini sampai Aku mencapai Pencerahan!`` Mara dan pasukannya berusaha menggalkan takat Petapa Gautama . Mereka menyerang-Nya dengan berbagai cara, namun Petapa Gautama tak terluka sedikit pun. Akhirnya, Mara pun dikalahkan{{cn}}.||Setan menunjukkan kepada Yesus segala kerajaan dunia sambil katanya: Sekalian ini kuberikan kepadamu kelak, jika engkau sujud menyembah aku.<ref name="Mat4">[[Matius 4]]; [[Lukas 4]]</ref>
| Barang siapa menjadi sahabat Buddha wajiblah ia meninggalkan cara hidup duniawinya, kekayaannya, dan berjanji senantiasa hidup dalam kemiskinan{{cn}}.|| Barang siapa menjadi sahabat Yesus, wajiblah ia meninggalkan cara hidup duniawinya, kekayaannya, dan berjanji senantiasa hidup mengikut ajaran Yesus untuk menolong orang lain.
|-
|-
| Selama enam tahun Petapa Gautama menyiksa diri, tetap belum juga berhasil mencapai tujuan {{cn}}.||Yesus berpuasa hingga empat puluh hari dan empat puluh malam lamanya sebelum dicobai Iblis.<ref name="Mat4"/>
| Tertulis dalam ‘Kitab Suci Buddha’, bahwa orang banyak meminta tanda kepada Buddha supaya mereka percaya kepadanya{{cn}}.||Tertulis dalam [[Perjanjian Baru]], bahwa orang banyak meminta tanda kepada Yesus supaya mereka dapat percaya kepadanya.
|-
|-
| Buddha mengajarkan Dhamma atas welas asih dan kasih sayang kepada semua makhluk {{cn}}.||Yesus berkata: ‘Kasihlah akan seterumu dan mintakanlah berkat atas segala orang yang mengutuki kamu dan buatlah baik kepada segala orang yang benci kepadamu’.
| Apabila Buddha sudah hampir mangkat, maka dikatakannyalah suatu nubuat tentang sesuatu yang hendak datang kelak, katanya: Hai Ananda, jika kelak aku sudah pergi, janganlah kamu menduga bahwa Buddha sudah tidak ada lagi; segala perkataan yang sudah kuajarkan dan segala perintahkuy hendaknya menjadi suatu pusaka bagimu dan kamu pandang akan dia sebagai Buddha{{cn}}.||Apabila Yesus sudah hampir kepada mangkat, maka dikatakannya suatu nubuat tentang masa yang akan datang, katanya: "Baptiskanlah mereka itu demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus dan ajarkan kepada mereka itu menurut segala sesuatu yang telah kupesan kepadamu. Bahwa sesungguhnya adalah Aku serta dengan kamu pada sedia kala hingga kepada kesudahan alam ini.
|-
|-
|Pada saat Purnama Sidhi dibulan Asadha, setelah mempertimbangkan permohonan dari Dewa Brahma Sahampati, Sang Buddha bersedia memberikan dan membabarkan Dharma dan Pengetahuan Sempurna yang Beliau dapatkan. Roda Dhamma di putar dan dibabarkan kepada Pancavagiya Bhikkhu, yaitu Kondanna, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji. Dengan bersedianya Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma dengan demikian Roda Dhamma telah di putar pada saat itu; dan Para Dewa di seluruh alam semesta sangat bersuka cita dan menyerukan `` Inilah Roda Dhamma telah di putar untuk pertama kalinya oleh Sang Buddha di Taman Rusa Isipatana`` ; dan dalam sekejap suara berkumandang hingga menembus ke alam Brahma dan mengakibatkan 10.000 tingkat alam serentak berguncang. {{cn}}.||Pada ketika Yesus mula-mula menjadi Guru, pergilah ia ke Kapernaum dan diucapkannya di sana suatu kotbah. Pada saat itu sejumlah nelayan diajaknya masuk menjadi pengikut-pengikut-Nya. Maka sejak itu, di tempat mana Yesus mengajar orang banyak datang percaya kepada-Nya.
|-.....
| Di dalam kitab Sumadewa tersebut seperti berikut: ‘membuangkan saegala kekayaan kita adalah suatu kebajikan yang amat sukar dijalankan dalam dunia ini. Barang siapa membuangkan kekayaannya, maka adalah ia seperti membuangkan jiwanya, sebab jiwa kita seakan-akan terikat pada kekayaan itu. Akan tetapi apabila hati Buddha datang pada belas kasihan, maka iapun membuangkan jiwanya seperti dibuangkannya rumput dari padanya. Apakah perlunya kita memikir-mikirkan kekayaan yang tak berguna itu! Oleh karena kebajikan yang mulia itu, ketika diri Buddha telah terlepas dari segala nafsu keduniaan dan oleh karenanya ia memperoleh ilmu keTuhanan, maka sejak itu mencapai derajat Buddha. Oleh karena itu patutlah orang yang berbudi apabila ia dapat melepaskan diri dari segala nafsu kenduniaan maka ia lalu berbuat kebaikan bagi segala mahluk sekalipun misalnya perlu ia mengurbankan jiwanya supaya ia dapat memperoleh ilmu yang nyata{{cn}}.||Maka datanglah seorang kepadanya seraya berkata: Ya rabi yang baik, apakah yang patut hyamba perbuat, supaya hamba merwarisi hidup yang kekal? Yesus berkata kepadanya: Jika kamu ingin menjadi sempurna, juallah segala milikmu, bagi-bagikanlah kepada orang miskin; nmaka kamu akan beroleh suatu mata benda dalam surga, lalu mari, ikutlah aku, karena lebih mudah seekor unta masuk lobang jarum dari pada seorang berharta atau beruang masuk surga. Maka janganlah kamu kumpulkan harta benda akan dirimu di atas bumi, yaitu di tempat ngengat dan karat membinasakan dia dan pencuri menetas atau mencuri. Melainkan himpunkanlah harta benda akan dirimu dalam surga, yaitu di tempat yang tidak ada ngengat dan karat membinasakan dia dan tidak juga pencuri menetas atau mencuri.
| Di dalam kitab Sumadewa tersebut seperti berikut: ‘membuangkan saegala kekayaan kita adalah suatu kebajikan yang amat sukar dijalankan dalam dunia ini. Barang siapa membuangkan kekayaannya, maka adalah ia seperti membuangkan jiwanya, sebab jiwa kita seakan-akan terikat pada kekayaan itu. Akan tetapi apabila hati Buddha datang pada belas kasihan, maka iapun membuangkan jiwanya seperti dibuangkannya rumput dari padanya. Apakah perlunya kita memikir-mikirkan kekayaan yang tak berguna itu! Oleh karena kebajikan yang mulia itu, ketika diri Buddha telah terlepas dari segala nafsu keduniaan dan oleh karenanya ia memperoleh ilmu keTuhanan, maka sejak itu mencapai derajat Buddha. Oleh karena itu patutlah orang yang berbudi apabila ia dapat melepaskan diri dari segala nafsu kenduniaan maka ia lalu berbuat kebaikan bagi segala mahluk sekalipun misalnya perlu ia mengurbankan jiwanya supaya ia dapat memperoleh ilmu yang nyata{{cn}}.||Maka datanglah seorang kepadanya seraya berkata: Ya rabi yang baik, apakah yang patut hyamba perbuat, supaya hamba merwarisi hidup yang kekal? Yesus berkata kepadanya: Jika kamu ingin menjadi sempurna, juallah segala milikmu, bagi-bagikanlah kepada orang miskin; nmaka kamu akan beroleh suatu mata benda dalam surga, lalu mari, ikutlah aku, karena lebih mudah seekor unta masuk lobang jarum dari pada seorang berharta atau beruang masuk surga. Maka janganlah kamu kumpulkan harta benda akan dirimu di atas bumi, yaitu di tempat ngengat dan karat membinasakan dia dan pencuri menetas atau mencuri. Melainkan himpunkanlah harta benda akan dirimu dalam surga, yaitu di tempat yang tidak ada ngengat dan karat membinasakan dia dan tidak juga pencuri menetas atau mencuri.
|-
|-

Revisi per 20 Juli 2013 12.31

Christ et Buddha (1880) karya Paul Ranson

Sejumlah orang[siapa?] melihat persamaan antara Buddha dan Yesus baik dalam riwayat hidup maupun pengajaran agama masing-masing. Hal ini menimbulkan munculnya pernyataan bahwa ajaran Kristen berasal dari ajaran Buddha serta Yesus pernah mempelajari Buddha Dharma bahkan pernah tinggal di Wihara Buddha.[butuh rujukan]

Latar Belakang

Pada abad ke-19, sebuah tema yang mengundang perhatian besar sejumlah pemikir. Mereka membicarakan tahun-tahun yang hilang dari Yesus, yaitu masa yang tidak disebutkan dalam kitab-kitab Injil, ketika Ia berusia antara 12 sampai 30 tahun. Ada yang berspekulasi bahwa saat itu Dia pergi ke India, mengambil ide-ide Buddhisme.[1]

Pada tahun 1897, di Jerman muncul satu buku yang berjudul: “Vergleichende Ubersicht der vier Evangelien” (Studi perbandingan empat Injil) oleh S.E. Verus.[2] Verus mencatat pendapat bahwa sejumlah catatan Alkitab mengenai kehidupan Yesus berisi banyak sekali persamaannya dengan kehidupan Buddha seperti yang diyakini oleh para pengikutnya saat itu.

Buddha

Ratu Mahāmāyā, ratu utama dari Raja Suddhodana – raja dari kerajaan suku Sākya, yang sedang mengandung dengan usia kehamilannya sudah mencapai sepuluh bulan, melakukan perjalanan dari Kapilavatthu (Sanskerta: Kapilavastu) menuju Devadaha, kota tempat tinggal ayahnya, Raja Añjana – raja dari kerajaan suku Koliyā, untuk melakukan persalinan di sana.

Saat itu, hari bulan purnama, di bulan Vesākha (baca: Wesakha)[1], tahun 563 Sebelum Era Umum (secara tradisional tahun 623 S.E.U) atau tahun 80 Sebelum Era Buddhis (S.E.B).

Dalam perjalanan tersebut, Ratu Mahāmāyā yang juga dikenal dengan nama Māyādevī, bersama rombongan kerajaan melewati Taman Limbini, sebuah hutan pohon sāla (Latin: Shorea robusta) – tempat wisata yang terletak di antara Kapilavatthu dan Devadaha, di India Utara (sekarang Nepal Selatan). Saat itu semua pohon sāla di hutan tersebut sedang berbunga dari bawah pohon hingga pucuknya. Melihat keindahan taman tersebut Ratu Mahāmāyā memutuskan untuk beristirahat dan berjalan-jalan di dalamnya.

Ketika Sang Ratu berjalan-jalan melihat Taman Lumbini, ia menghampiri sebatang dahan pohon sāla yang merunduk dengan bunga yang sedang merekah. Pada saat berdiri dan memegang dahan pohon sāla ia merasakan tanda-tanda kelahiran dan para pelayannya segera membentuk lingkaran dan menutupi area tersebut dengan tirai. Demikianlah, dengan posisi berdiri dan berpegangan pada dahan pohon sāla tersebut Ratu Mahāmāyā melahirkan seorang pangeran, Sang Bodhisatta (Calon Buddha).

Pada hari yang sama, lahir pula: Putri Yasodharā yang kelak menjadi isteri Sang Pangeran, Pangeran Ānanda yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha, Channa (Sanskerta: Chandaka) yang kelak menjadi kusir Sang Pangeran, Kanthaka yang kelak menjadi kuda Sang Pangeran, Menteri Kaludayi yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Pohon Pippala atau disebut Pohon Bodhi (Latin: Ficus Religiosa), dan munculnya empat jambangan harta (Pali: Nidhikumbhi).

Setelah melahirkan, Ratu Mahāmāyā dengan membawa Sang Pangeran kembali ke Kota Kapilavatthu diiringi oleh para penduduk dari kedua kota, Kapilavatthu dan Devadaha.Kelahiran Sang Pangeran membawa kebahagiaan bagi seluruh kerajaan termasuk seorang petapa bernama Asita yang dikenal juga sebagai Kāladevala yang merupakan guru pribadi raja. Petapa Asita segera berkunjung ke istana Raja Suddhodana di ibu kota Kapilavatthu untuk melihat pangeran kecil tersebut.

Ketika Petapa Asita telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang Manusia Agung (Mahāpurisa) pada bayi tersebut, ia memberikan penghormatan kepada-Nya. Melihat sang guru kerajaan yang seharusnya mendapatkan penghormatan dari seluruh rakyat kerajaan termasuk raja, tetapi justru memberi penghormatan kepada Sang Pangeran, Raja pun turut memberi penghormatan kepada putranya.

Setelah itu Petapa Asita tertawa gembira karena bahagia sebab Pangeran kelak akan menjadi seorang Buddha. Tetapi kemudian ia menangis karena bersedih sebab usianya yang sudah tua membuat ia tidak bisa menunggu bayi tersebut dewasa hingga menjadi seorang Buddha dan membabarkan ajaran-Nya. Lima hari setelah Sang Pangeran lahir, Raja Suddhodana mengadakan upacara pembasuhan kepala dan pemberian nama, sesuai dengan tradisi India kuno, dengan mengundang para brahmana (brahmin) terpelajar dan terkemuka. Di antara 108 brahmana yang diundang terdapat delapan brahmana yang terkemuka.

Setelah melihat tanda-tanda kebesaran pada tubuh Pangeran, tujuh di antara mereka yaitu Rāma, Dhaja, Lakkhanā, Jotimanta (Jotimantī), Subhoja (Bhoja), Suyāma, dan Sudatta memprediksikan dua kemungkinan yaitu bahwa Pangeran akan menjadi seorang Raja Dunia atau akan menjadi seorang Buddha jika Ia meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi petapa.

Tetapi Kondañña (Yañña), salah satu dari kedelapan brahmana itu, dan yang paling muda, menyatakan dengan memastikan bahwa hanya ada satu kemungkinan yaitu Pangeran akan menjadi seorang Buddha. Pernyataan Kondañña ini akhirnya diterima oleh semua brahmana.

Para brahmana terpelajar tersebut juga memberitahu raja bahwa sang pangeran akan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi petapa setelah ia melihat empat penampakan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan petapa.

Setelah itu, para brahmana memberi-Nya nama Siddhattha (Sanskerta: Siddhartha) yang berarti “yang akan mencapai tujuannya”, dan dengan nama keluarga Gotama (Sanskerta: Gautama).

Pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhattha , Ratu Mahāmāyā wafat, dan adiknya Mahāpajāpatī Gotamī yang juga isteri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Mahāmāyā sebagai ratu sekaligus ibu bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Mahāpajāpatī Gotamī melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari Nanda (Rupananda).

Mahāpajāpatī Gotamī merawat Pangeran Siddhattha seperti merawat putranya sendiri, Pangeran Nanda. Pangeran Nanda sendiri lahir beberapa hari setelah Pangeran Siddhattha lahir.

Setelah Ratu Mahāmāyā wafat, ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Māyādevaputta (Santusita) di surga Tusita .

Tiba waktunya bagi Kota Kapilavatthu mengadakan perayaan musim tahunan yang disebut dengan Perayaan Bajak Tanah. Raja Suddhodana mengajak pergi Pangeran Siddhattha yang telah berusia beberapa tahun ke perayaan tersebut. Dan Raja pun turut membajak bersama-sama dengan para petani.

Pada saat perayaan yang berlangsung meriah, para pengasuh yang ditugaskan untuk menjaga Pangeran merasa sangat tertarik dengan jalannya perayaan tersebut. Mereka ingin menyaksikannya dan akhirnya meninggalkan Pangeran di bawah bayangan pohon jambul (Latin: Eugenia Jambolana). Dan pada saat itu suasana di sekitar pohon jambul tesebut menjadi tenang dan sepi sehingga sesuai untuk meditasi. Pangeran kecil pun duduk bersila dan melakukan meditasi dengan konsentrasi memperhatikan masuk-keluarnya nafas (Pali: ānāpāna bhāvanā).

Ketika para pengasuh kembali, mereka merasa heran sekali melihat Pangeran sedang bermeditasi, dan dengan cepat mereka melaporkannya kepada Raja. Raja dengan diiringi oleh para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Dan mereka pun menemukan Pangeran sedang duduk bermeditasi dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang yang datang memperhatikannya. Hal itu terjadi karena pada saat itu Pangeran berada dalam keadaan Jhāna, yaitu keadaan dimana kesadaran sedang berkonsentrasi secara penuh. Melihat hal itu Raja memberi hormat untuk kedua kalinya kepada putranya tersebut.

Semasa kecil, Pangeran Siddhattha hidup dalam kemewahan dan dirawat oleh para pengasuh sebaik mungkin. Seluruh pengiring-Nya muda-muda, berpenampilan menarik, cantik, tampan, dan berbadan lengkap. Jika ada yang sakit, maka orang itu tidak diijinkan tinggal di istana dan akan digantikan oleh orang lain. Sang pangeran di kenakan beraneka ragam perhiasan, kalung bunga, minyak wangi dan pernak-pernik yang semerbak. Tutup kepala, jubah, dan mantel-Nya seluruhnya didatangkan dari Negara Kasi. Untuk menyenangkan hati Pangeran Siddhattha, Raja Suddhodana membuatkannya tiga kolam teratai di istananya, yaitu Kolam Uppala dengan teratai birunya, Kolam Paduma dengan teratai merahnya, dan Kolam Puṇḍarīka dengan teratai putihnya.

Ketika Pangeran Siddhattha berusia tujuh tahun, Ia mulai menjalani pendidikan-Nya. Kedelapan brahmana terkemuka, yang dahulu diundang raja untuk meramalkan masa depan pangeran, menjadi guru-guru-Nya yang pertama. Setelah guru-guru tersebut mengajarkan semua pengetahuannya kepada pangeran, Raja Suddhodana mengutus-Nya untuk berguru kepada guru lain bernama Sabbamitta. Brahmana Sabbamitta yang tinggal di daerah Udicca, berasal dari keturunan terkemuka dan ahli dalam bahasa dan tata bahasa, serta fasih dalam Kitab Veda dan keenam Vedāṅga yang terdiri dari ilmu fonetik (śikṣā), upacara keagamaan (kalpa), tata bahasa (vyākaraṇa), ilmu tafsir kata (nirukta), ilmu metrum persajakan (chandas), dan ilmu perbintangan (jyotiṣa).

Sang Pangeran mampu mempelajari semua mata pelajaran yang Ia terima dari guru-Nya, termasuk ilmu kemiliteran, bela diri seperti tinju, gulat, anggar, dan berkuda. Ia adalah siswa yang terpandai dan terbaik dalam segala hal bahkan menjadi lebih pandai dari guru-guru-Nya. Ia adalah siswa yang paling bijak dan satu-satunya yang banyak bertanya kepada para guru dan kakak seperguruan-Nya. Ia juga anak yang terkuat, tertinggi, dan tertampan di kelas. Meskipun Pangeran Siddhattha adalah siswa yang terpandai, Ia tidak pernah lalai dalam bersikap santun dan memberikan penghormatan yang sepantasnya terhadap guru-guru-Nya.

Sang Pangeran tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Ketika Ia sedang tidak ada pekerjaan, Ia akan menyendiri di tempat yang tenang dan berlatih meditasi. Dan meskipun Ia juga terlatih dalam seni memanah dan dalam pemakaian senjata, tetapi Ia tidak suka melukai makhluk lain. Ia juga menghindari pembunuhan atau penganiayaan hewan jinak sekalipun, seperti kelinci dan kijang.

Sifat welas asih Pangeran Siddhattha tercermin dalam kehidupan sehari-hari-Nya seperti menghentikan dan menasihati seorang pelayan-Nya yang sedang memukuli seekor ular dengan tongkat.

Pada kesempatan lainnya, ketika pangeran sedang beristirahat di bawah pohon dalam waktu bermainnya bersama sahabat-sahabat-Nya dan juga sepupunya, Pangeran Devadatta, Ia tiba-tiba melihat seekor angsa jatuh dari angkasa. Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa tersebut. Dengan segera Pangeran Siddhattha menolong angsa tersebut. Pangeran Devadatta juga mengejar angsa itu, namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.

Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut. Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke mahkamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa tersebut.

Setelah diajukan ke mahkamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru, “Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!

Kekhawatiran Raja Suddhodana terhadap apa yang dikatakan oleh Petapa Asita dan terhadap ramalan Brahmana Kondanna mengenai Pangeran Siddhattha, berusaha membuat putranya tersebut merasa nyaman dan bahagia. Segala hal-hal yang buruk dijauhkan dari diri putranya termasuk hal-hal mengenai sakit, tua, mati, dan petapa. Selain itu raja juga membangun tiga buah istana untuk putranya pada setiap musimnya, yaitu Istana Ramma untuk musim dingin, Istana Suramma untuk musim panas, Istana Subha untuk musim hujan.

Pada saat itu tahun 547 S.E.U (607 S.E.U) atau tahun 64 S.E.B, Pangeran Siddhattha berusia enam belas tahun, Ia tumbuh sebagai seorang pria muda yang tampan dan perkasa. Dan perangai-Nya yang suka merenung serta welas asih-Nya yang tanpa batas semakin jelas. Hal ini sangat membuat raja khawatir dan memanggil para penasihat istana untuk menemukan jawaban agar sang pangeran tetap mewarisi singgahsananya daripada menjadi seorang Buddha. Dan akhirnya diputuskan untuk mencari gadis tercantik dan menikahkannya dengan pangeran. Kemudian Raja Suddhodana memerintahkan untuk mengirim berita kepada delapan puluh ribu kerabat Sakya-nya dan meminta mereka untuk memperkenankan putri-putri mereka untuk datang ke istana agar pangeran dapat memilih salah satunya sebagai isteri.

Berita pemilihan isteri tersebut ditanggapi negatif oleh para pangeran Sakya yang beranggapan bahwa Pangeran Siddhattha tidak memiliki kemampuan sebagai seorang ksatria dan seorang pengecut yang tidak memiliki kemampuan seni bela diri dan seni berburu untuk melindungi dan mencari nafkah keluarganya kelak. Menanggapi hal ini Raja Suddhodana merasa sangat tersinggung dan menemui putranya serta menceritakan permasalahannya. Pangeran lalu berkata bahwa Ia akan mempertunjukkan kemahiran-Nya dalam pertandingan apapun, termasuk panahan dihadapan semua pangeran dan putri Sakya.

Dalam pertandingan, Pangeran Siddhattha akhirnya dapat mengalahkan semua lawannya dalam segala pertandingan. Dengan ini para pangeran dan putri Sakya akhirnya bergembira mengetahui hasilnya, sekaligus merasa tegang siapa yang akan dipilih pangeran untuk menjadi isteri-Nya. Akhirnya pilihan Pangeran Siddhattha jatuh pada Putri Yasodharā, sepupu-Nya yang cantik, putri dari Raja Suppabuddha dari kerajaan Koliya dan Ratu Amita, saudara perempuan Raja Suddhodana.

Pada tahun 535 S.E.U (595 S.E.U) atau tahun 52 S.E.B, memasuki usia-Nya yang kedua puluh delapan tahun, Pangeran Siddhattha tidak lagi merasa senang akan segala kemewahan dan hiburan di sekeliling-Nya. Ia menjadi jenuh dan ingin melihat dunia luar. Ia merasa penasaran untuk mengetahui kehidupan rakyat dan hal-hal di luar tembok istana. Setelah mendapatkan ijin dari ayah-Nya, Ia akhirnya keluar istana ditemani oleh Channa, kusir-Nya. Orang-orang ramai berdiri di kedua sisi jalan dan menyambut-Nya dengan hangat. Semuanya terasa semarak dan indah karena telah diperintahkan oleh raja untuk menyingkirkan hal-hal yang buruk dari tempat yang akan dilalui oleh pangeran.

Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki tua melintas di sepanjang jalan tanpa sempat dicegah. Sang pangeran sangat terkejut dengan apa yang tampak oleh-Nya. Ia sangat terkesima dan tidak mengetahui apa yang tengah dilihat-Nya, dan Ia bertanya kepada kusir-Nya, Channa, apa yang telah dilihatNya itu. Channa menjelaskan bahwa itu disebut dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama lagi, dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa dicegah. Pangeran Siddhattha segera memerintahkan Channa untuk kembali ke istana karena Ia menjadi tidak bergairah lagi untuk berkeliling kota . Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya oleh apa yang dilihat-Nya. Ia berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya, ibu angkat-Nya, dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin tahu apakah ada yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.

Mendengar apa yang terjadi pada putranya, raja menjadi khawatir dan sedih. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk menambah penjaga di sekitar tempat itu dan untuk menambah pelayan wanita dan gadis penari untuk menghibur sang pangeran sepanjang waktu.

Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha sekali lagi memohon kepada ayah-Nya untuk keluar istana. Namun Ia tidak ingin kunjungannya diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk kehidupan sehari-hari rakyat-Nya. Raja Suddhodana mengijinkan-Nya dengan berat hati karena masih merasa gundah terhadap apa yang terjadi selama kunjungan pertama pangeran. Namun, karena cinta dan kasihnya kepada putranya, ia mengijinkan pangeran melakukan kunjungan untuk kedua kalinya.

Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki melihat-lihat kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan, panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya sendiri untuk mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan. Pangeran mencari sumber suara itu dan menemukan seorang lelaki yang sedang berbaring di tanah sambil memegang perutnya dan berguling-guling kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-noda hitam. Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa. Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu. Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.

Setelah mengetahui apa yang telah terjadi selama kunjungan pangeran dari Channa, Raja Suddhodana kembali menjadi sedih dan memerintahkan kembali untuk memperbanyak penjaga dan jumlah pelayan dan gadis penari.

Dengan menikmati kesenangan dan kemewahan hidup istana setelah kunjungan kedua, perasaan desakan spiritual yang dirasakan-Nya menjadi sedikit berkurang. Tetapi sekitar empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha kembali memohon untuk keluar dari istana untuk melihat kotanya kembali lebih dekat. Dengan berat hati raja pun mengijinkannya.

Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga berpakaian berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan, tampak oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai orang yang terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan bahwa orang itu telah mati, semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.

Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi tanpa seorang pun mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh hati pangeran selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha tidak lagi bergairah meneruskan kunjungan-Nya. Diiringi oleh Channa, dengan diam Ia kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk dan merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia berkata: “Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak seorang pun mampu mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini. Akan Kucari cara agar ayah, ibu, Yasodharā, dan semua kerabat-Ku yang tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan mati.”

Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa pangeran buru-buru pulang setelah melihat mayat. Mendengar hal ini raja kembali menjadi sedih. Walaupun ia telah berusaha sekuatnya untuk mencegah putranya agar tidak melihat hal-hal yang tidak menyenangkan, penampakan yang tak terduga terjadi untuk ketiga kalinya sebagaimana yang diramalkan oleh kedelapan brahmana.

Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga pemandangan yang telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke kota . Namun, karena merasa belum puas dengan apa yang telah Ia ketahui sekarang, Ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya. Sementara itu Raja Suddhodana senantiasa berusaha menyenangkan dan mengalihkan pikiran pangeran dari ketiga peristiwa tersebut. Untuk beberapa bulan, usaha raja nampak berhasil. Tetapi sifat ingin tahu dan suka merenung dari pangeran tidak mudah tergoyahkan oleh sumua hiburan yang ada dalam istana. Dan Empat bulan kemudian, Ia kembali memohon kepada ayah-Nya untuk diperkenankan keluar istana lagi untuk berwisata ke taman kerajaan dan melihat sisi lain dari kehidupan. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun putranya itu.

Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana melalui Kota Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika pangeran tengah duduk dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeran pun bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab bahwa oran itu adalah seorang petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa petapa itu. Bagi-Nya, petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal dirinya.

Setelah pangeran mendengar penjelasan prihal diri petapa tersebut, bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia menemukan jalan kebahagiaan atas dirinya, pangeran merasa bahagia dan menyadari bahwa adanya jalan sejati untuk mengatasi penderitaan hidup.

Ketika Pangeran Siddhattha masih di dalam taman dan benak-Nya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang diutus oleh Raja Suddhodana mengabarkan bahwa Putri Yasodharā telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Mendengar kabar ini, pangeran justru bersedih hati dan berujar: “Rāhu jāto, bandhanam jātam”[3] (“Sebuah ikatan telah lahir, sebuah belenggu telah muncul!”). Kelahiran putra-Nya tersebut dianggap merupakan halangan karena kecintaan-Nya kepada keluarga dan anak-Nya yang baru lahir tersebut akan menimbulkan kemelekatan yang akan merintangi niat-Nya untuk menjadi petapa, seperti yang Ia inginkan. Mengetahui apa yang diutarakan pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama cucunya tersebut dengan nama “Rāhula”, yang berarti “ikatan”.

Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja menyelenggarakan satu pesta yang besar dan meriah. Tetapi Pangeran kelihatan tidak gembira. Pangeran dengan hati-hati mendekati Raja dan mohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit, dan mati. Hal ini menimbulkan amarah Raja. Izin tidak diberikan seperti dapat kita ikuti dalam percakapan di bawah ini (dikutip dari buku Mahavastu II, halaman 141/2). “Ayah, kalau tidak diberi izin saya mohon Ayah berkenan memberikan kepadaku delapan macam anugerah.” “Tentu saja, anakku, aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan permintaanmu.” “Kalau begitu, mohon Ayah memberikan kepadaku:

Anugerah supaya tidak menjadi tua. Anugerah supaya tidak sakit. Anugerah supaya tidak mati. Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama sama dengan kerabat lain tetap hidup. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang. Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, dan mati.” Mendengar pernyataan di atas, Raja Suddhodana menjadi kaget dan kecewa. Raja menjawab bahwa hal-hal di atas itu berada di luar kemampuannya dan masih mencoba untuk membujuknya dengan mengatakan, “Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut. Tunggu saja dan tangguhkan kepergianmu sampai aku sudah mangkat.” “Ayah, relakan kepergianku justru sewaktu Ayah masih hidup. Aku berjanji bila sudah berhasil, akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat yang telah kutemukan ke hadapan Ayah.” Raja tetap tidak memberikan izinnya dan Pangeran tetap bersikeras untuk terus melaksanakan cita-citanya. Pangeran kemudian memasuki kamar Yasodhara dan memandangi anaknya dengan gembira dan terharu karena tidak lama lagi Beliau akan meninggalkannya berhubung tekadnya yang sudah bulat untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Selanjutnya Pangeran masuk ke ruangan tempat para penari sedang menari diiringi musik yang merdu. Pangeran merebahkan diri di atas bantal yang dibuat dari benang-benang emas dan karena letih, tidak lama kemudian Pangeran tertidur. Para penari menghentikan tariannya dan mereka pun ikut tidur di ruangan yang sama sambil menunggui Pangeran. Pada tengah malam, Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang siur di lantai dalam sikap yang beraneka ragam, ada yang terlentang, ada yang tengkurap, ada yang mulutnya menganga lebar, ada yang air liurnya meleleh keluar, ada yang menggulung tubuhnya sambil kepalanya terantuk-antuk di dadanya, ada yang mengigau, dan lain-lain. Pangeran merasa seperti di pekuburan dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Pemandangan ini membuat Pangeran jijik dan muak sekali, sehingga Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan istana pada malam itu juga. Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Kanthaka, kuda kesayangannya. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutupi muka Sang bayi, sehingga muka bayi tidak dapat terlihat. Pangeran semula ingin menggeser sedikit tangan istrinya tetapi hal itu diurungkan karena takut kalau hal ini menyebabkan Yasodhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran hanya berkata dalam hati, “Tidak, biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari, aku akan datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan istriku.” Setelah itu Pangeran meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka yang berbulu putih diikuti oleh Channa yang memegang buntut kuda. Seolah-olah sudah diatur terlebih dulu oleh para dewa, Pangeran Siddhattha tidak mendapat kesukaran sewaktu hendak keluar dari pintu gerbang istana dan waktu hendak keluar dari pintu tembok kota. Para pengawalnya semua sedang tidur nyenyak dan Channa dengan mudah dapat membuka pintu agar Pangeran dapat keluar dari istana dan keluar kota. Ketika itu Pangeran dicegat oleh Dewa Mara yang jahat dan membujuknya untuk kembali ke istana dan ia berjanji bahwa dalam waktu satu minggu, Pangeran akan menjadi Raja negara Sakya. Pangeran tidak menggubris bujukan Dewa Mara, yang membuat Dewa Mara menjadi marah dan mengancam akan terus membuntutinya. Setelah sampai di luar kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya). Saat itu terang bulan di bulan Asalha dan Pangeran berusia 29 tahun. Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, dan Malla, kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi Sungai Anoma. Pangeran turun dari kuda, melepas semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh Dewa Sakka dan membawanya ke surga Tavatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya). Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli (± dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi. Selanjutnya, Brahma Chatikara mempersembahkan keperluan seorang bhikkhu kepada Pangeran yang terdiri dari delapan jenis barang, yaitu: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air. Setelah menukar pakaiannya dengan jubah bhikkhu, Pangeran memerintahkan Channa untuk kembali ke istana. “Tidak ada gunanya hamba diam terus di istana tanpa Tuanku. Perkenankanlah hamba ikut Tuanku berkelana.” “Jangan Channa, bawa pakaian dan perhiasan ini kembali, berikan kepada Ayahku dan sampaikan pesanku untuk Ayah, Ibu, dan Yasodhara untuk jangan terlalu bersusah hati. Aku akan mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Segera setelah aku memperolehnya, aku kembali ke istana untuk memberikannya kepada Ayah, Ibu, Yasodhara, Rahula, dan kepada semua orang yang ada di dunia ini.” Channa memberi hormat kepada Pangeran dan bersiap-siap untuk kembali. Tetapi Kanthaka tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka, mengusap-usap dan menepuk-nepuk lehernya dengan penuh kasih sayang sambil berkata, “Ayolah, Kanthaka, ikutlah pulang dengan Channa dan jangan menunggu aku lagi.” Kanthaka ikut dengan Channa tetapi belum seberapa jauh berjalan, kuda itu berhenti dan menengok lagi ke belakang agar dapat melihat wajah Pangeran untuk terakhir kali. Kuda itu nampaknya sedih sekali dan matanya basah dengan air mata. Kembalinya Channa bersama Kanthaka (tanpa Pangeran) ke Kapilavatthu disambut oleh Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Yasodhara memeluk leher Kanthaka dan bertanya, “Oh, Kanthaka, kesalahan apakah yang telah kuperbuat terhadapmu dan Channa, sehingga engkau berdua membawa pergi Tuanku Pangeran sewaktu aku sedang tidur nyenyak?” Hal ini membuat Kanthaka sedih dan patah hati. Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Baginda Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran sekarang berada di tepi Sungai Anoma di negara Malla. Meskipun menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondañña dan mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan dimana Beliau berada.

Bertapa di Hutan Uruvela

Dari tepi Sungai Anoma, Pangeran pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari berdiam di Anupiya, Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Rajagaha ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran beristirahat untuk makan dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja Bimbisara dilaporkan tentang kedatangan seorang pertapa yang paras mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di Pandavapabbata. Raja Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa. “Mengapa Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan ayah Anda? Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan Anda setengah dari kerajaanku.” “Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orang tuaku, istriku, anakku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Karena itulah aku menjadi seorang pertapa.” “Kalau tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda berjanji untuk terlebih dulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak berhasil menemukan obat tersebut.” “Baiklah, Baginda, aku berjanji.” Dari Rajagaha, pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat tempat pertapaan Alara Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha (juga disebut Pertapa Gotama) berguru kepada Alara Kalama dan dalam waktu singkat sudah dapat menyamai kepandaian gurunya. Di tempat ini Pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal lahir. Karena merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab-musabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka Pertapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang yang dapat mengajar tentang hal tersebut. Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta, yang pada zaman itu terkenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai. Dari Uddaka-Ramaputta, Pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga mencapai keadaan “Bukan-Pencerapan Pun Bukan Bukan-Pencerapan”. Karena dalam waktu singkat Pertapa Gotama sudah memahami semua pelajaran Uddaka-Ramaputta, maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat tersebut untuk bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali. Tetapi Pertapa Gotama masih belum puas sebab ia masih belum mendapat jawaban tentang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit, dan mati. Pertapa Gotama kemudian pergi ke Senanigama di Uruvela dan di tempat inilah Pertapa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain (Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji, dan Kondañña) berlatih dalam berbagai cara penyiksaan diri. Mereka melatih diri dengan menjemur diri di terik matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam berendam di sungai untuk waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasil, maka Pertapa Gotama lalu melakukan latihan yang lebih berat lagi. Ia merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga keringat mengucur keluar dari ketiaknya. Demikian hebat sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat yang gagah perkasa memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya dan menekan dengan sekuat tenaga. Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya. Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian sedikit demi sediki menahan nafasnya sampai nafasnya tidak lagi keluar melalu hidung atau mulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis yang mengerikan keluar melalui lubang telinga. Kemudian timbul sakit yang hebat di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya. Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Selanjutnya ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengurangi makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi satu hari. Tentu saja, kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali. Kala perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna kulitnya beruba menjadi hitam dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakinya gemetaran. Seperti cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.

Pertama: Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.

Kedua: Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria tetapi batinnya masih ingin menikmatinya pasti juga tidak akan berhasil.

Ketiga: Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini pasti dapat membuat api dari kayu kering itu. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.

Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut maka Pertapa Gotama mengambil keputusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke gubuknya, Pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai. Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenaga Pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu Pertapa Gotama diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan tidak lama kemudian Pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain, sehingga dengan demikian kesehatannya pulih kembali. Namun lima orang kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali karena dengan berhenti berpuasa, Pertapa Gotama dianggap telah gagal dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Agung. Mereka meninggalkannya dan pergi ke Taman Rusa di Benares. Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk Pertapa Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang diantaranya menyanyi dengan syair sebagai berikut: “Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik terlalu kendur ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira.” Mendengar nyanyian itu, Pertapa Gotama mengangkat kepalanya dan memandang dengan heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia berkata, “Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) harus menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendur.” Di dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon dimana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon. Ia agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan, “Oh, Nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari khayangan untuk menerima langsung persembahan Nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan Nyonya.” Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah Pertapa Gotama. Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada Pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa pohon. Pertapa Gotama menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percakapan antara Pertapa Gotama dengan Sujata seperti di bawah ini. “Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?” “Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah ucapan terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.” Kemudian Pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah: “Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu dengan persembahanmu ini, engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia dan apakah kehidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?” “Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak, maka hatiku dengan mudah mendapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi persembahan kepada para dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pekerjaan, apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya harus mati?” Mendengar penjelasan Sujata maka Pertapa Gotama menjawab, “Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan yang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan cita-citaku.” “Semoga Tuanku berhasil mencapai cita-cita Tuan sebagaimana aku berhasil mencapai cita-citaku.” Pertapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi Sungai Nerañjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai Pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dan berkata, “Kalau memang waktunya sudah tiba, mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus.” Suatu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.

Penerangan Agung

Pertapa Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Latin : Ficus Religiosa), kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah Timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah Pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur. Dengan tekad yang bulat, ia kemudian berkata dalam hati, “Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana.” Kemudian Pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan obyek keluar dan masuknya nafas. Tidak berapa lama pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai kehidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa, keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa, takut terhadap jin-jin, hantu-hantu jahat, keragu-raguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal, tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain. Perjuangan hebat dalam batin Pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan Dewa Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran berikut ini. Pada saat itu muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi Pertapa Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri, lebarnya 12 league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling Pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan Pertapa Gotama ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti Pertapa Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala Pertapa Gotama. Bumi telah menjadi saksi bahwa Pertapa Gotama lulus dari semua percobaan-percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan Pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari bersama-sama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan Pertapa Gotama. Setelah berhasil mengalahkan Mara, Pertapa Gotama memperoleh Pubbenivasanussatiñana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kelahiran-kelahiranNya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00-22.00. Pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00-02.00, Pertapa Gotama memperoleh Cutupapatañana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk sesuai dengan tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang berlainan inilah yang membuat satu makhluk berbeda dari makhluk lain. Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkhuñana, yaitu kebijaksanaan dari Mata Dewa. Pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00-04.00 pagi, Pertapa Gotama memperoleh Asavakkhayañana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara menyeluruh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali). Dengan demikian Ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara untuk menghilangkannya. Dengan ini Ia telah menjadi orang yang paling bijaksana dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadaNya. Sekarang Ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidakbahagiaan, usia tua dan kematian. Batin-Nya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian karena sekarang Ia mengerti semua persoalan hidup dan Ia telah menjadi Buddha. Dengan muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, Pertapa Gotama dengan suara lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut:

“Anekajati samsaram Sandhavissam anibbissam Gahakarakam gavesanto Dukkha jati punappunam Gahakaraka! dittho’si Punageham na kahasi Sabba to phasuka bhagga Gahakutam visamkhitam Visamkharagatam cittam Tanhanam khayamajjhaga.” Artinya :

“Dengan sia-sia Aku mencari Pembuat Rumah ini Berlari berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habis-habisnya Oh, Pembuat Rumah, sekarang telah Kuketahui Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi Semua atapmu telah Kurobohkan Semua sendi-sendimu telah Kubongkar Batin-Ku sekarang mencapai keadaan Nibbana Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.” Dikisahkan bahwa pada saat itu bumi bergetar karena gembira dan di udara sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu, seluruh tempat itu penuh dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha, pohon-pohon mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru, binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan damai.

Demikianlah Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 S.M, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia 29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada usia 35 tahun.

Tujuh Minggu Setelah Penerangan Agung

Selama minggu pertama, Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh kedamaian. Selama minggu kedua, Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandanginya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu berjuang untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon Bodhi. Selama minggu ketiga, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara karena melalui mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa ada dewa-dewa di surga yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Agung. Selama minggu keempat, Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih, jingga dan campuran kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai bendera umat Buddha. Selama minggu kelima, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah tiga orang anak Mara yaitu Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu meninggalkan Sang Buddha. Selama minggu keenam, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda. Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata kata sebagai berikut:

“Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya ‘Sang Aku’ merupakan berkah yang tertinggi.”

Selama minggu ketujuh, Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam (Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) datang menolong dengan membawa seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan satu mangkuk. Dengan demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika. Setelah Sang Buddha selesai makan kedua pedagang itu memohon agar diterima sebagai pengikut. Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan Dhamma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang dapat mereka bawa pulang, Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beberapa helai rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini. Setelah makan, Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya, Sang Buddha merenung apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak. Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti sehingga timbul perasaan enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajar Dhamma. Tiba-tiba Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri di hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati berkata kepada Sang Buddha, “Semoga Sang Tathagata, demi belas kasih-Nya kepada para manusia, berkenan mengajar Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit dihinggapi kekotoran batin dan mudah mengerti Dhamma yang akan diajarkan.” Hingga kini permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati dengan permohonan kepada seorang bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi sebagai berikut:

“Brahma ca lokadhipati Sahampati Katañjali andhivaram ayacatha Santidha sattapparajakkhajatika Desetu Dhammam anukampimam pajam.” Artinya:

“Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini Merangkap kedua tangannya dan memohon, Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin Ajarkanlah Dhamma demi kasih sayang kepada mereka. “ Dengan mata dewa, Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak lagi terikat kepada hal-hal duniawi dan mudah mengerti Dhamma. Karena itu Sang Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dhamma demi belas kasih-Nya kepada umat manusia. Kesediaan-Nya itu diutarakan dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:

“Aparuta tesam amatassa dvara Ye sotavanto pamucantu saddhami.” Artinya:

“Terbukalah pintu Kehidupan Abadi Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan.” Perhatian-Nya kemudian ditujukan kepada Alara Kalama, tetapi para dewa segera memberitahukan bahwa Alara seminggu yang lalu telah meninggal dunia. Kemudian perhatian-Nya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun para dewa juga mengatakan bahwa kemarin malam Uddaka meninggal dunia. Selanjutnya Sang Buddha mengalihkan perhatian-Nya kepada lima orang pertapa yang pernah bersama-sama melakukan pertapaan. Kelima orang itu sekarang berada di Taman Rusa di kota Benares ibukota negara Kasi. Sang Buddha segera berangkat menuju ke Taman Rusa Benares. Dalam perjalanan ke Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona melihat Sang Buddha yang wajah-Nya demikian cemerlang, Upaka bertanya siapakah guru Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau adalah orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan. Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares

Setelah tiba di Benares, kelima orang pertapa melihat Sang Buddha sedang memasuki Taman Rusa. Seorang dari lima pertapa itu mengatakan, “Kawan-kawan, lihat, Pertapa Gotama sedang memasuki taman, ia adalah orang yang senang dengan kenikmatan dunia. Ia tergelincir dari kehidupan suci dan kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Sebaiknya kita tidak usah menyapanya. Lagipula kita jangan memberi hormat kepadanya. Kita sebaiknya juga jangan menawarkan diri untuk menyambut mangkuk dan jubahnya. Kita hanya menyediakan tikar untuk tempat duduknya. Ia boleh menggunakannya kalau mau dan kalau tidak mau, ia boleh berdiri saja. Siapakah yang mau mengurus seorang pertapa yang telah gagal?” Waktu Sang Buddha datang lebih dekat, mereka melihat bahwa ada sesuatu yang berubah dan Sang Buddha tidak sama dengan Pertapa Gotama yang dulu mereka kenal. Ia sekarang kelihatannya lebih mulia dan agung, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Meskipun mereka semula sudah sepakat untuk tidak menghormat kepada Sang Buddha, namun sewaktu Sang Buddha mendekat, mereka seolah-olah lupa kepada apa yang mereka sepakati. Seorang diantara mereka maju ke depan dan dengan hormat menyambut mangkuk dan jubah-Nya, sedangkan yang lain sibuk menyiapkan tempat duduk dan yang lain lagi bergegas mengambil air untuk membasuh kaki Sang Buddha. Setelah mengambil tempat duduk, Sang Buddha lalu berkata “Dengarlah, oh Pertapa. Aku telah menemukan jalan yang menuju ke keadaan terbebas dari kematian. Akan kuberitahukan kepadamu. Akan kuajarkan. kepadamu. Kalau engkau ingin mendengar, belajar, dan melatih diri seperti yang akan kuajarkan dalam waktu singkat engkau pun dapat mengerti, bukan nanti kelak kemudian hari, tetapi sekarang juga dalam kehidupan ini bahwa apa yang kukatakan itu adalah benar. Engkau dapat menyelami sendiri keadaan itu yang berada di atas hidup dan mati.” Tentu saja kelima pertapa merasa heran sekali mendengar ucapan Sang Buddha. Sebab mereka melihat sendiri Beliau berhenti berpuasa, mereka melihat sendiri Beliau menghentikan semua usaha untuk menemukan Penerangan Agung dan sekarang Beliau datang kepada mereka untuk memberitahukan bahwa Beliau telah menemukan Penerangan Agung itu. Karena itu mereka tidak percaya akan apa yang Sang Buddha katakan. Mereka menjawab, “Sahabat (avuso) Gotama, sewaktu kami masih berdiam bersama-sama Anda, Anda telah berlatih dan menyiksa diri Anda seperti yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun juga di seluruh Jambudipa. Karena itulah kami menganggap Anda sebagai pemimpin dan guru kami. Tetapi dengan segala cara penyiksaan diri itu ternyata Anda tidak berhasil menemukan apa yang Anda cari, yaitu Penerangan Agung. Setelah sekarang Anda kembali kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan dan berhenti berusaha dan melatih diri, mana mungkin Anda sekarang telah menemukannya?” “Kamu keliru, Pertapa. Aku tidak pernah berhenti berusaha. Aku tidak kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Dengarlah apa yang kukatakan. Aku sesungguhnya telah memperoleh Kebijaksanaan yang Tertinggi. Dan dapat mengajar kamu untuk juga memperoleh Kebijaksanaan tersebut untuk dirimu sendiri.” Setelah itu kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbah-Nya. Maka Sang Buddha memberikan khotbah-Nya yang pertama yang kelak dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah pertama diucapkan oleh Sang Buddha tepat pada saat purnama sidhi di bulan asalha.

Dhammacakkappavattana Sutta

Di bawah ini diuraikan singkatan dari khotbah tersebut. “Dua pinggiran yang ekstrim, oh Bhikkhu, yang harus dihindari oleh seorang bhikkhu. Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar nafsu-nafsu yang bersifat rendah, hanya dilakukan oleh orang yang masih berkeluarga, sifat khas dari orang yang terikat kepada hal-hal duniawi, tidak mulia dan tidak berfaedah. Pinggiran ekstrim kedua ialah menyiksa diri, yang menimbulkan kesakitan yang hebat, tidak mulia dan tidak berfaedah. Jalan Tengah dengan menghindari kedua pinggiran yang ekstrim telah kuselami, sehingga kuperoleh Pandangan Terang, Kebijaksanaan, Ketenangan, Pengetahuan Tertinggi, Penerangan agung, dan Nibbana. Selanjutnya oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Dukkha: dilahirkan, usia tua, sakit, mati, sedih, ratap tangis, gelisah, berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, terpisah dari sesuatu yang disukai dan tidak memperoleh sesuatu yang didambakan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Lima Khanda (Lima Kelompok Kehidupan/Kegemaran) itu adalah penderitaan. Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha: nafsu keinginan yang tidak habis-habisnya (tanha), melekat kepada kenikmatan dan nafsu-nafsu yang minta diberi kepuasan, keinginan untuk menikmati nafsu-nafsu indria, keinginan untuk hidup terus-menerus secara abadi dan keinginan untuk memusnahkan diri. Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha: nafsu-nafsu keinginan (tanha) yang secara menyeluruh dapat disingkirkan, dilenyapkan, ditinggalkan, diatasi, dan dilepaskan. Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha: Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti. Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti. Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti. Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti. Selama pandangan-Ku terhadap Kesunyataan Mulia yang disebut di atas masih belum jelas benar mengenai tiga seginya dan dua belas jalannya, Aku belum dapat menuntut dan menyatakan dengan pasti bahwa Aku telah memperoleh Penerangan Agung yang tiada bandingnya di alam-alam para dewa, mara, brahma, pertapa, brahmana dan manusia. Dengan demikian timbul dalam diriaKu Pandangan Terang dan Pengetahuan bahwa Aku sekarang telah terbebas sama sekali dari keharusan untuk terlahir kembali di dunia ini dan kehidupanKu yang sekarang ini merupakan kehidupan-Ku yang terakhir.” Setelah Sang Buddha selesai berkhotbah, Kondañña memperoleh Mata Dhamma karena dapat mengerti (añña) dengan jelas makna khotbah tersebut dan menjadi seorang Sotapanna (makhluk suci tingkat kesatu). Añña Kondañña yang sekarang tidak meragu-ragukan lagi ajaran Sang Buddha mohon untuk dapat diterima sebagai murid. Sang Buddha meluluskan permohonan ini dan mentahbiskannya dengan kata-kata, “Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan.” Dengan demikian Añña Kondañña menjadi bhikkhu pertama yang ditahbiskan dengan ucapan “ehi bhikkhu”. Sejak hari itu Sang Buddha tinggal di Taman Rusa dan tiap hari Beliau memberikan uraian Dhamma kepada lima orang pertapa tersebut. Dua hari setelah itu, pertapa Vappa dan Bhaddiya memperoleh Mata Dhamma dan kemudian ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”. Dan dua hari kemudian, pertapa Mahanama dan Assaji memperoleh Mata Dhamma dan ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”. Lima hari setelah memberikan khotbah pertama, Sang Buddha memberikan khotbah kedua dengan judul Anattalakkhanasutta.

Anattalakkhanasutta

Singkatan dari khotbah ini adalah sebagai berikut: Rupa (badan jasmani), oh Bhikkhu, Vedana (perasaan), Sañña (pencerapan), Sankhara (pikiran) dan Viññana (kesadaran) adalah Lima Khandha (lima kelompok kehidupan/kegemaran) yang semuanya tidak memiliki Atta (roh). Kalau sekiranya Khandha itu memiliki Atta (roh), maka ia dapat berubah sekehendak hatinya dan tidak akan menderita karena semua kehendak dan keinginannya dapat dipenuhi, misalnya ‘Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.’ Tetapi karena Khandha itu Anatta (tanpa roh), maka ia tidak dapat berubah sekehendak hatinya dan karena itu menderita sebab semua kehendak dan keinginannya tidak dapat dipenuhi, misalnya ‘Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.’ Setelah mengajar kelima orang bhikkhu itu untuk menganalisa badan jasmani dan batin menjadi lima khandha, Sang Buddha lalu menanyakan pendapat mereka mengenai hal yang di bawah ini:

“Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapatmu, apakah Khandha itu kekal atau tidak kekal?” “Mereka tidak kekal, Bhante.” “Di dalam sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderitaan?” “Di sana terdapat penderitaan, Bhante.” “Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan penderitaan, ditakdirkan untuk musnah, apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu adalah ‘milikku’, ‘aku’ dan ‘diriku’ ?” “Tidak tepat, Bhante.” Selanjutnya Sang Buddha mengajar untuk jangan melekat kepada lima khandha tersebut dengan melakukan perenungan sebagai berikut: Karena kenyataannya memang demikian, oh Bhikkhu, maka lima khandha yang lampau atau yang ada sekarang ini, kasar atau halus, menyenangkan atau tidak menyenangkan, jauh atau dekat, harus diketahui sebagai Khandha (Kelompok Kchidupan/Kegemaran) semata-mata. Selanjutnya engkau harus melakukan perenungan dengan memakai Kebijaksanaan bahwa semua itu bukanlah ‘milikmu’ atau ‘kamu’ atau ‘dirimu’. Siswa Yang Ariya yang mendengar uraian ini, oh Bhikkhu, akan melihatnya dari segi itu. Setelah melihat dengan jelas dari segi itu, ia akan merasa jemu terhadap lima khandha tersebut. Setelah merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan batinnya, ia tidak melekat lagi kepada sesuatu. Karena tidak melekat lagi kepada sesuatu maka akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ia sekarang sudah terbebas dari tumimbal lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Sang Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin (Asava) dan terbebas seluruhnya dari kemelekatan (Upadana) dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.

Yasa

Waktu itu di Benares, bertempat tinggal seorang anak muda bernama Yasa. Yasa adalah anak seorang pedagang kaya raya dan sebagaimana juga halnya dengan Pangeran Siddhattha, Yasa pun memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Kehidupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan, Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Malam itu ia terbangun pada larut malam dan dari sinar lampu di kamarnya, Yasa melihat pelayan-pelayannya sedang tidur dalam berbagai macam sikap yang membuatnya jemu dan muak sekali. Ia merasa seperti berada di tempat pekuburan dengan dikelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan. Karena tidak tahan lagi melihat keadaan itu, maka dengan mengucapkan, “Alangkah menakutkan tempat ini! Alangkah mengerikan tempat ini!” Yasa memakai sandalnya dan meninggalkan istananya dalam keadaan pikiran kalut dan penuh kecemasan. Ia berjalan menuju ke Taman Rusa di Isipatana. Waktu itu menjelang pagi hari dan Sang Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu berpapasan dengan Yasa, Sang Buddha menegur, “Tempat ini tidak menakutkan. Tempat ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini, Aku akan mengajarmu.” Mendengar sapaan Sang Buddha, Yasa berpikir, “Kalau begitu baik juga kalau tempat ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan.” Yasa membuka sandalnya, menghampiri Sang Buddha, memberi hormat dan kemudian duduk di sisi Sang Buddha. Sang Buddha kemudian memberikan uraian yang disebut Anupubbikatha, yaitu uraian mengenai pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Selanjutnya Sang Buddha memberikan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dhamma sewaktu masih duduk di tempat itu. Yasa kemudian mencapai tingkat Arahat sewaktu Sang Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya. Keesokan hari seluruh penghuni istana Yasa menjadi ribut karena Yasa tidak ada di kamarnya dan juga tidak diketemukan di bagian lain dari istananya. Ayahnya memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencari ke segenap penjuru dan ia sendiri pergi mencari ke Isipatana. Di Taman Rusa ia melihat sandal anaknya. Tidak jauh dari tempat itu, ia bertemu dengan Sang Buddha dan bertanya apakah Sang Buddha melihat Yasa. Yasa sebenarnya sedang duduk di sisi Sang Buddha, tetapi karena Sang Buddha menggunakan kekuatan gaib maka Yasa tidak melihat ayahnya dan ayahnya tidak melihat Yasa. Sebelum menjawab pertanyaan ayah Yasa, terlebih dulu Sang Buddha memberikan uraian tentang pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, ayah Yasa memperoleh Mata Dhamma dan mohon untuk diterima sebagai pengikut dengan mengucapkan, “Aku berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka mulai hari ini sampai akhir hidupku.” Dengan demikian ayah Yasa menjadi upasaka pertama yang berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Seperti dijelaskan di halaman depan, Tapussa dan Bhallika adalah pengikut Sang Buddha yang pertama, tetapi mereka berlindung hanya kepada Buddha dan Dhamma karma pada waktu itu belum ada Sangha (Pesamuan Para Bhikkhu, yang sekurang-kurangnya terdiri dari lima orang bhikkhu). Yasa yang untuk kedua kalinya mendengarkan uraian Sang Buddha mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat. Pada waktu itulah Sang Buddha menarik kembali kekuatan gaibnya, sehingga Yasa dapat melihat ayahnya dan ayahnya dapat melihat Yasa. Ayah Yasa menegur anaknya dan mendesak agar Yasa pulang kembali ke istananya dengan mengatakan, “Yasa, ibumu sangat sedih. Ayolah pulang demi menyelamatkan nyawa ibumu.” Yasa menengok ke arah Sang Buddha dan Sang Buddha menjawab, “Kepala keluarga yang baik, beberapa waktu berselang, Yasa memperoleh Mata Dhamma sebagaimana juga Anda memperolehnya pada hari ini dan menjadi seorang Ariya yang masih membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi untuk mencapai Pembebasan Sempurna. Hari ini Yasa berhasil menyingkirkan semua kekotoran batin dan mencapai Pembebasan Sempurna. Cobalah pikir, apakah mungkin Yasa kembali ke kehidupan biasa dan menikmati kesenangan nafsu-nafsu indria?” “Aku rasa memang tidak mungkin. Hal ini sudah menjadi rejekinya. Tetapi, bolehkah saya mengundang Sang Bhagava supaya besok siang berkenan mengambil dana (makanan) di rumahku disertai anakku sebagai bhikkhu pengiring?” Sang Buddha menerima undangan ini dengan membisu (berdiam diri). Mengetahui permohonannya diterima, ayah Yasa berdiri, memberi hormat dan berjalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sisi kanannya dan kembali pulang ke istananya. Setelah ayahnya pulang, Yasa mohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Sang Buddha mentahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga digunakan untuk mentahbiskan lima murid-Nya yang pertama yaitu, “Ehi bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah kehidupan suci.” Perbedaannya bahwa Sang Buddha tidak mengucapkan “dan singkirkanlah penderitaan” karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada tujuh orang Arahat (Sang Buddha sendiri juga seorang Arahat, tetapi seorang Arahat istimewa karena mencapai Kebebasan dengan daya upaya sendiri). Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Sang Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi hormat. Sang Buddha kembali memberikan uraian tentang Anupubbikatha dan mereka berdua pun rnemperoleh Mata Dhamma. Mereka memuji keindahan uraian tersebut dan mohon dapat diterima sebagai Upasika dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk seumur hidup. Mereka adalah pengikut-pengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga Mustika (Buddha, Dhamma, dan Sangha). Setelah itu, makan siang disiapkan dan kedua wanita itu melayani sendiri Sang Buddha dan Yasa dengan hidangan yang lezat-lezat. Sehabis makan siang, Sang Buddha dan Yasa kembali ke Taman Rusa di Isipatana. Di Benares, Yasa mempunyai empat orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa ajaran-ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan kehidupannya yang mewah. Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa yang kemudian membawa keempat kawannya itu menghadap Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi bhikkhu. Setelah mendapat penjelasan tambahan, keempat orang ini dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu sebelas orang. Tetapi bhikkhu Yasa mempunyai banyak teman lagi yang berada di tempat-tempat jauh, semuanya berjumlah lima puluh orang. Mendengar sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat enam puluh satu orang Arahat.

Mulai Menyebarkan Dhamma

Pada suatu hari, Sang Buddha memanggil berkumpul murid-muridNya yang berjumlah enam puluh orang Arahat dan berkata, “Aku telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, oh Bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang bersifat badaniah, demikian pula kamu sekalian. Sekarang kamu harus mengembara guna kesejahteraan dan keselamatan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. Khotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awalnya, mulia pada pertengahannya, dan mulia pada akhirnya. Umumkanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma, mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh manfaat yang besar. Mereka adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku sendiri akan pergi ke Senanigama di Uruvela untuk mengajar Dhamma.” Kemudian berangkatlah keenam puluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusan dan mengajar Dhamma kepada penduduk yang mereka jumpai. Sewaktu mengajar, mereka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi bhikkhu. Karena mereka sendiri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan melakukan perjalanan jauh dan melelahkan mereka membawa orang itu menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri. “Aku perkenankan kamu, oh Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yang jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkapkan kedua tangannya dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki bhikkhu. Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan mereka harus mengulang ucapanmu, “Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha, dan seterusnya.” Mulai saat itu terdapat dua cara pentahbisan, pertama yang diberikan Sang Buddha sendiri dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu” dan yang kedua diberikan oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan “Tisaranagamana”. Dalam perjalanan dari Uruvela ke Benares, pada suatu hari Sang Buddha tiba di perkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Tidak jauh dari tempat itu, tiga puluh orang pemuda sedang bermain-main yang diberi nama Bhaddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah, hanya seorang belum. Ia rnembawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu. Setelah tahu apa yang terjadi, mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang Buddha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah Sang Buddha melihat seorang wanita lewat di dekat situ. Atas pertanyaan Sang Buddha, mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Oh, Anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seorang pelacur?” Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbikatha dan Empat Kesunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setelah ditahbiskan, mereka dikirim ke tempat-tempat jauh untuk mengajarkan Dhamma.

Kassapa Bersaudara

Di tiga tempat sepanjang Sungai Neranjara, tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Yang tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sungai dan mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang. Yang kedua disebut Nadi Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Yang ketiga disebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang. Pada suatu hari, Sang Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela Kassapa. Di tempat ini Sang Buddha harus memperlihatkan kekuatan gaib untuk menundukkan Uruvela Kassapa yang ternyata juga mahir dalam melakukan ilmu-ilmu gaib. Salah satu contoh dapat diceritakan sebagai berikut: “Kalau Anda tidak keberatan, Kassapa, Aku ingin bermalam di pondokmu.” “Tentu saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan Anda bermalam di pondokku. Tetapi Anda harus tahu bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku khawatir Anda akan celaka.” jawab Uruvela Kassapa. “Oh, tidak apa-apa. Kalau Anda tidak keberatan, Aku akan bermalam di pondokmu.” “Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga Anda selamat.” Sang Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk ke dalam pondok. Sang Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya ular kobra tersebut. Waktu tengah malam, benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri Sang Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Sang Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Sang Buddha ternyata sia-sia saja. Sang Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan gaya-gaya Metta (cinta kasih) dan badan-Nya seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang tidak dapat ditembus. Esok paginya, Uruvela Kassapa datang menjenguk Sang Buddha dan mengira akan menemukan mayat-Nya. Ia terkejut melihat Sang Buddha sedang duduk bermeditasi. Uruvela Kassapa bertanya apakah Sang Buddha tidak diganggu oleh ular kobra. “Tidak, ular itu ada di sini.” jawab Sang Buddha dan membuka tutup mangkuk yang biasa dipakai untuk menerima dana makanan. Keluarlah seekor ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Sang Buddha menahannya dan berkata bahwa Beliau mempunyai kemampuan untuk menjinakkan ular kobra. Pada kesempatan lain sewaktu turun hujan lebat dan semua tempat di daerah itu digenangi air banjir, kembali Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Di tempat Sang Buddha berdiri atau berjalan, air “membelah” membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Sang Buddha tidak basah kena air. Akhirnya Uruvela Kassapa dapat diyakinkan bahwa ia bukanlah tandingan Sang Buddha dan ia juga tahu bahwa ia belum mencapai tingkat Arahat sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Dengan lima ratus orang pengikutnya, ia kemudian membuang semua peralatan yang dipakainya dalam pemujaan api ke dalam sungai dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Pada suatu hari, Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai menjadi terkejut melihat banyak peralatan sembahyang terapung di sungai. Ia mengira bahwa suatu bencana hebat telah menimpa diri kakaknya. Dengan tergesa-gesa, diikuti tiga ratus orang pengikutnya, Nadi Kassapa pergi ke tempat Uruvela Kassapa. Setelah tiba, Nadi Kassapa melihat bahwa kakaknya sudah menjadi bhikkhu. Selanjutnya Nadi Kassapa diberi penjelasan tentang sia-sianya memuja api, sehingga akhirnya ia bersama-sama pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada diri Gaya Kassapa beserta para pengikutnya. Dengan demikian tiga kelompok kaum Jatila yang berjumlah 1.003 orang telah menjadi pengikut Sang Buddha. Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanan-Nya menuju Gayasisa di tepi Sungai Gaya. Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah yang kemudian dikenal sebagai Adittapariyaya Sutta. Ringkasan dari khotbah itu adalah sebagai berikut: “Oh, Bhikkhu, semuanya menyala. Apakah itu yang menyala? Mata, penglihatan, kesadaran mata, kesan-kesan mata dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan mata (Ini adalah kelompok pertama). Telinga, suara, kesadaran telinga, kesan-kesan telinga dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan telinga (Ini adalah kelompok kedua). Hidung, bebauan, kesadaran hidung, kesan-kesan hidung dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan hidung (Ini adalah kelompok ketiga). Lidah, rasa, kesadaran lidah, kesan-kesan lidah dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan lidah (Ini adalah kelompok keempat). Tubuh, sentuhan, kesadaran tubuh, kesan-kesan tubuh dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan tubuh (Ini adalah kelompok kelima). Batin, pikiran, kesadaran batin, kesan-kesan batin dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan batin (Ini adalah kelompok keenam). Semua itu menyala-nyala. Menyala dengan apa? Menyala dengan api dari keserakahan, kebencian dan khayalan yang menyesatkan, menyala dengan api dari kelahiran, usia tua dan kematian, menyala dengan api dari kesedihan, ratap tangis, sakit, duka cita, dan putus asa. Seorang siswa Yang Ariya, yang melihat keadaan ini akan merasa jemu. Karena merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Karena melepaskan nafsu-nafsu keinginan, batinnya tidak melekat lagi kepada segala sesuatu. Karena tidak melekat lagi kepada segala sesuatu akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Ia tahu bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung.” Setelah Sang Buddha selesai memberikan khotbah, batin bhikkhu-bhikkhu tersebut terbebas seluruhnya dari kemelekatan dan bersih dari kekotoran batin. Mereka semua mencapai tingkat yang tertinggi, yaitu menjadi Arahat.

Maha Kassapa

Dalam perjalanan ke Rajagaha, Sang Buddha tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rajagaha dan Nalanda dan beristirahat di bawah pohon beringin Bahuputtaka. Pada waktu itu, seorang pertapa bernama Pipphali lewat di tempat itu. Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama Kapila dengan istrinya yang bernama Sumanadevi dari Desa Mahatittha di negara Magadha. Ia menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara adalah seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid. Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat, “Oh, Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda, dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi.” Setelah ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan perjalanan-Nya menuju Rajagaha. Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang Buddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga. Pada hari kedelapan, ia mencapai tingkat kesucian Arahat. Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat), sudah puas dengan pemberian yang sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali. Menjawab pertanyaan, mengapa Beliau menuntut kehidupan yang demikian keras, Maha Kassapa mengatakan bahwa Beliau berbuat semuanya itu bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri tetapi juga demi kebahagiaan orang lain di kelak kemudian hari. Maha Kassapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali untuk orang-orang yang benar-benar ingin melaksanakan hidup suci. Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung). Tiga bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia, Maha Kassapa mengetuai Sidang Agung (Sangha-Samaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa Sattapanni, kota Rajagaha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun. Maha Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun.

Raja Bimbisara

Di sebelah Tenggara Jambudipa terdapat sebuah negara besar dan berpengaruh, yaitu negara Magadha yang berpenduduk padat dan kaya raya dan di sebelah Timurnya terletak negara Anga. Raja Bimbisara adalah Maha raja negara Magadha dan Anga tersebut dengan ibukota Rajagaha. Setelah beberapa lama diam di Gayasisa, Sang Buddha melanjutkan perjalanannya menuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana. Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa Pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang berada di Rajagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Beliau adalah seorang Arahat, seorang yang telah memperoleh Penerangan Agung, dan mengajar Dhamma yang mulia di awalnya, mulia di pertengahannya, dan mulia di akhirnya, yang telah mengumumkan kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Melihat seorang Arahat yang demikian itu bermanfaat sekali agar keinginan orang dapat terkabul. Mendengar berita itu, Raja Bimbisara datang mengunjungi Sang Buddha dengan diikuti pengiringnya. Setelah memberi hormat, Raja kemudian duduk di satu sisi. Tetapi para pengiringnya bersikap macam-macam dan ada yang bersikap acuh tak acuh. Ada yang berlutut, ada yang hanya memberi hormat dengan ucapan, ada yang menyembah, ada yang memberitahukan namanya dan juga nama keluarganya, dan ada yang duduk diam saja. Sang Buddha, yang melihat sikap acuh tak acuh dan kurang hormat dari pengiring Raja, tahu bahwa mereka masih belum siap untuk menerima ajaran. Karena itu Sang Buddha memandang perlu agar Uruvela Kassapa terlebih dulu memberikan keterangan tentang sia-sianya pemujaan yang dulu ia lakukan. Hal ini perlu untuk menyingkirkan keragu-raguan sebelum mereka siap untuk mendengarkan Dhamma. Karena itu Sang Buddha berkata kepada Uruvela Kassapa, “Oh, Kassapa, kamu sudah lama berdiam di Uruvela dan menjadi pemimpin kaum Jatila yang pandai dalam upacara keagamaan. Apakah sebabnya sehingga kamu berhenti melakukan pemujaan api yang biasa kamu lakukan? Aku bertanya padamu, oh Kassapa, mengapa kamu meninggalkan kebiasaan memuja api?” Uruvela Kassapa menjawab, “Semua Yañña atau upacara dengan mempersembahkan sesajen bertujuan untuk memperoleh penglihatan, suara, rasa dan wanita yang menggiurkan, yang didambakan manusia. Persembahan sesajen itu menimbulkan harapan bahwa setelah melakukan persembahan tersebut orang akan dapat memperoleh hasil yang diinginkan. Telah kuketahui sekarang bahwa kesenangan-kesenangan indria tersebut merupakan kekotoran batin yang membuat orang dicengkeram oleh nafsu-nafsu. Karena itu aku tidak lagi tertarik melakukan praktek pemujaan api.” Kemudian Sang Buddha bertanya lagi, “Setelah kini kamu tidak lagi tertarik kepada penglihatan, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indria, oh Kassapa, apa sebenarnya yang kamu cari di alam manusia dan alam dewa ini? Coba kamu ceritakan.” Kassapa menjawab, “Aku telah berhasil mencapai keadaan yang penuh damai, tanpa dikotori oleh nafsu-nafsu yang dapat menimbulkan penderitaan, tanpa keinginan untuk melekat, tanpa kemelekatan kepada alam kesenangan indria, tanpa perubahan, tanpa tergantung pada kekuatan luar dan hanya dapat dipahami oleh pribadi masing-masing. Karena hal-hal yang di atas itulah aku tidak lagi tertarik untuk melakukan praktek pemujaan api yang dulu kulakukan.” Selesai memberi jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menutupi satu pundaknya (sebagai sikap menghormat) ia berlutut tiga kali di bawah kaki Sang Buddha dan mengaku bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah murid-Nya. Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan batin mereka sudah siap untuk menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anupubbikatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia. Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, sebelas dari dua belas orang yang hadir memperoleh Mata Dhamma dan yang lain memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semenjak kecil. “Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan, aku mempunyai lima macam keinginan, yaitu pertama, semoga aku kelak naik di tahta kerajaan Magadha. Kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Agung datang di negeriku sewaktu aku masih memerintah. Ketiga, semoga aku memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Arahat tersebut. Keempat, semoga Arahat tersebut memberikan khotbah kepadaku. Kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku yang berjumlah lima itu telah terpenuhi.” . Selanjutnya Raja Bimbisara memuji khotbah Sang Buddha dan menyatakan dirinya sebagai upasaka untuk seumur hidup dan mengundang Sang Buddha beserta para pengikut-Nya untuk datang besok siang mengambil dana (makanan) di istana. Kemudian bangun dari tempat duduknya, jalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sebelah kanan dan pulang ke istana. Tiba di istana, Raja memerintahkan untuk menyiapkan hidangan yang lezat-lezat. Keesokan hari, Raja memerintahkan pengawalnya untuk mengundang Sang Buddha dengan pengiring-Nya datang ke istana. Setelah Sang Buddha tiba di istana dan mengambil tempat duduk yang disediakan, Raja sendiri turut melayani memberikan hidangan. Kemudian Raja memikirkan tempat yang layak yang dapat digunakan oleh Sang Buddha sebagai tempat tinggal. Raja teringat kepada Veluvanarama (hutan pohon bambu) yang letaknya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan desa di sekelilingnya. Tempat itu mudah untuk dicapai dan menyenangkan, tidak berisik waktu siang hari dan tenang di malam hari, cocok sekali untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang ingin berlatih untuk mendapatkan Pandangan Terang. Dengan batin yang dipenuhi pikiran tersebut, Raja Bimbisara kemudian menuang air ke lantai dari kendi emas dan menerangkan bahwa Beliau berhasrat menyerahkan Veluvanarama untuk dipakai oleh Sang Buddha beserta pengiring-Nya, sebagai tempat tinggal. Sang Buddha menerima pemberian tersebut dan menggembirakan hati Raja dengan menerangkan tentang keuntungan besar yang dapat diperoleh dari dana tersebut. Sang Buddha beserta pengiring-Nya pulang dan pindah ke tempat yang baru. Ini merupakan sumbangan tempat tinggal untuk pata bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu.

Sariputta Dan Moggallana

Di Rajagaha, waktu itu hidup dua orang pemuda dari kasta brahmana yang kaya raya, yang sejak kecil bersahabat. Yang satu bernama Upatissa, anak seorang wanita bernama Rupasari, yang lain bernama Kolita, anak seorang wanita bernama Moggalli. Mereka berdua berguru kepada Sanjaya, seorang pertapa dari golongan Paribbajaka, yang mempunyai dua ratus lima puluh orang murid. Upatissa dan Kolita termasuk dua orang murid yang pandai dan sering mewakili gurunya memberi bimbingan kepada murid-murid yang lain. Meskipun sudah belajar lama dan memiliki seluruh kepandaian gurunya, tetapi mereka berdua masih belum puas. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka kelak yang lebih dulu memperoleh ajaran sempurna akan memberitahukan hal itu kepada yang lain. Pada suatu hari Ayasma Assaji, seorang dari lima orang bhikkhu pertama, kembali ke Rajagaha untuk memberi laporan kepada Sang Buddha tentang perjalanannya ke berbagai tempat untuk mengajar Dhamma. Sebagaimana biasa, Ayasma Assaji tiap pagi mengumpulkan makanan dan waktu itulah Beliau terlihat oleh Upatissa. Upatissa terkesan sekali melihat sikap Ayasma Assaji yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa dan menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya. Baik berjalan ke depan atau bertindak ke belakang, atau membentangkan, atau menekuk tangannya, ia selalu kelihatan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan Pemandangan ini membuat Upatissa terpesona dan membangkitkan perasaan ingin tahu. Seketika itu ia ingin menegur, tetapi kemudian membatalkannya karena ia menganggap waktunya kurang tepat berhubung waktu itu Ayasma Assaji sedang mengumpulkan makanan. Ia menunggu sampai Ayasma Assaji selesai makan dan kemudian mendekati serta memberi hormat, “Saudara, pembawaan Anda luar biasa dan wajah Anda terang sekali. Dengan menjalankan kehidupan suci ini kepada siapakah Anda mengabdi? Siapakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda ikuti?” Ayasma Assaji menjawab, “Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini aku mengabdi kepada seorang Pertapa Agung, anak dari suku Sakya, yang telah menjadi bhikkhu dari keluarga Sakya. Pertapa Agung itulah yang menjadi guruku. Dan ajaran-Nya yang aku ikuti.” “Apakah yang diajar guru Anda, Saudara?” “Aku seorang pendatang baru. Aku baru saja ditahbiskan. Aku belum berapa lama mengikuti ajaran ini, sehingga aku tidak dapat memberikan pelajaran itu secara terperinci. Tetapi aku akan memberitahukan Anda garis besarnya.” “Baik sekali, Saudara. Bagi saya sama saja apakah Anda memberitahukan garis besarnya atau secara terperinci. Aku ingin mendengar intisari dari ajaran tersebut, yang lain tidak dapat membantu apa-apa.” Ayasma Assaji kemudian mengucapkan syair di bawah ini:

“Ye dhamma hetuppabhava, Tessam hetum Tathagato, Tesañca yo nirodho ca, Evam vadi mahasamano.” Artinya :

“Semua benda yang timbul karena satu ‘sebab’ ‘Sebabnya’ telah diberitahukan oleh Sang Tathagata, Dan juga lenyapnya kembali, Itulah yang diajarkan Sang Pertapa Agung. “ Mendengar syair tersebut, Upatissa seketika memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan berkata dalam hatinya,

“Yankiñci samudayadhammam Sabbantam nirodha dhammam.” Artinya:

“Segala sesuatu yang timbul karena satu ‘sebab’ Di dalamnya pun terdapat ‘sebab’ yang membuat ia musnah kembali. “ Kemudian Upatissa menanyakan tempat tinggal Sang Buddha. Setelah diberitahukan bahwa Sang Buddha pada saat itu berdiam di Veluvanarama, Upatissa kemudian mohon diri dari Ayasma Assaji dan berjanji akan datang mengunjungi Sang Buddha bersama sahabatnya yang bernama Kolita. Upatissa kembali ke tempat gurunya, Sanjaya, dan memberitahukan Kolita peristiwa apa yang baru saja ia alami. Ia mengulang syair yang diucapkan Ayasma Assaji dan seketika itu pula Kolita memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka berdua melaporkan berita ini kepada Sanjaya dan mohon diperkenankan untuk mengunjungi Sang Buddha. Tetapi Sanjaya menolak untuk memberi izin. Akhirnya, tanpa izin, mereka berdua dengan diikuti dua ratus lima puluh orang muridnya pergi juga berkunjung kepada Sang Buddha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dari kelompok ini dapat diceritakan bahwa mereka semua mencapai tingkat Arahat, bahkan para muridnya terlebih dulu mencapai tingkat kesucian tersebut, kemudian disusul oleh Kolita dan yang terakhir Upatissa. Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Kolita menyepi di Desa Kallavalamuttagama di kota Magadha. Di tempat itu Kolita giat melatih meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang. Pada suatu ketika ia merasa ngantuk sekali. Sang Buddha menghampirinya dan memberikan petunjuk untuk menanggulangi perasaan ngantuk, “Apa pun pencerapanmu pada waktu kamu diserang perasaan mengantuk, Moggallana (Kolita di kemudian hari terkenal dengan nama ini yang berarti : anak Moggalli), kamu harus terus menyadari pencerapan tersebut. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.” “Kalau cara ini tidak menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.” “Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus mengulang dengan suara keras Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.” “Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus menggosok-gosok kupingmu dengan jeriji dan mengusap-usap tubuhmu dengan tangan. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.” “Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus bangun dan mencuci matamu dengan air, kemudian memandang ke sekelilingmu dan mengamat-amati bintang di langit. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.” “Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada pencerapan dari cahaya terang, dan pikiranmu selalu membayangkan ‘cahaya siang hari’ baik pada waktu siang hari maupun pada waktu malam hari, membuka batinmu dari selubung yang menutupinya dan mengembangkan batinmu bermandi cahaya terang. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.” “Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus berbaring dengan ‘sikap seekor singa’, yaitu miring ke kanan dengan kaki kiri di atas kaki kanan, batin dalam keadaan ‘sadar’ dan pikiran terpusat kepada saat kamu ingin bangun. Setelah bangun kamu harus segera bangkit sambil merenung ‘Aku tidak ingin memanjakan diriku dengan berbaring, menyender atau tidur’. Ini Moggallana, yang kamu harus selalu ingat.” “Selanjutnya, Moggallana, kamu harus selalu ingat ‘aku tidak boleh merasa ingin terlalu dihormat kalau masuk ke rumah seorang umat biasa’. Sebab kalau seorang bhikkhu masuk ke rumah seorang umat biasa dengan perasaan ingin terlalu dihormat dan pada waktu itu mungkin ada urusan rumah tangga yang sangat penting yang harus diselesaikan terlebih dulu sehingga bhikkhu itu ‘terlupakan’, maka akan timbul pikiran dalam batin bhikkhu tersebut, “Siapakah yang menghasut orang ini terhadap diriku? Orang ini kelihatannya sekarang ‘acuh tak acuh’. Karena merasa tak diacuhkan lagi timbul perasaan malu, karena malu pikirannya kacau, karena pikirannya kacau ia tidak dapat mengendalikan dirinya dengan baik, karena tidak dapat mengendalikan diri dengan baik, ia gagal melakukan meditasi.” “Selain dari itu, Moggallana, kamu harus selalu ingat, ‘aku tidak ingin mengucapkan sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain’. Sebab kalau orang berbicara tentang sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain, maka hal itu mengakibatkan perdebatan yang panjang. Dengan adanya perdebatan yang panjang, ia tak dapat memusatkan pikirannya. Karena tak dapat memusatkan pikirannya, ia tak dapat mengendalikan diri, karena ia tak dapat mengendalikan diri, ia gagal melakukan meditasi.” “Sekarang, Moggallana, aku tidak selalu memujikan orang berkumpul dan juga aku tidak selalu menolaknya. Aku tidak memujikan berkumpul dengan orang banyak, baik itu bhikkhu atau orang biasa. Tetapi kalau ada tempat sunyi dan tidak terganggu oleh suara berisik dari orang yang lalu lalang, cocok sekali untuk seorang pertapa yang menyukai kesunyian, cocok untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang lebih menyukai hidup menyendiri, maka berdiam di tempat demikian itu selalu aku pujikan.” Setelah diberikan petunjuk di atas, Moggallana menanyakan tentang kesimpulan terakhir bagi orang yang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginan dan sudah siap untuk memperoleh hasil ‘di luar duniawi’. Sang Buddha menjawab, “Moggallana, seorang bhikkhu yang melaksanakan Dhamma ini, tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang berharga untuk dilekati. Setelah tahu hal tersebut, ia kemudian mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, setelah mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, ia dapat menyelami hakekat benda-benda tersebut, maka sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan atau netral ia memandangnya sebagai sesuatu yang tidak kekal. Jadi, ia memandangnya dengan perasaan jemu untuk kemudian menyingkir dan melepaskan diri dari perasaan tersebut. Dengan merenung seperti itu, ia tidak melekat lagi kepada apa pun dalam dunia ini, karena tidak lagi melekat, ia tidak dapat lagi diganggu, karena tidak dapat lagi diganggu, ia dapat rnenyingkirkan semua kekotoran batin dan mengetahui bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Dengan kesimpulan terakhir inilah, Moggallana, seorang bhikkhu dapat dipandang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginannya dan sudah siap untuk memperoleh hasil ‘di luar duniawi’.” Dengan melaksanakan petunjuk tesebut, Moggallana berhasil mencapai tingkat Arahat hari itu juga. Lima belas hari setelah ditahbiskan, Upatissa (yang kemudian terkenal sebagai Sariputta, anak Sari), berdiam bersama-sama Sang Buddha di Goa Sukarakhata dari Gunung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha. Seorang pertapa golongan Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan setelah saling mengucapkan kata-kata menghormat, ia berdiri di satu sisi. Ia kemudian memberikan pandangannya dengan mengatakan, “Yang Mulia Gotama, semua benda tidak menyenangkan hatiku. Aku tidak merasa tertarik kepadanya.” “Kalau begitu, Aggivesana, pandangan yang demikian itu pasti tidak menyenangkan hatimu dan sudah semestinya kamu tidak tertarik lagi kepadanya.” Setelah itu Sang Buddha menguraikan tentang adanya tiga pandangan mengenai hal tersebut. “Ada kelompok pertapa dan Brahmana, Aggivesana, yang mempunyai pandangan bahwa semua benda menyenangkan hati mereka, mereka tertarik kepada semua benda. Ada kelompok lain berpegang teguh kepada pandangan bahwa semua benda tidak menyenangkan hati mereka, mereka tidak tertarik kepada apa pun juga. Kelompok ketiga mempunyai pandangan bahwa ada benda-benda yang menyenangkan hati dan mereka tertarik kepada benda-benda tersebut. Terhadap benda-benda lain yang tidak menyenangkan hati, mereka tidak tertarik. Pandangan kelompok pertama ialah condong ingin memiliki benda-benda tersebut. Pandangan kelompok kedua condong untuk membenci atau mempunyai pikiran buruk terhadap benda-benda. Pandangan kelompok ketiga ialah condong ingin memiliki beberapa benda-benda dan membenci benda-benda yang lain. Seorang bijaksana melihat bahwa kalau ia mengambil sikap dan mengatakan bahwa ini yang benar dan yang dua itu salah, ia akan bertentangan pendapat dengan mereka yang mempunyai kedua pandangan yang lain itu. Dengan adanya pertentangan pendapat akan timbul pertengkaran. Dengan adanya pertengkaran akan timbul perasaan benci. Dengan adanya perasaan benci akan timbul permusuhan. Setelah menyelami keadaan ini, seorang bijaksana akan menyingkirkan pandangan itu dan juga tidak menganut pandangan pandangan yang lain. Dengan melakukan ini, ia telah melepaskan ketiga pandangan tersebut.” Setelah menjelaskan tentang ketiga pandangan salah tersebut, Sang Buddha kemudian memberikan uraian tentang cara bagaimana orang dapat menyingkirkan kemelekatan. “Tubuh ini, Aggivesana, terdiri atas empat unsur pokok (Mahabhutarupa), yaitu tanah, air, hawa udara, dan api. Ia berasal dari ayah dan ibu, dibesarkan dengan makanan nasi dan sayur-sayuran, selalu memerlukan wangi-wangian dan sabun untuk menutupi bau yang menyerang keluar, dan selalu harus dibersihkan dan digosok (untuk membersihkan kotoran yang melekat di kulit).” Ia ditakdirkan untuk lapuk dan membusuk. Kamu harus melihatnya sebagai sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, sulit untuk dipertahankan, kamu harus melihatnya sebagai penyakit, sebagai bisul yang terkena anak panah dan menimbulkan kepedihan dan kesakitan, kamu harus melihatnya sebagai tanpa aku. Kalau melihat semua ini dengan terang, kamu dapat melepaskan keinginan terhadap kesenangan-kesenangan indria. “Selain dari itu, perasaan terdiri atas tiga jenis, yaitu yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan yang netral. Kalau perasaan menyenangkan timbul, maka perasaan tidak menyenangkan dan netral tidak bisa muncul. Kalau perasaan tidak menyenangkan timbul, maka perasaan menyenangkan dan netral tidak bisa muncul. Kalau perasaan netral timbul, maka perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan tidak bisa muncul. Itulah tiga jenis perasaan yang tidak kekal dan timbul oleh sesuatu sebab dan dilahirkan oleh sebab. Perasaan itu ditakdirkan untuk mati kembali, menyusut, menciut, dan hilang sama sekali. Siswa Yang Ariya, yang mengetahui hakekat yang sebenarnya, merasa jemu terhadap perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Karena jemu, ia akan melepaskan diri dari nafsu-nafsu keinginan. Tanpa nafsu-nafsu keinginan, ia akan bebas dari kemelekatan. Dalam batin yang bebas dari kemelekatan akan timbul pengetahuan bahwa batinnya sekarang benar-benar telah bebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Bhikkhu yang demikian itu tidak mungkin akan bertengkar lagi mengenai sesuatu pandangan. Apa pun dalil keduniawian yang dikemukakan orang, ia dapat mengikutinya, tetapi ia tidak menganutnya dan juga tidak melekat kepada salah satu dalil.” Selama itu Sariputta berdiri di sisi Sang Buddha dengan kipas di tangan dan mengipasi Sang Bhagava. Mendengar khotbah kepada Dighanakha ia berpikir, “Sang Bhagava menganjurkan untuk melepaskan ikatan kepada semua benda melalui Kebijaksanaan Tertinggi.” Merenungkan arti yang terkandung dalam khotbah tersebut, batinnya terbebas dari semua kekotoran batin dengan jalan menyingkirkan kemelekatan. Setelah khotbah selesai, Dighanakha memperoleh Mata Dhamma dan.terbebas dari keragu-raguan terhadap keampuhan dan keunggulan Dhamma. Ia memuji khotbah yang baru saja didengar dan menyatakan diri sebagai upasaka. “Indah, sungguh indah Bhante. Dengan panjang lebar Bhante telah menguraikan Dhamma, menjelaskannya sebagai seorang yang telah menegakkan apa yang telah roboh, atau membuka apa yang tertutup, atau menunjukkan jalan kepada yang tersesat, atau menyalakan api sewaktu keadaan gelap gulita. Aku berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka yang berlindung kepada Sang Ti-Ratana untuk seumur hidup.” Dengan cara-cara inilah Moggallana dan Sariputta memperoleh Penerangan Agung dan menjadi Arahat. Sang Buddha sendiri pernah menerangkan di hadapan para bhikkhu dan bhikkhuni bahwa Sariputta adalah murid-Nya yang terpandai dalam kebijaksanaan dan Moggallana yang terpandai dalam kekuatan gaib. Kalau Sang Buddha dinamakan Dhammaraja (Raja Dhamma) maka Sariputta diberi gelar Dhammasenapati (Jenderal Dhamma).

Pertemuan Besar Para Arahat

Ketika Sang Buddha berada di kota Rajagaha, seribu dua ratus lima puluh orang Arahat datang berkumpul. Pertemuan para Arahat tersebut dinamakan Caturangasannipata atau Pertemuan Besar Yang Diberkahi dengan Empat Faktor, yaitu:

Mereka berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Mereka semuanya Arahat dan memiliki 6 (enam) kekuatan gaib (abhiñña). Semuanya ditahbiskan dengan memakai ucapan “Ehi bhikkhu”. Waktu itu Sang Buddha mengucapkan Ovadda Patimokkha. Tempat mereka berkumpul adalah di Veluvanarama (hutan pohon bambu) dan waktu itu tengah hari pada saat purnama sidhi di bulan Magha. Ovada Patimokkha yang diucapkan Sang Buddha adalah sebagai berikut (Dhammapada 183;5) :

“Sabba papassa akaranam, Kusalassa upasampada, Sacittapariyo dapanam, Etam Buddhana sasanam. Khanti paramam tapo titikkha, Nibbanam paramam vadanti Buddha, Na hi pabbajjito parupaghati, Samano hoti param vihethayanto. Anupavado, anupaghato, Patimokkhe ca samvaro, Mattaññuta ca bhattasmim, Pantham ca sayanasanam, Adhicitte ca ayogo, Etam Budhana sasanam. “ Artinya:

“Janganlah berbuat kejahatan, Perbanyaklah perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiranmu, Itulah ajaran semua Buddha. Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik, Sang Buddha bersabda; Nibbanalah yang tertinggi dari semuanya, Beliau bukan pertapa yang menindas orang lain, Beliau bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain. Tidak menghina, tidak melukai, Mengendalikan diri sesuai dengan tata tertib, Makanlah secukupnya, Hidup dengan menyepi, Dan senantiasa berpikir luhur, Itulah ajaran semua Buddha.” Peristiwa yang bersejarah ini hingga kini masih tetap dirayakan sebagai Magha-Puja, terutama oleh para bhikkhu di Muangthai / Thailand.

Kembali Ke Kapilavatthu

Setelah Raja Suddhodana menerima berita bahwa Sang Buddha berada di Rajagaha, ibukota negara Magadha, maka Beliau mengirim berturut-turut sembilan orang utusan untuk mengundang Sang Buddha pulang ke Kapilavatthu. Namun utusan-utusan tersebut ‘lupa’ untuk menyampaikan undangan dari Raja Suddhodana, setelah mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat Arahat. Akhirnya Raja Suddhodana mengutus Kaludayi untuk mengundang Sang Buddha. Kaludayi adalah kawan bermain Pangeran Siddhattha waktu kecil dan lahir pada hari, bulan, dan tahun yang sama. Kaludayi berangkat menuju Rajagaha. Waktu mendengar Sang Buddha memberikan khotbah, Kaludayi pun mencapai tingkat Arahat. Ia mohon untuk diterima sebagai bhikkhu dan Sang Buddha mentahbiskannya dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu”. Kemudian Kaludayi menyampaikan undangan Raja Suddhodana kepada Sang Buddha untuk berkunjung ke Kapilavatthu. Sang Buddha menerima baik undangan tersebut dan setelah Kaludayi berdiam tujuh hari di Rajagaha, berangkatlah Sang Bhagava beserta rombongan dua puluh ribu bhikkhu menuju Kapilavatthu. Perjalanan yang jauhnya enam puluh Yojana (1 Yojana = 16 Km) ditempuh dalam waktu enam puluh hari, yaitu tiap hari ditempuh satu Yojana. Berita dengan cepat sampai kepada Raja Suddhodana bahwa Sang Buddha dan rombongan sedang menuju ke Kapilavatthu. Beliau memerintahkan agar disiapkan tempat untuk rombongan yang akan tiba. Tempat itu terletak di luar kota dan dikenal dengan nama Nigrodharama (hutan pohon beringin). Waktu rombongan tiba, Raja Suddhodana berikut pengiring dengan disertai penduduk Kapilavatthu, berduyun-duyun datang ke Nigrodharama. Mengenai peristiwa penting dan menarik ini, yaitu bertemunya kembali Raja Suddhodana dengan anaknya dapat dituturkan sebagai berikut (Mhvu. III, 114-121). Waktu rombongan mendekati Nigrodharama, Sang Buddha merenung, “Bangsa Sakya terkenal sebagai bangsa yang tinggi hati. Kalau Aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat duduk-Ku, mereka mungkin akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, ‘Sungguh keterlaluan yang dilakukan Pangeran yang telah meninggalkan tahta, menjadi pertapa dan sekarang telah memperoleh Penerangan Agung dan mengaku sebagai Raja Dhamma, Ia duduk saja dan tidak berdiri untuk menyambut kedatangan ayah-Nya yang sudah tua dan sangat dihormati oleh seluruh rakyat Sakya.’ Tetapi tidak ada makhluk atau kelompok makhluk yang kepalanya tidak dibelah tujuh, kalau sekiranya Sang Tathagata bangun untuk menghormatnya. Lebih baik Aku terbang setinggi orang dewasa dan berjalan-jalan di udara.” Kemudian Sang Buddha terbang ke udara dan berjalan-jalan setinggi orang dewasa. Dari kejauhan, Raja dapat melihat anaknya sedang berjalan-jalan di udara dan merasa sangat kagum. Tiba di pinggir hutan Nigrodharama, Raja turun dari keretanya dan bersama-sama dengan pengiringnya berjalan kaki menuju ke tempat tinggal Sang Buddha. Sang Buddha yang sedang berjalan-jalan di udara setinggi orang dewasa naik lebih tinggi sedikit dan berdiri setinggi pohon palem, sehingga dapat dilihat oleh segenap yang hadir. Pada waktu itulah Sang Buddha mempertontonkan kekuatan gaib-Nya yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha, yaitu Yamakapatihariya atau Mukjizat Ganda. Api berkobar-kobar di badan sebelah atas dan air dingin melalui lima ratus pancaran turun dari badan sebelah bawah. Setelah itu air memancar dari sebelah atas badan dan api berkobar-kobar dari badan sebelah bawah. Yang hadir bersorak-sorak gembira melihat kemukjizatan tersebut. Waktu itu hadir juga Yasodhara yang menuntun Mahapajapati. Mahapajapati matanya buta karena sedih dan terlalu banyak menangis sewaktu Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dan pergi bertapa di hutan Uruvela. Mahapajapati mendengar hadirin bersorak-sorak, tetapi karena tidak dapat melihat, maka semua peristiwa yang terjadi harus diceritakan oleh Yasodhara. Yasodhara merasa terharu sekali melihat keadaan Mahapajapati. Dengan penuh kesujudan, Yasodhara menampung dengan kedua tangannya air yang keluar dari badan Sang Buddha sewaktu melakukan Mukjizat Ganda. Dengan air itu Yasodhara membasahi dan mencuci mata Mahapajapati berulang kali disertai doa semoga air itu dapat mengembalikan penglihatan Mahapajapati. Satu mukjizat telah terjadi. Sedikit demi sedikit Mahapajapati dapat melihat kembali sehingga penglihatannya pulih seluruhnya. Sekarang Mahapajapati dapat menyaksikan sendiri peristiwa yang membuat para hadirin bersorak-sorak, sehingga membuat hatinya gembira sekali. Setelah melakukan Mukjizat Ganda, Sang Buddha kemudian menghilang. Tiba-tiba di udara muncul seekor banteng besar dengan tengkuk yang bergetar-getar lari dari arah Timur dan lenyap disebelah Barat, kemudian lari dari arah Barat dan lenyap di sebelah Timur. Kemudian muncul lagi dan lari dari arah Utara dan lenyap di sebelah Selatan, selanjutnya lari dari sebelah Selatan dan lenyap di sebelah Utara. Setelah pemandangan yang di atas lenyap sama sekali, kemudian Sang Buddha terlihat duduk dengan tenang di tempat duduk-Nya. Hilang sudah keragu-raguan dan sekarang semua hadirin yakin bahwa Pangeran Siddhattha sesungguhnya telah menjadi Buddha. Kemudian mereka semua berlutut memberi hormat kepada Sang Buddha. Dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada, Raja Suddhodana menghampiri anaknya dan berkata, “Ini adalah untuk ketiga kalinya aku menundukkan kepalaku di bawah kakimu, oh Yang Maha Tahu, pertama kali waktu seorang pertapa meramalkan bahwa anakku kelak akan menjadi Buddha, kedua kali waktu aku lihat anakku bermeditasi di bawah Pohon jambu dan ini untuk yang ketiga kalinya. Kemudian menuruti bisikan hatinya, Raja Suddhodana menanyakan apakah sekarang Sang Buddha baik-baik saja. “Dulu anakku selalu memakai sandal terbuat dari kain wol halus yang berjalan di atas permadani yang empuk dan dipayungi dengan payung putih. Tetapi sekarang kaki anakku yang halus dan berwarna tembaga serta penuh garis-garis ajaib itu harus berjalan di atas rumput kasar, duri, dan batu kerikil. Apakah kaki anakku tidak pernah merasa sakit?” Sang Buddha menjawab, “Aku adalah Sang Penakluk, Yang Maha Tahu, tak ternoda oleh kekotoran-kekotoran batin di dunia ini. Aku telah melepaskan diri dari semua benda dan telah terbebas dengan musnahnya nafsu-nafsu keinginan. Orang seperti Aku tak dapat lagi diganggu oleh perasaan enak dan tidak enak.” Raja Suddhodana berkata, “Dulu para pelayan tiap hari memandikan dan menggosok-gosok badan anakku dengan minyak kayu cendana yang baunya harum semerbak. Tetapi sekarang anakku mengembara di waktu malam yang dingin dari satu hutan ke hutan yang lain. Sekarang siapakah yang memandikan anakku dengan air bersih dan menyegarkan apabila anakku merasa lelah?” Sang Buddha menjawab, “Oh, Baginda, murni adalah arus air yang datang dari pantai kebajikan yang tak ternoda dan dipujikan oleh para bijaksana. Dengan mandi dan menyelam dalam air dewata itulah Aku telah tiba di pantai seberang. Raja Suddhodana berkata, “Sewaktu anakku masih memakai kain buatan Benares dan memakai baju bersih yang berbau wangi bunga teratai dan cempaka, anakku adalah orang yang paling bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit. Tetapi sekarang anakku memakai pakaian dari kain kasar yang terbuat dari serat kayu merah. Sungguh aneh anakku berbuat seperti ini.” Sang Buddha menjawab, “Para Penakluk, oh Baginda, tidak menghiraukan pakaian, tempat tidur atau makanan, dan juga para Penakluk tidak menghiraukan apakah yang diterimanya menyenangkan atau tidak menyenangkan.” Raja Suddhodana berkata, “Dulu, kereta yang mahal dan bergemerlapan dengan emas dan tembaga selalu tersedia untuk dipakai dan kemana pun anakku pergi selalu ikut serta sebuah payung putih, sebuah pusaka, sebatang pedang, dan sebuah lambang kerajaan. Lagipula Kanthaka, kuda yang terkenal paling bagus dan paling cepat di seluruh negeri selalu menyertai anakku. Meskipun hingga kini masih tersedia kereta, kereta perang, kuda dan gajah, namun anakku lebih senang berjalan kaki dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Coba katakan, apakah anakku tidak lelah?” Sang Buddha menjawab, “Kekuatan gaib adalah kereta-Ku. Ketetapan hati, kebijaksanaan dan pikiran yang terpusat adalah sais-Ku. Padhana yang terdiri atas Sanvara (pengekangan diri dari nafsu-nafsu), Pahana (melenyapkan kekotoran batin), Bhavana. (melaksanakan meditasi) dan Anurakkhana (menjaga watak sendiri) adalah kuda-kuda-Ku. Seorang diri Aku mengembara ke tempat-tempat yang jauh.” Raja Suddhodana berkata, “Dulu anakku makan dari piring perak dan minum dari mangkuk emas. Selalu tersedia makanan yang lezat-lezat dengan bumbu yang terpilih, sebagaimana layaknya disajikan kepada seorang raja. Tetapi sekarang anakku dengan tanpa perasaan muak, makan hidangan asin atau tidak asin, kasar atau lembut, dengan bumbu atau tanpa bumbu. Sungguh aneh anakku berbuat hal seperti itu.” Sang Buddha menjawab, “Seperti juga Buddha-Buddha dari zaman dulu dan Buddha-Buddha di zaman yang akan datang, maka Aku, Sang Tathagata, makan yang lembut dan kasar, yang pakai bumbu atau yang tidak pakai bumbu dengan pikiran yang terkendali guna kepentingan dunia ini.” Raja Suddhodana berkata, “Dulu, anakku tidur di dipan tinggi yang dilapisi kulit kambing hutan dengan bantal yang empuk dilapisi sutra halus. Kaki dipan terbuat dari emas dan dibalut dengan untaian bunga yang harum semerbak, sedang lantai ditutup dengan permadani yang terbuat dari bahan wol dan kapas. Sekarang anakku memakai rumput dan daun-daunan sebagai kasur dan tidur di atas tanah yang kasar dan berbatu. Dan rupanya anakku menyukainya. Apakah tubuh Yang Maha Bijaksana tidak merasa sakit?” Sang Buddha menjawab, “Oh, Baginda, orang seperti Aku tidak akan tidur dengan tidak nyenyak. Semua duka cita dan kesedihan telah Kutinggalkan. Dengan terbebas dari duka cita dan kesedihan, Aku selalu menjaga batin-Ku agar selalu berbelas-kasih kepada semua makhluk.” Raja Suddhodana berkata, “Dulu, anakku tinggal di istana yang kamarnya (di lantai atas) menyerupai tempat kediaman para dewa dan diterangi oleh sekumpulan kunang-kunang, dengan dilengkapi jendela putar yang serasi, dimana pelayan wanita yang memakai perhiasan dan kalungan bunga menunggu dengan sabar kata-kata yang akan keluar dari mulut Tuannya.” Sang Buddha menjawab, “Sekarang, oh Baginda, di tempat ini pun yang dihuni oleh manusia terdapat para Brahma dan Dewa Agung yang senantiasa mengikuti petunjuk-petunjuk-Ku dan lagi pula Aku dapat pergi kemana pun yang Kukehendaki.” Raja Suddhodana berkata, “Dulu, diiringi musik yang merdu, para penyanyi selalu menyanyikan lagu-lagu yang anakku senangi. Dan anakku adalah orang yang bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana Dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit.” Sang Buddha menjawab, “Aku sekarang menyanyikan lagu dengan khotbah dan pembabaran Dhamma dan terbebas karena memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi. Aku sekarang bercahaya di antara bhikkhu-bhikkhu seperti Brahma di antara dewa-dewa di langit.” Raja Suddhodana berkata, “Dulu, oh Yang Maha Kuat, di istana, kamar anakku yang menyerupai tempat kediaman para dewa, selalu dijaga oleh pengawal bersenjata yang mahir menggunakan pedang. Tetapi sekarang, di hutan anakku seorang diri berada di tengah-tengah teriakan burung hantu dan jeritan anjing-anjing hutan, dimana pada malam hari binatang buas berkeliaran mencari mangsa. Apakah anakku tidak takut? Coba terangkan hal ini kepadaku.” Sang Buddha menjawab, “Meskipun semua gerombolan Yakka datang bersama gajah-gajah liar yang mengarungi hutan belantara, tetapi makhluk-makhluk itu tidak akan mengganggu walaupun selembar rambut-Ku karena Aku telah menyingkirkan semua perasaan takut. Justru karena tanpa perasaan takut itulah Aku menang dan berhasil keluar dari lingkaran tumimbal lahir. Seorang diri Aku berkelana, seorang pertapa yang selalu waspada dan tidak tergoyahkan oleh celaan atau pujian, seperti seekor singa tidak takut kepada suara, seperti angin tidak dapat dijerat oleh jala. Karena itu, oh Baginda, bagaimana Anda dapat katakan bahwa Sang Penakluk, Pemimpin yang tidak dipimpin oleh siapa pun, dapat merasa takut?” Raja Suddhodana kembali bertanya, “Sebenarnya seluruh dunia bisa menjadi tanah milikmu dan seribu orang anak dapat pula menjadi milikmu, kalau saja anakku tidak melepaskan tujuh rupa pusaka (lambang seorang Raja) dan menjadi seorang pertapa.” Sang Buddha menjawab, “Sekarang pun seluruh dunia masih tetap menjadi milik-Ku dan Aku tetap masih memiliki ribuan orang anak. Lagipula sekarang Aku memiliki Delapan Mustika yang tidak ada bandingannya di dunia ini.” Selesai percakapan ini, Raja Suddhodana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Karena tidak mendapat undangan makan di istana, maka keesokan harinya Sang Buddha bersama-sama dengan pengikutNya memasuki kota Kapilavatthu untuk mengumpulkan makanan. Penduduk kota Kapilavatthu menjadi heboh sekali. Memang sering mereka lihat seorang pertapa atau Brahmana berjalan berkeliling mengumpulkan makanan dari penduduk, tetapi baru sekarang ini mereka menyaksikan seorang dari kasta Khattiya, putra dari seorang Raja yang masih memerintah, berjalan keliling mengumpulkan makanan. Hal ini segera diberitahukan kepada Raja Suddhodana dan Raja menjadi terkejut dan malu sekali. Dengan tergesa-gesa Raja keluar dari istana dan pergi menemui Sang Buddha. Raja Suddhodana kemudian menegur, “Mengapakah anakku melakukan perbuatan yang sangat memalukan ini? Mengapa anakku tidak datang saja ke istana untuk mengambil makanan? Apakah pantas seorang putra Raja minta-minta makanan di kota, tempat dulu ia sering mondar-mandir dengan menggunakan kereta emas? Mengapa anakku membuat malu ayah seperti ini?” “Aku tidak membuat ayah malu, oh Baginda. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan kami.” jawab Sang Buddha dengan tenang. “Apa? kebiasaan kita? Bagaimana mungkin?! Tidak pernah seorang anggota keluarga kita minta-minta makanan seperti ini. Dan anakku mengatakan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan kita?” “Oh, Baginda, memang ini bukan merupakann kebiasaan seorang anggota keluarga kerajaan, tetapi ini adalah kebiasaan para Buddha. Semua Buddha di zaman dulu hidup dengan jalan mengumpulkan makanan dari para penduduk.” Setelah Raja Suddhodana tetap mendesak agar Sang Buddha beserta pengikut-Nya mengambil makanana di istana, maka pergilah Sang Buddha beserta rombongan menuju ke istana

HARI-HARI TERAKHIR

Maha Parinibbana Suttanta (D.II-16)

CULLAVAGGA XI (Vin. II; B.D.V)

Ayasma Maha Kassapa bercerita kepada para bhikkhu : “Pada suatu waktu aku bersama-sama dengan kira-kira lima ratus bhikkhu sedang berada dalam perjalanan dari Pava menuju Kusinara. Kemudian aku berhenti di pinggir jalan dan mencari tempat duduk di bawah pohon yang rindang.” Pada waktu itu lewat di depanku seorang pertapa “tak berpakaian” dengan membawa bunga Pohon Karang, yaitu semacam bunga yang hanya dapat ditemukan, bila terjadi peristiwa penting. Lalu aku menyapa pertapa tersebut, “Apakah Anda kenal Guru kami?” Ia menjawab, “Benar, aku mengenal Guru Anda, tetapi Beliau telah mangkat seminggu yang lalu. Oleh karena itulah aku dapat memperoleh bunga Mandarava (Pohon Karang) ini.” Mendengar berita tersebut, maka para bhikkhu yang masih belum terbebas dari hawa nafsu, mengangkat tangan mereka dan menangis tersedu-sedu; beberapa orang lagi berguling-gulingan di atas tanah dan menangis sambil meratap, “Terlalu cepat Sang Bhagava memasuki parinibbana! Terlalu cepat Yang Terbahagia memasuki parinibbana! Terlalu cepat Sang Mata Dunia lenyap dari pandangan kami!” Tetapi para bhikkhu yang telah terbebas dari hawa nafsu, dengan penuh kesadaran dan pikiran terpusat, merenung, “Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Mana mungkin hal ini tak akan terjadi?” Tetapi aku berkata, “Cukup, Avuso, janganlah bersedih, janganlah meratap! Bukankah sejak semula Sang Bhagava menerangkan bahwa segala sesuatu yang disenangi dan dicintai suatu ketika pasti akan berubah dan akan berpisah darimu? Apa yang timbul karena suatu sebab, menjadi seorang makhluk, terdiri dari paduan unsur-unsur dan dikodratkan akan lapuk, bagaimana engkau masih menginginkan, ‘Semoga itu tak akan berubah dan hancur kembali!” Pada waktu itu hadir pula seorang bhikkhu bernama Subhadda, yang telah ditahbiskan pada usia lanjut. Subhadda kemudian turut bicara, “Cukup, Avuso, janganlah bersedih, janganlah meratap! Sekarang kita telah terbebas dari Pertapa Tua itu. Sudah terlalu lama, Avuso, kita telah dikekang oleh Beliau dengan mengatakan, ‘Ini boleh kamu lakukan, itu tidak boleh kamu lakukan!’ Sekarang kita dapat berbuat sesuka hati kita dan kita tidak usah melakukan hal-hal yang kita tidak senangi.” Lalu aku berkata, “Mari, Avuso, kita akan membacakan Dhamma dan Vinaya, sebelum apa yang “bukan Dhamma” mendapat angin dan berkembang, dan Dhamma akan terdesak; sebelum apa yang “bukan Vinaya” mendapat angin dan berkembang, dan Vinaya akan terdesak; sebelum mereka yang berbicara tentang yang “bukan Dhamma” menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Dhamma menjadi lemah; sebelum mereka yang berbicara tentang yang “bukan Vinaya” menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Vinaya menjadi lemah.” Kemudian dijawab, “Kalau demikian halnya, harap Bhante memilih bhikkhu-bhikkhu yang akan membacakannya.” Kemudian Ayasma Maha Kassapa memilih 499 orang bhikkhu, yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat. Setelah itu seorang bhikkhu berkata, “Bhante, meskipun Bhikkhu Ananda masih seorang siswa, tetapi ia sudah tidak mungkin lagi melakukan hal-hal yang salah karena dorongan keinginan rendah, kebencian, nafsu-nafsu yang menggelapkan batin dan ketakutan. Selain itu Bhikkhu Ananda memahami Dhamma dan Vinaya dengan seksama di bawah asuhan langsung Sang Bhagava. Karena itu aku mengusulkan agar Bhikkhu Ananda pun diikutsertakan.” Dengan demikian Bhikkhu Ananda pun terpilih. Setelah itu timbul pertanyaan, “Di manakah akan diadakan pembacaan Dhamma dan Vinaya?” Kemudian diusulkan oleh beberapa orang bhikkhu “Di Rajagaha terdapat banyak umat yang bersedia memberikan makanan dan tempat penginapan pun jumlahnya berlebih-lebihan. Bagaimana kalau waktu bervassa di Rajagaha kita membacakan Dhamma dan Vinaya, dan bhikkhu-bhikkhu lain selama vassa (musim hujan), tidak diperkenankan untuk berada di Rajagaha?” Ayasma Maha Kassapa lalu berkata kepada Sangha, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik maka Sangha dapat memberi persetujuan agar kelima ratus bhikkhu ini membacakan Dhamma dan Vinaya pada waktu mereka bervassa di Rajagaha. Dan selama vassa itu jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha. Inilah usulku. Para Bhante yang terhormat, Sangha sedang mempertimbangkan untuk menyetujui kelima ratus bhikkhu ini membicarakan Dhamma dan Vinaya sewaktu mereka bervassa di Rajagaha. Kalau sekiranya Sangha menyetujui, pada waktu kelima ratus bhikkhu tersebut membacakan Dhamma dan Vinaya di Rajagaha agar jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha. Kalau Sangha menyetujuinya, maka aku harap Sangha diam dan kepada mereka yang berkeberatan aku persilakan untuk bicara. Kelima ratus bhikkhu tersebut, oleh Sangha telah disetujui untuk membacakan Dhamma dan Vinaya sewaktu mereka bervassa di Rajagaha dan juga telah disetujui agar jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha, karena tidak ada yang bicara. Begitulah apa yang kumengerti.” Kemudian kelima ratus bhikkhu tersebut berangkat menuju Rajagaha untuk membacakan Dhamma dan Vinaya. Setibanya di Rajagaha mereka melihat banyak kayu-kayu yang patah serta lapuk di tempat mereka menginap. Mereka berpikir, “Memperbaiki bagian-bagian bangunan yang patah serta lapuk dipujikan oleh Sang Bhagava. Mari, selama bulan pertama kita akan memperbaiki bagian-bagian yang patah serta lapuk dan kemudian baru membacakan Dhamma dan Vinaya. Kemudian di bulan pertama mereka sibuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak dan mengganti kayu-kayu yang patah serta lapuk dengan yang baik. Besok akan dimulai pembacaan Dhamma dan Vinaya. Bhikkhu Ananda sedang merenung, “Besok kita akan berkumpul. Sebenarnya, sebagai seorang siswa, aku tidak layak menghadiri pertemuan itu.” Setelah itu Bhikkhu Ananda giat melatih meditasi dengan obyek badan jasmaninya sampai larut malam. Dan setelah merasa amat letih, Bhikkhu Ananda ingin membaringkan dirinya di atas kasur. Ia lalu memiringkan tubuhnya, tetapi sebelum kepalanya menyentuh kasur dan kakinya sudah terangkat dari tanah, pada saat itu dengan tiba-tiba batinnya telah bersih dari kekotoran batin dan Bhikkhu Ananda mencapai tingkat Arahat. Kemudian pertemuan dibuka oleh Ayasma Maha Kassapa, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Upali mengenai Vinaya.” Lalu dijawab oleh Bhikkhu Upali, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa.” Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya,

“Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang pertama?” “Di Vesali, Bhante.” “Mengenai siapa?” “Mengenai Bhikkhu Sudinna dari Desa Kalandaka.” “Tentang persoalan apa?” “Tentang hubungan kelamin.” Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat; selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran.

“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang kedua?” “Di Rajagaha, Bhante.” “Mengenai siapa?” “Mengenai Bhikkhu Dhaniya, anak seorang pembuat jambangan tanah.” “Tentang persoalan apa?” “Tentang mengambil sesuatu yang tidak diberikan.” Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat, …

“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang ketiga?” “Di Vesali, Bhante.” “Mengenai siapa?” “Mengenai beberapa bhikkhu.” “Tentang persoalan apa?” “Tentang manusia.” Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dam tentang orang-orangnya yang terlibat,…

“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang keempat?” “Di Vesali, Bhante.” “Mengenai siapa?” “Mengenai bhikkhu-bhikkhu dari tepi Sungai Vaggumuda.” “Tentang persoalan apa?” “Tentang mereka yang menggunakan tipu muslihat dengan mengaku mencapai tingkat kesucian atau memiliki kekuatan-kekuatan gaib.” Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat, selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran. Setelah itu ditanyakan tentang peraturan-peraturan yang lain baik yang berlaku untuk para bhikkhu maupun yang berlaku untuk para bhikkhuni. Semua pertanyaan dijawab oleh Bhikkhu Upali dengan terang dan jelas. Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Ananda mengenai Dhamma.” Lalu dijawab oleh Bhikkhu Ananda, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Dhamma yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa.” Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya, “Bhikkhu Ananda, di manakah Brahmajala-sutta disabdakan?” “Bhante, di tempat peristirahatan Raja di Ambalatthika antara Rajagaha dan Nalanda.” “Dengan siapa?” “Dengan pertapa Suppiya dan seorang Brahmin muda bernama Brahmadatta.” “Mengenai persoalan apa?” “Mengenai apa yang terpuji dan apa yang tidak terpuji.” Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya. “Dan di manakah Samaññaphala-sutta disabdakan, Bhikkhu Ananda?” “Di Rajagaha, Bhante, di taman mangga Jivaka.” “Dengan siapa?” “Dengan Ajatasattu, putra dari Videhi.” Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya. Setelah itu Bhikkhu Ananda ditanya tentang lima Nikaya yang semuanya dijawab dengan terang dan jelas. Kemudian Bhikkhu Ananda memberitahukan para hadirin, “Para Bhante yang terhormat, pada waktu Sang Bhagava hendak mencapai parinibbana, Beliau telah meninggalkan pesan, “Setelah Aku mangkat, Ananda, kalau dikehendaki oleh Sangha, maka peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting dapat ditiadakan.” “Tetapi apakah ditanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting?” “Tidak, Bhante, aku tidak menanyakan apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting.” Ada hadirin yang mengatakan, “Selain 4 (empat) peraturan Parajika, semua yang lain termasuk peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.” Ada pula yang mengatakan, “Selain 4 peraturan Parajika dan 13 peraturan Sanghadisesa, semua peraturan yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.” Ada lagi yang mengatakan, “Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa dan 2 peraturan Aniyata, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.” Ada pula yang mengatakan, “Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa, 2 peraturan Aniyata dan 30 peraturan Nissagiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.” Ada lagi yang mengatakan, “Selain 4 peraturan Parajika …..dan 92 peraturan Pacittiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.” Ada juga yang mengatakan, “Selain 4 peraturan Parajika …..dan 4 peraturan Patidesaniya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.” Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku katakan. Tata tertib para bhikkhu ada juga yang berhubungan dengan umat dan umat pun mengetahui mengenai hal tersebut. Mereka tahu bahwa ini “diperbolehkan” dan itu pasti “tidak diperbolehkan” untuk para pertapa, putra-putra Sakya. Kalau kita menghapuskan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting, mungkin diantara mereka ada yang berkata, “Pada waktu Buddha Gotama masih hidup, Beliau telah menetapkan tata tertib untuk murid-murid-Nya. Sewaktu Buddha Gotama masih hidup, memang mereka melatih diri dalam tata tertib tersebut, tetapi setelah Buddha Gotama mencapai parinibbana mereka tidak lagi melatih diri dalam tata tertib tersebut. Kalau Sangha menganggap baik, maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Inilah usulku. Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Kalau para Bhante setuju dengan tidak menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan dan segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan, maka Sangha harap diam. Kalau ada yang tidak setuju, diharap bicara. Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Karena Sangha diam, maka Sangha telah setuju. Begitulah apa yang kumengerti.” Kemudian para Thera berkata kepada Bhikkhu Ananda “Bhikkhu Ananda, ini merupakan suatu pelanggaran, karena Anda telah lalai untuk menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.” “Para Bhante yang terhormat, karena kurang waspada aku tidak menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil yang kurang penting. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatan kepada para Bhante, aku mengaku melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.” “Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah Anda menginjaknya terlebih dulu. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.” “Para Bhante yang terhormat, bukan karena rasa kurang hormat aku telah menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah dengan tidak disengaja menginjaknya. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku kepada para Bhante, aku mengakui telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak pantas.” “Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda mengizinkan para wanita memberi penghormat terlebih dulu terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingga air mata mereka mengotori jenazah Sang Bhagava. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.” “Para Bhante yang terhormat, karena aku pikir, lebih baik aku memberikan waktu terlebih dulu kepada para wanita untuk memberi penghormatan terakhir terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingga mereka nanti tidak berada dalam waktu yang tidak tepat (kalau para Thera telah berkumpul). Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.” Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena meskipun diberi isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang jelas dapat diraba maksudnya, Anda telah lalai untuk memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan untuk hidup terus sampai satu kappa, semoga Sang Sugata berkenan untuk hidup terus demi kesejahteraan orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi welas asih-Nya terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.” Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian. “Para Bhante yang terhormat, karena pada saat itu pikiranku tergoda oleh Mara, maka aku telah lalai tidak memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan ……demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.” Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.” “Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak baik.” “Para Bhante yang terhormat, aku telah melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni oleh karena aku pikir, “Maha Pajapati adalah bibi Sang Bhagava, ibu tiri-Nya, yang merawat-Nya, yang memberikan air susunya sendiri kepada bayi Siddhattha setelah ibu-Nya meninggal dunia. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak baik.” Beberapa waktu setelah pembacaan Dhamma dan Vinaya selesai, Bhikkhu Ananda menghadap para Thera dan berkata : “Pada waktu Sang Bhagava hendak memasuki parinibbana, Beliau juga telah meninggalkan pesan, “Ananda, bila Sang Tathagata sudah tidak ada lagi, Sangha harus melaksanakan hukuman berat (brahmadanda) terhadap Bhikkhu Channa.” “Tetapi, Bhikkhu Ananda, apakah Anda menanyakan apa yang dimaksud dengan hukuman berat itu?” “Aku telah menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan hukuman berat itu. Beliau mengatakan, “Ananda, Bhikkhu Channa boleh mengatakan apa saja yang ia suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak boleh bicara dengannya, tidak boleh menasehatinya dan tidak boleh memberi petunjuk kepadanya.” “Kalau demikian halnya, laksanakanlah hukuman berat itu terhadap Bhikkhu Channa.” “Tetapi para Bhante yang terhormat, bagaimana mungkin aku dapat melaksanakan hukuman berat tersebut kepada Bhikkhu Channa karena Bhikkhu Channa orangnya kuat dan kekar badannya.” “Kalau begitu, Bhikkhu Ananda, pergilah bersama dengan lima ratus bhikkhu lain.” “Baiklah, Bhante,” jawab Bhikkhu Ananda. Kemudian berangkatlah Bhikkhu Ananda dengan lima ratus bhikkhu lain. Berselang beberapa hari tibalah mereka di Kosambi, tidak jauh dari taman hiburan Raja Udena. Di taman itu Raja Udena sedang bersenang-senang dengan para selirnya. Kemudian para selir mendengar bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman tersebut dan sedang beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Mereka lalu memohon kepada Raja Udena, “Paduka Tuan, telah dikabarkan bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman dan sekarang sedang beristirahat di bawah sebuah pohon rindang. “Perkenankanlah kami menemui Guru Ananda.” “Pergilah kamu menemui Guru Ananda.” Pergilah para selir Raja Udena menemui Bhikkhu Ananda. Setelah bertemu, mereka memberi hormat dan mengambil tempat duduk. Bhikkhu Ananda kemudian memberikan wejangan tentang Dhamma yang membuat hati para selir menjadi tenang, gembira dan bahagia. Para selir yang telah tenang hatinya, gembira dan bahagia lalu memberikan lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda dan kemudian mereka kembali ke taman Raja Udena. Setelah tiba di sana, mereka ditanya oleh Raja Udena, “Apakah kamu telah bertemu dengan Guru Ananda?” “Kami telah bertemu dengan Guru Ananda.” “Apakah kamu memberikan sesuatu kepada Guru Ananda?” “Kami telah memberikan lima ratus pakaian dalam kepada Guru Ananda.” Mendengar itu, Raja Udena merasa kecewa dan mengecam Bhikkhu Ananda, “Bagaimana mungkin pertapa Ananda menerima sekian banyak baju dalam. Apakah pertapa Ananda ingin berdagang pakaian atau apakah ia ingin menawarkannya untuk dijual di toko?” Setelah itu Raja Udena sendiri pergi menemui Bhikkhu Ananda dan setelah memberi hormat sebagaimana layaknya lalu mengambil tempat duduk. Raja Udena kemudian bertanya, “Bhante, apakah para selirku tadi telah datang kemari?” “Benar, Paduka Tuan.” “Apakah mereka memberikan sesuatu kepada Bhante?” “Mereka memberikan lima ratus pakaian dalam kepadaku.” “Tetapi, apakah yang Bhante ingin lakukan dengan lima ratus pakaian dalam itu?” “Aku akan membagi-bagikannya kepada para bhikkhu yang jubahnya telah tipis.” “Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah bekas dari para bhikkhu tersebut?” “Kami akan memakainya sebagai jubah luar.” “Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah luar yang bekas pakai itu?” “Kami akan menggunakan jubah-jubah bekas itu untuk membuat penutup kasur.” “Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan tutup kasur yang lama?” “Kami akan memakainya untuk penutup lantai.” “Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penutup lantai yang lama?” “Kami akan membuat penyeka-penyeka kaki.” “Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penyeka kaki yang lama?” “Kami akan membuat kain-kain untuk menyeka debu.” “Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan kain penyeka debu yang lama?” “Setelah mencabik-cabiknya dan mengaduknya dengan tanah fiat, kami akan gunakan untuk memplester lantai.” Setelah itu Raja Udena berpikir, “Pertapa-pertapa, putra-putra Sakya, memakai segala sesuatu dengan cara yang teratur, hemat dan tidak boros.” Maka oleh karena itu, ia memberikan lagi lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda. Inilah untuk pertama kali Bhikkhu Ananda mendapat hadiah seribu potong baju dalam. Setelah itu bhikkhu Ananda pergi ke Vihara Ghosita. Di tempat itu Bhikkhu Channa, yang setelah memberi hormat sebagaimana layaknya, mempersilakan Bhikkhu Ananda mengambil tempat duduk. Pada waktu itulah Bhikkhu Ananda memberitahukan Bhikkhu Channa, “Bhikkhu Channa, Sangha telah menjatuhkan hukuman berat terhadap diri Anda.” “Tetapi, Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?” “Bhikkhu Channa, Anda boleh mengatakan apa saja yang Anda suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak diperkenankan untuk bicara kepada Anda, tidak diperkenankan untuk menasehati Anda dan tidak diperkenankan untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Anda.” Bhikkhu Channa lalu menjawab, “Bhante, hancurlah sudah aku ini, tidak ada bhikkhu yang boleh bicara kepadaku, tidak ada bhikkhu yang boleh memberi nasehat kepadaku dan tidak ada bhikkhu yang boleh memberi petunjuk kepadaku.” Kemudian ia jatuh pingsan di tempat itu. Setelah siuman, karena merasa malu, cemas dan muak dikenakan hukuman berat, Bhikkhu Channa lalu pergi mencari tempat yang sunyi. Di tempat itulah ia kemudian dengan giat, tekun dan dengan semangat yang menyala-nyala melatih diri, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama ia mencapai tingkat Arahat “Hancurlah tumimbal lahir, hidup suci telah dilaksanakan, telah dilakukan apa yang harus dilakukan dan tidak ada lagi yang tersisa.” Dengan demikian Bhikkhu Channa menjadi Arahat. Setelah itu Bhikkhu Channa mencari Bhikkhu Ananda dan setelah bertemu, Bhikkhu Channa lalu berkata, “Bhante yang terhormat, sekarang cabutlah kembali hukuman berat terhadap diriku.” Dijawab oleh Bhikkhu Ananda, “Bhikkhu Channa, pada saat Anda mencapai tingkat Arahat, pada saat itu pulalah hukuman berat terhadap diri Anda telah dicabut kembali.” (Bhikkhu Channa yang dimaksud di sini ialah bekas kusir dari Pangeran Siddhattha Gotama).

Tahun 543 SM, pada usia 80 tahun, setelah 45 tahun membabarkan Dharma, Buddha pun wafat (Parinibbana). Buddha wafat dengan berbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara pada hari purnama bulan Waisak. Guru para dewa dan manusia yang tiada taranya telah pergi. sebelum wafat, Buddha menyampaikan pesan terakhir-Nya kepada kita semua : ``Teruslah berjuang dengan penuh kesadaran ! ( Appamadena Sampadetha )


Yesus

Kehidupan Yesus Kristus (~7 SM - ~33 M) dicatat dalam Alkitab, terutama di dalam 4 Kitab Injil dan tulisan pengikut-pengikut-Nya, yang ditulis paling awal sekitar tahun 44 M, hampir 11 tahun setelah Ia dikabarkan mati, bangkit dari kematian dan kemudian naik ke langit disaksikan oleh para murid-murid-Nya. Selain itu, keberadaan-Nya juga dicatat oleh orang-orang yang menentang ajaran-Nya, maupun yang menjadi musuh murid-murid-Nya, yaitu pemuka-pemuka agama Yahudi di zaman-Nya dan orang Romawi yang menjajah wilayah Palestina semasa hidup-Nya.[3]

Dari catatan-catatan itu diperoleh informasi mengenai kelahiran-Nya di Betlehem yang memenuhi ramalan sejak 2000 tahun sebelumnya maupun perkataan malaikat kepada ayah asuh (Yusuf) dan ibu yang melahirkan-Nya (Maria). Selain itu dicatat kejadian luar biasa di sekitar kelahiran-Nya, dengan munculnya banyak malaikat yang dilihat para gembala Yahudi, perjumpaan dengan dua orang saleh di Bait Allah, kedatangan orang-orang majus dari Timur yang dituntun oleh sebuah bintang di langit yang menyembah-Nya serta memberikan hadiah emas, kemenyan dan mur kepada bayi itu, yang dilanjutkan dengan pengungsian-Nya ke Mesir, sementara bayi-bayi di Betlehem dibunuh oleh raja Herodes. Selanjutnya dicatat peristiwa munculnya di Yerusalem pada usia 12 tahun, dan kemudian pada usia 30 tahun setelah Ia dibaptis di sungai Yordan. Setelah itu, Ia mulai mengajar mulai dari daerah Galilea di bagian utara Israel, kemudian ke Yudea dan Samaria. Akhirnya Ia ditangkap, diadili, dijatuhi hukuman mati dengan disalibkan di Yerusalem. Tiga hari setelah penguburan-Nya, makam-Nya terbuka kosong. Murid-murid-Nya mengaku melihat-Nya hidup kembali dari kematian, bahkan muncul di hadapan 500 orang sekaligus. Empat puluh hari setelah kebangkitan-Nya dari kematian, Ia naik ke langit disaksikan oleh para murid-murid-Nya, tidak jauh dari Yerusalem. Sekitar 10 hari setelah itu, murid-murid mengaku dipenuhi oleh Roh Kudus yang dikirimkan oleh Yesus dan sejak itu mulai menyampaikan ajaran Yesus, yaitu Injil atau kabar baik mengenai keselamatan manusia karena pengorbanan Yesus, ke seluruh dunia.[4]

Perbandingan antara Buddha dan Yesus

Dalam tabel berikut dapat dilihat sejumlah kemiripan maupun perbedaan antara Buddha (Siddharta Gautama) dan Yesus.

Referensi

  1. ^ Yesus Pernah Tinggal di Wihara Buddha, Benarkah? - Tempointeraktif.com
  2. ^ S. E. Verus. Vergleichende Uebersicht (Vollständige Synopsis) der vier Evangelien in unverkürtztem Wortlaut: (Luther-Uebersetzung, rev. Ausg. Halle 1892). Leipzig: P. van Dyk, 1897. (S.E. Verus adalah nama pena dari pengarang sebenarnya: Titus Voelkel).
  3. ^ lihat Alkitab Perjanjian Baru
  4. ^ lihat Yesus
  5. ^ Lukas 1
  6. ^ a b Matius 2
  7. ^ Kelahiran Yesus diperingati pada hari Natal, meskipun tidak diketahui jelas pada tanggal berapa Ia dilahirkan dan diduga bukan dalam bulan-bulan musim dingin (Desember maupun Januari).
  8. ^ Matius 1
  9. ^ a b c d Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Luk2
  10. ^ Kisah Para Rasul 1
  11. ^ a b Matius 4; Lukas 4
  12. ^ Yohanes 15
  13. ^ Dari keempat Kitab Injil dan Kisah Para Rasul
  14. ^ Lukas 24, Kisah Para Rasul 1
  15. ^ Ramalan Yesus dari Matius 24-25 dan juga ucapan Yesus sendiri di Kitab Wahyu
  16. ^ Wahyu 20
  17. ^ Wahyu 1