Efek Bohr: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
EmausBot (bicara | kontrib)
k r2.7.2+) (bot Menambah: ta:போர் விளைவு
Thijs!bot (bicara | kontrib)
k r2.7.2) (bot Menambah: ml:ബോർ പ്രഭാവം
Baris 24: Baris 24:
[[it:Effetto Bohr]]
[[it:Effetto Bohr]]
[[ja:ボーア効果]]
[[ja:ボーア効果]]
[[ml:ബോർ പ്രഭാവം]]
[[nl:Bohr-effect]]
[[nl:Bohr-effect]]
[[pl:Efekt Bohra]]
[[pl:Efekt Bohra]]

Revisi per 30 Juli 2012 11.38

Efek Bohr, pada awalnya merupakan sebagian sifat hemoglobin yang dijabarkan pertama oleh ilmuwan Denmark bernama Christian Bohr yang merupakan ayah dari Niels Bohr. Menurut beliau, peningkatan konsentrasi proton dan/atau CO2 akan menurunkan daya cerap hemoglobin terhadap oksigen. Peningkatan rasio plasma CO2 juga akan menurunkan pH darah oleh karena sifat antagonis antara proton dan karbondioksida.

Pada tahun 1904, Christian Bohr menemukan bahwa CO2 menurunkan daya cerap hemoglobin dengan drastis, dan pada tahun 1928, Barcroft menemukan bahwa semua senyawa asam organik memiliki sifat serupa sebagai mekanisme difusi gas di dalam sirkulasi darah. Oleh sebab itu, tidak saja CO2 di dalam pembuluh darah kapiler yang melepaskan oksigen dari pencerapnya pada hemoglobin, tetapi tekanan oksigen di dalam paru juga akan melepaskan gas CO2 dari hemoglobin yang mengusungnya.[1]

Pada tahun 1920, Henderson untuk pertama kalinya memperlihatkan bahwa molekul hemoglobin memiliki gugus asam yang menjadi lebih asam ketika teroksigenasi. German dan Wyman pada tahun 1937 lebih lanjut membuktikan bahwa proses deprotonasi hemoglobin terjadi sebagai akibat dari proses oksigenasi pada gugus asam hemoglobin yang disebut imidazol, dan pada tahun 1943-1949 gugus asam serupa pada hemoglobin ditemukan oleh Roughton dan disebut amonium.


Pada tahun 1952 dan 1958, Schmidt-Nielsen, Gjonnes dan Larimer melakukan pengamatan biokimia dan mendapati bahwa daya cerap oksigen pada mamalia berbanding terbalik dengan berat tubuh. Kemudian diketahui bahwa hal ini disebabkan oleh jumlah residu sisteina untuk setiap molekul hemoglobin yang semakin banyak, sebanding dengan jumlah ion H+ yang dilepaskan pada proses oksigenasi, pada ukuran mamalia yang semakin kecil. Selain itu, pada tahun 1959 Larimer menemukan bahwa ukuran mamalia berbanding terbalik dengan jumlah anhidrase karbonat yang terdapat di dalam sel darah merah.

Rujukan

  1. ^ (Inggris) "The Nature and Significance of the Bohr Effect in Mammalian Hemoglobins" (PDF). Zoology Department, The University of Texas; AUSTEN RIGGS. Diakses tanggal 2010-11-16.